Subjek Pelaku Taklif KLASIFIKASI PENYEBUTAN BERDASARKAN
13
bisa disandang oleh makhluk-makhluk-Nya. Secara tegas, Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri yang menamai dirinya Allah. firman Allah:
هط ٠٢
: ٤١
Artinya: Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan yang hak selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat
aku . QS. Thaha: 14
Selain itu Allah juga bertanya dalam al-Quran, Firman Allah:
ميرم ٤۹
: ٥٦
Artinya: Tuhan yang menguasai langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam
beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia yang patut disembah.
QS. Maryam: 65 Ayat ini dipahami oleh para pakar al-Quran bermakna apakah engkau
mengetahui ada sesuatu yang bernama seperti nama ini? Atau apakah engkau mengetahui sesuatu yang berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan
sebagaimana pemilik nama itu Allah? atau bermakna apakah engkau mengetahui ada nama yang lebih agung dari pada nama ini? Juga dapat berarti
apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama dengan Dia yang patut disembah?
Pertanyaan-pertanyaan yang mengandung makna sanggahan ini, kesemuanya benar karena hanya Tuhan Yang Maha Esa yang wajib wujud-Nya
itu yang berhak menyandang nama tersebut, sedangkan lain-Nya tidak ada bahkan tidak boleh. Selain itu kata Allah itu sendiri tidak terambil dari satu akar tertentu,
14
tetapi Ia adalah nama yang menunjuk pada Zat yang wajib wujud-Nya, yang menguasai seluruh hidup dan kehidupan dan yang kepada-Nya seharusnya seluruh
makhluk mengabdi dan memohon. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa kata Allah asalnya adalah
هلإ Ilâh
yang dibubuhi huruf alif dan lâm dan dengan demikian Allah merupakan nama khusus disebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ila
ẖ a ini dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan ali
ẖ ah dalam bentuk jama disebut ulang sebanyak 34 kali, karena itu tidak dikenal bentuk jamaknya. Sedang Ilâh adalah
nama yang bersifat umum dan yang dapat berbentuk jamak plural ةهلأ Alihah.
Dalam bahasa Ingris baik yang bersifat umum atau khusus, keduanya diterjemahkan dengan god, demikian juga dalam bahasa Indonesia.
Sedangkan kata Tuhan dalam bahasa Arab adalah Ilah هلإ disebut ulang
sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilaha ini dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan alihah dalam bentuk jama disebut ulang sebanyak 34 kali
alif dan lâm yang dibubuhkan dalam pada kata Ilâh berfungsi menunjukan
bahwa kata yang dibubuhi itu dalam hal ini kata Ilâh merupakan sesuatu yang telah dikenal dalam benak mereka adalah Tuhan Pencipta, berbeda dengan tuhan-
tuhan alihah, bentuk jamak dari Ilâh yang lain. Selanjutnya hamzah yang berada antara dua lâm yang dibaca i pada kata
هلاا al-Ilâh tidak dibaca lagi sehingga berbunyi
ها Allah, dan sejak itulah kata ini seakan-akan telah merupakan kata baru yang tidak memiliki akar kata, sekaligus sejak itu pula kata Allah menjadi
nama khusus bagi pencipta dan pengatur alam raya yang wajib wujud-Nya.
3
3
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran Ciputat: Lentera Hati, 2009, cet-1, jil-1., hal.22
15
Kata Allah sendiri mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki kata lain, ia adalah kata yang sempurna hruf-huruf dan maknanya serta memiliki
kekhususan berkaitan dengan rahasianya sehingga kata itulah yang dinamai Ism Allah al-azam nama Allah yang paling mulia, yang bila diucapkan dalam doa,
Allah akan mengabulkannya. Dari segi lafadz terlihat keistimewaannya ketika dihapus huruf-hurufnya. Bacalah kata Allah
ها dengan menghapus huruf awalnya, akan berbunyi
ه Lillâh dalam arti milikbagi Allah. kemudian hapus huruf awalnya dari kata Lillâh itu akan dibaca
هل Lahu dalam arti bagi-Nya. Selanjutnya hapus lagi huruf awal dari kata lahu, akan terdengar dari ucapan Hû
yang berarti Dia menunjuk Allah, dan bila ini pun dipersingkat maka akan terdengar kata Âh yang sepintas atau pada lahirnya mengandung makna keluhan,
tetapi pada hakikatnya adalah seruan permohonan kepada Allah. karena itulah kata Allah terucap oleh manusia sengaja atau tidak sengaja, suka atau tidak suka.
4
Firman Allah:
....
رمزلا ۹۹
: ۹٨
Artinya: dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?, niscaya mereka menjawab: Allah.
QS. Az-Zumar: 39
Dari segi makna dapat dikemukakan bahwa kata Allah mencakup segala sifat-sifat-Nya, bahkan Dialah yang menyandang sifat-sifat tersebut. Karena itu
jika berkata Ya Allah, semua nama-nama serta sifat-sifat-Nya telah dicakup oleh kata tersebut. Di sisi lain jika berkata ar-Rahîm Yang Maha Pengasih,
4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran Ciputat: Lentera Hati, 2009, cet-1, jil-1., hal. 21
16
sesungguhnya yang anda maksud adalah Allah, demikian juga jika berkata al- Muntaqim
Yang Membalas Kesalahan, namun kandungan makna ar-Rahîm tidak mencakup pembalasan atau sifat-sifat yang lain-Nya. Seperti contohnya
ketika mengucapkan Asyhadu an Lâ Ilâha Illa Allah, dan tidak dibenarkan mengganti kata Allah tersebut dengan nama-nama-Nya yang lain seperti Asyhadu
an Lâ Ilâha Illa ar-Rahîm .
5
Jika menyebut nama Allah, pasti akan menjadikan hati kita tenang demikian pula dengan penyebutan Asmâ al-Husna. Firman Allah
دعرلا ٤۹
: ٠٨
Artinya: yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati
Allah-lah hati menjadi tenteram .QS. Ar-Raad: 28
Ketentraman dan ketenangan itu lahir bila anda percaya bahwa Allah adalah penguasa Tunggal dan pengatur alam raya. Ketenangan itu akan dirasakan
bila menghayati sifat-sifat, kudrat dan kekuasaan-Nya dalam mengatur dan memelihara segala sesuatu. Demikian itu Allah SWT. karena itu tidak heran jika
ditemukan sekian banyak ayat al-Quran yang memerintahkan orang-orang beriman agar memperbanyak zikir menyebut nama Allah, dan karena itu setiap
perbuatan yang penting hendaknya dimulai dengan menyebut nama Allah.
5
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran Ciputat: Lentera Hati, 2009, cet-1, jil-1., hal. 24
17
2.
Kata Ganti Kami ݍحݎ
Di dalam Al-Quran, penggunaan kata ganti juga diterapkan untuk lafadz Allah SWT, ada kata ganti pertama singular anâ, dan ada kata ganti pertama
plural nahnu, terkadang membahasakan Allah dengan kata ganti Dia huwa, di mana makna aslinya adalah dia laki-laki satu orang. Tetapi kita tahu bahwa Allah
SWT bukan laki-laki dan juga bukan perempuan atau banci. Kalau ternyata Al- Quran menggunakan kata ganti Allah dengan lafadz huwa, dan bukan hiya untuk
perempuan, sama sekali tidak berarti bahwa Allah itu laki-laki. Juga tak terkecuali kata nahnu, yang meski secara penggunaan asal katanya untuk kata
ganti orang pertama, jamak lebih dari satu, baik laki-laki maupun perempuan, namun sama sekali tidak berarti Allah itu berjumlah banyak.
Sama dengan tata bahasa lainnya. Dalam ilmu bahasa arab, penggunaan banyak istilah dan kata itu tidak selalu bermakna zahir dan apa adanya. Karena
Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan muatan nilai sastra tingkat tinggi. Selain kata ganti tersebut
ada juga kata „antum’ yang sering digunakan untuk menyapa lawan bicara meski hanya satu orang. Padahal makna `antum` adalah
kalian jamak. Secara rasa bahasa, bila kita menyapa lawan bicara kita dengan panggilan „antum’, maka ada kesan sopan dan ramah serta penghormatan
ketimbang menggunakan sapaan anta. Khusus k ata „nahnu` tidak selalu
bermakna banyak, tetapi menunjukkan keagungan Allah SWT. Ini dipelajari dalam ilmu balaghah.
Contoh: Dalam bahasa kita ada juga penggunaan kata “Kami” tapi bermakna tunggal. Misalnya seorang Kepala Sekolah dalam pidato sambutan
18
berkata,”Kami sebagai kepala sekolah berpesan…. Padahal Kepala Sekolah hanya dia sendiri dan tidak banyak, tapi dia bilang “kami”. Lalu apakah kalimat
itu bermakna bahwa Kepala Sekolah sebenarnya ada banyak, atau hanya satu ? Kata “kami” dalam hal ini digunakan sebagai sebuah rasa bahasa dengan tujuan
nilai kesopanan. Tapi rasa bahasa ini mungkin tidak bisa diserap oleh orang asing yang tidak mengerti rasa bahasa atau mungkin juga karena di barat tidak lazim
digunakan kata-kata seperti itu.
6
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang ada pada tiap-tiap diri hamba-Nya. Oleh karenanya bentuk penggunaan kata ganti kami bukan tanpa
alasan atau sebab begitu saja tanpa adanya maksud tertentu yang tersirat. Ada pun maksud dari penggunaan kata ganti kami yang terdapat dalam al-Quran bertujuan
untuk: 1.
Sebagai kata kami nahnu bermakna bahwa dalam mengerjakan tindakan tersebut Allah melibatkan unsur-unsur makhluk selain diri-Nya sendiri
dalam kasus nuzulnya al-Quran makhluk-makhluk yang terlibat dalam pewahyuan dan pelestarian keasliannya ialah sejumlah malaikat terutama
jibril, kedua; Nabi Muhammad sendiri, ketiga; para pencatatpenulis, keempat; para huffadz penghafal, dan lain-lain. Kalau diperhatikan
kebanyakan ayat-ayat yang bercerita tentang turunnya al-Quran, Allah selalu menggunakan kata kami nahnu.
7
2. Selain itu ayat yang menggunakan kata kami biasanya menceritakan
sebuah peristiwa besar yang berada di luar kemampuan jangkauan nalar
6
Sumber: http:adiabdullah.wordpress.com20081202kata-aku-dan-kami-dalam-
7
Ibnu Taimiyyah, Al Furqon Baina ‘l Haq wa ‘l Bathil Dar Ihyai‟t Turotsi „l Arabi: tth,
hal 67
19
manusia, seperti penciptaan Adam penciptaan bumi, dan langit. Di sini, selain peristiwa itu sendiri yang bernilai besar, Allah sendiri ingin
mengukuhkanmemberi kesan Kemahaan-Nya kepada manusia agar manusia dapat menerimamengimani segala sesuatu yang berada di luar
jangkauan nalarrasio manusia. Seperti contoh berikut:
ا ا
فارع ۷
: ١١
Artinya Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu Adam, lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada Para Malaikat:
Bersujudlah kamu kepada Adam, Maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak Termasuk mereka yang bersujud
.QS. Al-Araf: 7
3. Kata ganti Tuhan Allah dalam al-Quran berbentuk tunggal dan jamak, itu
menunjukkan pihak-pihak yang berperan atau terlibat aktif dalam prosesi berlangsungnya kata kerja. Tugas-tugas seperti mencipta jin dan manusia,
kata ganti tunggal Aku yang dipilih, itu artinya bahwa hanya Dia, dan tidak ada campur tangan pihak lain, yang terlibat dalam tugas penciptaan
itu. Adapun tugas sepeti menurunkan rejeki, menjaga otentisitas al- Quran dan sebagainya, digunakan kata ganti jamak Kami, itu berarti
bahwa benar Dialah yang pada tingkat hakiki menurunkan rejeki, namun pada tingkat lahiriah manusia individu yang bersangkutan ikut pula
menentukan apakah ia akan memperolehnya dengan segala kualitas dan kuantitasnya atau tidak.
8
8
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, al-Aqidah at-Tadmuriah Beirut: ttp, tth, hal. 109.
20
Lafadz ا إ dan ح atau selainnya termasuk bentuk jamak, tapi dapat
diucapkan untuk menunjukkan seseorang yang mewakili kelompoknya, atau dapat pula mewakili seseorang yang agung. Sebagaimana dilakukan oleh sebagian raja
apabila mereka mengeluarkan keputusan atau ketetapan, maka dia berkata, “Kami
tetapkan” atau semacamnya, padahal dia yang menetapkan itu hanyalah satu orang. Akan tetapi diungkapkan demikian untuk menunjukkan keagungan.
Dengan kata lain ketika Allah menggunakan kata “Kami”, pada saat itu Allah sedang menunjukkan kebesaran, keagungan, dan kemahaan-Nya. Sehingga
kata- kata “Kami” banyak digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan
penciptaan seperti penciptaan alam semesta, atau ketika Allah mengatakan mengenai ayat-ayat tanda-tanda-Nya yg berada di alam. Atau ketika Allah
mengatakan “Kami maafkan”, saat itu Allah sedang mengagungkan Diri-Nya sebagai Maha Pemaaf.
Sedangkan ketika Allah menggunakan kata “Aku”, Allah sedang menegaskan ketunggalan-Nya, hanya Dia, keunikan-Nya. Jadi ketika Allah
men gatakan “ayaati ayat-ayat-Ku di beberapa tempat dalam Al-Qur‟an,
bukannya “ayaatiina ayat-ayat Kami” sebagaimana yang digunakan di banyak tempat yg lainnya dalam Al-
Qur‟an, Allah ingin menegaskan bahwa semua tanda- tanda, semua ayat-ayat itu adalah milik-Nya semata.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwasannya Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan muatan nilai sastra tingkat tinggi, tak heran jika dalam hal ini
al-Quran pun sering terdapat perubahan dan pengulangan di sebagian ayatnya dari segi bentuknya, yaitu penggunaan kata kerja, baik fiil madhi atau fiil mudhari.
21
Penggunaan kata kerja masa lampau fiil mâdhi dan kata kerja masa kini fiil mudhari
pun mengandung pemahaman yang jauh berbeda. Kata kerja masa lampau, misalnya menunjuk kepada peristiwa yang terjadi pada masa lampau,
sedangkan kata kerja masa kini menunjuk kepada peristiwa yang terjadi secara berulang-ulang.
9
Seperti contoh berikut:
….
...
رط ۴ف ٦
۹ :
۹
Artinya: Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi
QS. Fathir: 35 Berdasarkan kaidah yang demikian pula, maka para ulama memahami lafal
yarzuqu dalam kalimat di atas, bahwa Allah memberikan rizki kepada makhluk-
Nya secara berulang-ulang dan berkesinambungan. Artinya pekerjaan memberi rizki itu telah menjadi perilaku-Nya secara terus menerus. Itulah sebabnya Allah
di Dzariyat
di sebut Razzâq. Dalam ayat 58
Dengan begitu dapat dimengerti bahwa Razzâq atau Râziq adalah sifat yang tetap dan tidak berubah-ubah, sementara yarzuqu menggambarkan suatu
sikap yang terlaksana secara berulang-ulang dan berkesinambungan, tapi bukan sikap yang menetap pada dirinya. Contoh lain yang sejalan dengan ini, misalnya
kosa kata infâq. Dalam al-Quran dalam rangka mendorong umat agar berinfak Allah selalu menggunakan fiil mudhari dalam berbagai konjugasinya
,قف ت ,قف ي وقف ت , وقف ي dan lain-lain, tidak menggunakan isim kata benda. Itu berarti kata
9
Al-Suyûthi, al-Itqan Fî Ulûm Quran Beirut: Dâr al-Fikr, tth, Juz-II., hal. 322
22
berinfak harus dilakukan secara berulang kali dan berkesinambungan secara terus menerus, misalnya Allah berfirman:
ةبح لث ك ها ليبس يف مهلاومأ وقف ي يذلا لثم ...لب ا س عبس تتب أ
. Allah tidak berkata يقف لا لثم karena yang dikehendaki ialah
agar mereka berinfak secara berulang-ulang dan terus menerus dan sifat mau berinfak itu tidak perlu menyatu dalam diri mereka secara menetap. Berbeda
dengan iman, takwa, syukur dan lain-lain. Bentuk kosa kata tersebut dalam fiil mudhari dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bahwa sifat-sifat tersebut
harus diperbarui secara terus menerus dan berkesinambungan.
10
Kata kerja fiil mudhari menunjukan pada sesuatu yang dilaksanakan secara berulang-ulang tapi belum merupakan sifat yang menyatu dalam diri
pelakunya, serta pemakaian kata kerja masa lampau fiil mudhari pula tidak memberikan pemahaman yang spesifik karena ia menjelaskan kejadian suatu
peristiwa pada masa lampau. Pemakaian kata kerja pada masa lampau juga memberitakan peristiwa yang akan terjadi di masa depan mengandung makna
bahwa peristiwa itu pasti akan terjadi, cepat atau lambat dan tidak dapat ditolak oleh siapapun.
11
Apabila suatu ayat menggunakan fiil mudhari tetapi yang ditunjukkannya sudah lampau, dinisbatkan kepada Allah, maka hal itu
menunjukan terus menerus.
12
Selai itu menunjukan pengertian yang sebenarnya dan itu berarti kata tesebut memiliki makna yang menjadi fokus utama ayat al-
10
Nashruddin Baidan, Wawasan Ilmu Tafsir Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, cet-1., hal. 322-323
11
Nashruddin Baidan, Wawasan Ilmu Tafsir , hal. 325
12
Rachmat SyafeI, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, 2006 hal.,239
23
Quran ini. kandungannya memiliki keberlangsungan sepanjang zaman, masa sekarang dan masa mendatang
13
. Dari uraian di atas jelaslah bahwa pemakaian satu lafal dalam al-Quran
bukan secara kebetulan, melaikan sengaja dibuat dengan sedemikian rupa agar membawa pesan yang dimaksud dengan tepat dan mengenai sasarannya dengan
jitu dalam membingbing umat ke jalan yang benar demi memperoleh kebahagian dunia dan akhirat.