Pengaruh Loneliness Terhadap Internet Addiction

(1)

PENGARUH LONELINESS

TERHADAP INTERNET ADDICTION

Oleh :

N I N A RAH AY U

031301029

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

September, 2008


(2)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel...xi

Daftar Gambar...xiii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. . ... 1

B. Tujuan Penelitian. ... 8

C. Manfaat penelitian. ... 8

D. Sistematika Penulisan. ... 9

BAB II. LANDASAN TEORI A. Loneliness. ... 11

1. Pengertian Loneliness . ... 11

2. Jenis-jenis Loneliness ... 12

3. Penyebab Loneliness ... 14

4. Perasaan Individu Ketika Mengalami Loneliness. ... 18

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Loneliness. ... 20

6. Reaksi terhadap Loneliness. ... 23

B. Internet Addiction. ... 24

1. Addiction. ... 24

2. Tahap-tahap Addiction. ... 25

3. Pengertian Internet Addiction. ... 26


(3)

5. Penggolongan Internet Addiction. ... 28

6. Kriteria Diagnostik Internet Addiction ... 30

C. Dewasa Awal.. ... 31

1. Pengertian Dewasa Awal ...31

2. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal ... 33

D. Pengaruh Loneliness terhadap Internet Addiction. ... 33

E. Kerangka Berpikir Penelitian. ... 37

F. Hipotesa Penelitian. ... 37

1. Hipotesa Penelitian Utama. ... 37

2. Hipotesa Penelitian Tambahan. ... 38

BAB III. METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian. ... 39

B. Definisi Operasional Variabel ... 39

1. Loneliness. ... 39

2. Internet Addiction... 40

3. Variabel Kontrol... 41

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel . ... 43

1. Populasi dan Sampel Penelitian. ... 43

2. Metode Pengambilan Sampel. ... 43

3. Jumlah Sampel Penelitian ... 44

4. Karakteristik Sampel Penelitian ... 44

D. Metode Pengumpulan Data ... 45


(4)

2. Skala Internet Addiction. ... 48

3. Uji Coba Alat Ukur. ... 50

a. Validitas Alat Ukur. ... 50

b. Reliabilitas Alat Ukur ... 51

4. Hasil Uji Coba Alat ukur ... 51

a. Skala Loneliness ... 52

b. Skala Internet Addiction ... 55

E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian. ... 57

1. Persiapan Penelitian. ... 57

2. Pelaksanaan Penelitian ... 59

3. Pengolahan Data... 59

BAB IV. ANALISA DAN INTERPRETASI DATA A. Gambaran Subjek Penelitian ... 61

1. Pengelompokan Subjek Berdasarkan Usia ... 62

2. Pengelompokan Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 62

3. Pengelompokan Subjek Berdasarkan Status Pekerjaan ... 63

4. Pengelompokan Subjek Berdasarkan Banyak Waktu Berinternet per Minggu ... 63

5. Pengelompokan Subjek Berdasarkan Tujuan Menggunakan Internet ... 64

6. Pengelompokan Subjek Berdasarkan Aplikasi Internet yang Digunakan ... 65


(5)

1. Hasil Uji Asumsi Penelitian ... 66

a. Uji Normalitas ... 66

b. Uji Linearitas ... 66

2. Hasil Utama Penelitian ... 68

3. Hasil Tambahan Penelitian ... 69

a. Deskripsi Data Penelitian Berdasarkan Mean Empirik dan Mean Hipotetik ... 69

b. Kategorisasi Data Penelitian ... 71

c. Gambaran Loneliness pada Pengguna Internet berdasarkan Usia ... 73

d. Gambaran Loneliness pada Pengguna Internet berdasarkan Jenis Kelamin ... 74

e. Gambaran Loneliness pada Pengguna Internet berdasarkan Status Pekerjaan ... 75

f. Gambaran Loneliness pada Pengguna Internet berdasarkan Banyaknya Waktu Berinternet per Minggu ... 75

g. Gambaran Internet Addiction pada Pengguna Internet berdasarkan Jenis Kelamin ... 76

h. Gambaran Internet Addiction pada Pengguna Internet berdasarkan Status Pekerjaan ... 77

i. Gambaran Internet Addiction pada Pengguna Internet berdasarkan Banyaknya Waktu Berinternet per Minggu .... 78 j. Gambaran Internet Addiction pada Pengguna Internet


(6)

berdasarkan Tujuan Menggunakn Internet ... 79

k. Gambaran Internet Addiction pada Pengguna Internet berdasarkan Aplikasi Internet yang Digunakan ... 80

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN A. Kesimpulan ... 82

B. Diskusi ... 85

C. Saran ... 90


(7)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Manusia di dunia ini tidak hidup sendiri, selalu ada bersama-sama dan berinteraksi dengan orang lain. Manusia dianggap sebagai makhluk sosial yang dalam kesehariannya berada bersama manusia lain di sekitarnya. Sejak lahir manusia sudah berhubungan dengan orang tua dan semakin bertambah usia maka akan bertambah luas pergaulannya dengan manusia yang lain di dalam masyarakat (Hurlock, 1990).

Manusia dalam hidupnya akan mengalami perkembangan dalam serangkaian periode yang berurutan, mulai dari periode pranatal hingga lanjut usia. Semua individu mengikuti pola perkembangan dengan pasti dan dapat diramalkan. Setiap masa yang dilalui merupakan tahapan-tahapan yang saling berkait dan tidak dapat diulang kembali. Yang terjadi di masa awal perkembangan individu akan memberikan pengaruh terhadap tahap-tahap selanjutnya. Salah satu tahap yang akan dilalui individu adalah masa dewasa awal (Hurlock, 1990).

Individu yang berada dalam tahapan dewasa awal, dalam perkembangan psikososial, menghadapi tugas perkembangan untuk membentuk hubungan intim dengan orang lain (Erikson dalam Santrock, 2003). Kebutuhan akan intimasi adalah suatu hal yang universal dan sudah menetap pada diri setiap manusia sepanjang hidupnya. Intimasi merupakan unsur pokok dalam kepuasan suatu hubungan. Melalui percakapan dan beraktivitas bersama, individu akan mendapatkan keuntungan untuk memenuhi tingkat kebutuhannya terhadap


(8)

intimasi pada sutu hubungan (Weiten & Llyod, 2006). Keintiman menurut Erikson (dalam Santrock, 2003) merupakan kemampuan individu untuk membangun hubungan yang akrab dengan orang lain.

Menurut Erikson, keintiman merupakan salah satu krisis dalam hidup, yaitu intimacy versus isolation, yang dikembangkan pada usia dewasa awal. Apabila individu dewasa awal dapat membentuk persahabatan yang sehat dan hubungan dekat yang intim dengan individu lain, maka intimasi akan tercapai Namun, jika individu tidak berhasil mengembangkan intimasinya, maka individu tersebut akan mengalami isolasi, merasakan loneliness dan krisis keterasingan. Individu tersebut akan menarik diri dari berbagai aktivitas sosial dan hanya memiliki sedikit atau tidak ada sama sekali ikatan dengan individu sesama jenis atau lawan jenis (Orlofsky dalam Santrock, 2003).

Sullivan (dalam Brehm et al, 2002) mengungkapkan bahwa loneliness merupakan suatu perasaan yang sangat tidak menyenangkan dan menimbulkan pengalaman yang berhubungan dengan tidak terpenuhinya dan terhambatnya kebutuhan atas intimasi manusia yang diperlukan untuk intimasi interpersonal. Weiten & Llyod (2006) mengungkapkan bahwa loneliness merupakan suatu keadaan ketika individu memiliki lebih sedikit hubungan interpersonal dibandingkan yang diharapkannya atau ketika hubungan tersebut tidak memuaskan seperti yang diharapkannya.

Weiss (dalam Weiten & Llyod, 2006) mengungkapkan bahwa loneliness tidak hanya disebabkan karena kesendirian, tetapi karena tidak adanya hubungan tertentu yang diharapkan. Loneliness selalu muncul sebagai respon terhadap


(9)

ketidakhadiran beberapa atau tipe-tipe hubungan khusus atau lebih tepatnya sebuah respon terhadap ketidakadaan suatu hubungan yang diharapkan.

Loneliness mengacu pada ketidaknyamanan subjektif yang dirasakan seseorang ketika beberapa kriteria penting dari hubungan sosial terhambat atau tidak terpenuhi. Kekurangan tersebut dapat bersifat kuantitatif seperti tidak memiliki teman seperti yang diinginkan dan bersifat kualitatif seperti merasa bahwa hubungan sosial yang dibinanya bersifat seadanya atau kurang memuaskan (Perlman & Peplau dalam Taylor, Peplau & Sears, 2000).

Ketika mengalami loneliness, individu akan merasa dissatified (tidak puas), deprivied (kehilangan), dan distressed (menderita). Hal ini tidak berarti bahwa loneliness tersebut sama di setiap waktu. Individu yang berbeda bisa saja memiliki perasaan loneliness yang berbeda pada situasi yang berbeda pula (Lopata, 1969 dalam Brehm et al, 2002).

Shaver & Rubeinstein (1982, dalam Brehm et al, 2002) mengungkapkan bahwa individu yang mengalami loneliness menunjukkan beberapa reaksi untuk menghadapi loneliness yang dialaminya, diantaranya melakukan kegiatan aktif (seperti belajar, bekerja, melakukan hobi, membaca), membuat kontak sosial (seperti menelepon atau mengunjungi seseorang), melakukan kegiatan pasif (seperti menangis, tidur, tidak melakukan apapun), dan melakukan kegiatan selingan yang kurang membangun (seperti menghabiskan uang dan berbelanja).

Saat ini internet dianggap sebagai salah satu cara untuk mengurangi loneliness, meskipun pendekatan ini sendiri dianggap dapat menjadi pedang yang bermata dua (McKenna & Bargh dalam Weiten & Llyod, 2006). Internet telah


(10)

memungkinkan dihubungkannya komputer-komputer di belahan dunia tertentu dengan komputer-komputer lain di belahan dunia yang lain. Hal ini memungkinkan pula dihubungkannya individu yang satu dengan yang lain dari berbagai belahan dunia (Hidayat, 2003). Adanya komunikasi melalui internet terbuka kemungkinan bagi individu untuk bisa berdiskusi, mencari berita, melakukan bisnis, berhubungan dengan individu lain ataupun untuk mencari hiburan (Sopyan, 2003). Saat ini, internet telah memberikan kesempatan yang lebih luas sehingga orang dapat saling berkenalan dan mengembangkan hubungan melalui layangan hubungan secara online, e-mail, chat room, dan new group (Weiten & Llyod, 2006).

Penggunaan internet pada individu yang mengalami loneliness, di satu sisi, biasanya menimbulkan keuntungan seperti mengurangi loneliness, mengembangkan perasaan mendapat dukungan sosial, dan membentuk persahabatan secara online (Shaw & Gant; Morahan-Martin & Schumacher dalam Weiten & Llyod, 2006). Di sisi lain, bila orang yang mengalami loneliness menghabiskan banyak waktu online di internet dan menghabiskan lebih banyak waktu sendirian di depan komputer di kantor dan rumahnya, maka orang tersebut akan menyediakan waktu yang lebih sedikit untuk hubungan tatap muka di dunia nyata dan mengurangi kesempatannya untuk berinteraksi tatap muka (Weiten & Llyod, 2006). Komunikasi tatap muka menggunakan kata-kata yang diucapkan, sedangkan komunikasi melalui internet menggunakan kata-kata tertulis. Hilangnya tanda-tanda nonverbal pada komunikasi melalui internet menyebabkan individu membutuhkan perhatian khusus agar orang lain dapat memahami arti


(11)

yang dimaksudkan. Berkurangnya tanda-tanda nonverbal dan lingkungan yang tidak dikenal dalam komunikasi melalui media komputer memiliki pengaruh penting untuk perkembangan suatu hubungan (Bargh & McKenna dalam Weiten & Llyod, 2006). Ketidakmampuan individu memahami menyebabkan individu tersebut semakin sulit membangun sebuah hubungan dengan orang lain. Situasi ini dapat menyebabkan individu mengalami loneliness. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Peplau & Perlman (dalam Deaux, Dane & Wrightsman, 1993) mengungkapkan bahwa loneliness merupakan hasil dari kurangnya atau terhambatnya hubungan sosialnya dengan orang lain.

Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara terhadap KM (23 tahun), seorang karyawan sebuah perusahaan IT, yang mengatakan bahwa:

”....aku terbiasa menghabiskan banyak waktuku online di internet...selain memang karena tuntutan pekerjaan, aku rasa hanya itu yang bisa aku lakukan biar tetap bisa berkomunikasi dengan teman-temanku. Jarang banget bisa ketemu langsung. Nggak cocok jadwalnya... sebenarnya kadang-kadang aku bosen juga, nggak enak kan gini-gini terus. Pengen ketemu langsung, makan atau jalan bareng. Jadi kerasa benar-benar ngobrol. Nggak cuma lewat tulisan aja. Sepi juga rasanya, yang dihadapin komputer melulu, nggak interaktif kayak sama temen sendiri....” (komunikasi personal, 23 Maret 2008).

Penelitian lain menunjukkan individu yang mengalami loneliness yang aktif menggunakan internet lebih sering menyebabkan gangguan dalam fungsi kehidupan sehari-harinya (Morahan-Martin & Schumacher dalam Weiten & Llyod, 2006) serta memicu timbulnya internet addiction (Nalwa & Anand dalam Weiten & Llyod, 2006).


(12)

Pandangan lain diungkapkan oleh EA (22 tahun), mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Medan, yang menunjukkan bahwa EA merasakan manfaat positif dari internet, seperti pernyataannya berikut ini:

”...internet itu kayak kebutuhan sehari-hari buat orang seperti aku. Temen aku dikampus nggak banyak, tampang aku nakutin gini...hehehe...Biar nggak ngerasa sendirian ya aku chatting lah....Aku bisa chatting berjam-jam dengan identitas yang beda-beda. Terserah aku mau ngomong apa, yang jorok-jorok pun bisa...kan nggak ada yang kenal sama aku, nggak tau aku kayakmana sebenarnya....lagi berantem ma temen kampus misalnya, lampiasin aja pas lagi ngenet... tapi coba kalo pas dikampus aku gitu, makin nggak ada yang mau deket sama aku kan? Aku bisa ngobrol ma orang lain ya pas chatting, bisa deket ma orang...selain itu yang temenku terbatas kali...sehari nggak ngenet rasanya ada yang kurang aja...hehehe...” (komunikasi personal, 29 Februari 2008).

Individu yang mengalami loneliness menganggap menggunakan internet memberikan manfaat positif pada dirinya, seperti mengurangi rasa malu dan rasa takut untuk dikenali orang lain seperti yang dialami saat di dunia nyata. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa internet telah menciptakan sebuah alam yang kondusif untuk pelarian dari ketegangan mental yang dialami, yang pada akhirnya dapat memperkuat ke arah pola perilaku internet addiction tersebut (dalam Rachamawati, dkk, 2002).

Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Ivan (2007) bahwa addiction merupakan suatu hubungan emosional terhadap suatu objek atau kejadian, dimana individu yang mengalaminya mencoba untuk menemukan kebutuhannnya terhadap intimasi. Addiction (pada tingkat yang paling dasar) adalah sebuah usaha untuk mengontrol dan memenuhi keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan. Sehingga dapat dikatakan perilaku addiction individu


(13)

terhadap internet tersebut merupakan upaya yang dilakukannya dalam memenuhi kebutuhannnya akan intimasi.

Internet addiction oleh Young (1998) diungkapkan sebagai sebuah sindrom yang ditandai dengan menghabiskan sejumlah waktu yang sangat banyak dalam menggunakan internet dan tidak mampu mengontrol penggunaannya saat online. Orang-orang yang menunjukkan sindrom ini akan merasa cemas, depresi, atau hampa saat tidak online di internet (Kandell dalam Weiten & Llyod, 2006). Penggunaan internetnya sangat berlebihan, sehingga pada akhirnya menganggu fungsinya dalam pekerjaan, di sekolah, atau di rumah, serta menyebabkan korbannya mulai menyembunyikan tingkat ketergantungannya terhadap internet tersebut. Penggunaan internet yang bersifat patologis dihubungkan dengan kerusakan yang signifikan terhadap bidang sosial, psikologis dan pekerjaannya (Young, 1997).

Beberapa orang menunjukkan penggunaan internet secara patologis untuk satu tujuan tertentu, seperti layanan seks secara online atau perjudian secara online, sedangkan yang lainnya menunjukkan sesuatu yang bersifat lebih umum, yaitu keseluruhan bentuk internet addiction (Davis dalam Weiten & Llyod, 2006). Sulit untuk memperkirakan prevalensi pada internet addiction, tetapi sindrom ini tidak terlihat sebagai sesuatu yang aneh (Greenfield; Morahan-Martin & Schumacher dalam Weiten & Llyod, 2006). Para peneliti meyakini bahwa internet addiction tidak terbatas hanya pada orang yang pemalu dan pria yang ahli komputer saja sebagai orang-orang yang memiliki kemungkinan mengalaminya (Young dalam Weiten & Llyod, 2006).


(14)

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara loneliness dengan internet addiction, sebagaimana yang diungkapkan oleh Nalwa & Anand (dalam Weiten & Llyod, 2006). Hal ini berarti individu yang mengalami loneliness dan menggunakan internet secara teratur memiliki kemungkinan mengalami internet addiction. Hal ini membuat peneliti merasa perlu meneliti sejauhmana pengaruh loneliness tersebut terhadap internet addiction pada pengguna internet.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauhmana loneliness mempengaruhi internet addiction pada pengguna internet.

C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana pengetahuan di bidang Psikologi Klinis, khususnya mengenai sejauhmana pengaruh loneliness terhadap internet addiction.

2. Manfaat Praktis . a. Pengguna internet

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para pengguna internet mengenai kemungkinan mengalami internet addiction dan loneliness, sehingga dapat dilakukan berbagai upaya pencegahan agar dapat meminimalkan efek negatif yang ditimbulkan internet addiction.


(15)

b. Penelitian selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau acuan bagi penelitian selanjutnya khususnya yang berkaitan dengan loneliness dan internet addiction.

D. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan yang disusun dalam penelitian ini adalah : Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori- teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan loneliness dan internet addiction

Bab III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda butir pernyataan, uji validitas, dan reliabilitas, prosedur penelitian, serta metode analisis data.

Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian

Bab ini memuat tentasng pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga membahas data-data penelitian dari teori yang relevan.


(16)

Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian, serta saran-saran yang diperlukan, baik untuk penyempurnaan penelitian ataupun untuk penelitian-penelitian selanjutnya.


(17)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Loneliness

1. Pengertian Loneliness

Loneliness diartikan oleh Peplau & Perlman (dalam Brage, Meredith & Woodward, 1998) sebagai perasaan dirugikan dan tidak terpuaskan yang dihasilkan dari kesenjangan antara hubungan sosial yang diinginkan dan hubungan sosial yang dimiliki. Deaux, Dane & Wrightsman (1993) menyimpulkan bahwa ada tiga elemen dari defenisi loneliness yang dikemukakan oleh Peplau & Perlman, yaitu :

a. merupakan pengalaman subyektif, yang mana tidak bisa diukur dengan observasi sederhana.

b. loneliness merupakan perasaan yang tidak menyenangkan.

c. secara umum merupakan hasil dari kurangnya/terhambatnya hubungan sosial.

Menurut Robert Weiss (dalam Santrock, 2003), loneliness merupakan reaksi dari ketiadaan jenis-jenis tertentu dari hubungan. Loneliness terjadi ketika adanya ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan seseorang dan kenyataan dari kehidupan interpersonalnya, sehingga seseorang menjadi sendiri dan kesepian (Burger, 1995). Selanjutnya, loneliness akan disertai oleh berbagai macam emosi negatif seperti depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan, ketidakpuasan, menyalahkan diri sendiri (Anderson, 1994) dan malu (Jones, Carpenter & Quintana, 1985).


(18)

Loneliness berarti suatu keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain (Bruno, 2000). Menurut Brehm & Kassin, loneliness adalah perasaan kurang memiliki hubungan sosial yang diakibatkan ketidakpuasan dengan hubungan sosial yang ada (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003).

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa loneliness merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan disebabkan adanya ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang diharapkan dengan kenyataan kehidupan interpersonalnya akibat terhambat atau berkurangnya hubungan sosial yang dimiliki seseorang.

2. Jenis-jenis Loneliness

Weiss (dalam Santrock, 2003) menyebutkan adanya dua bentuk loneliness yang berkaitan dengan tidak tersedianya kondisi sosial yang berbeda-beda, yaitu

a. Isolasi emosional (emotional isolation) adalah suatu bentuk loneliness yang muncul ketika seseorang tidak memiliki ikatan hubungan yang intim; orang dewasa yang lajang, bercerai, dan ditinggal mati oleh pasangannya sering mengalami loneliness jenis ini.

b. Isolasi sosial (social isolation) adalah suatu bentuk loneliness yang muncul ketika seseorang tidak memiliki keterlibatan yang terintegrasi dalam dirinya; tidak ikut berpartisipasi dalam kelompok atau komunitas yang melibatkan adanya kebersamaan, minat yang sama, aktivitas yang terorganisasi, peran-peran yang berarti; suatu bentuk loneliness yang dapat membuat seseorang merasa diasingkan, bosan, dan cemas.


(19)

Menurut Young (dalam Weiten & Lloyd, 2006) loneliness dapat dibagi menjadi dua bentuk berdasarkan durasi loneliness yang dialaminya, yaitu:

a. Transient loneliness yakni perasaan loneliness yang singkat dan muncul sesekali, yang banyak dialami individu ketika kehidupan sosialnya sudah cukup layak. Transient loneliness menghabiskan waktu yang pendek dan fase, seperti ketika mendengarkan sebuah lagu atau ekspresi yang mengingatkan pada seseorang yang dicintai yang telah pergi jauh (Meer dalam Newman & Newman, 2006).

b. Transitional loneliness yakni ketika individu yang sebelumnya sudah merasa puas dengan kehidupan sosialnya menjadi loneliness setelah mengalami gangguan dalam jaringan sosialnya tersebut (misalnya meninggalnya orang yang dicintai, bercerai atau pindah ke tempat baru). c. Chronic loneliness adalah kondisi ketika individu merasa tidak dapat

memiliki kepuasan dalam jaringan sosial yang dimilikinya setelah jangka waktu tertentu. Chronic loneliness menghabiskan waktu yang panjang dan tidak dapat dihubungkan dengan stressor yang spesifik. Orang yang mengalami chronic loneliness bisa saja berada dalam kontak sosial namun tidak memperoleh tingkat intimasi dalam interaksi tersebut dengan orang lain (Berg & Peplau, 1982). Sebaliknya, individu yang memiliki kemampuan sosial tinggi, yaitu meliputi mampu bersahabat, kemampuan komunikasi, kesesuaian perilaku nonverbal dan respon terhadap orang lain, memiliki sistem dukungan sosial yang lebih baik dan tingkat kesepian yang rendah (Rokach, Bacanli & Ramberan, 2000).


(20)

3. Penyebab Loneliness

Menurut Brehm et al (2002) terdapat empat hal yang dapat menyebabkan seseorang mengalami loneliness, yaitu :

a. Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki seseorang

Menurut Brehm et al (2002) hubungan seseorang yang tidak adekuat akan menyebabkan seseorang tidak puas akan hubungan yang dimiliki. Ada banyak alasan seseorang merasa tidak puas dengan hubungan yang tidak adekuat. Rubenstein dan Shaver (1982) menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang yang loneliness, yaitu sebagai berikut :

1). Being unattached; tidak memiliki pasangan, tidak memiliki partner seksual, berpisah dengan pasangannya atau pacarnya.

2). Alienation; merasa berbeda, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan dan tidak memiliki teman dekat.

3). Being Alone; pulang ke rumah tanpa ada yang menyambut, selalu sendiri.

4). Forced isolation; dikurung di dalam rumah, dirawat inap di rumah sakit, tidak bisa kemana-mana.

5). Dislocation; jauh dari rumah (merantau), memulai pekerjaan atau sekolah baru, sering pindah rumah, sering melakukan perjalanan (dalam Brehm et al, 2002).

Dua kategori pertama dapat dibedakan menurut tipe loneliness dari Weiss yaitu isolasi emosional (being unattached) dan isolasi sosial (alienation). Kelima kategori ini juga dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya yaitu


(21)

being unattached, alienation dan being alone disebabkan oleh karakteristik individu yang loneliness, sedangkan forced isolation dan dislocation disebabkan oleh karakteristik orang-orang yang berada di sekitar lingkungan individu yang merasa loneliness.

b. Terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan

Menurut Brehm et al (2002) loneliness juga dapat muncul karena terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan. Pada saat tertentu hubungan sosial yang dimiliki seseorang cukup memuaskan. Sehingga orang tersebut tidak mengalami loneliness. Tetapi di saat lain hubungan tersebut tidak lagi memuaskan karena orang itu telah merubah apa yang diinginkannya dari hubungan tersebut. Menurut Peplau (dalam Brehm et al, 2002), perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber yaitu :

1). Perubahan mood seseorang. Jenis hubungan yang diinginkan seseorang ketika sedang senang berbeda dengan jenis hubungan yang diinginkan ketika sedang sedih. Bagi beberapa orang akan cenderung membutuhkan orangtuanya ketika sedang senang dan akan cenderung membutuhkan teman-temannya ketika sedang sedih.

2). Usia. Seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan seseorang membawa berbagai perubahan yang akan mempengaruhi harapan atau keinginan orang itu terhadap suatu hubungan. Jenis persahabatan yang cukup memuaskan ketika seseorang berusia 15 tahun mungkin tidak akan memuaskan orang tersebut saat berusia 25 tahun.


(22)

3). Perubahan situasi. Banyak orang tidak mau menjalin hubungan emosional yang dekat dengan orang lain ketika sedang membina karir. Namun, ketika karir sudah mapan orang tersebut akan dihadapkan pada kebutuhan yang besar akan suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional.

Brehm et al (2002) menyimpulkan bahwa pemikiran, harapan dan keinginan seseorang terhadap hubungan yang dimiliki dapat berubah. Jika hubungan yang dimiliki orang tersebut tidak ikut berubah sesuai dengan pemikiran, harapan dan keinginannya maka orang itu akan mengalami loneliness.

c. Self-esteem

Loneliness berhubungan dengan self-esteem yang rendah. Orang yang memiliki self-esteem yang rendah cenderung merasa tidak nyaman pada situasi yang beresiko secara sosial (misalnya berbicara didepan umum dan berada di kerumunan orang yang tidak dikenal). Dalam keadaan seperti ini orang tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial tertentu secara terus menerus akibatnya akan mengalami loneliness.

d. Perilaku interpersonal

Perilaku interpersonal akan menentukan keberhasilan individu dalam membangun hubungan yang diharapkan. Dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami loneliness, orang yang mengalami loneliness akan menilai orang lain secara negatif, tidak begitu menyukai orang lain, tidak mempercayai orang lain, menginterpretasikan tindakan dan intensi


(23)

(kecenderungan untuk berperilaku) orang lain secara negatif, dan cenderung memegang sikap-sikap yang bermusuhan.

Orang yang mengalami loneliness cenderung terhambat dalam keterampilan sosial, cenderung pasif bila dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami loneliness dan ragu-ragu dalam mengekspresikan pendapat di depan umum. Orang yang mengalami loneliness cenderung tidak responsif dan tidak sensitif secara sosial. Orang yang mengalami loneliness juga cenderung lambat dalam membangun keintiman dalam hubungan yang dimilikinya dengan orang lain. Perilaku ini akan membatasi kesempatan orang itu untuk bersama dengan orang lain dan memiliki kontribusi terhadap pola interaksi yang tidak memuaskan (Peplau & Perlman, Saks & Krupart, dalam Brehm et al, 2002).

e. Atribusi penyebab

Menurut pandangan Peplau dan Perlman (dalam Brehm et al, 2002) perasaan loneliness muncul sebagai kombinasi dari adanya kesenjangan hubungan sosial pada individu ditambah dengan atribusi penyebab. Atribusi penyebab dibagi atas komponen internal-eksternal dan stabil-tidak stabil. Penjelasannya adalah sebagai berikut:


(24)

Tabel 1

Penjelasan Loneliness Berdasarkan Atribusi Penyebab Penyebab

Kestabilan Internal Eksternal

Stabil Saya kesepian karena saya tidak dicintai.

Saya tidak akan pernah dicintai.

Orang-orang disini tidak menarik. Tidak satupun dari mereka yang mau berbagi. Saya rasa saya akan pindah.

Tidak Stabil Saya kesepian saat ini, tapi tidak akan lama. Saya akan menghentikannya dengan pergi dan bertemu orang baru.

Semester pertama memang selalu buruk, saya yakin segalanya akan menjadi baik di waktu yang akan datang. Sumber: Shaver & Rubenstein (dalam Brehm et al, 2002) hlm: 413.

Tabel diatas menunjukkan bahwa individu yang mempersepsi loneliness secara internal dan stabil menganggap dirinya adalah penyebab loneliness sehingga individu lebih sulit untuk keluar dari perasaan loneliness tersebut. Sedangkan, individu yang mempersepsi loneliness secara eksternal dan tidak stabil berharap sesuatu dapat merubah keadaan menjadi lebih baik sehingga memungkinkann untuk keluar dari perasaan loneliness tersebut.

4. Perasaan Individu Ketika Mengalami Loneliness

Ketika mengalami loneliness, individu akan merasakan ketidakpuasan, kehilangan, dan distress. Namun, hal ini tidak berarti bahwa perasaan ini sama di setiap waktu. Faktanya menunjukkan bahwa orang-orang yang berbeda bisa saja memiliki perasaan loneliness yang berbeda dalam situasi yang berbeda pula (Lopata dalam Brehm et al, 2002).

Berdasarkan survei mengenai loneliness yang dilakukan oleh Rubeinstein, Shaver & Peplau (dalam Brehm et al, 2002) diuraikan bahwa terdapat empat jenis perasaan yang dialami oleh orang yang loneliness, yaitu:


(25)

a. Desperation

Desperation merupakan perasaan keputusasaan, kehilangan harapan, serta perasaan yang sangat menyedihkan sehingga seseorang mampu melakukan tindakan nekat. Beberapa perasaan yang spesifik dari desperation adalah: (1) Putus asa, yaitu memiliki harapan sedikit dan siap melakukan sesuatu tanpa memperdulikan bahaya pada diri sendiri maupun orang lain, (2) Tidak berdaya, yaitu membutuhkan bantuan orang lain tanpa kekuatan mengontrol sesuatu atau tidak dapat melakukan sesuatu, (3) Takut, yaitu ditakutkan atau dikejutkan oleh seseorang atau sesuatu, sesuatu yang buruk akan terjadi, (4) Tidak punya harapan, yaitu tidak mempunyai pengalaman, tidak menunjukkan harapan, (5) Merasa ditinggalkan, yaitu ditinggalkan/dibuang seseorang, serta (6) Mudah mendapat kecaman atau kritik, yaitu mudah dilukai baik secara fisik maupun emosional, b. Impatient Boredom

Impatient Boredom yaitu rasa bosan yang tidak tertahankan, jenuh, tidak suka menunggu lama, dan tidak sabar. Beberapa indikator Impatient Boredom seperti (1) Tidak sabar, yaitu menunjukkan perasaan kurang sabar, sanagt menginginkan sesuatu, (2) Bosan, yaitu merasa jemu, (3) Ingin berada di tempat lain, yaitu seseorang yang merasa dirinya berada di tempat yang berbeda dari tempat individu tersebut berada saat ini, (4) Kesulitan, yaitu khawatir atau cemas dalam menghadapi suatu keadaan, (5) Sering marah, yaitu filled with anger, serta (6) Tidak dapat berkonsentrasi, yaitu tidak mempunyai keahlian, kekuatan, atau pengetahuan dalam memberikan perhatian penuh terhadap sesuatu.


(26)

Self-Deprecation yaitu suatu perasaan ketika seseorang tidak mampu menyelesaikan masalahnya, mulai menyalahkan serta mengutuk diri sendiri. Indikator Self-Deprecation diantaranya (1) Tidak atraktif, yaitu suatu perasaan ketika seseorang tidak senang atau tidak tertarik terhadap suatu hal, (2) Terpuruk, yaitu sedih yang mendalam, lebih rendah dari sebelumnya, (3) Bodoh, yaitu menunjukkan kurangnya intelegensi yang dimiliki, (4) Malu, yaitu menunjukkan perasaan malu atau keadaan yang sangat memalukan terhadap sesuatu yang telah dilakukan, serta (5) Merasa tidak aman, yaitu kurangnya kenyamanan, tidak aman. d. Depression

Depression menurut Davison (2004) merupakan tahapan emosi yang ditandai dengan kesedihan yang mendalam, perasaan bersalah, menarik diri dari orang lain, serta kurang tidur. Indikator Depression menurut Brehm et al (2002) yaitu, (1) Sedih, yaitu tidak bahagia atau menyebabkan penderitaan, (2) Depresi, yaitu murung, muram, sedih, (3) Hampa, yaitu tidak mengandung apa-apa atau tidak ada sama sekali, tidak memiliki nilai atau arti, (4) Terisolasi, yaitu jauh dari orang lain, (5) Menyesali diri, yaitu perasaan kasihan atau simpati pada diri sendiri, (6) Melankolis, yaitu perasaan sedih yang mendalam dan dalam waktu yang lama, (7) Mengasingkan diri, yaitu menjauhkan diri sehingga menyebabkan seseorang menjadi tidak bersahabat, serta (8) berharap memiliki seseorang yang spesial, yaitu individu mengharapkan memiliki seseorang yang dekat dengan individu dengan lebih intim.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Loneliness


(27)

a. Usia

Orang yang berusia tua memiliki stereotipe tertentu di dalam masyarakat. Banyak orang yang menganggap semakin tua seseorang semakin merasa loneliness. Tetapi banyak penelitian yang telah membuktikan stereotipe ini keliru. Berdasarkan penelitian Ostrov & Offer (dalam Brehm et al, 2002) ditemukan bahwa orang yang paling merasakan loneliness justru berasal dari orang-orang yang berusia remaja dan dewasa awal. Fenomena ini kemudian diteliti lagi oleh Perlman pada tahun 1990 (Taylor, Peplau & Sears, 2000) dan menemukan hasil yang sama bahwa loneliness lebih tinggi di antara remaja dan dewasa muda dan lebih rendah di antara orang-orang yang lebih tua. Menurut Brehm et al (2002) orang-orang yang lebih muda menghadapi banyak transisi sosial yang besar, seperti meninggalkan rumah untuk pertama kali, merantau, memasuki dunia kuliah, atau memasuki dunia kerja full time untuk pertama kalinya, yang mana semuanya ini dapat menyebabkan loneliness. Sejalan dengan bertambahnya usia, kehidupan sosial menjadi semakin stabil. Dengan bertambahnya usia seiring dengan meningkatnya keterampilan sosial seseorang dan menjadi semakin realistik terhadap hubungan sosial yang diharapkan.

b. Status Perkawinan

Secara umum, orang yang tidak menikah lebih merasa loneliness bila dibandingkan dengan orang menikah (Freedman; Perlman & Peplau; dalam Brehm et al, 2002). Perbedaan ini diperhitungkan dengan membandingkan antara orang yang menikah dengan orang yang bercerai (Perlman & Peplau;


(28)

Rubeinstein & Shaver dalam Brehm et al, 2002). Ketika kelompok orang yang menikah dan kelompok orang yang belum menikah dibandingkan, kedua kelompok ini menunjukkan level loneliness yang sama (Perlman & Peplau dalam Brehm et al, 2002). Berdasarkan penelitian ini Brehm menyimpulkan bahwa loneliness lebih merupakan reaksi terhadap kehilangan hubungan perkawinan (marital relationship) daripada ketidakhadiran dari pasangan suami/istri pada diri seseorang.

c. Gender

Studi mengenai loneliness menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan loneliness antara laki-laki dan perempuan. Menurut Borys dan Perlman (dalam Brehm et al, 2002) laki-laki lebih sulit menyatakan loneliness secara tegas bila dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan oleh stereotipe peran gender yang berlaku dalam masyarakat. Berdasarkan stereotipe peran gender, pengekspresian emosi kurang sesuai bagi laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan (Borys & Perlman, dalam Deaux, Dane & Wrightsman, 1993). d. Status sosial ekonomi

Weiss (dalam Brehm et al, 2002) melaporkan fakta bahwa individu dengan tingkat penghasilan rendah cenderung mengalami loneliness lebih tinggi daripada individu dengan tingkat penghasilan tinggi.

e. Karakteristik Latar Belakang yang Lain

Rubeinsein & Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menemukan satu karakteristik latar belakang seseorang yang kuat sebagai prediktor loneliness. Individu dengan orang tua yang bercerai akan lebih loneliness bila dibandingkan


(29)

dengan individu dengan orang tua yang tidak bercerai. Semakin muda usia seseorang ketika orangtuanya bercerai semakin tinggi tingkat loneliness yang akan dialami orang tersebut ketika dewasa. Tetapi hal ini tidak berlaku pada individu yang orangtuanya meninggal ketika individu tersebut masih kanak-kanak, individu tersebut tidak lebih loneliness ketika dewasa bila dibandingkan dengan individu dengan orang tua yang berpisah semasa kanak-kanak atau remaja. Menurut Brehm et al (2002) proses perceraian meningkatkan potensi anak-anak dengan orangtua yang bercerai untuk mengalami loneliness ketika anak-anak tersebut dewasa.

6. Reaksi Terhadap Loneliness

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Shaver & Rubeinstein (1982, dalam Brehm et al, 2002) disimpulkan beberapa reaksi terhadap loneliness, yaitu:

a. Melakukan kegiatan aktif

Reaksi terhadap loneliness berupa kegiatan-kegiatan aktif dan membangun terhadap diri sendiri seperti: belajar atau bekerja, menulis, mendengarkan musik, melakukan olahraga, melakukan hobi, pergi ke bioskop, membaca atau memainkan alat musik.

b. Membuat kontak sosial

Reaksi terhadap loneliness berupa membuat kontak sosial dengan orang lain seperti: menelepon teman, mengunjungi seseorang.


(30)

c. Melakukan kegiatan pasif

Reaksi terhadap loneliness yang sifatnya pasif seperti: menangis, tidur, duduk dan berpikir, tidak melakukan apapun, makan berlebihan, memakan obat penenang, menonton televisi, mabuk.

d. Kegiatan selingan yang kurang membangun

Reaksi terhadap loneliness berupa menghabiskan uang dan berbelanja.

B. Internet Addiction 1. Addiction

Addiction merupakan suatu hubungan emosional dengan suatu objek atau kejadian, dimana individu yang mengalaminya mencoba untuk menemukan kebutuhannnya terhadap intimasi. Addiction (pada tingkat yang paling dasar) adalah sebuah usaha untuk mengontrol dan memenuhi keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan (Ivan, 2007).

Menurut Arthur T. Horvart (1989) dari Center for Cognitive Therapy, addiction adalah:

“An activity or substance we repeatedly carve to experience, and for which we are willing if necessary to pay a price (or negative consequences).”

Berdasarkan defenisi di atas addiction berarti tidak hanya hanya terhadap zat saja tetapi juga terhadap aktivitas tertentu yang dilakukan secara berulang-ulang dan menimbulkan dampak negatif. Masih menurut Hovart, contoh kecanduan bisa bermacam-macam, diantaranya karena zat atau aktivitas tertentu seperti sexual activity, gambling, overspending, shoplifting, dan sebagainya.


(31)

Addiction tidak selalu menjadi kuat seiring dengan berjalannya waktu. Jika kenyamanan yang diperoleh dari addiction merupakan reduksi dari mood yang negatif maka addiction dapat menjadi coping stress. Addiction yang kuat akan menyebabkan perilaku adiktif tersebut terintegrasi dalam aspek kehidupan individu.

2. Tahap-tahap Addiction

Tashman (2006) mengungkapkan addiction terdiri dari 3 tahapan. Ketiga tahapan tersebut yaitu:

a. Tahap pertama disebut dengan internal change (perubahan internal)

Tahap ini ditandai dengan individu yang mulai menyadari perubahan mood yang dialaminya ketika individu tersebut terlibat dengan sumber addiction. Perasaan menjadi mudah marah, dan pada umumnya, menarik diri dan menjauhkan dirinya dari masalah-masalah dan perasaan yang tidak menyenangkan. Individu akan makin merasa addict dengan sumber addiction ketika merasakan stress. Mulai tahap ini, individu mulai merasa addict dengan sumber addiction. Individu akan menjauh dari orang lain dan mengalami pengalaman kecanduan.

b. Tahap kedua disebut dengan life style change (perubahan gaya hidup)

Pada tahap ini, individu membangun kehidupannya disekitar sumber addiction. Saat ini individu berapa pada tingkat tidak dapat mengontrol tingkah lakunya. Individu akan berupaya mengatur kehidupannya disekitar sumber addiction. Ketika individu tersebut tidak berhubungan langsung dengan sumber addiction, maka individu akan terus-menerus memikirkannya.


(32)

c. Tahap ketiga disebut dengan life breakdown (rusaknya kehidupan)

Pada tahap ini, individu menganggap semua yang dilakukan benar, menurut dirinya. Tidak ada yang salah atau gagal. Individu menjadi sulit mengendalikan perasaannya dan sangat sulit berdiskusi mengenai masalah dalam kehidupannya.

3. Pengertian Internet Addiction

Ferris (1997) mengungkapkan bahwa sebagaimana addiction yang lainnya, internet addiction dapat diartikan sebagai suatu gangguan psikofisiologis yang meliputi tolerance (penggunaan dalam jumlah yang sama akan menimbulkan respon minimal, jumlah harus ditambah agar dapat membangkitkan kesenangan dalam jumlah yang sama), withdrawal symptom (khususnya menimbulkan tremor, kecemasan, dan perubahan mood), gangguan afeksi (depresi, sulit menyesuaikan diri), dan terganggunya hubungan sosial (menurun atau hilang sama sekali, baik dari segi kualitas maupun kuantitas).

Internet addiction diartikan Young (1998) sebagai sebuah sindrom yang ditandai dengan menghabiskan sejumlah waktu yang sangat banyak dalam menggunakan internet dan tidak mampu mengontrol penggunaannya saat online (dalam Weiten & Llyod, 2006). Orang-orang yang menunjukkan sindrom ini akan merasa cemas, depresi, atau hampa saat tidak online di internet (Kandell dalam Weiten & Llyod, 2006).

Berdasarkan pengertian pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa internet addiction adalah penggunaan internet yang bersifat patologis, yang ditandai dengan ketidakmampuan individu untuk mengontrol waktu menggunakan


(33)

internet, merasa dunia maya lebih menarik dibandingkan kehidupan nyata, dan mengalami gangguan dalam hubungan sosialnya.

4. Penyebab Internet Addiction

Ferris (dalam Duran, 2003) mengungkapkan beberapa penyebab seseorang mengalami internet addiction dilihat dari berbagai pandangan, yaitu:

a. Pandangan behavioris

Menurut pandangan behavioral, internet addiction didasari oleh teori B. F Skinner mengenai operant conditioning. Individu mendapatkan reward positif, negatif, atau hukuman atas apa yang dilakukannya. Sebagai contoh, pada individu yang selalu merasa malu untuk bertemu dengan orang baru dan berkenalan. Bagi individu yang seperti ini, internet dapat memberikan arti mengenai pengalaman mencintai, membenci, merasa kepuasan, dan berarti tanpa interaksi tatap muka dengan orang lain. Pemberian reward pada pengalaman ini menjadi penguat perilaku pada diri individu tersebut.

b. Pandangan psikodinamika dan kepribadian

Pandangan ini mengungkapkan addiction berkaitan antara individu tersebut dengan pengalamannya. Tergantung pada kejadian pada masa anak-anak yang dirasakan individu tersebut saat masih anak-anak dan kepribadiannya yang terus berkembang, yang juga mempengaruhi perkembangan suatu perilaku addictive, ataupun yang lainnya. Subjek atau aktivitas bukan merupakan hal yang penting dalam kasus ini, tetapi individunya, dan apa yang mendasari individu tersebut menjadi addictive.


(34)

Pelajar asing yang mengikuti program pertukaran pelajar kemungkinan akan berinternet agar merasa betah dan dalam proses ini sangat mungkin dikarenakan keinginan mental individu tersebut sepanjang waktu.

c. Pandangan sosiokultural

Pandangan sosiokultural menunjukkan ketergantungan ini tergantung pada ras, jenis kelamin, umur, status ekonomi, agama, dan negara.

d. Pandangan biomedis

Pandangan ini menekankan pada adanya faktor keturunan dan kesesuaian, antara keseimbangan kimiawi antara otak dan neurotrasmiter. Alasan ini menyerupai penggunaannya dalam menjelaskan pasien ketergantungan obat-obatan yang membutuhkan penyeimbangan zat kimia pada otaknya, atau individu yang memiliki kecenderungan terlibat dalam perjudian.

5. Penggolongan Internet Addiction

Young, Pistner, O’Mara & Buchanan (1998) mengungkapkan internet addiction dapat digolongkan atas lima kelompok, yaitu:

a. Cybersexual Addiction

Individu yang mengalami kecanduan cybersex atau pornografi melalui internet ditandai dengan ketergantungan melihat, men-download, dan berlangganan pornografi secara online atau individu dewasa yang terlibat dalam chat-rooms dengan fantasi seks dewasa.

b. Cyber-Relational Addiction

Individu yang mengalami kecanduan terhadap chat rooms, IM, atau situs hubungan pertemanan yang menimbulkan ketergantungan yang berlebihan


(35)

terhadap hubungan online. Teman online menjadi lebih penting bagi individu dalam kehidupannya nyatanya termasuk keluarga dan teman-teman lain. Dalam banyak kasus, ini akan menimbulkan ketidakharmonisan rumah tangga dan gangguan dalam perkawinan.

c. Net Compulsions

Kecanduan pada permainan online, perjudian online, dan berbelanja secara online yang berlangsung dengan cepat dapat menimbulkan masalah mental baru pada zaman internet ini. Melalui akses cepat ke casino virtual, permainan interaktif, dan eBay (situs jual beli online) para pecandu kehilangan sejumlah uang dan terkadang menyebabkan gangguan pada pekerjaannya atau hubungan dengan orang terdekat.

d. Information Overload

Sejumlah data yang tersedia pada World Wide Web dapat menimbulkan perilaku kompulsif yang menuju pada ketergantungan melakukan web surfing dan pencarian sejumlah data. Individu akan menghabiskan sejumlah waktu untuk mencari dan mengumpulkan data dari web dan mengatur informasi tersebut. Kecenderungan obsessive compulsive dan penurunan produktivitas kerja umumnya dihubungkan dengan perilaku ini. e. Computer Addiction

Pada tahun 1980-an, permainan di komputer seperti Solitaire dan Minesweeper diprogram untuk setiap komputer dan penelitian menunjukkan bahwa bermain game komputer yang terus menerus menimbulkan masalah dalam lingkungan organisasi karena pekerja


(36)

menghabiskan sebagian hari kerjanya untuk bermain dibandingkan bekerja. Permainan ini tidak melibatkan interaksi dan permainan tidak dilakukan secara online.

6. Kriteria Diagnostik Internet Addiction

Diagnosis untuk internet addiction saat ini belum ada dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder-Fourth Edition Text Revision-DSM IV-TR (APA, 2000). Berdasarkan semua diagnosis yang ada dalam DSM IV-TR, pathological gambling dipandang paling mendekati dengan penggunaan internet yang bersifat patologis ini. Menggunakan pathological gambling sebagai model, internet addiction dapat didefenisikan sebagai sebuah gangguan pengontrolan yang bersifat impulsif yang tidak termasuk dalam intoxicant (Young, 1996).

Young (1996) mengembangkan delapan item kuesioner singkat yang disebut sebagai Diagnostic Questionnaire (DQ) yang merupakan modifikasi kriteria untuk pathological gambling sebagai alat ukur dalam mengenali penggunaan internet yang menyebabkan addiction, yaitu:

a. Merasa terikat terus dengan internet (memikirkan aktifitas online sebelumnya atau membayangkan sesi online berikutnya).

b. Merasa membutuhkan tambahan waktu dalam penggunaan internet agar mendapatkan kepuasan sesudahnya.

c. Berulangkali merasa gagal berusaha untuk mengontrol, mengurangi, atau menghentikan menggunakan internet.


(37)

d. Merasa memiliki waktu yang terbatas untuk beristirahat, mudah berubah perasaan, depresi, dan sulit menyesuaikan diri ketika mencoba mengurangi atau menghentikan penggunaan internet.

e. Tetap online lebih lama daripada waktu yang sebenarnya sudah direncanakan sebelumnya.

f. Merasakan akan timbul bahaya atau resiko kehilangan suatu hubungan, pekerjaan, pendidikan atau kesempatan karir yang signifikan karena penggunaan internet.

g. Merasa harus berbohong pada anggota keluarga, terapis, atau orang lain mengenai tingkat ketergantungan terhadap internet.

h. Menggunakan internet sebagai cara untuk melarikan diri dari masalah atau menghilangkan perasaan yang tidak menyenangkan (misalnya merasa helplessness, merasa bersalah, cemas, depresi).

C. Dewasa Awal

1. Pengertian Dewasa Awal

Istilah adult berasal dari kata kerja Latin, seperti juga istilah adollescene-adolescer yang berarti ”tumbuh menjadi kedewasaan”. Akan tetapi, kata adult berasal dari bentuk lampau partisipel dari kata kerja adultus yang berarti “telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna” atau “telah menjadi dewasa”. Oleh karena itu, orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock,1990).


(38)

Selama masa dewasa yang panjang ini, perubahan fisik dan psikologis terjadi pada waktu-waktu yang diramalkan seperti pada masa kanak-kanak dan individu yang juga mencakup periode yang cukup lama. Saat terjadinya perubahan-perubahan fisik dan psikologis tertentu, masa dewasa biasanya dibagi menurut periode yang menunjukkan pada perubahan-perubahan tersebut, bersama dengan masalah-masalah penyesuaian diri dan tekanan-tekanan yang timbul akibat perubahan tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas, Hurlock (1999) membagi masa dewasa dibagi kedalam tiga fase, yaitu :

1. Fase dewasa awal : usia 18 tahun sampai 40 tahun

2. Fase dewasa madya : usia 40 tahun sampai 60 tahun

3. Fase dewasa akhir : usia 60 tahun sampai kematian

Menurut perkembangan psikososial, dewasa awal ditandai dengan adanya penemuan keintiman dengan keterasingan. Keintiman dapat terjadi karena kita telah mengenal diri kita dan merasa cukup aman dengan identitas yang kita miliki (Erikson dalam Shaffer, 2005). Pada masa dewasa awal inilah individu membuat komitmen personal yang dalam dengan orang lain, yakni dengan membentuk keluarga. Apabila individu pada masa ini tidak mampu melakukannya, maka akan merasa kesepian dan krisis keterasingan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa masa dewasa awal yaitu masa yang ditandai dengan tercapainya perkembangan fisik yang optimal, mencapai kemandirian dan masa membangun hubungan yang baru


(39)

dengan orang lain dalam rangka membentuk keluarga yang berusia 18 sampai 40 tahun.

2. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal

Menurut Havigurst (dalam Hurlock, 1999), setiap masa perkembangan memiliki tugas-tugas perkembangan. Tugas-tugas perkembangan memiliki peranan penting untuk menentukan arah perkembangan yang normal. Tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa awal yaitu mulai bekerja, memilih pasangan hidup, belajar hidup dengan tunangan, mulai membina keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab sebagai warga negara dan mencari kelompok sosial yang menyenangkan.

Tingkat penguasaan tugas-tugas ini pada tahun-tahun awal masa dewasa akan mempengaruhi tingkat keberhasilan mereka ketika mencapai puncak keberhasilan pada waktu setengah baya. Tingkat penguasaan ini juga akan menentukan kebahagiaan mereka saat itu maupun selama tahun-tahun terakhir kehidupan mereka.

D. Pengaruh Loneliness terhadap Internet Addiction

Individu yang berada dalam tahapan dewasa awal, dalam perkembangan psikososial, menghadapi tugas perkembangan untuk membentuk hubungan intim dengan orang lain (Erikson dalam Santrock, 2003). Kebutuhan akan intimasi adalah suatu hal yang universal dan sudah menetap pada diri setiap manusia sepanjang hidupnya.


(40)

Apabila individu dewasa awal dapat membentuk persahabatan yang sehat dan hubungan dekat yang intim dengan individu lain, maka intimasi akan tercapai Namun, jika individu tidak berhasil mengembangkan intimasinya, maka individu tersebut akan mengalami isolasi, merasakan loneliness dan krisis keterasingan.

Sullivan mengungkapkan bahwa loneliness merupakan suatu perasaan yang sangat tidak menyenangkan dan menimbulakan pengalaman yang berhubungan dengan tidak terpenuhinya dan terhambatnya kebutuhan atas intimasi manusia yang diperlukan untuk intimasi interpersonal (dalam Brehm et al, 2002). Weiten & Llyod (2006) mengungkapkan bahwa loneliness merupakan suatu keadaan ketika individu memiliki lebih sedikit hubungan interpersonal dibandingkan yang diharapkannya atau ketika hubungan tersebut tidak memuaskan seperti yang diharapkannya.

Weiss (dalam Weiten & Llyod, 2006) mengungkapkan bahwa loneliness disebabkan bukan karena kesendirian, tetapi karena tidak adanya hubungan tertentu yang diharapkan. Loneliness selalu muncul sebagai respon terhadap ketidakhadiran beberapa atau tipe-tipe hubungan khusus atau lebih tepatnya sebuah respon terhadap ketidakadaan suatu hungan yang diharapkan.

Saat ini internet dianggap sebagai salah satu cara untuk mengurangi loneliness, meskipun pendekatan ini sendiri dianggap dapat menjadi pedang yang bermata dua (McKenna & Bargh dalam Weiten & Llyod, 2006). Di satu sisi, penggunaan internet pada individu yang mengalami loneliness biasanya menimbulkan keuntungan seperti mengurangi loneliness, mengembangkan


(41)

perasaan mendapat dukungan sosial, dan membentuk persahabatan secara online (Shaw & Gant; Morahan-Martin & Schumacher dalam Weiten & Llyod, 2006).

Selanjutnya, bila orang yang mengalami loneliness menghabiskan banyak waktu online di internet, maka orang tersebut akan menyediakan waktu yang lebih sedikit untuk hubungan tatap muka di dunia nyata (Weiten & Llyod, 2006). Penelitian lain menunjukkan bahwa pada individu yang mengalami loneliness lebih sering menunjukkan penggunaan internet juga menyebabkan gangguan dalam fungsi kehidupan sehari-harinya (Morahan-Martin & Schumacher dalam Weiten & Llyod, 2006) serta memicu timbulnya internet addiction (Nalwa & Anand dalam Weiten & Llyod, 2006).

Individu yang mengalami loneliness menganggap menggunakan internet memberikan manfaat positif pada dirinya, seperti mengurangi rasa malu dan rasa takut untuk dikenali orang lain seperti yang dialami saat di dunia nyata. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa internet telah menciptakan sebuah alam yang kondusif untuk pelarian dari ketegangan mental yang dialami, yang pada akhirnya dapat memperkuat ke arah pola perilaku kecanduan terhadap internet tersebut (dalam Rachamawati, dkk, 2002).

Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Ivan (2007) bahwa addiction merupakan suatu hubungan emosional dengan suatu objek atau kejadian, dimana individu yang mengalaminya mencoba untuk menemukan kebutuhannnya terhadap intimasi. Addiction (pada tingkat yang paling dasar) adalah sebuah usaha untuk mengontrol dan memenuhi keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan. Sehingga dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa


(42)

perilaku addiction individu terhadap internet tersebut merupakan upaya yang dilakukannya dalam memenuhi kebutuhannnya akan intimasi.

Internet addiction oleh Young (1998) diungkapkan sebagai sebuah sindrom yang ditandai dengan menghabiskan sejumlah waktu yang sangat banyak dalam menggunakan internet dan tidak mampu mengontrol penggunaannya saat online. Orang-orang yang menunjukkan sindrom ini akan merasa cemas, depresi, atau hampa saat tidak online di internet (Kandell dalam Weiten & Llyod, 2006). Penggunaan internetnya sangat berlebihan, sehingga pada akhirnya menganggu fungsinya dalam pekerjaan, di sekolah, atau di rumah, serta menyebabkan korbannya mulai menyembunyikan tingkat ketergantungannya terhadap internet tersebut. Penggunaan internet yang bersifat patologis biasanya selalu dihubungkan dengan kerusakan yang signifikan terhadap bidang sosial, psikologis dan pekerjaannya (Young, 1997).

Beberapa orang menunjukkan penggunaan internet secara patologis untuk satu tujuan tertentu, seperti layanan seks secara online atau perjudian secara online, sedangkan yang lainnya menunjukkan sesuatu yang bersifat lebih umum, yaitu keseluruhan bentuk internet addiction (Davis dalam Weiten & Llyod, 2006).


(43)

Loneliness Lack of intimacy

Need of intimacy

Individu dewasa dini

(Intimacy vs isolation)

Addiction

Internet

Internet Addiction

Tidak terpenuhi

Terpenuhi

Kepuasan terhadap hubungannya dengan orang lain, keakraban.

E. Kerangka Berpikir Penelitian

Keterangan garis:

Disebabkan oleh

Menyebabkan/menimbulkan

Saling mempengaruhi

pada

F. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesa Penelitian Utama

Terdapat pengaruh positif loneliness terhadap internet addiction. Artinya semakin besar loneliness yang dirasakan pengguna internet maka semakin tinggi mengalami internet addiction.


(44)

2. Hipotesa Penelitian Tambahan

a. Terdapat perbedaan loneliness berdasarkan usia

b. Terdapat perbedaan loneliness dan internet addiction berdasarkan jenis kelamin.

c. Terdapat perbedaan loneliness dan internet addiction berdasarkan status pekerjaan

d. Terdapat perbedaan loneliness dan internet addiction berdasarkan banyak waktu menggunakan internet per minggu.

e. Terdapat perbedaan internet addiction berdasarkan tujuan menggunakan internet.

f. Terdapat perbedaan internet addiction berdasarkan aplikasi internet yang digunakan saat menggunakan internet.


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional yaitu metode yang bertujuan untuk melihat pengaruh satu variabel terhadap variabel yang lain (Hadi, 2000).

Berikut akan dibahas mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, prosedur penelitian dan metode analisis data.

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini variabel-variabel yang digunakan terdiri dari: 1. Variabel bebas : Loneliness

2. Variabel tergantung : Internet Addiction

3. Variabel kontrol : Usia, Jenis Kelamin, Status Pekerjaan, Banyak Waktu Berinternet per Minggu, Tujuan Menggunakan Internet, dan Aplikasi Internet yang Digunakan.

B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional dari penelitian perlu dijabarkan untuk menghindari perbedaan dalam menginterpretasi masing-masing variabel penelitian. Adapun definisi operasional variabel dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Loneliness

Loneliness merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan disebabkan adanya ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang diharapkan


(46)

dengan kenyataan kehidupan interpersonalnya akibat terhambat atau berkurangnya hubungan sosial yang dimiliki seseorang.

Loneliness dalam penelitian ini akan diungkap menggunakan alat ukur berupa skala yang disusun berdasarkan empat jenis perasaan ketika loneliness yang dikemukakan oleh Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002), yaitu: desperation, impatient-boredom, self-deprecation, dan depression. Semakin tinggi skor yang diperoleh seseorang dalam skala loneliness yang diberikan, artinya semakin tinggi perasaan loneliness yang dimilikinya. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh seseorang dalam skala loneliness yang diberikan, artinya semakin rendah perasaan loneliness yang dimilikinya.

Penggolongan subjek penelitian dibagi dalam tiga kategori, yaitu: individu yang memiliki tingkat loneliness tinggi, individu yang memiliki tingkat loneliness sedang, dan individu yang memiliki tingkat loneliness rendah. Rumusan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Tabel 2

Pengkategorisasian Loneliness

(μ + 1,0 σ) ≤ x Tinggi

(μ - 1,0 σ) ≤ x < (μ + 1,0 σ) Sedang

x < (μ + 1,0 σ) Rendah

Keterangan : μ : mean

σ : standar deviasi

2. Internet Addiction

Internet Addiction adalah penggunaan internet yang maladaptif, yang ditandai dengan ketidakmampuan individu untuk mengontrol waktu menggunakan internet, merasa dunia maya lebih menarik dibandingkan kehidupan nyata, dan mengalami gangguan dalam hubungan sosialnya.


(47)

Internet Addiction dalam penelitian ini akan diungkap melalui alat ukur skala yang disusun peneliti berdasarkan Diagnostic Questionnaire (DQ) yang dikemukakan oleh Young (1996).Semakin tinggi skor yang diperoleh seseorang dalam skala internet addiction yang diberikan, artinya semakin tinggi internet addiction yang dirasakannya. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh seseorang dalam skala internet addiction yang diberikan, artinya semakin rendah internet addiction yang dirasakannya.

Penggolongan subjek penelitian dibagi dalam tiga kategori, yaitu: individu yang memiliki tingkat internet addiction tinggi, individu yang memiliki tingkat internet addiction sedang, dan individu yang memiliki tingkat internet addiction rendah. Rumusan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Tabel 3

Pengkategorisasian Internet Addiction

(μ + 1,0 σ) ≤ x Tinggi

(μ - 1,0 σ) ≤ x < (μ + 1,0 σ) Sedang

x < (μ + 1,0 σ) Rendah

Keterangan : μ : mean

σ : standar deviasi

3. Variabel Kontrol

a. Usia

Usia merupakan jumlah waktu hidup seseorang sejak ia dilahirkan sampai dikenakan penelitian.

b. Jenis Kelamin


(48)

laki-c. Status Pekerjaan

Status pekerjaan merupakan kondisi yang dialami subjek penelitian saat dikenakan penelitian. Dapat dikelompokkan atas 2 bagian, yaitu bekerja dan belum bekerja..

d. Banyak Waktu Berinternet per Minggu

Banyak waktu berinternet per minggu berarti banyak rata-rata waktu dalam satuan jam yang digunakan individu untuk menggunakan internet dalam jarak 1 minggu.

e. Tujuan Menggunakan Internet

Tujuan menggunakan internet berarti maksud utama individu dalam menggunakan internet. Tujuan menggunakan internet dapat dibedakan atas pekerjaan/pendidikan dan hiburan.

f. Aplikasi Internet yang Digunakan saat Menggunakan Internet.

Aplikasi internet yang digunakan saat menggunakan internet yaitu aplikasi yang paling banyak digunakan individu saat menggunakan internet. Dapat dibedakan menjadi chat rooms (seperti Yahoo Messangger, mIRC, IRC, dll), game online (seperti Ragnarok, Counter Strike, Gun Bound, dll), e-mail (seperti Yahoo Mail, G-Mail, Hotmail, dll), website (seperti Friendster, YouTube, Multiply, Detik, FIFA, dll), web search (seperti Yahoo, Google, dll).


(49)

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh subjek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki sifat yang sama (Hadi, 2000). Kemudian akan diambil wakil dari dari populasi yang disebut sampel penelitian.

Populasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pengguna internet yang berusia 18 tahun ke atas, menggunakan internet secara aktif dan rutin yakni menggunakan minimal 8 jam per minggu, dan telah menggunakan internet lebih dari satu tahun.

Sampel penelitian ini adalah sebagian subjek dari populasi yang terjaring melalui teknik pengambilan sampel. Menurut Hadi (2000), sampel adalah sebagian populasi yang digunakan untuk menentukan sifat-sifat serta ciri-ciri yang dikendalikan dari populasi. Sampel harus memiliki sedikitnya satu sifat yang sama.

2. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentuagar diperoleh sampel yang dapat mewakili populasi (Hadi, 2000).

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik nonrandom secara incidental yang berarti setiap anggota populasi tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk dapat terpilih menjadi anggota sampel dimana pemilihan sampel dari populasi didasarkan pada faktor kebetulan dan


(50)

kemudahan dijumpainya sampel yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian (Hadi, 2000).

Menurut Hadi (2000) teknik incidental sampling memiliki kelebihan dan kelemahan di dalam membuat kesimpulan dari suatu penelitian. Kelebihan teknik ini adalah kemudahan dalam menemukan sampel, menghemat waktu, tenaga, biaya, dan adanya keterandalan subjektifitas peneliti yaitu kemampuan peneliti untuk melihat bahwa subjek yang dipilih sudah sesuai dengan karakteristik subjek penelitian yang telah ditetapkan. Kelemahan teknik ini adalah tidak dapat memberikan taraf keyakinan yang tinggi sehingga sulit untuk menarik kesimpulan ataupun menggeneralisasikannya ke populasi lain. Selain itu, keterandalan subjektifitas peneliti juga memiliki resiko kemungkinan terjadinya bias dalam pemilihan sampel.

3. Jumlah Sampel Penelitian

Mengenai jumlah sampel, tidak ada batasan mengenai berapa jumlah ideal sampel penelitian. Menurut Azwar (2005) secara tradisional, statistika menganggap jumlah sampel yang lebih dari 60 subjek sudah cukup banyak. Hadi (2000) mengatakan bahwa menetapkan jumlah sampel yang banyak lebih abik daripada menetapkan jumlah sampel yang sedikit. Jumlah total yang menjadi sampel penelitian ini sebanyak 90 orang.

4. Karakteristik Sampel Penelitian


(51)

a. Usia 18 tahun ke atas. Usia 18 tahun ke atas merupakan usia dewasa dini yang sudah memiliki kematangan dalam pengambilan keputusan dan tanggungjawab atas kehidupannya (Hurlock, 1990).

b. Pengguna internet aktif, yang ditunjukkan dengan penggunaan waktu untuk berinternet rata-rata lebih dari 8 jam per minggu.

c. Telah menggunakan internet lebih dari 12 bulan. Hal ini agar dapat menghilangkan kemungkinan adanya tanda-tanda yang sekilas terlihat seperti internet addiction, tetapi pada kenyataannya yang terjadi hanyalah terdapat penggunaan yang berlebihan yang disebabkan individu masih mencoba sesuatu yang baru (the novelty of using something new).

D. Metode Pengumpulan Data

Dalam usaha untuk mengumpulkan data penelitian diperlukan suatu metode. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan data dengan skala atau disebut dengan Metode Skala.

Metode Skala adalah suatu metode pengumpulan data yang memberikan suatu daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh subjek secara tertulis (Devellis, 2003). Skala merupakan kumpulan pernyataan-pernyataan mengenai suatu objek. Skala merupakan suatu bentuk pengukuran terhadap performansi tipikal individu yang cenderung dimunculkan dalam bentuk respon terhadap situasi-situasi tertentu yang sedang dihadapi (Azwar, 2000). Skala yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua buah skala, yaitu: Skala Loneliness dan Skala Internet Addiction.


(52)

1. Skala Loneliness

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur loneliness adalah Skala Loneliness. Adapun aitem-aitem dalam skala disusun berdasarkan indikator-indikator perasaan loneliness yang diungkapkan oleh Rubenstein & Shaver (dalam Brehm et al, 2002).

Penyusunan skala dibuat berdasarkan skala Likert yang terdiri dari dua kategori aitem yaitu aitem unfavorable dan aitem favorable, dengan menyediakan empat alternatif pilihan, yaitu SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai), dan STS (Sangat Tidak Sesuai). Pemberian skor untuk skala ini bergerak dari 4 sampai 1 untuk aitem favorable, sedangkan untuk aitem unfavorable bergerak dari 1 sampai 4. Untuk lebih jelasnya cara penilaian terhadap skala Loneliness dapat dilihat dalam Tabel 4 berikut.

Tabel 4

Cara Penilaian Skala Loneliness

Bentuk Pernyataan

Skor

STS TS S SS

Favorable 1 2 3 4

Unfavorable 4 3 2 1

Penyusunan skala loneliness dalam penelitian ini didasarkan pada empat jenis perasaan loneliness yang dikemukakan oleh Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) dengan blue print pada Tabel 5 berikut.


(53)

Tabel 5

Blue print Skala Loneliness Sebelum Uji Coba

No Perasaan Ketika Mengalami

Loneliness Nomor Aitem Jumlah Jumlah F UF

1. Desperation Putus asa F 1, 26

11 7 18

UF 51 Tidak berdaya F 2, 52

UF 29

Takut F 3, 27

UF 53 Tidak punya

harapan

F 54

UF 4, 32 Merasa

ditinggalkan

F 5, 55

UF 30 Mudah mendapat

kecaman atau kritik

F 6, 31

UF 56 2. Impatient

Boredom

Tidak sabar F 7, 57

12 6 18

UF 28

Bosan F 33, 58

UF 8 Ingin berada di

tempat lain

F 9, 37

UF 59

Khawatir F 11, 34

UF 61 Sering marah F 10, 62

UF 35 Tidak dapat

berkonsentrasi

F 12, 69

UF 36 3.

Self-Deprecation

Tidak atraktif F 38

9 6 15

UF 13, 63 Terpuruk F 14, 70

UF 39

Bodoh F 40

UF 15, 64

Malu F 16.

41, 65

UF - Merasa tidak

aman

F 17, 42

UF 68

4. Depression Sedih F 43, 73

15 9 24

UF 18


(54)

Hampa F 20, 60

UF 44

Terisolasi F 21

UF 45, 67 Menyesali diri F 46, 74

UF 22

Murung F 23, 47

UF 72 Mengasingkan

diri

F 24

UF 48, 75 Berharap

memiliki seseorang yang spesial

F 25, 49, 71

UF -

Jumlah 47 28 75

2. Skala Internet Addiction

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur internet addiction adalah Skala Internet Addiction. Adapun aitem-aitem dalam skala disusun berdasarkan alat ukur yang digunakan oleh Young (1996) yang kemudian dikembangkan oleh peneliti dengan menyesuaikan pada kriteria diagnostik individu yang mengalami internet addiction.

Skala disusun berdasarkan skala Likert yang terdiri dari dua kategori aitem yaitu aitem unfavorable dan aitem favorable, dengan menyediakan empat alternatif pilihan, yaitu: SL (Selalu), SR (Sering), JR (Jarang), dan TP (Tidak Pernah). Pemberian skor untuk skala ini bergerak dari 4 sampai 1 untuk aitem favorable, sedangkan untuk aitem unfavorable bergerak dari 1 sampai 4. Untuk lebih jelasnya cara penilaian terhadap skala Internet Addiction dapat dilihat dalam Tabel 6 berikut.


(55)

Tabel 6

Cara Penilaian Skala Internet Addiction

Bentuk Pernyataan

Skor

TP JR SR SL

Favorable 1 2 3 4

Unfavorable 4 3 2 1

Penyusunan skala internet addiction dalam penelitian ini didasarkan pada 8 kriteria internet addiction berupa Diagnostic Questionnaire (DQ) yang dikemukakan oleh Young (1996) dengan blue print pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7

Blue print Skala Internet Addiction Sebelum Uji Coba

No Kriteria Diagnostik Internet

Addiction Nomor Aitem Jumlah Jumlah F UF

1. Merasa terikat terus dengan internet (memikirkan aktifitas online sebelumnya atau membayangkan sesi online berikutnya).

F 9, 17, 24

3 1 4

UF 1 2. Merasa membutuhkan tambahan

waktu dalam penggunaan internet agar mendapatkan kepuasan sesudahnya.

F 2, 10

2 1 3

UF 19

3. Berulangkali merasa gagal berusaha untuk mengontrol, mengurangi, atau menghentikan menggunakan internet.

F 11, 18, 25

3 1 4

UF 3 4. Merasa memiliki waktu yang

terbatas untuk beristirahat, mudah berubah perasaan, depresi, dan sulit menyesuaikan diri ketika mencoba mengurangi atau menghentikan penggunaan internet.

F 4, 12, 20, 26, 29

5 - 5

UF -

5. Tetap online lebih lama daripada waktu yang sebenarnya sudah direncanakan sebelumnya.

F 5, 21,

27 3 1 4

UF 13 6. Merasakan akan timbul bahaya atau

resiko kehilangan suatu hubungan,

F 6, 22

2 1 3


(56)

pekerjaan, pendidikan atau kesempatan karir yang signifikan karena penggunaan internet.

7. Merasa harus berbohong pada anggota keluarga, terapis, atau orang lain mengenai tingkat ketergantungan terhadap internet.

F 15, 28

2 1 3

UF 7

8. Menggunakan internet sebagai cara untuk melarikan diri dari masalah atau menghilangkan perasaan yang tidak menyenangkan (misalnya merasa helplessness, merasa bersalah, cemas, depresi).

F 8, 16, 23, 30

4 - 4

UF -

Jumlah 24 6 30

3. Uji Coba Alat Ukur

Tujuan dilakukannnya uji coba alat ukur ini adalah untuk mengetahui sejauhmana alat ukur dapat mengungkap dengan tepat apa yang ingin diukur dan seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan atau ketelitian pengukuran atau dengan kata lain dapat menunjukkan keadaan sebenarnya (Azwar, 2005). Hal-hal yang dilakukan untuk menguji alat ukur ini adalah:

a. Validitas Alat Ukur

Azwar (1997) mendefenisikan bahwa validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melkaukan fungsi ukurnya. Hal ini tergantung pada mampu tidaknya alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat.

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity) dan validitas tampang (face validity). Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional melalui inter item consistency dan lewat professional judgement


(57)

dalam hal ini adalah dosen pembimbing. Face validity yang digunakan yaitu dengan melihat tampilan bentuk skala yang juga dilakukan melalui professional judgement yaitu dosen pembimbing.

b. Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas adalah sejauhmana hasil pengukuran dari suatu alat ukur dapat dipercaya untuk mengukur apa yang hendak diukur. Hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama, diperoleh hasil yang relatif sama (Azwar, 2005).

Uji reliabilitas skala dalam penelitian ini menggunakan konsistensi internal dimana prosedurnya hanya memerlukan satu kali penggunaan sebuah tes kepada sekelompok individu sebagai subjek (single trial administration). Pendekatan ini bertujuan melihat konsistensi antar aitem dalam tes itu sendiri (Azwar, 2005). Koefisien reliabiltas dihitung dengan menggunakan teknik koefisien Alpha Cronbach. Batasan suatu skala dianggap memiliki reliabilitas yang baik adalah 0,70 (Langdridge, 2004).

4. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Setelah alat ukur disusun, maka tahap selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan uji coba alat ukur. Uji coba dilakukan pada tanggal 21 Mei 2008 sampai 23 Mei 2008 kepada 180 orang pengguna internet di kota Medan. Masing-masing subjek penelitian diberikan skala Loneliness dan skala Internet Addiction. Dalam skala yang disebarkan terdapat 105 aitem, terdiri dari 75 aitem Skala


(58)

Loneliness dan 30 aitem Skala Internet Addiction. Hasil uji coba ini diolah melalui dua kali pengujian reliabilitas agar memperoleh reliabilitas yang memenuhi standar ukur.

a. Skala Loneliness

Hasil uji coba Skala Loneliness menunjukkan reliabiltas alpha sebesar 0.893 dengan nilai rxy aitem bergerak dari -0.195 sampai 0.556. Dari 75 aitem

terdapat 40 aitem yang memiliki daya diskriminasi yang tinggi (rxy > 0,275). Tabel

8 menunjukkan blue print Skala Loneliness setelah dilakukan uji coba.

Tabel 8

Blue print Skala Loneliness setelah Uji Coba

No Perasaan Ketika Mengalami

Loneliness

Nomor

Aitem Jumlah Jumlah F UF

1. Desperation Putus asa F 1, 26

4 3 7

UF 51

Tidak berdaya F 2, 52

UF 29

Takut F 3, 27

UF 53 Tidak punya

harapan

F 54

UF 4, 32 Merasa ditinggalkan F 5, 55

UF 30

Mudah mendapat kecaman atau kritik

F 6, 31

UF 56 2. Impatient

Boredom

Tidak sabar F 7, 57

5 4 9

UF 28

Bosan F 33,58

UF 8

Ingin berada di tempat lain

F 9, 37

UF 59

Khawatir F 11, 34

UF 61

Sering marah F 10, 62 UF 35


(59)

Tidak dapat berkonsentrasi

F 12, 69 UF 36 3.

Self-Deprecation

Tidak atraktif F 38

6 4 10

UF 13, 63

Terpuruk F 14, 70

UF 39

Bodoh F 40

UF 15, 64

Malu F 16. 41,

65

UF -

Merasa tidak aman F 17, 42 UF 68

4. Depression Sedih F 43, 73

9 5 14

UF 18

Tertekan F 19, 66

UF 50

Hampa F 20, 60

UF 44

Terisolasi F 21

UF 45, 67 Menyesali diri F 46, 74

UF 22

Murung F 23, 47

UF 72

Mengasingkan diri F 24

UF 48, 75

Berharap memiliki seseorang yang special

F 25, 49, 71

UF -

Jumlah 24 16 40

Keterangan : nomor yang ditebalkan berarti memiliki daya diskriminasi rendah.

Setelah melakukan pengguguran aitem yang memiliki daya diskriminasi rendah, maka koefisien alpha menjadi 0.905, dengan nilai rxy aitem bergerak dari

0.292 sampai 0.608, kemudian peneliti melakukan penomoran aitem yang baru. Pada tabel 9, aitem-aitem merupakan penomoran aitem yang baru yang akan digunakan untuk skala penelitian.


(1)

memperkaya hasil penelitian. Melalui metode penelitian kualitatif agar dapat menggali lebih dalam mengenai loneliness dan internet addiction yang dirasakan oleh pengguna internet aktif tersebut. Dengan demikian penelitian dapat menunjukkan sejauhmana loneliness dan internet addiction yang dirasakan serta dinamika loneliness dan internet addiction tersebut.

b. Penelitian selanjutnya juga hendaknya memperhatikan metode yang paling sesuai untuk mendapatkan subjek penelitian yang benar-benar representatif. Selain itu, peneliti menyarankan agar jumlah dan variasi subjek penelitian lebih beragam dapat digunakan menggunakan penyebaran kuesioner yang diletakkan di World Wide Web secara online sehingga lebih mudah diakses oleh banyak orang.

c. Penelitian selanjutnya dapat meneliti faktor-faktor lain yang mempengaruhi internet addiction yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Faktor-faktor lain tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Graham (dalam Nakken, 2002), diantaranya: faktor genetik, biologis, pengaruh keluarga (cinta, pola asuh, pembekalan kecakapan hidup), pengaruh budaya, dan pengaruh sosial (role model, pendidikan, agama, norma, dan tekanan teman sebaya).

2. Saran praktis

a. Individu harus menyadari kemungkinan mengalami internet addiction, terutama bagi mereka yang merupakan pengguna internet aktif. Internet addiction merupakan penggunaan internet yang bersifat


(2)

patologis yang ditandai dengan ketidakmampuan individu untuk mengontrol waktu menggunakan internet, merasa dunia maya lebih menarik dibandingkan kehidupan nyata, dan mengalami gangguan dalam hubungan sosialnya. Individu pengguna internet diharapkan dapat mulai menyadari pentingnya mengontrol pola penggunaan internetnya dan mengupayakan agar kehidupan sosial di dunia nyatanya juga tidak terganggu dengan kebiasaannnya menggunakan internet.

b. Individu yang mengalami loneliness hendaknya menggunakan berbagai cara lain dalam mengatasi perasaan loneliness yang dialaminya. Diantaranya dengan melakukan kegiatan-kegiatan aktif dan membangun terhadap diri sendiri, seperti: belajar atau bekerja, menulis, mendengarkan musik, melakukan olahraga, melakukan hobi, pergi ke bioskop, membaca atau memainkan alat musik. Selain itu dapat pula dengan cara membuat kontak sosial dengan orang lain seperti: menelepon teman, mengunjungi seseorang. Mengggunakan internet bagi individu loneliness sebenarnya memiliki efek positif, seperti mengurangi loneliness, mengembangkan perasaan mendapat dukungan sosial, dan membentuk persahabatan secara online, namun berkurangnya waktu yang digunakan unruk berinteraksi secara langsung dengan orang-orang lain sebenarnya tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah, ditambah lagi dengan rentannnya individu loneliness mengalami kecanduan terhadap internet tersebut.


(3)

c. Keluarga, teman, terapis dan orang-orang lain disekitar individu yang mengalami loneliness dan internet addiction hendaknya membantu individu tersebut mengatasi loneliness dan internet addiction yang dialaminya dengan berbagai upaya yang telah disebutkan sebelumnya, termasuk membawanya ke psikolog atau terapis. Individu yang mengalami loneliness dan internet addiction memerlukan peranan dan bantuan orang-orang sekitarnya dalam mengatasi loneliness dan internet addiction yang dialaminya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2000) Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition Text Revision, DSM-IV-TR. Arlington, VA: American Psychiatric Association.

Baron & Byrne (2000). Social Psychology (9th edition) Massachusetts: A Pearson Education Company.

Brage, Meredith & Woodward. (1998). Correlates of Loneliness among Midwestern Adolescents. http://www.questia.com/PM.qst?a=o&d=5001351952. Tanggal akses: 11 Januari 2007.

Brehm, S. (2002). Intimate Relationship. New York. Mc. Graw Hill.

Bruno, F. J., (2000). Conquer Loneliness, Menaklukkan Kesepian. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Center for Online Addiction. (1998). What is Internet Addiction?. http://www.netaddiction.com/whatis.htm. tanggal akses: 17 Januari 2008. Craig, G.J. (1996). Human Development. New Jersey: Prentice Hall.

Dayakisni, T. & Hudaniah. (2003). Psikologi Sosial. Edisi revisi. Malang: UMM Press.

Deaux, Dane & Wrightsman, S. (1993). Social Psychology in the 90’s (2nd Edition). California : Wadsworth Publishing Company Inc.

Duran, M. G., (2003). Internet Addiction Disorder. http://allpsych.com/journal/internetaddiction.html. tanggal akses: 17 Januari 2008

Ferris, J. R. (1997). Internet Addiction Disorder: Causes, Symptoms,and Consequences. http://www.chem.vt.edu/chem-dept/dessy/honors/papers/ferris.html. tanggal akses: 17 Januari 2008. Grohol, J. M. (2003). Dr. Grohol’s Psych Central. Internet Addiction Guide.

http://www.psychcentral.com/netaddiction/ . tanggal akses: 17 Januari 2008

Haditono,S.R.,Knoers,A.M.P.dan Monks, F.J. (1996). Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press


(5)

Hidayat, I. W., (2003). Presentasi Diri dan Desepsi dalam Komunikasi Media-Komputer pada Pengguna Internet Relay Chat.

Hurlock. E.B. (1990). Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga.

Irmawati, Meutia, Lili dkk (2003). Pedoman Penulisan Skripsi Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan

McCullough, C. J., & Mann, R. W. (1985). Managing Your Anxiety. Los Angeles: Jeremy P. Tharcher Inc.

Musfirah, dkk. (2003). Hubungan antara Computer Self-Efficacy dan Kecemasan Menggunakan Komputer. Jurnal Psikologika. Nomor 15, tahun VIII, 37-46.

Peluang Usaha Bisnis Internet Online di Indonesia. (2007).

http://peluangbisnisindonesia.blogspot.com/2007/01/peluang-bisnis-internet-online-di.html. tanggal akses: 17 Januari 2008.

Rahmawati, D.V, dkk. (2002). Hubungan antara Kecenderungan Perilaku Mengakses Situs Porno dan Religiusitas pada Remaja. Jurnal Psikologi, 1, 1-13.

Santrock, J. W. (2002). Life-span Development (alih bahasa : Juda Damanik & Ahmad Chusairi). Jakarta : Penerbit Erlangga.

__________. (2003). Adolescence, Perkembangan Remaja (alih bahasa : Shinto B. Adelar & Sherly Saragih). Jakarta : Penerbit Erlangga.

Sarwono, S.W. (2006). Psikologi Remaja. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. Sears, Freedman, Peplau (1991). Psikologi Sosial. Edisi Kelima. Jilid2. Jakarta :

Penerbit Erlangga.

Sopyan, Y. (2003). Romansa Cyber, Liku-liku Hubungan Romansa di Internet. Jakarta: Gagas Media.

Suler (1997). Psychology of Cyberspace. www.rider.ed/suler/psycyber.html.Tanggal akses: 17 Januari 2008.

Tubbs, L. S & Moss, S. (2003). Human Communication Principles and Contexts. New York: McGraw Hill.

Weiten, W & Lloyd, M. Psychology Applied to Modern Life: Adjustment in the 21st Century. Eighth Edition. Canada : Thomson Wadsworth


(6)

Young, K. S., (1996). Pathological Internet Use: The Emergence Of A New Clinical Disorder, Presentation, University of Pittsburgh at Bradford, Session 2127, 11:00-11:50 AM, 10 August,1996, Metro Toronto Convention Centre, Exhibit Hall (D-14). APA Monitor, American Psychological Association. http://www.apa.org/releases/internet.html. Tanggal akses: 17 januari 2008.

Young, K.S., & Rodgers, R.C., (1998). The Relationship Between Depression and Internet Addiction. CyberPsychology & Behavior, 1(1), 25-28. http://209.85.175.104/search?q=cache:9Ab2KVg1YhYJ:www.netaddictio n.com/articles/cyberpsychology.pdf+journal+psychology+Internet+Addict ion+Disorder:+Causes,+Symptoms+and+Consequences(pdf)&hl=id&ct=cl nk&cd=17&gl=id. Tanggal akses : 17 Januari 2008.