Pengaruh konsep diri, traits kepribadian big five, tipe loneliness dan jenis kelamin terhadap kompetensi interpersonal pada remaja sman 6 tangerang selatan

(1)

i Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh: Lisa Ulfah NIM: 1110070000111

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

iv

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 24 April 2015

Lisa Ulfah NIM: 1110070000111


(5)

v

The biggest communication problem is we do not listen to

understand”


(6)

-vi (C) Lisa Ulfah

(D) Influence of Self Concept, Big Five Personality Traits, Loneliness, and Gender of Interpersonal Competence at Adolescence SMA N 6 South Tangerang (E) xv + 108 pages + appendix

(F) This study was conducted to determine the effect of self concept, big five personality traits, loneliness and gender of interpersonal competence at adolescence. Researcher hypothesis that self concept, big five personality traits (agreebleness, conscientiousness, neuroticism, extraversion, dan openness to experience), loneliness (state loneliness dan trait loneliness) and gender has an influence on an interpersonal competence at adolescence.

This study uses a quantitative approach with multiple regression analysis. The sample totaled 358 student at SMAN 6 South Tangerang. The sampel collection technique using non-probability sampling technique, that is cluster sampling. In this study, the researcher modify data collection instruments, namely Interpersonal Competence Questionnaire (ICQ), Tennessee Self Concept Scale (TSCS), MINI-IPIP (MINI International Personality Item Pool), and State versus Trait Loneliness Scale.

The result of this study indicate that there is significant influence of self concept, agreebleness, conscientiousness, neuroticism, extraversion, openness to experience, state lonelines, trait loneliness and gender of the interpersonal competence at adolescence. Meanwhile, if based on regression coefficients of each independent variable only self concept, neuroticism, openness to experience, state loneliness, trait loneliness and gender that influence interpersonal competence at adolescence.

The researcher hopes that the implications of these results can be reviewed and may be developed in future studies. For example, by adding other variables associated with interpersonal competence that can be analyzed as an independent variabel that may have a major influence on the interpersonal competence.

(G) Reading materials: 48; books: 27 + journals: 13 + thesis: 3 +article: 4 + dissertation: 1


(7)

vii (J) Lisa Ulfah

(K) Pengaruh konsep diri, traits kepribadian big five, tipe loneliness, dan jenis kelamin terhadap kompetensi interpersonal pada remaja SMA N 6 Tangerang Selatan

(L) xv + 108 halaman + lampiran

(M) Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah ada pengaruh dari konsep diri, trait kepribadian big five, tipe loneliness dan jenis kelamin terhadap kompetensi interpersonal pada remaja. Peneliti berhipotesis bahwa ada pengaruh antara konsep diri, trait kepribadian big five (agreebleness, conscientiousness, neuroticism, extraversion, dan openness to experience), tipe loneliness (state loneliness dan trait loneliness) dan jenis kelamin terhadap kompetensi interpersonal pada remaja.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi berganda. Sampel berjumlah 358 siswa SMAN 6 Tangerang Selatan yang diambil dengan teknik probability sampling, yakni cluster sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Interpersonal Competence Quetionaire (ICQ), Tennessee Self Concept Scale (TSCS), MINI-IPIP (MINI International Personality Item Pool),danState versus Trait Loneliness Scale.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan konsep diri,

traitkepribadianbig five, tipeloneliness, dan jenis kelamin terhadap kompetensi interpersonal pada remaja. Hasil uji hipotesis minor menunjukkan hanya konsep diri, neuroticism, openness to experience, state loneliness, trait loneliness serta jenis kelamin yang mempengaruhi kompetensi interpersonal pada remaja.

Peneliti berharap implikasi penelitian ini dapat dikaji ulang dan dapat ditingkatkan untuk penelitian selanjutnya. Misalnya, dengan menambahkan variabel lain yang relevan mempengaruhi kompetensi interpersonal.

(N) Bahan bacaan: 48; buku: 27 + jurnal: 13 + skripsi: 3 sumber internet: 4 + disertasi: 1


(8)

viii

kekuatan yang diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “pengaruh konsep diri, traits kepribadian big five, tipe loneliness dan jenis kelamin terhadap kompetensi interpersonal pada remaja SMA N 6 Tangerang Selatan”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada baginda Nabi Muhammad Sallallahu A’laihi Wa Sallam, pemimpin dan tauladan bagi umat manusia, yang membawa manusia dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak penulis tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Si Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif HIdayatullah Jakarta, beserta seluruh jajaran wakil Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, atas arahan dan bimbingannya kepada seluruh mahasiswa demi terciptanya kemajuan ilmu pengetahuan yang disertai perilaku yang mencerminkan akhlak mulia.

2. Ibu Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si, selaku dosen Pembimbing Skripsi atas kesabaran dan keikhlasannya meluangkan waktu dan tenaga dalam memberikan bimbingan, arahan serta koreksi kepada penulis agar mampu menghasilkan skripsi yang bermutu dan berkualitas. Juga atas dorongan dan dukungan yang tiada henti agar penulis tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Miftahuddin, M.Si, Dosen pembimbing Akademik atas motivasinya selama penulis mengerjakan skripsi dan selama penulis menjalani pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(9)

ix

Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu dalam proses birokrasi dan kemudahan bagi penulis dalam pembelajaran dikampus ini.

5. Untuk Ibu Sri, selaku bidang kesiswaan di SMAN 6 Tangerang Selatan yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian di sekolah ini.

6. Kedua orang tua penulis Bapak Sudeswi dan Ibu Nedra untuk doa, kasih sayang, semangat, dukungan dan kepercayaan yang selalu diberikan selama ini. Terima kasih karena berkat doa, dukungan dan nasihat yang kalian berikan penulis selalu termotivasi untuk menyelesaikan tugas akhir ini dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu memberikan rahmat, nikmat serta selalu melindungi Ayah dan Ibu. Kakak penulis Muhammad Lukman serta adik penulis Nindia Wira Putri dan Muhammad Lutfiansyah yang selalu memberikan dukungan dan mendoakan penulis sehingga penulis selalu bersemangat dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

7. Sahabat-sahabat penulis GG (Rahma, Mayang, Vina dan Nadiya) yang selalu memberikan dukungan, bantuan, dan semangat yang tak ada hentinya sehingga penulis semakin termotivasi untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Terimakasih atas suka dan duka yang telah kita lalui selama ini. Terimakasih pengalaman-pengalaman yang berharga yang telah kalian berikan. Semoga kita akan selalu bersama sampai kakek-nenek. Aamiin.

8. Sahabat terdekat penulis Gina, Rossy, Irma dan Hanani yang selalu memberikan doa, dukungan dan semangat sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

9. Sahabat-sahabat angkatan 2010 Iki, Dila, Yuni, Nisaul dan Amira yang telah memberikan banyak bantuan, dukungan dan semangat kepada penulis


(10)

x

Dwi, Leo, Ey, Izar, Badai, Furqon, Alfi dan Jamal terima kasih atas segala dukungan, bantuan dan kebersamaan selama kita kuliah. Banyak pengalaman yang luar biasa yang telah kita lewati bersama. Semoga suatu saat nanti kita bisa berkumpul kembali. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu merrahmati kalian.

11. Sahabat dan sudah peneliti anggap sebagai kakak sendiri, terima kasih kepada Mba Endar atas doa, bantuan, dukungan dan semangat yang selalu diberikan kepada peneliti sehingga peneliti semakin termotivasi dan mampu menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Terima kasih juga atas segala pembelajaran dan nasehat yang bermanfaat yang telah diberikan selama ini. 12. Kepada wanita-wanita Tradasyn, terimakasih atas segala pengalaman yang

berharga ketika kita menari bersama. Semoga kalian semakin sukses, dan bisa membawa nama Psikologi UIN di tingkat internasional.

13. Semua pihak yang belum bisa disebutkan satu persatu, Karena dukungan moral, doa dan pengertian mereka, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Hanya kata terima kasih yang sebesar-besarnya penulis dapat ucapkan, semoga mereka mendapatkan balasan yang setimpal atas apa yang mereka berikan.

Hanya asa dan doa yang dapat penulis panjatkan. Semoga semua pihak yang membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini mendapatkan ridho dan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata, sangat besar harapan penulis agar skripsi ini memberikan manfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi siapa saja yang membaca dan berkeinginan untuk mengeksplorasi lebih lanjut.

Tangerang, 24 April 2015 Penulis


(11)

xi

LEMBAR PERNYATAAN... iii

LEMBAR PENGESAHAN... iv

MOTTO... v

ABSTRAK... vi

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... xi

DAFTARTABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTARLAMPIRAN... xv

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah... 12

1.2.1 Pembatasan masalah... 12

1.2.2 Perumusan masalah... 13

1.3 Tujuan Penelitian ... 14

1.4 Manfaat Penelitian... 15

1.4.1 Manfaat teoritis... 15

1.4.2 Manfaat praktis... . 16

1.5 Sistematika Penulisan... 16

BAB 2 LANDASAN TEORI... 18

2.1 Kompetensi Interpersonal... 18

2.1.1 Pengertian kompetensi interpersonal... 18

2.1.2 Aspek-aspek kompetensi interpersonal... 19

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi interpersonal.. 21

2.1.4 Pengukuran kompetensi interpersonal... 23

2.1.5 Kompetensi interpersonal pada remaja ... 24

2.2 Konsep Diri... 26

2.2.1 Pengertian konsep diri... 26

2.2.2 Aspek-aspek konsep diri... 27

2.2.3 Pengukuran konsep diri... 31

2.2.4 Pengaruh konsep diri terhadap kompetensi interpersonal... 31

2.3 Kepribadian... 32

2.3.1 Pengertian kepribadian... 32

2.3.2Traitkepribadian... 33

2.3.3 Definisitraitkepribadianbig five... 34

2.3.4 Aspek-aspektraitkepribadianbig five... 35

2.3.5 Pengukurantraitkepribadianbig five... 38 2.3.6 Pengaruhtraitkepribadianbig fiveterhadap kompetensi


(12)

xii

2.4.4 Pengaruh statedantrait lonelinessterhadap kompetensi

Interpersonal... 45

2.5 Kerangka Berfikir... 45

2.6 Hipotesis Penelitian... 52

BAB 3 METODE PENELITIAN... 54

3.1 Populasi, Sampel danTeknik Pengambilan Sampel... 54

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 55

3.3 Instrumen Pengumpulan Data... 56

3.4 Uji Validitas Item Skala ... 61

3.4.1 Uji validitas item skala kompetensi interpersonal... 63

3.4.2 Uji validitas item skala konsep diri... 66

3.4.3 Uji validitas item skalatraitkepribadianbig five... 69

3.4.4 Uji validitas item skalastate loneliness... 75

3.4.5 Uji validitas item skalatrait loneliness... 78

3.5 Prosedur Pengumpulan Data………... 80

3.6 Teknik Analisis Data...……... 81

BAB 4 HASIL PENELITIAN……….………... 83

4.1 Analisis Deskriptif……….………... 83

4.1.1. Gambaran umum subjek penelitian….……….…... 83

4.2 Hasil Analisis Deskriptif……….………... 83

4.3 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian……….…………... 85

4.4 Uji Hipotesis Penelitian……….………... 86

4.5 Proporsi Varian……….………... 93

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN………... 97

5.1 Kesimpulan……….………... 97

5.2 Diskusi……….………... 97

5.3 Saran……….………... 107

5.3.1 Saran metodologis……….………... 107

5.3.2 Saran praktis……….………... 107 DAFTAR PUSTAKA


(13)

xiii

Tabel 3.4 BlueprintSkalaLoneliness ... 60

Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Kompetensi Interpersonal... 64

Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Kompetensi Interpersonal... 65

Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Konsep Diri... 67

Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Konsep Diri... 68

Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Konsep Diri... 69

Tabel 3.10 Muatan Faktor ItemAgreebleness... 70

Tabel 3.11 Muatan Faktor ItemConscientiousness... 71

Tabel 3.12 Muatan Faktor ItemNeuroticism... 73

Tabel 3.13 Muatan Faktor ItemExtraversion... 74

Tabel 3.14 Muatan Faktor ItemOpenness to experience... 75

Tabel 3.15 Muatan Faktor Item State loneliness... 76

Tabel 3.16 Muatan Faktor ItemState loneliness... 77

Tabel 3.17 Muatan Faktor ItemState loneliness... 77

Tabel 3.18 Muatan Faktor ItemTrait loneliness... 79

Tabel 3.19 Muatan Faktor ItemTrait loneliness... 79

Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian... 83

Tabel 4.2 Analisis Deskriptif... 84

Tabel 4.3 Pedoman Interpretasi Skor... 85

Tabel 4.4 Kategorisasi Skor Variabel... 86

Tabel 4.5 Model Summary Analisis Regresi... 87

Tabel 4.6 Tabel Anova Pengaruh KeseluruhanIndependent Variabel terhadapDependent Variabel... 88

Tabel 4.7 Koefisien Regresi... 89 Tabel 4.8 Proporsi Varians untuk Masing-masingIndependent Variabel 94


(14)

xiv


(15)

(16)

1

terjadi serta hasil beberapa penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian kompetensi interpersonal,perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

1.1 Latar Belakang Masalah

Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain untuk bisa mempertahankan hidupnya. Salah satu cara untuk bisa mempertahankan hidup manusia adalah dengan berkomunikasi. Komunikasi merupakan suatu proses dua arah yang menghasilkan pertukaran informasi dan pengertian antara masing-masing individu yang terlibat (Berko, Aitken & Wolvin, 2010). Komunikasi merupakan dasar dari seluruh interaksi antar manusia. Karena tanpa komunikasi, interaksi antar manusia, baik secara perorangan, kelompok maupun organisasi tidak mungkin terjadi.

Ditinjau dari sudut perkembangan manusia, kebutuhan untuk berinteraksi yang paling menonjol terjadi pada masa remaja. Pada masa remaja, individu berusaha untuk menarik perhatian orang lain, mendapatkan popularitas dan kasih sayang dari teman sebaya. Semua hal tersebut akan diperoleh apabila remaja mampu berinteraksi secara efektif.

Agar lebih berhasil dalam menjalin interaksi antar teman sebaya maupun lingkungan sekitar, diperlukan adanya kompetensi atau kemampuan dalam diri remaja untuk menjalin hubungan secara efektif. Kemampuan tersebut disebut


(17)

dengan kompetensi interpersonal. Menurut Buhrmester, Furman, Wittenberg, dan Reis (dalam Paulk, 2008), kompetensi interpersonal adalah keterampilan atau kemampuan yang dimiliki individu untuk membina hubungan yang baik dan efektif dengan orang lain, kemampuan ini sangat dibutuhkan oleh individu tak terkecuali para remaja.

Secara umum, kompetensi interpersonal didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk berinteraksi dengan orang lain secara efektif (Spitzberg & Cupach, 2012). Individu yang mempunyai kompetensi interpersonal yang tinggi akan mampu menjalin komunikasi yang efektif dengan orang lain, mampu berempati secara baik, mampu mengembangkan hubungan yang harmonis dengan orang lain dan dapat dengan cepat memahami temperamen, sifat dan kepribadian orang lain, mampu memahami suasana hati, motif dan niat orang lain semua kemampuan ini akan membuat remaja tersebut lebih berhasil dalam berinteraksi dengan orang lain. Fisher dan Adams (1994) menjelaskan bahwa dengan kompetensi interpersonal akan mengembangkan perilaku empati yang memungkinkan individu untuk mengerti dan merespon perasaan orang lain.

Kesadaran kognitif akan pentingnya kompetensi interpersonal dalam diri individu ternyata tidak selamanya dapat tumbuh dan berkembang secara baik pada seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Setidaknya secara empirik kerap ditemukan ada individu yang mengalami konflik dengan sesamanya tidak berusaha menyelesaikan konflik dengan baik, namun justru memilih menyelesaikannya dengan pertengkaran. Kemampuan untuk mengatasi konflik dengan baik merupakan indikasi adanya kompetensi interpersoanl, hal ini


(18)

sebagaimana diungkap oleh Buhrmester (dalam Paulk, 2008) bahwa ciri adanya kompetensi interpersonal pada individu adalah kekampuan memulai kontak, dukungan emosional, keterbukaan, bersikap asertif, dan mengatasi konflik.

Problem kompetensi interpersonal juga terjadi pada diri siswa remaja SMA N 6 Tangerang Selatan, hal tersebut sebagaimana dilaporkan dari hasil wawancara dengan salah satu guru SMA N 6 Tangerang Selatan, bahwa banyak persoalan pribadi dan kompetensi interpersonal di kalangan siswa yang meliputi: kesulitan hubungan dengan sesama maupun lawan jenis, kurang mampu mengendalikan emosi, sering terlibat konflik dengan teman. Selain itu banyak siswa yang mengeluhkan persoalan pribadi yang pada gilirannya dapat menyulitkan mereka dalam melakukan hubungan interpersonal seperti, rendah diri, sikap tertutup, kecemasan tinggi, tidak mampu mengendalikan diri, dan mudah dipengaruhi orang lain.

Pentingnya kompetensi interpersonal ditujukan kepada para remaja dapat dilihat dari banyaknya penelitian yang dilakukan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Chow, Ruhl, dan Buhrmester (2013). Dalam penelitiannya Chow et al. (2013) menjelaskan bahwa kompetensi interpersonal penting bagi kualitas hubungan pertemanan pada remaja. Remaja yang miliki kemampuan untuk berbagi perasaan dan mampu menempatkan diri sesuai dengan perspektif orang lain, dapat meningkatkan kesejahteraan dalam hubungan pertemanannya.

Penelitian lain yang mendukung pentingnya kompetensi interpersonal pada remaja adalah penelitian yang dilakukan oleh Mahoney, Cairns, dan Farmer


(19)

(2003), yang menjelaskan bahwa dengan kompetensi interpersonal mampu meningkatkan kesuksesan seorang remaja dalam bidang pendidikan. Mahoneyet al. (2003) menjelaskan bahwa remaja yang memiliki kompetensi interpersonal yang tinggi mampu mengatur dengan baik di bidang karir dan pendidikan ketika mereka beranjak dewasa.

Dari beberapa penelitian di atas, dapat dilihat bahwa pada masa remaja penting untuk memiliki kompetensi interpersonal. Hal ini juga didukung penelitian yang dilakukan oleh Buhrmester (1990) yang menjelaskan bahwa kompetensi interpersonal sangat penting di miliki oleh para remaja dibandingkan pra-remaja. Karena dibandingkan anak pra-remaja, pada masa remaja lebih di tuntut untuk memiliki hubungan pertemanan yang dekat dan terbuka. Para remaja harus bisa memulai percakapan dan memiliki hubungan pertemanan di luar kelas. Mereka harus memiliki kemampuan untuk membuka diri mengenai informasi pribadi dan dengan bijakasana dapat memberikan dukungan emosional kepada teman-temannya.

Namun, tidak banyak para remaja yang berhasil dalam hubungan interpersonalnya. Banyak remaja yang gagal dalam mengembangkan kompetensi interpersonal sehingga mereka mengalami banyak hambatan dalam dunia sosialnya. Akibatnya mereka mudah tersisihkan secara sosial. Seringkali konflik interpersonal juga menghambat remaja untuk mengembangkan dunia sosialnya secara matang. Akibat dari hal ini, remaja merasa tidak memiliki harga diri dan suka mengisolasi diri. Pada akhirnya menyebabkan remaja mudah menjadi depresi dan kehilangan kebermaknaan hidup. Dengan demikian diperlukan


(20)

hubungan yang baik antar teman sebaya agar perkembangan sosial remaja bisa berjalan dengan normal.

Hal ini sesuai dengan pendapat Santrock (2002), yang menjelaskan bahwa hubungan yang baik antarteman sebaya penting bagi perkembangan sosial yang normal. Isolasi sosial, atau ketidakmampuan untuk “melebur” ke dalam suatu jaringan sosial, diasosiasikan dengan banyak kenakalan dan masalah. Dalam suatu penelitian menjelaskan bahwa hubungan yang buruk di antara teman-teman sebaya pada masa remaja diasosiasikan dengan suatu kecenderungan untuk putus sekolah dan perilaku nakal pada masa remaja. Dan pada penelitian lain menunjukkan bahwa hubungan yang harmonis di antara teman-teman sebaya pada masa remaja diasosiasikan dengan kesehatan mental yang positif pada tengah baya (Santrock, 2002).

Beberapa fenomena yang banyak terjadi saat ini mengenai buruknya hubungan teman sebaya yang diakibatkan rendahnya kompetensi interpersonal pada remaja yaitu bisa dilihat dari kasus kenakalan remaja yang marak terjadi. Salah satunya adalah tawuran. Contoh tawuran yang dilakukan oleh pelajar dari SMA N 6 dengan pelajar dari sekolah lain. Tawuran ini disebabkan aksi saling mengejek di media sosial yang mengakibatkan satu pelajar dari SMA N 6 mengalami luka di bagian keningnya (sindonews.com, 2014)

Contoh tawuran lainnya yaitu yang tejadi pada pelajar SMK Budi Murni dengan SMK Pelayaran. Tawuran ini juga disebabkan karena saling mengejek. (megepolitan.kompas.com, 2012). Selain tawuran kasusbullyingjuga merupakan kasus remaja yang diakibatkan oleh hubungan yang buruk antar teman sebaya.


(21)

Contoh kasus bullying terjadi pada siswa SD di Bukittinggi. Kasus tersebut juga terjadi karena aksi saling mengejek. Karena tidak senang orang tuanya di hina, maka pelaku memukul korban (Republika.co.id, 2014). Hasil kajian Konsorsium Nasional Pengembangan Sekolah Karakter tahun 2014 menyebutkan, hampir setiap sekolah di Indonesia ada kasus bullying,meski hanyabullying verbal dan psikologis/mental. Contoh bullying verbal seperti membentak, meneriaki, memaki, menghina, mempermalukan, menolak, mencela, merendahkan, atau mengejek. Sedangkan bullying psikologis/mental seperti memandang sinis, memelototi, mencibir, hingga mendiamkan. Melihat kompleksnya kasus-kasus

bullying yang ada, Susanto selaku Ketua Konsorsium Nasional Pengembangan Sekolah Karakter menilai bahwa Indonesia sudah masuk kategori “darurat

bullying di sekolah”. Karena itu, negara perlu segera melakukan intervensi (beritasatu.com, 2014).

Dilihat dari beberapa kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa seorang remaja yang memiliki kompetensi interpersonal yang rendah akan memicu perilaku-perilaku buruk dan akan berdampak pada hubungan interpersonalnya. Selain itu pada masa remaja juga rentan terhadap munculnya konflik, sehingga sangat penting bagi remaja untuk memiliki kompetensi interpersonal yang tinggi. Hal ini sesuai dengan kesimpulan dari beberapa ahli Psikologi (dalam Shantz dan Hartup, 1992) yang menjelaskan bahwa masa remaja memang rentan terhadap munculnya berbagai konflik. Terdapat berbagai alasan yaitu pengaruh gelombang hormon pada masa remaja, remaja mulai mengantisipasi tuntutan peran masa dewasa, perkembangan kemampuan kognitif remaja yang mulai


(22)

memahami ketidakkonsistenan dan ketidaksempurnaan orang lain dan mulai melihat persoalan-persoalan yang terjadi sebagai persoalan pribadi daripada memberikannya pada otoritas orang tua, remaja mengalami transisi tahapan perkembangan dan perubahan-perubahan menuju kematangan yang meningkatkan kemungkinan timbulnya konflik.

Dalam menjalin hubungan dengan lingkungan tentu kita harus mampu menyesuaikan diri agar terciptanya hubungan yang efektif. Maka dibutuhkan konsep diri pada diri individu. Konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan secara fenomenologis dan ketika individu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya, berarti ia menunjukkan sesuatu kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya seperti ia lakukan terhadap dunia di luar dirinya (Fitts & Warren, 1996).

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hartanti (2006) yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan positif antara konsep diri dengan kompetensi interpersonal pada pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas Diponegoro (UKM Undip). Semakin positif konsep diri yang dimiliki pengurus UKM Undip, maka semakin tinggi kompetensi interpersonal yang dimiliki. Sebaliknya, semakin negatif konsep diri pengurus UKM Undip, maka semakin rendah kompetensi interpersonal yang dimiliki.

Hartanti (2006) menjelaskan bahwa dalam penelitiannya membuktikan bahwa konsep diri merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan


(23)

keberhasilan seorang pengurus dalam menjalin hubungan dengan rekannya, seorang pengurus yang mampu menerima diri apa adanya akan memiliki penghargaan yang tinggi terhadap dirinya dan memiliki pandangan yang realistik tentang keterbatasannya akan lebih mampu menjalin hubungan interpersonalnya dengan orang lain.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Kresnawati (2009) mengenai hubungan antara konsep diri dengan kompetensi interpersonal pada anggota Rotaract Club Semarang. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara konsep diri dengan kompetensi interpersonal pada anggota Rotaract Club Semarang. Semakin positif konsep diri yang dimiliki maka semakin tinggi pula kompetensi interpersonal, demikian pula sebaliknya.

Jika para remaja telah mengenal konsep dirinya dengan baik tentu akan berusaha menyesuaikan dan memposisikan diri dengan orang yang diajak berbicara dengan menjaga sikap yang baik. Sehingga tidak menimbulkan perdebatan yang memacu timbulnya perkelahian. Remaja yang memiliki konsep diri positif menunjukkan bahwa remaja tersebut memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu untuk menciptakan hubungan interpersonal yang baik, dengan memposisikan diri dengan orang lain agar dapat saling menghargai satu sama lain. Sebaliknya, remaja yang memiliki konsep diri negatif tidak memiliki keyakinan dengan kemampuan yang dimiliki, sehingga sulit untuk mengkomunikasi apa yang dirasakan dan dipikirkannya (Rakhmat, 2005).


(24)

yang mempengaruhi kompetensi interpersonal. Seperti yang diungkapkan oleh Nashori (2008) kepribadian juga mempengaruhi kompetensi interpersonal. Dalam penelitian ini peneliti memilih pendekatan trait kepribadian dari aspek

big five yaitu neuroticism (N), extraversion (E), openness to experience (O),

agreebleness (A), dan conscientiousness (C). Seperti penelitian yang dilakukan oleh Frisbie, Fitzpatrick, Feng, dan Crawford (2000) mengenai “Women’s Personality Traits, Interpersonal Competence and Affection for Dating Parteners: A Test of the Contextual Model”. Frisbie et al. (2000) menjelaskan salah satu hipotesisnya yaitu sejauh mana Big Five Personality berkontribusi terhadap kompetensi interpersonal. Big Five Personality tersebut adalah extraversion,

neuroticism, agreeableness, conscientiousness dan openness to experience.

Sedangkan aspek dari kompetensi interpersonal adalah self-disclosure, emotional support, assertion, dan conflict resolution. Dari hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa agreeableness berhubungan dengan conflict resolution dan

emotional support, conscientiousness juga berhubungan dengan assertion dan

neuroticism secara negatif berhubungan dengan conflict resolution. Sedangkan

ekstraversion dan openness secara signifikan tidak berhubungan dengan aspek kompetensi interpersonal. Berdasarkan penelitian tersebut, baru tiga dari lima

traitkepribadianbig fiveyang ditemukan memiliki pengaruh dengan kompetensi interpersonal, yiatu agreeableness, conscientiousness, dan neuroticism.

Meskipun begitu, peneliti juga ingin melihat kedua trait kepribadian big five

lainnya. Peneliti mengambil pendekatan big five personality sebagai variabel kepribadian yang mempengaruhi kompetensi interpersonal dikarenakan


(25)

pendekatan ini menggunakantrait kepribadian yang terdiri dari lima faktor besar yang telah diakui dan digunakan di berbagai negara.

Selanjutnya Paulk (2008), menjelaskan bahwa seseorang yang kompetensi interpersonalnya baik, dilaporkan memiliki kesejahteraan dan kecemasan-depresi serta loneliness yang lebih rendah. Maka semakin tinggi kompetensi interpersonal pada diri seseorang maka semakin rendah kecenderungan seseorang mengalami depresi dan loneliness. Loneliness menurut Peplau dan Perlman (dalam Friedman, 1998).) adalah pengalaman yang tidak menyenangkan yang terjadi ketika seseorang memiliki hubungan sosial yang rendah, baik secara kuantitas maupun kualitas.

Sedangkan loneliness menurut Salkind (2006) adalah seseorang yang memiliki kepuasan dalam berinteraksi yang rendah kepada teman dan keluarganya. Lebih lanjut Salkind menjelaskan bahwa kesepian dan kesendirian (aloneliness) adalah berbeda; kesendirian dapat dinikmati ketika seseorang ingin sendirian, sedangkan kesepian dapat dirasakan ketika seseorang yang sedang bersama teman-temannya namun dia tetap merasa kesepian. Kemudian dalam bukunya, Salkind juga menjelaskan bahwa terdapat penelitian yang menjelaskan bahwa individu yang memiliki tingkat loneliness yang tinggi cenderung kurang terampil dan lebih menolak untuk berinteraksi dengan orang asing dibandingkan individu yang memiliki tingkatlonelinessyang rendah.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Buhrmester et al. (1988), terdapat hubungan negatif antara loneliness dengan kompetensi interpersonal. Dalam penelitiannya, Buhrmester meneliti mengenai pengaruh tipe loneliness


(26)

yaitu state loneliness dan trait loneliness. Dari hasil penelitiannya menemukan bahwa state loneliness dan trait loneliness berhubungan secara negatif terhadap kompetensi interpersonal. State loneliness adalah perasaan kesepian yang dirasakan dalam situasi yang spesifik, kesepian yang bersifat temporer (sementara) yang seringkali disebabkan oleh perubahan yang dramatis dan akan hilang bila telah menemukan jaringan sosial baru. Sedangkan trait loneliness

adalah perasaan kesepian yang dirasakan dalam situasi secara umum, memiliki kemampuan sosial yang rendah, pola perasaan yang stabil, sedikit berubah tergantung situasi, biasanya dialami oleh orang-orang yang memiliki self-esteem

yang rendah (Peplau dan Perlman, dalam Friedman, 1998). Dengan berpengaruhnya tipe loneliness ini penelitipun tertarik untuk meneliti pengaruh tipe loneliness yaitu state loneliness dan trait loneliness terhadap kompetensi interpersoal.

Perlu ditekankan bahwa konsep dari traitpadaloneliness dalam penelitian ini, berbeda dengan konsep dari trait pada kepribadian big five. Trait pada

loneliness merupakan perasaan kesepian yang dirasakan dalam waktu beberapa tahun, sedangkan trait dalam kepribadian merupakan sifat-sifat kepribadian dalam diri individu yang menetap dan konsisten. Trait loneliness disini adalah bagaimana seseorang merasa kesepian berdasarkan pengalaman dari ketidaksesuaian hubungan yang diharapkan dengan apa yang dialami dan perasaan kesepian ini telah dirasakan paling sedikitnya dalam setahun. Sedangkan traits pada kepribadian adalah kekonsistenan perilaku yang dimunculkan oleh individu pada stimulus yang berbeda sehingga menjadi


(27)

karakter bagi masing-masing individu.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini berjudul “Pengaruh konsep diri, trait kepribadian big five dan tipe loneliness dan jenis kelamin terhadap kompetensi interpersonal pada remaja SMAN N 6 Tangerang Selatan”.

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan masalah

Untuk membatasi ruang lingkup dalam penelitian ini, maka penulis membatasi penelitian ini pada kompetensi interpersonal dan variabel-variabel yang mempengaruhinya yaitu konsep diri, trait kepribadian big five dan tipe

loneliness dan jenis kelamin. Adapun definisi dari masing-masing variabel adalah sebagai berikut :

1. Kompetensi interpersonal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu kemampuan yang dimiliki individu untuk membina hubungan yang baik dan efektif dengan orang lain (Buhrmesteret al.,dalam Paulk, 2008)

2. Konsep diri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan yang dimiliki remaja dalam mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya serta memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya. Konsep diri mencakup aspek internal dan eksternal. Di mana aspek internal terdiri dari tiga bentuk yaitu identity self, behavioral self, judging self. Sedangakn pada aspek eksternal terdiri dari physical self, moral-ethic self, personal self, family selfdansocial self.(Fitts & Warren, 1996).

3. Trait kepribadian yang dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Big Five personality. Big five personality adalah pengumpulan trait kepribadian


(28)

ke dalam lima aspek dasar, yaituneuroticism(N), extraversion(E),openness to experience (O), agreebleness (A), dan conscientiousness (C) (Goldberg, dalam Donellan, 2006).

4. Loneliness dalam penelitian ini adalah rasa kesepian (loneliness) yang di rasakan oleh remaja dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dapat dilihat dari tipe-tipe loneliness yaitu state loneliness dan trait lonelinenss. State loneliness adalah rasa kesepian yang dirasakan karena pengalaman-pengalaman dramatis, sedangkan trait loneliness adalah rasa kesepian yang bersifat lebih stabil dan memiliki sedikit interaksi sosial yang berarti. (Peplau dan Perlman, dalam Friedman, 1998).

5. Remaja dalam penelitian ini adalah siswa kelas X dan XI SMA N 6 Tangerang Selatan. Karena masa remaja sebagai periode yang penting pada diri seseorang (Hurlock, 1999).

1.2.2 Perumusan masalah

Berdasarkan pembatasan masalah diatas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh yang signifikan konsep diri, traitkepribadian big five, tipe loneliness, dan jenis kelamin terhadap kompetensi interpersonal pada remaja?

2. Seberapa besar sumbangan varian konsep diri,traitkepribadianbig five, tipe

loneliness, dan jenis kelamin terhadap kompetensi interpersonal pada remaja?


(29)

interpersonal pada remaja?

4. Apakah kepribadian extraversion memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kompetensi interpersonal pada remaja?

5. Apakah kepribadian openess to experience memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kompetensi interpersonal pada remaja?

6. Apakah kepribadian agreebleness memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kompetensi interpersonal pada remaja?

7. Apakah kepribadian conscientiousess memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kompetensi interpersonal pada remaja?

8. Apakah kepribadian neuroticism memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kompetensi interpersonal pada remaja?

9. Apakah state loneliness memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kompetensi interpersonal pada remaja?

10. Apakah trait loneliness memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kompetensi interpersonal pada remaja?

11. Apakah jenis kelamin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kompetensi interpersonal pada remaja?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh konsep diri terhadap kompetensi interpersonal pada remaja SMA N 6 Tangerang Selatan

2. Untuk mengetahui pengaruh trait kepribadian neuroticsm terhadap komptensi interpersonal pada remaja SMA N 6 Tangerang Selatan


(30)

3. Untuk mengetahi pengaruh trait kepribadian extraversion terhadap komptensi interpersonal pada remaja SMA N 6 Tangerang Selatan

4. Untuk mengetahui pengaruhtraitkepribadianopenes to experienceterhadap komptensi interpersonal pada remaja SMA N 6 Tangerang Selatan

5. Untuk mengetahi pengaruh trait kepribadian agreebleness terhadap kompetensi interpersonal pada remaja SMA N 6 Tangerang Selatan

6. Untuk mengetahui pengaruh trait kepribadian conscientiousess terhadap komptensi interpersonal pada remaja SMA N 6 Tangerang Selatan

7. Untuk mengetahui pengaruh state loneliness terhadap kompetensi interpersonal pada remaja SMA N 6 Tangerang Selatan

8. Untuk mengetahui pengaruh trait loneliness terhadap kompetensi interpersonal pada remaja SMA N 6 Tangerang Selatan

9. Untuk mengetahui pengaruh jenis kelamin terhadap kompetensi interpersonal pada remaja SMA N 6 Tangerang Selatan

10. Untuk mengetahui seberapa besar sumbangan varian konsep diri, trait

kepribadian, tipe loneliness, dan jenis kelamin terhadap kompetensi interpersonal.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis

Apabila penelitian ini membuktikan adanya pengaruh, maka diharapkan hal ini dapat memberikan sumbangan untuk ilmu psikologi, khususnya bidang psikologi sosial dan psikologi perkembangan dengan menunjukkan bahwa


(31)

konsep diri, trait kepribadian big five dan tipe loneliness berpengaruh terhadap kompetensi interpersonal pada remaja.

1.4.2 Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menambah wawasan serta sebagai salah satu rujukan untuk meneliti lebih lanjut dari sisi dan masalah penelitian yang sama dalam konteks psikologi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk seluruh remaja untuk meningkatkan pengetahuan tentang kompetensi interpersonal. Sehingga para remaja mampu berinteraksi dengan teman-temannya secara efektif.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penelitian dalam penelitian ini terdiri dari: BAB 1 Pendahuluan

Berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian.

BAB 2 Landasan Teori

Pada bab ini diuraikan teori-teori terkait dengan variabel terikat (dependent variabel), dan variabel bebas (independet variable), dilanjutkan dengan kerangka berpikir dan hipotesis.

BAB 3 Metodologi Penelitian

Pada bab ini berisi mengenai populasi, sampel dan teknik sampling, variabel penelitian instrument pengumpulan data, teknik analisis data dan prosedur penelitian.


(32)

Pada bab ini, dipaparkan mengenai gambaran subjek penelitian, hasil analisis deskriptif, kategorisasi skor variabel penelitian, hasil pengujian hipotesis dan pembatasan hasil pengujian hipotesis dan proporsi varians

BAB 5 Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan lebih lanjut hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Bab ini terdiri dari tiga bagian yaitu kesimpulan, diskusi, dan saran


(33)

18

lima subbab yaitu teori kompentensi interpersonal, teori konsep diri, teori kepribadian, teoriloneliness,kerangka berfikir, dan hipotesis peneltian.

2.1 Kompetensi Interpersonal

2.1.1 Pengertian kompetensi interpersonal

Secara umum, menurut Bochner dan Kelly kompetensi interpersonal adalah kemampuan seseorang untuk berinteraksi secara efektif kepada orang lain (dalam Spitzberg & Cupach, 2012). Sedangkan menurut Spitzberg dan Cupach (dalam DeVito, 1996) menyatakan bahwa kompetensi interpersonal adalah kemampuan individu untuk melakukan komunikasi yang efektif, yang ditandai karakteristik- karakteristik psikologis tertentu yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antarpribadi yang baik dan memuaskan. Hal ini didukung oleh pendapat Rickhet dan Strohner (2008) bahwa kemampuan dalam berkomunikasi adalah pokok dari kesuksesan kehidupan sosial dalam segala area kehidupan.

Menurut Buhrmester et al. (dalam Paulk, 2008) kompetensi interpersonal adalah keterampilan atau kemampuan yang dimiliki individu untuk membina hubungan yang baik dan efektif dengan orang lain. Seseorang yang mempunyai kompetensi interpersonal yang baik akan terbuka, mampu menjalin komunikasi yang efektif dengan orang lain, mampu berempati secara baik, mampu mengembangkan hubungan yang harmonis dengan orang lain.


(34)

Sedangkan menurut Howard Garner (2011) kemampuan interpersonal merupakan bagian dari Multiple Intelligence yang terdiri atas linguistic, logical mathematical, spatial, bodily kinesthetic, musical, interpersonal dan

intrapersonal. Menurut Gardner, interpersonal adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui dan menerima perbedaan dalam suasan hati (moods), kehendak (intention), motivasi (motivation), perasaan dan dorongan yang ada pada diri orang lain meskipun hal-hal tersebut tersembunyi, termasuk kepekaan pada ekspresi emosi, suara, gesture, dan kemampuan untuk memberikan respon secara efektif padasinyal-sinyal tersebut dengan cara pragmatis.

Dari penjelasan diatas, peneliti menggunakan teori Buhrmester et al.

(dalam, Paulk, 2008) yaitu yang menjelaskan bahwa kompetensi interpersonal adalah keterampilan atau kemampuan yag dimiliki individu untuk membina hubungan yang baik dan efektif dengan orang lain.

2.1.2 Aspek-aspek kompetensi interpersonal

Menurut Buhrmester et al. (dalam Paulk, 2008) aspek-aspek kompetensi interpersonal meliputi:

a. Initiation

Inisiatif adalah usaha untuk memulai suatu bentuk interaksi dan hubungan dengan orang lain, atau dengan lingkungan sosial yang lebih besar. Inisiatif merupakan usaha pencarian pengalaman baru yang lebih banyak dan luas tentang dunia luar, juga tentang dirinya sendiri dengan tujuan untuk


(35)

mencocokkan sesuatu atau informasi yang telah diketahui agar dapat lebih memahaminya.

b. Negative assertion

Menurut Schwartz (2003) bersikap asertif adalah mempertahankan pendapat dan mengekspresikan keyakinan, apa yang kita rasakan dan apa yang kita inginkan. Seseorang yang asertif akan bertanggung jawab pada pendapatnya dan berusaha berkomunikasi dengan sukses bahkan ketika pendapatnya berselisih dengan orang lain.

c. Self-disclosure

Kemampuan membuka diri merupakan kemampuan untuk membuka diri, menyampaikan informasi yang bersifat pribadi dan penghargaan terhadap orang lain. Menurut Farber (2006), dengan membuka diri kita merasa dekat dengan seseorang, seperti anggota keluarga, karena kita selalu bersama mereka dan menjadi bagian dirinya. Kita menceritakan segala cerita kepada mereka. Serta membiarkan mereka memasuki dunia kita, menceritakan mengenai diri kita, termasuk perasaan, pikiran dan keinginan.

d. Emotional support

Kemampuan memberikan dukungan emosional sangat berguna untuk mengoptimalkan komunikasi interpersonal antar dua pribadi. Dukungan emosional mencakup kemampuan untuk menenangkan dan memberi rasa nyaman kepada orang lain ketika orang tersebut dalam keadaan tertekan dan bermasalah. Kemampuan ini lahir dari adanya empati dalam diri seseorang. e. Conflict management


(36)

Kemampuan mengatasi konflik meliputi sikap-sikap untuk menyusun strategi penyelesaian masalah, mempertimbangkan kembali penilaian atau suatu masalah dan mengembangkan konsep harga diri yang baru. Menyusun strategi penyelesaian masalah adalah bagaimana individu yang bersangkutan merumuskan cara menyelesaikan konflik dengan sebaik-baiknya.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi interpersonal

Menurut Monks et al., (1990), ada beberapa faktor yang mempengaruihi kompetensi interpersonal, yaitu:

a. Umur

Konformisme semakin besar dengan bertambahnya usia, terutama terjadi pada remaja usia 15 atau belasan tahun.

b. Keadaan sekeliling

Kepekaan pengaruh dari teman sebayanya sangat mempengaruhi kuat lemahnya interaksi teman sebaya.

c. Jenis kelamin

Kecenderungan perempuan untuk berinteraksi dengan teman sebaya lebih besar daripada laki-laki

d. Kepribadianekstrovert

Anak-anak ekstrovert lebih konformitas daripadaintrovert

e. Besar kelompok

Pengaruh kelompok menjadi makin besar bila besarnya kelompok bertambah


(37)

f. Keinginan untuk mempunyai status

Adanya dorongan untuk memiliki status inilah yang menyebabkan remaja berinteraksi dengan teman sebayanya, individu akan menemukan kekuatan dalam mempertahankan dirinya di dalam perebutan tempat di dunia orang dewasa.

g. Interaksi orang tua

Suasana rumah yang tidak menyenangkan dan tekanan dari orang tua menjadi dorongan individu dalam berinteraksi dengan teman sebayanya. h. Pendidikan

Pendidikan yang tinggi adalah salah satu faktor dalam interaksi teman sebaya karena orang yang berpendidikan tinggi mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas, yang mendukung dalam pergaulannya.

Sedangkan menurut Santrock (1996) kompetensi interpersonal dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:

1. Faktor pribadi (personal)

Hurlock (1999) berpendapat bahwa harga diri dan konsep diri merupakan sumber penting lain dalam mempengaruhi perkembangan sosial remaja, di mana harga diri dan konsep diri yang dimiliki seseorang dapat membantunya dalam beradaptasi dan bersosialisasi dengan orang lain. 2. Faktor lingkungan

Sumber-sumber potensi yang berasal dari faktor lingkungan meliputi orang tua, kelompok sebaya, guru, konselor, pelatih olah raga, bahkan kepala sekolah. Lingkungan juga merupakan sumber yang dapat mendukung dan


(38)

mengembangkan kemampuan remaja untuk mengkoordinasikan emosi, kognisi, tingkah laku baik dalam adaptasi jangka pendek maupun proses perkembangan jangka panjang.

Sedangkan menurut Nashori (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi interpersonal adalah

1. Berifat eksternal, yaitu kontak dengan orang tua, interaksi dengan teman sebaya, aktivitas dan partisipasi sosial.

2. Bersifat internal, jenis kelamin, kepribadian, dan kematangan pada diri individu.

Selain faktor-faktor diatas, peneliti juga mengambil faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi interpersonal berdasarkan penelitian terdahulu. Yaitu mengenai tipe-tipe loneliness. Penelitian ini dilakukan oleh Buhrmester et al.

(1988) yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan tipe-tipe

loneliness, yaitu state loneliness dan trait loneliness terhadap kompetensi interpersonal.

Dari penjelasan di atas, peneliti memilih konsep diri, kepribadian, dan tipe-tipe loneliness sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi interpersonal. Faktor-faktor tersebut akan peneliti angkat menjadi independent variabeldalam penelitian ini.

2.1.4 Pengukuran kompetensi interpersonal

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur komunikasi interpersonal, peneliti menggunakan alat ukur baku yang dibuat oleh Buhrmester et al. (dalam Paulk, 2008) yaitu Interpersonal Competence Quetionnaire (ICQ). Pada skala ini


(39)

berjumlah 40 item yang terdiri dari lima aspek yaitu, initiation, negative assertion, disclosure, emotional supportdanconflict management.

2.1.5. Kompetensi interpersonal pada remaja

Masa remaja merupakan masa yang penting bagi individu untuk menentukan masa depannya. Sebagaimana dijelaskan oleh Hurlock (1999) bahwa masa remaja merupakan masa yang penting, karena pada usia antara 12 dan 16 tahun merupakan tahun kehidupan yang penuh kejadian dan menyangkut pertumbuhan dan perkembangan. Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak dan masa di mana mereka ingin tahu tentang segala sesuatu yang mereka belum tahu, termasuk di dalamnya adalah tentang bagaimana mereka melakukan hubungan interpersonal yang baik agar mereka bisa diterima oleh lingkungan mereka.

Pada saat memasuki masa remaja, seseorang cenderung menghabiskan waktu lebih banyak bersama teman-temannya dibandingkan bersama orang tuanya (Santrock, 2002). Selanjutnya Santrock (2002) juga menjelaskan bahwa hubungan yang baik antarteman sebaya penting bagi perkembangan sosial yang normal. Isolasi sosial, atau ketidakmampuan untuk “melebur” ke dalam suatu jaringan sosial, diasosiasikan dengan banyak kenakalan dan masalah. Dalam suatu penelitian menjelaskan bahwa hubungan yang buruk di antara teman-teman sebaya pada masa remaja diasosiasikan dengan suatu kecenderungan untuk putus sekolah dan perilaku nakal pada masa remaja. Dan pada penelitian lain menunjukkan bahwa hubungan yang harmonis di antara teman-teman sebaya pada masa remaja diasosiasikan dengan kesehatan mental yang positif pada tengah baya (Santrock, 2002).


(40)

Dari penjelasan tersebut sangat penting bagi para remaja untuk memiliki hubungan yang efektif dengan teman sebayanya. Agar hubungan pertemanan dengan teman sebaya dapat berjalan efektif maka para remaja di tuntut untuk memiliki kompetensi interpersonal yang tinggi. Individu yang mempunyai kompetensi interpersonal yang tinggi akan mampu menjalin komunikasi yang efektif dengan orang lain, mampu berempati secara baik, mampu mengembangkan hubungan yang harmonis dengan orang lain dan dapat dengan cepat memahami temperamen, sifat dan kepribadian orang lain, mampu memahami suasana hati, motif dan niat orang lain semua kemampuan ini akan membuat individu tersebut lebih berhasil dalam berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian para remaja mampu menjalin hubungan yang baik dengan teman sebayanya sehingga perilaku buruk atau kasus-kasus kenakalan remaja dan konflik diantara hubungan teman sebaya dapat dihindarkan.

Disimpulkan dari pendapat beberapa ahli Psikologi bahwa masa remaja memang rentan terhadap munculnya berbagai konflik (Shantz & Hartup, 1992). Terdapat berbagai alasan yaitu pengaruh gelombang hormon pada masa remaja, remaja mulai mengantisipasi tuntutan peran masa dewasa, perkembangan kemampuan kognitif remaja yang mulai memahami ketidakkonsistenan dan ketidaksempurnaan orang lain dan mulai melihat persoalan-persoalan yang terjadi sebagai persoalan pribadi daripada memberikannya pada otoritas orang tua, remaja mengalami transisi tahapan perkembangan dan perubahan-perubahan menuju kematangan yang meningkatkan kemungkinan timbulnya konflik.


(41)

kemampuan interpersonal dalam mencegah persoalan atau konflik yang terjadi di masa remajanya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Buhrmester et al. (1988) yang membuktikan bahwa kompetensi interpersonal pada remaja berperan penting dalam keberhasilan seorang remaja dalam menjalani kehidupan sosialnya. Hal ini mencapai popularitas kelompok teman sebaya dalam keberhasilan atau kesuksesan remaja dalam menjalin hubungan. Selain itu juga membuat interaksi dengan orang lain menyenangkan dan penuh pengalaman yang nyaman.

Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa kompetensi interpersonal sangat penting bagi remaja, sehingga peneliti tertarik untuk meneliti kompetensi interpersonal pada remaja.

2.2 Konsep Diri (Self Concept) 2.2.1 Pengertian konsep diri

Fits dan Warren (1996) mengatakan bahwa konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan secara fenomenologis dan ketika individu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya, berarti ia menunujukkan suatu kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya seperti ia lakukan terhadap dunia di luar dirinya.

Sedangkan menurut Calhoun dan Acocella (1990) menyatakan bahwa konsep diri adalah gambaran mental individu yang terdiri dari pengetahuan tentang diri, pengharapan tentang diri, dan penilaian terhadap diri. Pengetahuan


(42)

tentang diri adalah informasi yang dimiliki individu tentang dirinya: umur, jenis kelamin, penampilan dan sebagainya. Pengharapan individu bagi dirinya adalah gagasan tentang ingin menjadi apa kelak. Sedangkan penilaian adalah pengukuran individu tentang keadaan dirinya yang dibandingkan dengan apa yang menurutnya individu tersebut seharusnya terjadi pada dirinya.

Menurut Mercer (2011) konsep diri adalah konstruk psikologis yang terdiri dari gambaran diri yang termasuk kemampuan dalam mengevaluasi perasaan mengenai dirinya sendiri. Sedangkan menurut Rogers (dalam Cervon & Pervin, 2013) konsep diri adalah bagian sadar dari ruang fenomenal yang disadari dan disimbolisasikan, di mana “aku” merupakan pusat referensi setiap pengalaman. Lebih lanjut Rogers menjelaskan bahwa konsep diri merupakan bagian inti dari pengalaman individu yang secara perlahan dibedakan dan disimbolisasikan sebagai bayangan tentang diri yang mengatakan “apa dan siapa aku” dan “apa yang harus aku perbuat”.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti memilih teori Fitts dan Warren (1996) yang menjelaskan bahwa konsep diri adalah gambaran seseorang atau pandangan seseorang tentang dirinya sendiri melalui bagaimana seseorang mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya.

2.2.2 Aspek-aspek konsep diri

Fitts dan Warren (1996) membagi konsep diri dalam dua aspek pokok, yaitu sebagai berikut:


(43)

Aspek internal atau yang disebut juga kerangka acuan internal (internal frame of reference) adalah penilaian yang dilakukan individu yakni penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya. aspek ini terdiri dari tiga bentuk:

a. Diri identitas(identity self)

Merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertanyaan, “siapakah saya”. Dalam pertanyaan tersebut tercakup label-label dan simbol yang diberikan pada diri (self) oleh individu-individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya.

b. Diri perilaku (behavioral self)

Merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya, yang berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang dilakukan oleh diri”. Selain itu bagian ini berkaitan dengan diri identitas.

c. Diri penerimaan/penilaian (judging self)

Diri penilaian berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri identitas dan diri pelaku.

2) Aspek eksternal

Pada aspek eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya. Namun aspek yang dikemukakan oleh Fitts dan Warren (1996) adalah aspek eksternal yang bersifat umum bagi semua orang, dan dibedakan atas lima bentuk, yaitu:


(44)

a. Diri fisik (physical self)

Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik. Dalam hal ini terlihat persepsi seseorang mengenai kesehatan dirinya, penampilan dirinya dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, kurus).

b. Diri etik-moral (moral-ethic self)

Merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan keagamaannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk.

c. Diri pribadi (personal self)

Merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana ia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.

d. Diri keluarga (family self)

Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedukukannya sebagai anggota keluarga.

e. Diri sosial (social self)

Merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan di sekitarnya.


(45)

Sedangkan menurut Calhoun dan Acocella (1990) menyatakan bahwa konsep diri memiliki tiga aspek, yaitu:

1. Pengetahuan

Aspek pertama dari konsep diri adalah apa yang individu ketahui tentang dirinya, di mana dalam diri individu ada satu daftar julukan yang menggambarkan usia, jenis kelamin, kebangsaan, pekerjaan dan lain sebagainya. Individu juga mengidentifikasikannya dengan kelompok sosial lain yang menambah daftar julukan bagi dirinya. Julukan dapat diganti setiap saat sepanjang individu mengidentifikasikan dengan suatu kelompok, kelompok tersebut memberi individu sejumlah informasi lain yang masuk dalam potret diri mental individu.

2. Harapan

Individu juga memiliki pandangan lain tentang kemungkinan menjadi apa dirinya di masa mendatang, dengan kata lain individu mempunyai pengharapan bagi diri mereka sendiri

3. Penilaian

Aspek ketiga dari konsep diri adalah penilaian individu tentang dirinya. Individu berkedudukan sebagai penilaian tentang diri mereka sendiri setiap hari, mengukur apakah individu bertentangan dengan “akan menjadi apa dan seharusnya menjadi apa”

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan aspek konsep diri dari Fitts dan Warren (1996) dengan alasan aspek konsep diri dari Fitts dan Warren (1996) mencakup dua aspek pokok yaitu internal dan eksternal. Di mana aspek tersebut


(46)

mencakup penilaian diri individu berdasarkan dunia di dalam dirinya dan berdasarkan perbandingan dirinya dengan dunia di luar dirinya. Diasumsikan bahwa setiap individu akan melakukan penilaian terhadap diri sendiri baik berdasarkan dunia dalam dirinya maupun dunia di luar dirinya.

2.2.3 Pengukuran konsep diri

Untuk mengukur konsep diri, bentuk skala yang digunakan peneliti adalah skala

Tennessee Self Concept Scale (TSCS) yang dibuat oleh Fitss dan Warren (1996). Ada delapan subskala yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu identity self, behavioral self, judging self, physical self, moral-ethical self, personal self, family self dan socaial self. Skala tersebut terdapat 100 item, namun peneliti mengadaptasi dengan menyesuaikan keperluan penelitian sehingga menjadi 24 item.

2.2.4. Pengaruh konsep diri terhadap kompetensi interpersonal

Konsep diri merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan keberhasilan seseorang dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Selain itu, konsep diri yang positif juga dapat menghasilkan hubungan interpersonal yang baik (Ryan, 2005). Seseorang yang mampu menerima diri apa adanya akan memiliki penghargaan yang tinggi terhadap dirinya dan memiliki pandangan yang realistik mengenai keterbatasannya dan akan lebih mampu menjalin hubungan interpersonalnya dengan orang lain (Hartanti, 2006). Dengan demikian seorang remaja yang memiliki konsep diri yang positif mereka akan yakin terhadap kemampuan dirinya sendiri dalam mengatasi hambatan dalam hubungan interpersonal, mereka akan berusaha memposisikan dirinya dengan orang lain


(47)

dengan menjaga sikap sehingga kompetensi interpersonal pada diri remaja akan meningkat.

2.3 Kepribadian

2.3.1 Pengertian kepribadian

Menurut Allport (dalan Suryabrata, 2008) kepribadian adalah organisai dinamis dalam individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.

Menurut Eysenck (dalam Suryabrata, 2008) kepribadian adalah jumlah dari keseluruhan pola perilaku atau potensial organisme yang ditentukan oleh faktor keturunan dan lingkungan; hal itu berasal dan berkembang melalui interaksi dari empat faktor utama yaitu pola perilaku, sektor konatif, sektor afektif dan sektor somatik.

Menurut Mischel (2003) kepribadian adalah : 1. Menunjukkan kontinuitas, stabilitas, koherensi.

2. Kepribadian diekspresikan dalam berbagai cara, dari perilaku terbuka melalui pikiran dan perasaan.

3. Kepribadian terorganisir, bahwa pada kenyataanya ketika tidak terorganisir itu menandakan adanya gangguan.

4. Kepribadian adalah determinan yang mempengaruhi bagaimana individu berhubungan dengan dunia sosial.

5. Kepribadian adalah konsep psikologis tetapi juga diasumsikan untuk menghubungkan karakteristik fisik dan biologis seseorang.


(48)

Selanjutnya Pervin (dalam Mischel, 2003) menjelaskan bahwa kepribadian adalah organisasi kompleks dari kognisi, pengaruh, dan perilaku yang memberikan arah dan pola (koherensi) untuk kehidupan seseorang. Seperti tubuh, kepribadian terdiri dari kedua struktur dan proses dan mencerminkan sifat (gen) dan nurture (pengalaman). Disamping itu kepribadian mencakup dampak masa lalu, termasuk kenangan masa lalu, serta konstruksi masa kini dan masa depan.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepribadian merupakan suatu pola perilaku individu yang bersifat kontinuitas, stabilitas dan terorganisir yang dikendalikan secara internal yaitu ditentukan oleh karakteristik pribadi seseorang serta dikendalikan secara eksternal yaitu ditentukan oleh situasi tertentu di mana perilaku itu terjadi.

2.3.2.Traitkepribadian

Dari teori-teori kepribadian, kepribadian dibagi menjadi beberapa pendekatan, salah satunya adalah pendekatan trait. Terdapat banyak perbedaan pendapat mengenai trait dari beberapa tokoh psikologi, dan tiga tokoh psikologi yang paling berpengaruh yaitu Gordon Allport, Raymond B. Cattell, dan Hans J. Eysenk (Mischel, Shoda & Ayduk, 2008).

Trait adalah perbedaan perilaku atau karakteristik pada individu dengan individu yang lain secara konsisten (Mischel, Shoda & Ayduk, 2008). Trait merupakan kualitas dan perbedaan individu yang memiliki tingkatan berbeda dalam setiap stimulus yang sama. Ada yang memiliki tingkatan yang tinggi dan


(49)

ada yang memiliki tingkatan yang rendah dalam merespon stimulus. (Guilford, dalam Mischel, Shoda & Ayduk, 2008).

Terdapat banyak alat ukur untuk mengukur peribadian berdasarkan trait

kepribadian, salah satunya adalah big five personality. Dalam dua dekade terakhir, big five telah menjadi model yang utama untuk menggambarkan struktur trait kepribadian (Rammstedt, Goldberg, & Borg, 2010). Dengan demikian peneliti memilih trait kepribadian big five sebagai salah satu variabel yang mempengaruh kopetansi interpersonal dikarenakan pendekatan ini menggunakan trait kepribadian yang terdiri dari lima faktor besar yang telah diakui dan digunakan di berbagai negara.

2.3.3 Definisitraitkepribadianbig five

Kepribadian big five adalah salah satutraitkepribadian yang dapat memprediksi dan menjelaskan perilaku. Suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melaluitrait yang tersusun dalam lima buah domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Lima trait kepribadian tersebut adalah extraversion, agreebleness, conscientiousness, neuroticism, openness to experiences(Goldberg, 1999)

Menurut McCrae dan Costa (1997) model lima faktor kepribadian merupakan struktur sifat (trait), yang dikembangkan dan dijabarkan dalam waktu lima dekade terakhir. Faktor-faktor yang didefinisikan oleh sekelompok sifat yang saling berkaitan.


(50)

2.3.4 Aspek-aspektraitkepribadianbig five

Kepribadian big five merupakan suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat dan mengukur struktur kepribadian manusia, yang dilihat melalui lima buah domain kepribadian. Berikut penjelasan aspek-aspek dalam pendekatan kepribadianbig five.

Menurut Goldberg (dalam Donellan, 2006) aspek-aspek trait kepribadian

big five, yaitu:

1. Extraversion, yang terdiri dari sifa-sifat: friendliness, gregariousness, assertiveness, activity level, excitement seeking, cheerfulness

2. Agreebleness, yang terdiri dari sifat-sifat: trust, morality, altruism, cooperation, modesty, sympathy

3. Conscientiousness, yang terdiri dari sifat-sifat: self-efficacy, orderliness, dutifulness, achievemen striving, self-discipline, cautiousnesss

4. Neuroticism, yang terdiri dari sifat-sifat: anxiety, anger, depression, self-consciousness, immoderation, vulnerability

5. Openness, yang terdiri dari sifat-sifat: imagination, artistic interest, emotionality, adventurousness, intellect, liberalism

Sedangkan menurut Costa dan McCrae (dalam Cloninger, 2004) aspek-aspektraitkepribadianbig fiveadalah sebagai berikut:

1. Extraversion(E)

Extraversion (E) sering disebut dengan surgency. Individu dengan skor tinggi pada skor ekstraversion (E) cenderung penuh dengan kasih sayang, periang, banyak bicara, suka berkumpul, dan menyukai kesenangan. Selain


(51)

itu, individu tersebut akan mengingat seluruh interaksi sosial, berinteraksi dengan lebih banyak orang jika dibandingkan individu yang memiliki skor (E) rendah. Ekstraversion dicirikan dengan kecenderungan yang positif seperti memiliki antusiasme tinggi, mudah bergaul, energik, tertarik dengan banyak hal, mempunyai emosi positif, ambisius, workaholic serta ramah terhadap orang lain.

Ekstraversion juga memiliki motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama serta domain dalam lingkungannya. Sebaliknya, individu dengan tingkat extraversion rendah lebih menyukai untuk berdiam diri, tenang, penyendiri, pasif, dan kekurangan kemampuan untuk mengungkapkan perasaan.

2. Agreebleness(A)

Agreebleness membedakan antara individu yang berhati lembut dengan yang tak mengenal balas kasih. Individu dengan skor yang lebih mengarah pada aspek ini memiliki kecenderungan untuk memiliki kecenderungan untuk memiliki kepercayaan yang penuh, dermawan, suka mengalah, penerima, dan baik hati. Aspek ini juga disebut dengan social adaptibility yaitu mencirikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah dan menghindari konflik interpersonal. Sedangkan pada individu dengan tingkat agreebleness yang rendah, suka mencurigai, kikir, tidak ramah, mudah tersinggung, cenderung untuk lebih agresif dan mengkritik orang lain serta kurang kooperatif.


(52)

Conscientiousness(C) digambarkan dengan individu yang patuh, terkontrol, teratur, ambisius, berfokus pada pencapaian dan disiplin diri. Aspek ini dapat juga disebut dengan dependability, impulse control dan will to achieve.

Secara umum, individu yang memiliki skor tinggi pada aspek ini adalah pekerja keras, cermat, tepat waktu, dan tekun. Sebaliknya, pada individu yang berskor rendah dalam aspek ini cenderung tidak teratur, lalai, pemalas, dan tidak memiliki tujuan serta mudah menyerah ketika menemui kesulitan dalam tugas-tugasnya.

4.Neuroticism(N)

Individu dengan skor tinggi pada aspek Neuroticsm (N), memiliki kecenderungan untuk mengalami kecemasan, temperamental, mengasihani diri sendiri, sadar diri, emosional, dan rentan terhadap gangguan stres. Seseorang yang milikineuroticismyang rendah akan lebih gembira dan puas terhadap hidup jika dibandingkan yang memiliki tingkat neuroticism tinggi, sedangkan individu dengan skor yang rendah, biasanya tenang, bertemperamental datar, puas akan diri sendiri, dan tidak emosional.

5. Openness to Experience(O)

Aspek ini membedakan antara individu yang memilih variasi dibandingkan dengan individu yang menutup diri serta individu yang mendapatkan kenyamanan dalam hubungan mereka dengan hal-hal dan orang-orang yang mereka kenal. Individu yang harus menerus mencari perbedaan dan pengalaman yang bervariasi akan memiliki skor tinggi pada aspekopenness.


(53)

Openness mengacu pada bagaimana individu tersebut bersedia untuk melakukan penyesuaian terhadap suatu situasi dan ide yang baru. Individu tersebut memiliki ciri mudah bertoleransi, memiliki kapasitas dalam menyerap informasi, fokus dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas. Pada individu yang tingkat openness yang rendah digambarkan sebagai pribadi yang berpikiran sempit, dan tidak menyukai adanya perubahan.

Dari aspek-aspek diatas, peniliti memilih menggunakan aspek trait

kepribadianbig five dari Goldberg (dalam Donellan, 2006). Peneliti memilih aspek tersebut karena pengelompokkan sifat-sifat yang digunakan lebih mudah untuk dipahami dan diadministrasikan untuk struktur trait

kepribadianbig five.

2.3.5 Pengukuran traitkepribadianbig five

Terdapat beberapa alat ukut yang dikembangakn untuk mengukur kepribadian

big five, diantaranya:

1. NEOPIR (The Neuroticsm Extraversion Openess Personality Inventory -Revised). Alat ukur ini dikembangkan oleh Paul T. Costa dan Robert R. McCrae, terdiri dari 240 item.

2. BFI (Big Five Instrument). Alat ukur ini dikembangkan oleh John, Donahue, alat ukur ini terdiri dari 44 item. BFI menunjukkan validitas konvergen yang tinggi dengan skala self-report lain dan dengan tingkatan sejajar pada Big Five.


(54)

3. IPIP (International Personality Item Pool). Alat ukur ini merupakan alat ukur kepribadian yang dibuat oleh Lewis Goldberg (2006). Skala ini berjumlah 50 item, di mana setiap aspeknya terdiri dari 10 item yaitu

Extrversion, Neuroticism, Agreebleness, Conscientiousness, dan Openess to New Experience.

4. MINI-IPIP (MINI - International Personality Item Pool). Alat ukur ini merupakan adaptasi dari IPIP-NEO di mana dari jumlah item yang semula 50 item, diperkecil menjadi 20 item. Alat ukur ini di adaptasi oleh Donellan

et al.(2006).

Dari beberapa alat ukur yang dipaparkan di atas, peneliti memilih MINI-IPIP (MINI - International Personality Item Pool) yang dibuat oleh Donellan et al.

(2006) sebagai alat ukur dalam penelitian ini. Alat ukur ini bentuk singkat dari alat ukur item International Personality Item Pool yang di buat oleh Goldberg (1999). Peneliti memilih alat ukur MINI-IPIP karena alat ukur ini merupakan adaptasi dari IPIP-NEO dan telah dikembangkan dan divalidasi di lima studi. Selain itu peneliti memilih skala ini karena mempertimbangkan efisiensi waktu dengan 20 item pernyataan dan telah teruji validitasnya oleh Donellan et al. (2006).

2.3.6 Pengaruhtraitkepribadianbig fiveterhadap kompetensi interpersonal Menurut Nashori (2008) trait kepribadian merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kompetensi interpersonal. Karena seseorang cenderung akan bertindak sesuai dengan kepribadian dalam dirinya. Secara keseluruhan


(55)

kepribadian seseorang dapat dilihat dari lima trait, yaitu neuroticism,

extraversion,openness to experienc,agreebleness, danconscientiousness.

Para remaja yang memiliki sifat extraversion yang tinggi dapat mempengaruhi kompetensi interpersonal yang tinggi pula. Menurut Leary dan Hoyle (2009) individu dengan ciri extraversion tinggi ia senang dalam besosialisasi, aktif berbicara dan asertif, sehingga ia mempunyai pengalaman dan aktif dalam berhubungan dengan orang lain. Selanjutnya seseorang yang memiliki sifat agreeableness yang tinggi juga dapat mempengaruhi kompetensi interpersonal karena menurut Cloninger (2004) individu dengan ciri

agreeableness tinggi cenderung suka mengalah ketika menghadapi konflik dengan teman sebaya, serta baik dalam memperlakukan teman-temannya sehingga individu ini banyak disenangi oleh temannya dan mempunyai hubungan interpersonal yang baik. Kemudian sifat conscientiouness, individu yang memiliki ciri conscientiousness yang tinggi dapat mempengaruhi kompetensi interpersonal tinggi pula, karena individu dengan ciri conscientiouness ini cenderung mampu merespon segala keadaan, individu tersebut kecenderung untuk berfikir, merasa dan berperilaku dalam satu waktu di setiap situasi (Leary & Hoyle, 2009). Sehingga individu yang memiliki sifat ini mampu secara efektif menjalin hubungan interpersonal dengan teman-temannya. Selanjutnya pada sifatneuroticism,individu dengan sifat neuroticismyang tinggi cenderung mempunyai kompetensi interpersonal yang rendah. Karena individu yang memiliki ciri ini cenderung merasa cemas, emosional, dan mudah depresi


(56)

(Leary & Hoyle, 2009). Sehingga ia tidak mempu menjalin hubungan yang baik dengan teman-temannya.

Dan sifat yang terakhir yaitu openness to experience. Individu yang memiliki sifat openness yang tinggi memiliki kompetensi interpersonal yang tinggi pula. Karena individu dengan sifat openness cenderung terbuka, senang mencari pengalaman baru, serta mampu menyesuaikan diri terhadap situasi dan ide yang baru (Leary & Hoyle, 2009). Dengan demikian individu dengan sifat

opennessyang tinggi cenderung memiliki hubungan interpersonal yang efektif. 2.4Loneliness

2.4.1 Pengertianloneliness

Loneliness atau kesepian didefinisikan sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan ketika seseorang memiliki hubungan sosial yang rendah dalam hal kualitas maupun kuantitas (Peplau & Perlman, dalam Friedman, 1998).

Lebih lanjut Perlman dan Peplau (dalam Peplau & Goldston, 1984) menjelaskanlonelinessdari tiga poin:

1. Loneliness adalah hasil rendahnya hubungan sosial seseorang. Perasaan kesepian terjadi ketika ada ketidakcocokan antara hubungan sosial yang sebenarnya dengan hubungan sosial yang kita inginkan atau yang kita butuhkan. Terkadang,loneliness dihasilkan dari pergeseran kebutuhan sosial pada individu dan bukan dari perubahan tingkat kemampuan kontak sosial. 2. Loneliness adalah pengalaman subyektif; hal ini tidak sama dengan isolasi

sosial. Seseorang bisa menikmati kesendirian ketika dia sedang sendirian, atau merasa kesepian ditengah keramaian.


(57)

3. Loneliness adalah pengalaman yang tidak menyenangkan. Meskipun

loneliness mungkin dapat memacu pertumbuhan pribadi seseorang, namun pengalaman itu sendiri tidak menyenangkan dan sangat menyedihkan.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa loneliness adalah suatu perasaan kesepian yang diakibatkan karena ketidaksesuaian antara jenis hubungan yang kita inginkan dan jenis hubungan sosial yang kita miliki.

2.4.2 Tipe-tipeloneliness

Tipe-tipelonelinessmenurut Peplau dan Perlman (dalam Friedman, 1998) yaitu: 1. Tipe berdasarkan durasi:

-state loneliness:yaitu perasaan kesepian yang dirasakan dalam situasi yang spesifik, kesepian yang lebih temporer (sementara) yang seringkali disebabkan oleh perubahan yang dramatis dalam kehidupan dan akan hilang bila telah ditemukan jaringan sosial baru

- trait loneliness: yaitu perasaan kesepian yang dirasakan dalam situasi secara umum, memiliki kemampuan sosial yang rendah, pola perasaan yang stabil, sedikit berubah tergantung situasi, biasanya dialami oleh orang-orang yang memilikiself-esteemyang rendah.

2. Tipe berdasarkan tidak tersedianya hubungan sosial:

-Emotional loneliness: suatu bentuk kesepian yang muncul ketika seseorang tidak memiliki ikatan hubungan yang intim, yaitu seperti orang dewasa yang lajang, bercerai, dan ditinggal mati oleh pasangannya. Gejala dari emotional loneliness yaitu cemas, merasakan kesendirian, waspada pada ancaman,


(58)

kecenderungan kesalahan penafsiran dalam hal bermusuhan ataupun niat kasih sayang dari orang lain.

- Social loneliness adalah suatu bentuk kesepian yang muncul ketika seseorang tidak memiliki keterlibatan yang terintegrasi dalam dirinya, yaitu seperti tidak ikut berpartisipasi dalam kelompok atau komunitas yang melibatkan adanya kebersamaan, minat yang sama, aktivitas yang terorganisasi, peran-peran yang berarti, suatu bentuk kesepian yang membuat seseorang merasa diasingkan, bosan dan cemas. Gejala dari social loneliness yaitu merasa bosan, kegelisahan, dan terasingkan (Weiss, dalam Friedman, 1998) .

Dari penjelasan diatas, peneliti memilih tipe-tipe loneliness berdasarkan durasi, yaitu state loneliness dan trait loneliness. Peneliti memilih tipe-tipe

loneliness ini karena perasaan kesepian yang dirasakan dapat dibedakan, baik perasaan kesepian yang sudah dirasakan dalam beberapa hari maupun perasaan kesepian beberapa tahun.

2.4.3 Pengukuranloneliness

1. UCLA loneliness scale

Skala ini dikembangkan oleh Rusell, D (1996) yang merupakan skala unidemensional yang mengukur perasaan kesepian pada subjek seperti halnya perasaan isolasi sosial. Skala ini terdapat 20 item dan dibuat dalam bentuk skala likert yang memiliki empat alternatif jawaban, yaitu “tidak pernah”, “jarang”, “kadang-kadang”, dan “sering”.


(59)

Skala ini dikembangkan oleh Gerson dan Perlman (dalam Robinson, Shaver, & Wrightsman, 1991). Skala ini merupakan pengembangan dari skala UCLA Loneliness yang kemudian dibagi menjadi dua bagian yaitu pertama untuk mengukur state loneliness dan kedua untuk mengukur trait loneliness. Di mana skala state loneliness adalah skala yang mengukur perasaan kesepian yang dirasakan dalam beberapa hari, sedangkan pada skala trait loneliness

adalah skala yang mengukur perasaan kesepian yang dirasakan dalam beberapa tahun. Pada skala ini terdapat 12 item pada masing masing skala dan di buat dalam bentuk skala likert yang memiliki empat alternatif jawaban, yaitu “sangat tidak setuju”, “tidak setuju”, “setuju”, dan “sangat setuju”.

3. Differential loneliness scale(nonstudent version)

Skala ini dikembangkan oleh Schmidt dan Sermat (dalam Robinson, Shaver, & Wrightsman, 1991). Skaladifferential loneliness (nonstudent version) ini merupakan skala yang mengukur respon dari partisipan mengenai kualitas dan kuantitas interaksi dalam empat hal hubungan yaitu, romantic-sexual relationship, friendships, relationship with familly, dan relationship with larger groups or the community.Pada skala ini terdapat 66 item dan dibuat dalam bentuk pernyataan di mana pada setiap item partisipan diminta untuk memilih jawaban “benar” atau “salah”.

Pada penelitian ini peneliti menggunakan alat ukur state versus trait loneliness yang di adaptasi dari skala yang dibuat oleh Gerson dan Perlman (dalam Robinson, Shaver, & Wrightsman, 1991). Peneliti memilih alat ukur ini


(60)

karena alat ukur ini menelitilonelinesssecara berbeda, yaitu perasaan loneliness

yang diukur berdasarkan durasi. Selain itu, peneliti juga akan melakukan penelitian ulang di mana sebelumnya tipe-tipe loneliness ini telah di teliti sebelumnya oleh Buhrmester (1988) mengenai pengaruh state loneliness dan

trait lonelinessterhadap kompetensi interpersonal.

2.4.4 Pengaruhstatedantrait lonelinessterhadap kompetensi interpersonal Menurut Salkind (2006) loneliness adalah seseorang yang memiliki kepuasan dalam berinteraksi yang rendah kepada teman dan keluarganya. Menurut Spitzberg dan Cupach (2012) seseorang yang memilikiloneliness tinggi maka ia juga memiliki self-disclosure yang rendah. Dengan demikian, seseorang yang milikistatemaupuntrait lonelinessyang tinggi dapat mempengaruhi kompetensi interpersonal yang rendah, hubungan secara negatif ini bisa saja terjadi kepada seseorang yang menarik dirinya dari lingkungan,dan sulit untuk membuka dirinya kepada orang lain. Ia merasa harga dirinya rendah dan tetap merasa kesepian walapun berada di tempat yang ramai sehingga hubungan interpersonalnya tidak berjalan dengan baik.

2.5 Kerangka Berfikir

Salah satu cara untuk bisa mempertahankan hidup manusia adalah dengan berkomunikasi. Komunikasi merupakan suatu proses dua arah yang menghasilkan pertukaran informasi dan pengertian antara masing-masing individu yang terlibat (Berko, Aitken & Wolvin, 2010). Komunikasi merupakan dasar dari seluruh interaksi antar manusia. Karena tanpa komunikasi, interaksi antar manusia, baik secara perorangan, kelompok maupun organisasi tidak


(61)

mungkin terjadi. Ditinjau dari sudut perkembangan manusia, kebutuhan untuk berinteraksi yang paling menonjol terjadi pada masa remaja.

Agar lebih berhasil dalam menjalin interaksi antar teman sebaya maupun lingkungan sekitar, diperlukan adanya kompetensi atau kemampuan dalam diri remaja untuk menjalin hubungan secara efektif. Kemampuan tersebut adalah kompetensi interpersonal. Kompetensi interpersonal adalah keterampilan atau kemampuan yang dimiliki individu untuk membina hubungan yang baik dan efektif dengan orang lain, kemampuan ini sangat dibutuhkan oleh individu tak terkecuali para remaja (Buhrmesteret al., 1988).

Individu yang mempunyai kompetensi interpersonal yang tinggi akan mampu menjalin komunikasi yang efektif dengan orang lain, mampu berempati secara baik, mampu mengembangkan hubungan yang harmonis dengan orang lain dan dapat dengan cepat memahami temperamen, sifat dan kepribadian orang lain, mampu memahami suasana hati, motif dan niat orang lain semua kemampuan ini akan membuat remaja tersebut lebih berhasil dalam berinteraksi dengan orang lain.

Pentingnya kompetensi interpersonal pada remaja dapat dilihat dari beberapa penelitian salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Chow et al.

(2013) yang menjelaskan bahwa dengan kompetensi interpersonal yang tinggi mampu meningkat kualitas hubungan pertemanan pada remaja. Penelitian lain juga menjelaskan bahwa remaja yang mempunyai kompetensi interpersonal yang tinggi mampu meningkatkan kesuksesan dalam bidang pendidikan dan karir.


(62)

penelitian yang dilakukan oleh Buhrmester (1990). Dalam penelitiannya Buhrmester (1990) menjelaskan bahwa kompetensi interpersonal sangat penting di miliki oleh para remaja dibandingkan pra-remaja. Karena dibandingkan anak pra-remaja, pada masa remaja lebih di tuntut untuk memiliki hubungan pertemanan yang dekat dan terbuka. Para remaja harus bisa memulai percakapan dan memiliki hubungan pertemanan di luar kelas. Mereka harus memiliki kemampuan untuk membuka diri mengenai informasi pribadi dan dengan bijakasana dapat memberikan dukungan emosional kepada teman-temannya.

Namun, tidak banyak para remaja yang berhasil dalam hubungan interpersonalnya. Banyak remaja yang gagal dalam mengembangkan kemampuan interpersonal sehingga mereka mengalami banyak hambatan dalam dunia sosialnya. Beberapa fenomena yang banyak terjadi saat ini mengenai buruknya hubungan teman sebaya yang diakibatkan rendahnya kompetensi interpersonal pada remaja yaitu bisa dilihat dari kasus kenakalan remaja yang marak terjadi. Salah satunya adalah tawuran. Contoh tawuran yang dilakukan oleh pelajar dari SMA N 6 dengan pelajar dari sekolah lain. Tawuran ini disebabkan aksi saling mengejek di media sosial yang mengakibatkan satu pelajar dari SMA N 6 mengalami luka di bagian keningnya (sindonews.com, 2014). Contoh tawuran lainnya yaitu yang tejadi pada pelajar SMK Budi Murni dengan SMK Pelayaran. Tawuran ini juga disebabkan karena saling mengejek. (megepolitan.kompas.com, 2012). Selain tawuran kasus bullying juga merupakan kasus remaja yang diakibatkan oleh hubungan yang buruk antar teman sebaya. Contoh kasus bullying terjadi pada siswa SD di Bukittinggi.


(63)

Kasus tersebut juga terjadi karena aksi saling mengejek. Karena tidak senang orang tuanya di hina, maka pelaku memukul korban (Republika.co.id, 2014).

Dilihat dari beberapa kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada masa remaja sangat penting untuk bisa berinteraksi secara efektif dengan teman sebayanya, karena pada masa tersebut remaja rentan terhadap munculnya konflik. Dengan kompetensi interpersonal, para remaja mampu mengatasi hambatan-hambatan yang terjadi dalam hubungan pertemanan sehingga kasus-kasus seperti tawuran atau bullying dapat dihindarkan. Para remaja akan memiliki interaksi yang efektif, menyenangkan, dan penuh pengalaman yang nyaman.

Terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kompetensi interpersonal seseorang yaitu konsep diri. Menurut Fitts dan Warren (1996) konsep diri merupakan kerangka acuan dalam berinteraksi dengan lingkungan secara fenomenologis dan ketika individu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, berarti ia menunjukkan suatu kesadaran diri dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya seperti ia lakukan terhadap dunia di luar dirinya. Menurut Nashori (2008) konsep diri yang positif membentuk kepribadian yang lebih dapat menerima diri, menerima kekurangan dan kelebihannya, bersikap hangat sehingga sebagai modal menjalin hubungan interpersonal. Adanya konsep diri yang positif dapat melahirkan kemampuan kompetensi interpersonal yang positif pula.

Jika para siswa telah mengenal konsep dirinya dengan baik tentu akan berusaha menyesuaikan dan memposisikan diri dengan orang yang diajak


(64)

berbicara dengan menjaga sikap yang baik. Sehingga tidak menimbulkan perdebatan yang memacu timbulnya perkelahian. Siswa yang memiliki konsep diri positif menunjukkan bahwa siswa tersebut memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu untuk menciptakan komunikasi interpersonal yang baik, dengam memposisikan diri dengan orang lain agar dapat saling menghargai satu sama lain. Sebaliknya siswa yang memiliki konsep diri yang negatif, tidak memiliki keyakinan dengan kemampuan yang dimiliki sehingga sulit untuk mengkomunikasi apa yang dirasakan dan dipikirkannya (Rakhmat, 2005).

Selain konsep diri, kepribadian juga bisa mempengaruh kompetensi interpersonal. Seperti yang diungkapkan oleh Nashori (2008) kepribadian juga mempengaruhi kompetensi interpersonal. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan trait. Trait kepribadian yang digunakan oleh peneliti adalah model lima faktor oleh Goldberg (dalam Donellan, 2006). Model lima faktor tersebut yaitu, extrversion, agreeableness, conscientiousness,neuroticism, danopenness to experience.

Para remaja yang memiliki sifat extraversion yang tinggi dapat mempengaruhi kompetensi interpersonal yang tinggi pula. Menurut Leary dan Hoyle (2009) individu dengan ciri extraversion tinggi ia senang dalam besosialisasi, aktif berbicara dan asertif, sehingga ia mempunyai pengalaman dan aktif dalam berhubungan dengan orang lain. Selanjutnya seseorang yang memiliki sifat agreeableness yang tinggi juga dapat mempengaruhi kompetensi interpersonal karena menurut Cloninger (2004) individu dengan ciri


(1)

ITEM23

0.06

-0.03

-0.04

0.01

-0.01

-Expected Change for THETA-DELTA

ITEM19

ITEM20

ITEM21

ITEM22

ITEM23

---

---

---

---

---ITEM19

-ITEM20

0.04

-ITEM21

- -

-0.01

-ITEM22

- -

0.07

-0.03

-ITEM23

- -

0.04

-0.06

0.09

-Maximum Modification Index is

5.55 for Element (13, 3) of THETA-DELTA

UJI VALIDITAS KI

Standardized Solution

LAMBDA-X

KI

---ITEM1

0.37

ITEM2

0.37

ITEM3

0.56

ITEM4

0.44

ITEM5

0.23

ITEM6

0.43

ITEM7

0.16

ITEM8

0.57

ITEM9

0.45

ITEM10

0.47

ITEM11

0.64

ITEM12

0.62

ITEM13

0.51

ITEM14

0.24

ITEM15

0.42

ITEM16

0.41

ITEM17

0.52

ITEM18

0.29

ITEM19

0.47

ITEM20

0.48

ITEM21

0.21

ITEM22

0.43

ITEM23

0.17

PHI

KI

---1.00


(2)

Path Diagram


(3)

2. Path diagram konsep diri


(4)

4. Path diagram tipe kepribadian

conscientiousness


(5)

6. Path diagram tipe kepribadian

neuroticism

7. Path diagram tipe kepribadian

openess to experience


(6)