Kadar Nafkah Bagi Keluarga

53 keluarganya, dirinya dan agamanya yang harus ia letakan secara seimbang. Sehingga suatu kewajiban tidak mengurangi kewajiban yang lain. Sungguh Allah SWT. telah berkehendak memberikan amanah kepada perempuan untuk hamil, melahirkan dan menyusui. Tugas yang amat besar, karenanya sangat adil, jika kemudian Allah SWT. membebankan tugas kepada laki-laki untuk mencari nafkah, memenuhi kebutuhan utama keluarganya. Memberikan nafkah disini dipahami dengan mencukupi istri dan anak dengan baik. Dilihat dari kemampuan suami, apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam rizki ataukah tidak, ini berarti harus sesuai dengan kondisi, tempat, dan zamannya. Hendaklah seseorang memberi nafkah menurut kemampuannya, hal ini menjelaskan bahwa berapa kadar nafkah, dimana sang suami hendaknya memberi nafkah kepada istri dan anaknya yang masih kecil sesuai dengan kemampuannya. Dalam at-Tashil l ȋ ulûm at-Tanzil disebutkan, ini merupakan perintah agar tiap orang memberi nafkah sesuai dengan kemampuannya. 27 Menurut penulis ini berarti sang suami tidak dipaksa di atas kemampuannya sehinga istri tidak disia-siakan dan tidak memberatkannya dari sisi kemampuan. Selain itu penafsiaran di atas menunjukan bahwa, nafkah berbeda sesuai dengan perbedaan status ekonomi seseorang. Allah SWT. tidak membebani siapapun, kecuali sesuai kemampuan dan kesanggupannya. Allah SWT. tidak membebani si miskin apa yang dibebani si kaya. 27 Syaikh Muhammad Alî ash-Sabunî, Safwâtut Tafâsir, terj. Yasin Jakarta: Pustaka al- Kautsar, 2011, jil-5., cet-1., hal. 392 54 M. Quraish Shihab mengatakan hendaklah bagi seorang suami yang lapang, yakni mampu dan memiliki banyak rezeki, memberi nafkah istri dan anak-anaknya sebatas kadar kemampuannya, dengan demikian hendaknya ia memberi sehingga anak dan istrinya itu memiliki pula kelapangan dan keluasan berbelanja dan siapa yang disempitkan rezekinya, yakni terbatas penghasilannya, maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. 28 Dalam hal ini jangan sampai ia memaksakan diri untuk nafkah itu dengan mencari rezeki dari sesuatu yang diharamkan oleh syariat. Karena sesungguhnya Allah SWT. tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai apa yang Allah SWT. berikan kepadanya. Karena itu hendaklah sang istri janganlah menuntut terlalu banyak dan pertimbangkanlah keadaan suami atau bekas suami. Firmannya, اهاتآ ام َاإ اًسفن ها ف ي ا “Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya,” artinya adalah, Allah SWT. tidak akan membebani seseorang untuk menafkahi keluarganya kecuali berdasarkan rezeki yang diberikan Allah SWT. kepadanya. Bila dia punya harta yang banyak maka dia membelanjakannya sesuai kadar kekayaannya, dan bila miskin maka disesuaikan dengan itu pula. Si miskin tidak dibebankan untuk menafkahi dengan jumlah yang sama dengan si kaya. 29 Jika suami hanya mampu memberikan nafkah hanya cukup untuk sekali makan saja, maka hendaknya ia memberi sesuai dengan kadarnya, begitu juga jika dia mampu memberikan lebih maka sesuai dengan kelebihannya pula. 28 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-, jil. 1., cet. 1., hal.146 29 Abû Jafar Mu ẖammad bin Jarir ath-Ṯabari, tahqiq: Ansari Taslim, Muhyiddin Mas Ri ḏ a, Muhammad Rana, Tafsir at-Thabari Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, cet-1., jil.25., hal197 55 Berkaitan dengan surat at-Thalaq ayat 7 itu sendiri Al-Maraghi mengatakan Allah SWT. tidak membebani seseorang dengan nafkah untuk orang yang harus diberinya nafkah, baik karena hubungan kerabat maupun hubungan rahim, kecuali menurut kadar rezeki yang diberikan Allah SWT. kepadanya. Sehingga orang yang fakir tidak dibebani dengan beban yang dibebankan dengan beban yang dibebankan kepada orang kaya. Allah SWT. juga menjelaskan bahwa rezeki itu berubah dari kesulitan menuju kelonggaran Allah SWT. akan menjadikan sesudah kesulitan itu kemudahan, sesudah kesempitan itu kelapangan dan sesudah kefakiran itu kekayaan. Sebab dunia itu tidak tetap dalam suatu keadaan seperti firman Allah SWT:     لا حرش : Artinya: Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.QS. Al- Insyirah: 6 Yang demikian itu merupakan kabar gembira, bagi orang-orang mukmin yang dikuasai ke fakiran dan kepapaan. 30 Hal ini menegaskan bahwa nafkah yang diberikan suami terhadap keluarganya lebih besar nilainya disisi Allah SWT, Hal ini jelas betapa pentingnya suami memberi nafkah kepada istri, untuk menjaga hubungan keluarganya, mencegah terjadinya tindak kriminal. Oleh karenanya untuk menghindari itu semua, maka hukum melindunginya dengan diperbolehkannya sang istri membantu suami untuk meringankan beban kebutuhan ekonominya. 30 Ahmad Mus ṯ afa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj.Bahrun Abu Bakar, Hery Noer Aly, Anshori Umar Sitanggal Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993, juz-4, 5, 6., cet-2., hal. 239 56

D. Harta Anak Yatim

Dalam al-Quran sebanyak 23 kali disebut perkataan yatim dan penggunaan kata-kata yatim itu merujuk kepada kemiskinan dan kepapaan. Artinya mereka yang berada dalam golongan yatim anak yatim memerlukan perhatian dan pembelaan serta tanggung jawab dari kita semua agar mereka bisa belajar dengan tenang, bergembira mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan kebutuhan anak-anak mampu lainnya serta memiliki ayah dan ibu. Begitu banyak ayat al-Quran menjelaskan tentang tanggung jawab setiap muslim agar memperhatikan dan memelihara anak yatim dari segi kejiwaan serta sosial kemasyarakatannya. Tetapi realitannya hanya sebagian orang muslim yang mau peduli mengambil tanggung jawab sebagai orang tua dari sekian banyak anak yatim dan anak terlantar. Menyayangi dan memelihara anak yatim adalah kewajiban sosial setiap orang Islam, selain itu merupakan salah satu tindakan yang jarang dilakukan orang. Justru masalah sosial yang ada dalam sebuah masyarakat terkait dengan keberadaan anak-anak yatim yang kehilangan orang yang melindungi dan bertanggung jawab atas mereka. Anak-anak yatim ini biasanya kekurangan kasih sayang dan bila ini tidak ditutupi, maka mereka akan menjadi anak-anak yang terlantar, kriminal, dan pada akhirnya kehilangan kebahagiaan dan menjadi masalah bagi masyarakat. Al-Quran memperingatkan orang-orang yang tidak memperhatikan perasaan manusia, tidak peduli dan memakan harta anak yatim. 57                        .... ماعناا :٣ ٢ Artinya: dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. QS. Al-Anam: 152 M. Quraish Shihab mengatakan bahwa larangan menyangkut harta dimulai dengan larangan mendekati harta kaum lemah, yakni anak-anak yatim. Ini sangat wajar karena mereka tidak dapat melindungi diri dari penganiayaan akibat kelemahannya. Dan karena itu pula, larangan ini tidak sekedar melarang memakan atau menggunakan, tetapi juga mendekati. Dalam kamus bahasa Indonesia, yang disebut yatim adalah seorang anak yang telah ditinggal mati ibu dan atau ayahnya. 31 Sedangkan dalam kamus bahasa Arab yang disebut yatim 32 adalah اجر ا غ بم غ بي م ابأ قف نم orang yang ditinggal mati ayahnya sedang ia belum mencapai usia dewasa. Adapun seorang yang ditinggal mati ibunya disebut al- ‘aj y. Dan anak yang ditinggal mati oleh ayah dan ibunya disebut al-lath m . Istilah yatim juga digunakan untuk binatang yang ditinggal mati induknya. 33 Dalam konteks masyarakat Indonesia, nama yatim lebih sering digunakan bagi anak yang bapaknya meninggal dunia, sedangkan kalau yang meninggal 31 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1988, h. 1015 32 Secara bahasa kata yatim memiliki beberapa arti yaitu, khatara atau رتخ ايعأ lemahletih, ت فنإ terlepas, أطبأ lambat, ٌمه sedih, dan ارفنإ kesendirian. Lihat selengkapnya Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhzar, Kamus Kontemporer Arab – Indonesia Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Ponpes Krapyak, 1996, cet-1, h. 2045 33 Luis Ma’luf, al-Munjid fî al-Lughah Beirut: Dâr al-Mishria, 1982, cet ke-26, h. 923 58 adalah kedua orang tuanya maka anak tersebut dinamakan yatim piatu. Oleh karenanya anak yatim membutuhkan bimbingan, pengawasan dan kasih sayang untuk kemajuan masa depannya.     ,     ,      ,   ... وعا لا ٣١۹ : - ٣ Artinya: Tahukah kamu orang yang mendustakan agama, Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. QS. Al- Maun: 1-4 Ayat di atas menjelaskan bahwa setiap muslim harus memperhatikan dan menyayangi anak-anak yatim kerena mereka merupakan titipan kepada umat yang harus diberikan santunan, diurus, dan didik dengan baik, sehingga mereka dapat merasakan yang sama sewaktu masih ada orang tuanya. Akan tetapi jika ada yang menelantarkan dan memberlakukannya dengan sewenang-wenang serta memakan harta anak yatim, maka diterangkan dalam sebuah hadits bahwa pada hari hisab ada sebagian orang yang akan dibangkitkan dalam keadaan api dinyalakan di mulut mereka. Mendengar hal ini sebagian sahabat ra bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah mereka ini?” Rasulullah saw menjawab dengan membaca ayat al-Quran berikut:               ءاسنلا : ٣١ Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala neraka. QS. An- Nisa: 10