Penggunaan kata taklif dalam al-quran

(1)

Skripsi

DiajukankepadaFakultasUshuluddin UntukMemenuhiPersyaratanMemperoleh

GelarSarjanaTheologi Islam (S.Th.I)

DisusunOleh :

Ahmad Damanhury. AR

NIM: 109034000104

FAKULTAS USHULUDIN

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014 M/1435 H


(2)

(3)

(4)

i

ABSTRAK

Islam melalui syariat yang dibawa oleh Baginda Rasulullah SAW melalui wahyu dari Allah SWT datang dengan membawa cahaya kebenaran, berpegang teguh kepada prinsip al-Quran dan as-Sunnah.

Perintah melaksanakan syariat merupakan salah satunya. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah untuk alam dunia ini, diberikan tugas untuk menjalin relasi antar individu dengan Tuhannya, atau individu dengan individu, atau dengan kelompok lainnya.

Sebagai makhluk tentu manusia di dalam dirinya dibebankan untuk menjalin relasi tersebut sesuai dengan kadar kemampuannya. Tidaklah Allah menciptakan suatu urusan atau beban dalam kehidupannya, melainkan sesuai dengan kadar kemampuannya. Hal itulah yang mengantarkan manusia menjadi makhluk yang mulia, disebabkan karena pembebanan tersebut.

Seperti yang diketahui banyak ayat yang mengatakan Allah tidak akan membebani seseorang sesuai dengan kemampuannya. Namun kenyataannya banyak tindakan tercela yang terjadi di dalam kehidupan ini, dengan alasan tidak sanggup atas beban yang diterimanya. Ini semua diluar batas kemampuannya

Hal itu terlihat jelas dalam al-Quran dengan penggunaan kata taklif secara berulang kali, dengan waktu, kondisi, dan situasi yang berbeda, hal ini sebagai isyarat yang nyata dalam kehidupan manusia bahwasannya taklif tersebut merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan.

Penelitian ingin mengetahui sejauh mana penggunaan kata taklif dalam al-Quran dengan menggunakan beragam gaya bahasa, subjek (pelaku), maupun objek (sasaran) yang berbeda, dan interpretasinya dalam tatanan masyarakat modern sekarang ini. Apakah kebenaran al-Quran sebagai kitab shalih fi qulli

zaman wa makan terbukti secara keseluruhan, dalam hal ini semua ayat-ayatnya

mampu menyesuaikan dengan kehidupan dari zaman ke zaman atau hanya sebagian ayat saja yang mampu menyesuaikan dengan zamannya masing-masing.


(5)

ii

Alhamdulillahi Rabbi al-‘Alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah

SWT yang telah memberikan rahmat, karunia, dan inayahnya kepada seluruh alam. Berkat Rahmat dan Pertolongan-Nya, serta ketulusan hati, keikhlasan niat dan motivasi dari berbagai pihak sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul :“ Penggunaan Kata Taklif dalam al-Quran “. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat, serta pengikutnya dan semoga kelak kita mendapatkan syafa‟atnya.

Munculnya berbagai hambatan selama penulis menjalankan studi hingga akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini, seakan ringan berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada orang yang sangat istimewa dalam kehidupan penulis, yakni ibunda tercinta Rofiqah bin Maksum, ayahanda Amiruddin bin Abd Mami, terima

kasih atas pengorbanan baik moril maupun materil, motivasi dan do‟a yang selalu

diberikan kepada penulis.

Begitu juga saya ucapkan terimakasih kepada :

1. Prof.Dr.Komarudin Hidayat, MA. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

iii

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kultsum, MA, selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis, dan Bapak Jauhar Azizy, MA, Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayataullah Jakarta, terimakasih atas motivasi dan dorongan untuk menyelasaikan skripsi ini.

4. Bapak pembimbing Dr. Moqsith Ghazali MA, dan bapak Muslih, Lc. yang bersedia meluangkan waktu dan pikirannya dalam membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini di tengah-tengah kesibukannya.

5. Dr. Eva Nugraha, MA. Yang telah meluangkan waktunya di tengah-tengah kesibukannya dalam mengajar. Semoga senantiasa diberikan kemudahan dan kesuksesannya.

6. Seluruh dosen pengajar Fakultas Ushuludin yang dengan ketulusan hati dan kesabarannya telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama belajar di Ushuluddin.

7. Kepada segenap karyawan/ti UIN Syarif Hidayatullah, khususnya akademik Fakultas Ushuludin yang telah membantu selama kuliah.

8. Seluruh staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Fakultas Dakwah, Fakultas Syariah, Pasca Sarjana, serta tak lupa pula kepada karyawan Perpustakaan Pusat Studi Al-Qur‟an (PSQ), Perpustakaan Masjid al-Ihsan Rawamangun Jakarta Timur, Perpustakaan Masjid Syahid Nurul Iman Sudirman Jakarta Pusat, Perpustakaan Iman Jama Lebak Bulus, yang rela dan bersedia memberikan layanan dengan baik kepada penulis selama perkuliahan sampai penulisan skripsi ini.


(7)

iv

Nenek Wartini (alm), serta Adik-adik ku“ Sayyidah Nafisah. AR (terimakasih telah membantu menerjemahkan teks), Lailatul Badriyah. AR (terimakasih motivasi dan doanya), sukses selalu untuk kalian. dan Muhammad dim Yati. AR (alm), yang sudah membantu memberikan dukungannya baik moral dan materill penulis dalam menjalani kuliah di UIN, semoga Allah selalu memberikan yang terbaik bagi kalian dan kesuksesan melebihi kaka-kakanya.

10.Kepada Paman Muhammad Satori dan keluarga (terimakasih telah mengedit ulang tulisannya), dan Paman Drs. Hasyim Maksum yang terus membantu dan mengarahkan dalam penyelesaian skripsi penulis, serta kepada seluruh keluarga besar.

11.Kepada seluruh Sesepuh Pondok Buntet Pesantren Cirebon, khususnya KH. Chowas Nuruddin (Alm) dan Nyai Hj. Ghumaesoh (Alm) tercinta. serta KH. Ahmad Rifqi Chowas dan KH. Ahmad Syauqi Chowas dan para Asatidz keluarga Pondok Pesantren Darussalam Buntet Pesantren, yang telah banyak memberikan ilmu sehingga penulis bisa belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

12.Kepada seluruh Asatidz Pondok Sabilussalam Tangerang, Ciputat, pimpinan Prof. Dr. HD. Hidayat, MA. tidak lupa pula kepada Yayasan ar-Ridho Sawah Baru, Bintaro yang di pimpin oleh Ust. H. Bahron, MA. Tak


(8)

v

lupa juga kepada seluruh jajaran Lembaga Pusat Ilmu Bahasa dan al-Quran (LBIQ) Jakarta.

13.Kepada seluruh pengurus Yayasan Masjid al-Ihsan, Khususnya Bapak H. Bastiansah Hamid beserta keluarga besarnya dan Ibu Hj. Yusmirdas, M.Pd beserta keluarga besarnya, yang telah memberikan beasiswa pendidikan dari jenjang TK (taman kanak-kanak), hingga jenjang Universitas dan Bapak Ir. Rukhyat Kustomi beserta keluarga besarnya, atas beasiswa penulisan skripsi serta bantuan moral, materil, arahan, bimbingan dan motivasi yang diberikannya kepada penulis. Semoga Allah membalas kebaikan didunia dan diakhirat, keberkahan dan kemuliaan semoga

senantiasa terlimpahkan. Amiien…

14.Teman-teman Fakultas Ushuluddin seluruh angkatan dan jurusan TH, PA dan AF, khususnya jurusan Tafsir Hadis A, B, dan C angkatan 2009, khususnya kelas TH. C (Ahmad Heri, S.Th,i, Ahmad Gunawan, S.Th,i, Mukmin Mulyana S.Th,i, Muhammadun, S.Th,i, Sahlan al-Badawi, Dimas YS, Taufik Akbar, Zenal Muid, Agus Maulana Y, Azizah Iffah, S.Th,i, Ayu Khairunnisa, Lia Ernawati, Nasroh, Umi Hani, Nurul Wati dan Lainnya) ,yang sama-sama berjuang selama kuliah, aku tidak akan pernah melupakan kalian.(Jalan-jalan, Ngopi, Dia mulai Lapar, Main UnO, Futsal, PS, dan Tuyul. Hahahaha…..)

15.Kepada Deslina Herliani, S.Pd,i. yang selama ini selalu memotivasi, menghibur, dan memberi perhatiannya yang sangat besar kepada penulis dalam menyelasaikan skripsi ini.


(9)

vi

Tarbiyah, HTI Cab. Ciputat, ARKADIA, KMPLS Ciputat, KMSGD Cirebon, dan LDK yang telah banyak memberikan wawasan, motivasi dan pengalamannya. (sukses untuk kalian semua)

Semoga pengorbanan yang telah kalian lakukan untuk penulis, dibalas oleh Allah Swt dengan balasan yang lebih, dan menjadi amal kebaikan di akhirat nanti.

Jakarta, 28 April 2014


(10)

vii DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Tujuan dan Kegunaan ... 7

C. Tinjauan Pustaka ... 7

D. Metode Penelitian... 8

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II KLASIFIKASI PENYEBUTAN BERDASARKAN SUBJEK DAN OBJEK A. Subjek (Pelaku) Taklif ... 11

1. Term Allah ... 11

2. Kata Ganti Nahnu ... 17

B. Objek (Sasaran) Taklif ... 23

1. Nafs ... 23

2. Muhammad ... 28

BAB III SISTEM MAKNA "TAKLIF" A. Amal Ibadah ... 35


(11)

viii

E. Jihad ... 62

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 69 B. Saran ... 70 DAFTAR PUSTAKA ... 71


(12)

ix

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi huruf arab latin dalam penulisan skripsi ini berpedoman pada buku panduan penulisan karya ilmiah, skripsi, tesis, dan desertasi yang disusun oleh tim penulis ceQda UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan tahun 2008.

Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا

Tidak dilambangkan

ب

B Be

ت

T Te

ث

Ts Te dan es

ج

J Je

ح

H H dengan garis bawah

خ

Kh Ka dan ha

د

D Da

ذ

Dz De dan zet

ر

R Er

ز

Z Zet

س

S Es

ش

Sy Es dan ye

ص

S Es dengan garis bawah

ض

D De dengan garis bawah

ط

T Te dengan garis bawah

ظ

Z Zet dengan garis bawah

ع

Koma terbalik keatas, menghadap kekanan

غ

Gh Ge dan ha


(13)

x

ل

L El

م

M Em

ن

N En

و

W We

H Ha

ء

Apostrop

Y Ye

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong. Untuk vocal tunggal alihaksaranya adalah sebagaiberikut :

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

a Fathah

i Kasrah

u Dammah

Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alihaksaranya sebagai berikut :

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

_______ ai a dan i

_______ au a dan u

Vokal Panjang(Madd)

Ketentuan alihaksara vocal panjang (madd), yang dalam bahasa arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut :

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

ـــــ

â a dengan topi diatas

ـــــ

î i dengan topi diatas

ــــــ


(14)

xi Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam system aksara arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialihaksarakan menjadi huruf /i/ ,baik diikuti oleh huruf

Syamsiyah maupun Qamariyah. Contoh :al-rijâl bukan ar-rijal, al-diwân bukan

ad-diwan.

Syaddah (Tashdid).

Syaddah atau tasydid yang dalam system bahasa tulisan arab

dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alihaksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.Misalnya yang secara lisan berbunyi ad-darûrah, tidak ditulis “ad-darurah”, melainkan“al

-darûrah”, demikian seterusnya.

Ta Marbutah

Berkaitan dengan alihaksara ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbutah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbutah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

Contoh :

No Kata Arab Alih Aksara

1

ةقيرط

Tarîqah

2

ةيماساا

ةعماجلا

al-jâmiah al-islâmiyah

3

دﻮجﻮلا ةدحو

Wahdat al-wujud

Huruf kapital

Meskipun dalam tulisan arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini, huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain


(15)

xii

huruf awal atau kata sandangnya. Contoh : Abu Hamid al-Ghazali bukan Abu Hamid Al-Ghazali, al-Kindi bukan Al-Kindi.


(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Quran yang merupakan sumber pokok ajaran agama Islam, bukanlah sebuah kitab yang di dalamnya hanya sebatas ayat, surat, terlebih-lebih masalah juz semata. Kandungan al-Quran baik dalam hal lafal dan maknanya diyakini memiliki esensi tersendiri. Oleh karena itu, melalui pemahaman maknanya, kita dapat memperoleh di dalam al-Quran signifikansi teologis, sosiologis, kultural, juga tentu saja signifikansi saintifik1. Hal ini mempertegas bahwa al-Quran tidak mementingkan aspek atau ilmu akhirat dan ilmu-ilmu ritual semata, seperti yang selama ini diketahui, seperti: thaharah, percaya qada dan qadar, zakat, puasa, shalat, surga, neraka, amalan akhirat, hal-hal ghaib dll.

Dengan mengacu pada makna agama (al-Quran) tersebut dan juga dalam perenungan yang mendalam terhadap al-Quran dan al-hadits, terasa sekali sangat sederhana jika Islam dilihat hanya dari sisi tauhid, fiqih, hadits, akhlak, tasawuf dan seterusnya sebagaimana yang ada selama ini. Padahal, al-Quran dan hadits sebagai sumber ajaran ternyata memuat keterangan, penjelasan dan petujuk yang begitu luas, mendalam dan meyeluruh2. Al-Quran berisi kisah-kisah simbol-simbol, nilai-nilai kehidupan, berbicara tentang jagad raya, kehidupan manusia serta perilakunya, pelestarian alam dan seterusnya.

1 M. Quraisy Shihab,

Lentera Hati, (Bandung: Mizan, Juli 1996), cet-VI, h. 32 2 M. Quraisy Shihab,

Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’I Atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1997), cet-V, hal. 3


(17)

Dalam konteks kajian ke-Islaman, sungguh suatu hal yang aneh jika isi al-Quran yang sedemikian luas telah disimplifikasi menjadi hanya dalam beberapa Kajian seperti tauhid, fiqih, hadis, tasawuf, akhlak dan seterusnya. Hal inilah yang dalam praktik dan realitasnya menjadi kurang menarik. Fenomena ini tidak jarang telah menyebabkan isi Kajian keislaman menjadi kering dan jauh dari persoalan kehidupan sehari-hari. Padahal, Islam semestinya berhubungan erat dengan kehidupan dan bahkan menjadi bagian terdalam dari kehidupan manusia sehari-hari. 3

Manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi, serta memiliki misi yang menjadi tujuan diciptakannya4. Yaitu menyembah (ibadah) kepada penciptanya yaitu Allah. Penyembahan berarti ketundukan manusia kepada ajaran Allah SWT. dalam menjalankan kehidupan di muka bumi ini, baik yang menyangkut hubungan vertikal (manusia dengan Allah SWT), maupun horizontal (manusia dengan manusia dan alam semesta.

Menyangkut hubungan ini (hubungan horizontal) setiap manusia memiliki misi atau tugas tersebut tentu berbeda antara manusia satu dengan manusia yang lainnya. Allah SWT. Maha Mengetahui setiap makhluk ciptaannya tanpa melewatkan sedikit pun yang menjadi kebutuhan setiap hambanya, bahkan hingga hal-hal sekecil pun. Begitu pula hal-hal yang berkaitan erat dengan kebutuhan, baik bersifat jasmani maupun kebutuhan yang bersifat rohani5.

3 Zainuddin,

Kesalehan normative dan sosiall,(UIN Malang: Prees, 2007), h.6 4 Achmad,

et.al, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Surabaya:

Grasindo, Juli 2009), h. 46.

5 Hudzaifah Ismail,

Tadabbur Ayat-Ayat Motivasi, (Jakarta: PT Elek Media Komputindo


(18)

3

Manusia diciptakan dan hidup di alam dunia ini dengan jalan hidupnya masing-masing6 Menurut penulis hal tersebut juga melahirkan tingkatan beribadah yang berbeda pula dalam kehidupan sehari-hari seperti: ada hamba yang rajin ibadah, ada yang biasa-biasa saja, bahkan ada hamba yang malas dalam beribadah. Ada sejumlah individu atau kelompok yang dengan gigihnya menegakkan agama Allah SWT. firman Allah





























/ءارسإا( ٧١

:

٤٨ )

Artinya: Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (QS. Al-Isra: 84)

Seorang hamba hidup sesuai dengan kapasitas dan kadar kemampuan yang diberikan oleh Allah untuknya7. Orang kaya diuji dengan kekayaannya, dan orang miskin di uji dengan kemiskinannya, orang kuat diuji dengan kekuatannya, orang lemah diuji dengan kelemahannya. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah:









...

/۶ارق۵لا ( ٢

: ٢٤٢ )

Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS. Al-Baqarah: 286)

Berbeda jauh dengan pengertian dan maksud ayat di atas, dewasa ini terdapat banyak sekali fenomena yang terjadi di masyarakat sekitar yang berseberangan, berkaitan dengan pemaknaan bahwasannya manusia seakan-akan tidak akan mendapatkan ujian, musibah atau cobaan sesuai dengan kadar

6 Sayyid Quthb,

Tafsir Fî Ẕilalil Qurân, Terj. As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press,

2002), cet.1, juz VI, h. 243.

7 M. Quraisy Shihab,

Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, Mei 2007), cet-XXXI,


(19)

kemampuannya. Dengan segala perbedaan ujian dan kualitas yang dimiliki masing-masing, dapat dipastikan bahwa kapasitas dan kadar kemampuan seorang hamba pun juga berbeda-beda, hal ini tidak lepas dari faktor sekitar, seperti budaya, etnis, bahasa, masyarakat, dan tingkah laku keseharian. Atas faktor inilah kehidupan manusia semakin kompleks dalam menjalani kesehariaannya.

Salah satu ajaran terpenting adalah bahwa kita selalu di uji sepanjang hidup kita. Allah menguji keikhlasan dan keimanan kita dalam kejadian-kejadian yang berbeda. Dia juga memberikan karunia untuk menguji hambanya apakah termasuk orang yang bersyukur ataukah sebaliknya. Dia menciptakan berbagai kesulitan bagi kita untuk mengetahui apakah kita bersabar atau tidak.

Oleh karenanya al-Quran sebagai pedoman hidup umat Islam, juga merupakan mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu berkesinambungan erat oleh perubahan waktu, masa, jaman, budaya dan ilmu pengetahuan serta masih banyak ragamnya lagi8. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah, Muhammad SAW, untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang. Serta membimbing mereka kejalan yang lurus9.













/۶ارق۵لا ( ٢ : ٢٥١ )

Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya

(iman). (QS. al-Baqarah: 257).

Ayat di atas memberikan pemahaman bahwa kegelapan disitu dimaknai seseorang yang di dalam hatinya tidak memiliki keimanan kepada Allah SWT. ,

8 Muhammad Ash-Shayyim,

Mukjizat Nabiku Muhammad SAW, (Jakarta: Gema Insani

Press, 2003), cet-ke-1, hal. 17

9 Manna Khalil al-Qattan,

Studi ilmu al-Quran, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,


(20)

5

serta percaya kepada-Nya, sehingga hatinya senantiasa tertutup dan dibutakan dari cahaya Ilahi. Sedangkan kata cahaya dimaksudkan ialah, apabila kepercayaan kepada Allah SWT. dipelihara, tumbuh subur keimanannya, tidak memberi tempat buat mempercayai yang lain. Hal itulah yang menjadikan jiwa mendapat sinar selalu dari Allah SWT. dan menimbulkan ukhuwah islamiyah, menyuburkan hidup berjamaah serta menimbulkan masyarakat yang bercorak islam10.

Dengan demikian al-Quran menginformasikan kejadian-kejadian masa lalu serta memberikan putusan terhadap segala permasalahan, baik yang timbul pada masa lampau maupun yang akan datang. lebih lanjut, ia juga memberikan penjelasan yang memadai dan benar tentang hal-hal yang sebelumnya tiak diketahui manusia. al-Quran datang untuk mereformasi kehiupan manusia.11

Ketika turun ke bumi al-Quran menghadapi berbagai tipe manusia. Diantara mereka ada yang muah menerima kebenaran dan ada yang sulit, ada yang ditakirkan hidup sengsara an sebaliknya, serta ada yang dilapangkan Allah dadanya untuk menerima cahaya Ilahi, sebaliknya ada yang dikunci mati. semua perbedaan yang dicontohkan tersebut lebih lanjut juga merupakan suatu keniscayaan, sehingga sebagaimana yang dipahami turunnya al-Quran pasti disertai misi dan target-target tertentu bagi manusia. Demikian untuk mewujudkan target-target yang dimaksud, maka al-Quran merasa perlu untuk menjelaskan atau memaparkan satu tema tertentu beberapa kali.

10 Hamka,

Tafsir al-Azhar, (Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1984), juz III, h. 26 11Muhammad Mahmud Hijazi,

Fenomena Keajaiban al-Quran, (Jakarta: Gema Insani,


(21)

Berangkat dari uraian di atas, menurut penulis perlu adanya kajian mendalam bersumber langsung dari al-Quran, mengkaji dan menjelaskan maksud serta pemahaman pengulangan tema atau ayat-ayat yang berkaitan dengan taklif. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari penjelasan yang dipaparkan pada latar belakang di atas, penulis mengeidentifikasi beberapa masalah yang ada, yaitu :

a. Megapa Allah dalam penggunaan lafadz taklif mengunakan kata-kata yang berbeda?

b. Apakah kata taklif yang digunakan dalam al-Quran ditujukan untuk memberikan informasi masa lalu atau masa yang akan datang?

c. Bicara masalah hukum al-Quran, tentu hukum atau norma di dalamnya bersifat tegas dan pasti, lantas mengapa terdapat ayat-ayat hukum yang dilafalkan berulang kali dengan surat yang berbeda?

d. Apa maksud dan tujuan dari pengulangan yang terdapat dalam al-Quran? 2. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari beberapa masalah tersebut yang muncul dalam permukaan, perlu kiranya penulis membatasi masalah yang akan diselesaikan dalam skripsi ini. Dari beberapa pertannyaan yang muncul di atas, penulis membatasi permasalahan yang terdapat pada poin A dan B, serta menitik beratkan pada QS. Al-Baqarah/2: 233 dan 286, QS. An-Nisa/4: 84, QS. Al-An’am/6: 152, QS. Al-‘Araf/7: 42, QS.


(22)

7

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Penggunaan Kata Taklif Dalam al-Quran?

B. Tujuan dan Kegunaan

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penulis yang ingin dicapai ialah:

1. Mengetahui maksud dan tujuan pengulangan dalam al-Quran. 2. Mengetahui Maksud dan Tujuan Penggunaan Taklif dalam al-Quran 3. Memberikan pemahaman apakah taklif sebagai suatu perintah yang harus

dipatuhi, atau tidak, serta memberikan penjelasan yang mendalam berkaitan dengan penggunaan serta pengulangan kata taklif tersebut. 4. Sebagai syarat untuk mendapat gelar Sarjana pada Jurusan Tasir Hadis

Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

C. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini tidak terlepas dari rujukan buku-buku yang berhubungan dengan judul ini. Setelah melalui beberapa pemeriksaan pustaka, penulis menemukan beberapa karya yang membahas tentang taklif, diantaranya skripsi yang berjudul Taklif dalam perspektif al-Quran (studi komparatif penafsiran

Imam Syafi’iy dan at-Thabariy pada al-Baqarah/2 :286) karya Yarsi Qomari

Anwar pada tahun 2006. Begitu pula dengan skripsi yang berjudul Eksistensi manusia sebagai khalifah dan implikasinya terhadap taklif syariah, karya Hilwah


(23)

pada tahun 2003. Serta skripsi karya Iqbal Mochammad dengan judul Pembebanan taklif terhadap seseorang yang mempunyai kepribadian ganda pada tahun 2003. Berdasarkan pemeriksaan pustaka, penulis tidak menemukan karya yang melakukan penelitian secara mendalam terhadap penggunaan kata taklif yang terdapat dalam al-Quran, maka posisi skripsi ini adalah menggambarkan ayat-ayat Taklif, dalam skripsi yang berjudul “Penggunaan Kata Taklif Dalam al-Quran”.

Sehingga penulis berkeyakinan bahwa spesifikasi pembahasan dan penelitian tentang konsep taklif dalam al-Quran belum pernah dibahas sebelumnya. Untuk itu penulis meneliti bagaimana penggunaan kata taklif dalam al-Quran tersebut.

D. Metodologi Penelitian 1. Metode Pengumpulan Data

Untuk mendukung metode tersebut, dalam pengumpulan data yang berkaitan dengan skripsi ini, penulis melakukan penelitian dengan cara melalui studi perpustakaan (library research). Dalam hal pengumpulan data, penulis merujuk dan menggunakan sumber-sumber tertulis, baik sumber primer maupun sekunder. Ada pun sumber primer yang penulis gunakan yaitu merujuk kepada Kitab Tafsir langsung yaitu: tafsir Misbah, tafsir Maraghi, dan tafsir al-Qurthubi. Sebagai sumber sekunder, penulis menggunakan sumber lain yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas baik dari buku, jurnal, skripsi dan lainnya.


(24)

9

2. Metode Pembahasan

Dalam menulis skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif- analisis yaitu menggambarkan secara cermat ayat-ayat yang berkaitan dengan Taklif. Sedangkan yang dimaksud dengan metode analisis ialah berusaha untuk menganalisa (menguji) hipotesa-hipotesa serta mengadakan interpretasi yang lebih mendalam.

3. Teknik Penulisan

Ada pun teknik penulisan dalam skripsi ini, penulis mengacu pada Buku

Pedoman Akademik Penulisan Skripsai, Tesis dan Disertasi karya Tim UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2011.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun dalam beberapa bab. Bab Pertama, yaitu, pendahuluan yang menguraikan tentang problematika dan signifikasi penelitian. Pendahuluan meliputi latar belakang masalah diangkatnya tema penelitian ini, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan yang akan diperoleh dari penelitian ini. Selanjutnya tinjauan pustaka atau bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian. Metode penelitian yang meliputi metode pengumpulan data, metode pembahasan dan teknis penulisan. Serta memaparkan sistematika dalam penulisan penelitian ini.

Bab kedua memuat penjelasan tentang klasifikasi penyebutan berdasarkan


(25)

dan kata ganti nahnu, sedangkan objek (sasaran) taklif di dalamnya membahas nafs, dan Muhammad.

Bab ketiga membahas seputar sistem makna "taklif'" berkaitan dengan

taklif dalam al-Quran dengan membaginya dalam beberapa pembahasan yaitu pembahasan seputar amal shalih, hak asuh anak, kadar nafkah bagi keluarga, harta anak yatim, dan pembahasan terakhir berkaitan dengan jihad fi sabilillah.

Bab keempat penutup, yang berisi uraian penutup atas penelitian ini yang


(26)

11

BAB II

KLASIFIKASI PENYEBUTAN BERDASARKAN

SUBJEK DAN OBJEK TAKLIF

A. Subjek (Pelaku) Taklif 1. Term Allah SWT.

Ayat-ayat menjelaskan bahwa konsep tentang Allah sebagai wujud tertinggi dan nama Allah itu sendiri sudah ada di Zaman Jahiliyah, bukan saja dikalangan Yahudi dan Nasrani melainkan dikalangan suku-suku Badui. Selain itu ada yang mengatakan "apakah Lafadz Allah (ها) berasal dari perkataan orang Arab هلإا dimana huruf hamzah dibuang, dan huruf lam yang asli bertemu dengan huruf lam tambahan, lalu keduanya melebur menjadi satu kata dan jadilah lafadz Allah (ها).1

Di samping itu, kata itu sering terdapat dalam syair-syair dan juga nama-nama orang di zaman pra-Islam seperti Abdullah (hamba Allah). suku-suku kafir tertentu mempercayai suatu Tuhan yang mereka namakan Allah, dan yang mereka percayai sebagai pencipta langit dan bumi dan pemegang pangkat tertinggi. Sebagaimana suku-suku yang lain bahwa orang Quraisy pun sebelum mengenal Islam dan terlebih setelah mengenalnya mempercayai Allah Tuhannya.

Dengan demikian jelaslah bahwa konsepsi al-Quran tentang Allah tidak sepenuhnya baru, tetapi, ia mentransformasikan konsepsi jahiliyah sebelumnya.

1Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), jil-1.,


(27)

Walau begitu konsep ketuhanannya berbeda, konsep jahiliyah tentang Allah mempunyai sekutu dan suatu objek pemujaan yang jauh, sedang dalam al-Quran (Islam) Allah tunggal tiada sekutu bagi-Nya, serta mendominasi setiap fase kehidupan manusia dari lahir hingga mati.

Dalam al-Quran ketika menyebutkan nama Allah diharuskan adanya keterlibatan hati dan lisan di dalam rangka mengingat keagungan dan kebesaran Allah, serta nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Akan halnya menyebut nama Allah dengan lisan berarti mengucap "Asmâ al Husnâ, sekaligus memuji dan merasakan syukur kepada Allah. juga berarti memohon pertolongan kepada Allah agar memberi kekuatan untuk melaksanakan perbuatan sesuai dengan ketentuan syariat. Sebab seluruh perbuatan yang tidak dimulai dengan menyebut nama Allah, berarti tidak diakui syariat. Kata Allah sendiri merupakan isim 'alam, khusus diberikan kepada yang wajib disembah secara benar. Nama ini tidak boleh digunakan untuk selain Allah.2

Kata Allah merupakan nama Tuhan yang paling populer, setidaknya disebutkan lebih dari 2679 kali dalam al-Quran. Apabila anda berkata "Allah", apa yang diungkapkan itu telah mencakup semua nama-nama-Nya yang lain, sedangkan bila mengucapkan nama-Nya yang lain misalnya ar-Raîm atau sifat-sifat lain-Nya, maka Ia hanya menggambarkan sifat-sifat Rahmat atau sifat-sifat kepemilikan-Nya. Di sisi lain tidak satu pun dapat dinamai Allah, baik secara hakikat atau majaz, sedangkan sifat-sifat yang lain secara umum dapat dikatakan

2 Ahmad Mustafa al-Maraghi,

Tafsir al-Maraghi (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi,


(28)

13

bisa disandang oleh makhluk-makhluk-Nya. Secara tegas, Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri yang menamai dirinya Allah. firman Allah:



/هط( ٠٢ : ٤١ )

Artinya: Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku. (QS. Thaha: 14)

Selain itu Allah juga bertanya dalam al-Quran, Firman Allah:



/ميرم( ٤۹ : ٥٦ )

Artinya: Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama

dengan Dia (yang patut disembah). (QS. Maryam: 65)

Ayat ini dipahami oleh para pakar al-Quran bermakna " apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang bernama seperti nama ini? Atau apakah engkau mengetahui sesuatu yang berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan sebagaimana pemilik nama itu (Allah)? atau bermakna apakah engkau mengetahui ada nama yang lebih agung dari pada nama ini? Juga dapat berarti apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?

Pertanyaan-pertanyaan yang mengandung makna sanggahan ini, kesemuanya benar karena hanya Tuhan Yang Maha Esa yang wajib wujud-Nya itu yang berhak menyandang nama tersebut, sedangkan lain-Nya tidak ada bahkan tidak boleh. Selain itu kata Allah itu sendiri tidak terambil dari satu akar tertentu,


(29)

tetapi Ia adalah nama yang menunjuk pada Zat yang wajib wujud-Nya, yang menguasai seluruh hidup dan kehidupan dan yang kepada-Nya seharusnya seluruh makhluk mengabdi dan memohon.

Namun, ada pula yang berpendapat bahwa kata Allah asalnya adalah (هلإ) Ilâh yang dibubuhi huruf alif dan lâm dan dengan demikian Allah merupakan nama khusus disebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilaa ini dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan aliah dalam bentuk jama' disebut ulang sebanyak 34 kali, karena itu tidak dikenal bentuk jamaknya. Sedang Ilâh adalah nama yang bersifat umum dan yang dapat berbentuk jamak (plural) (ةهلأ) Alihah. Dalam bahasa Ingris baik yang bersifat umum atau khusus, keduanya diterjemahkan dengan god, demikian juga dalam bahasa Indonesia.

Sedangkan kata "Tuhan" dalam bahasa Arab adalah Ilah (هلإ) disebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilaha ini dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan alihah dalam bentuk jama' disebut ulang sebanyak 34 kali

alif dan lâm yang dibubuhkan dalam pada kata Ilâh berfungsi menunjukan

bahwa kata yang dibubuhi itu (dalam hal ini kata Ilâh) merupakan sesuatu yang telah dikenal dalam benak mereka adalah Tuhan Pencipta, berbeda dengan tuhan-tuhan (alihah, bentuk jamak dari Ilâh) yang lain. Selanjutnya hamzah yang berada antara dua lâm yang dibaca (i) pada kata (هلاا) al-Ilâh tidak dibaca lagi sehingga berbunyi (ها) Allah, dan sejak itulah kata ini seakan-akan telah merupakan kata baru yang tidak memiliki akar kata, sekaligus sejak itu pula kata Allah menjadi nama khusus bagi pencipta dan pengatur alam raya yang wajib wujud-Nya.3

3 M. Quraish Shihab,

Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran)


(30)

15

Kata "Allah" sendiri mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki kata lain, ia adalah kata yang sempurna hruf-huruf dan maknanya serta memiliki kekhususan berkaitan dengan rahasianya sehingga kata itulah yang dinamai Ism Allah al-'azam (nama Allah yang paling mulia), yang bila diucapkan dalam doa, Allah akan mengabulkannya. Dari segi lafadz terlihat keistimewaannya ketika dihapus huruf-hurufnya. Bacalah kata Allah (ها) dengan menghapus huruf awalnya, akan berbunyi (ه) Lillâh dalam arti milik/bagi Allah. kemudian hapus huruf awalnya dari kata Lillâh itu akan dibaca (هل) Lahu dalam arti bagi-Nya. Selanjutnya hapus lagi huruf awal dari kata lahu, akan terdengar dari ucapan yang berarti Dia (menunjuk Allah), dan bila ini pun dipersingkat maka akan terdengar kata Âh yang sepintas atau pada lahirnya mengandung makna keluhan, tetapi pada hakikatnya adalah seruan permohonan kepada Allah. karena itulah kata Allah terucap oleh manusia sengaja atau tidak sengaja, suka atau tidak suka.4 Firman Allah:







....

)

/رمزلا ۹۹ : ۹٨ )

Artinya: dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang

menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah". (QS.

Az-Zumar: 39)

Dari segi makna dapat dikemukakan bahwa kata Allah mencakup segala sifat-sifat-Nya, bahkan Dialah yang menyandang sifat-sifat tersebut. Karena itu jika berkata Ya Allah, semua nama-nama serta sifat-sifat-Nya telah dicakup oleh kata tersebut. Di sisi lain jika berkata ar-Rahîm (Yang Maha Pengasih),

4 M. Quraish Shihab,

Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran)


(31)

sesungguhnya yang anda maksud adalah Allah, demikian juga jika berkata

al-Muntaqim (Yang Membalas Kesalahan), namun kandungan makna ar-Rahîm

tidak mencakup pembalasan atau sifat-sifat yang lain-Nya. Seperti contohnya ketika mengucapkan Asyhadu an Lâ Ilâha Illa Allah, dan tidak dibenarkan mengganti kata Allah tersebut dengan nama-nama-Nya yang lain seperti Asyhadu

an Lâ Ilâha Illa ar-Rahîm.5

Jika menyebut nama Allah, pasti akan menjadikan hati kita tenang demikian pula dengan penyebutan Asmâ al-Husna. Firman Allah





/دعرلا( ٤۹ :

٠٨ )

Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati

Allah-lah hati menjadi tenteram.(QS. Ar-Raad: 28)

Ketentraman dan ketenangan itu lahir bila anda percaya bahwa Allah adalah penguasa Tunggal dan pengatur alam raya. Ketenangan itu akan dirasakan bila menghayati sifat-sifat, kudrat dan kekuasaan-Nya dalam mengatur dan memelihara segala sesuatu. Demikian itu Allah SWT. karena itu tidak heran jika ditemukan sekian banyak ayat al-Quran yang memerintahkan orang-orang beriman agar memperbanyak zikir menyebut nama Allah, dan karena itu setiap perbuatan yang penting hendaknya dimulai dengan menyebut nama Allah.

5 M. Quraish Shihab,

Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran)


(32)

17

2. Kata Ganti Kami (ݍحݎ)

Di dalam Al-Quran, penggunaan kata ganti juga diterapkan untuk lafadz Allah SWT, ada kata ganti pertama singular (anâ), dan ada kata ganti pertama plural (nahnu), terkadang membahasakan Allah dengan kata ganti Dia (huwa), di mana makna aslinya adalah dia laki-laki satu orang. Tetapi kita tahu bahwa Allah SWT bukan laki-laki dan juga bukan perempuan atau banci. Kalau ternyata Al-Quran menggunakan kata ganti Allah dengan lafadz huwa, dan bukan hiya (untuk perempuan), sama sekali tidak berarti bahwa Allah itu laki-laki. Juga tak terkecuali kata nahnu, yang meski secara penggunaan asal katanya untuk kata ganti orang pertama, jamak (lebih dari satu), baik laki-laki maupun perempuan, namun sama sekali tidak berarti Allah itu berjumlah banyak.

Sama dengan tata bahasa lainnya. Dalam ilmu bahasa arab, penggunaan banyak istilah dan kata itu tidak selalu bermakna zahir dan apa adanya. Karena Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan muatan nilai sastra tingkat tinggi. Selain kata ganti tersebut ada juga kata „antum’ yang sering digunakan untuk menyapa lawan bicara meski hanya satu orang. Padahal makna `antum` adalah kalian (jamak). Secara rasa bahasa, bila kita menyapa lawan bicara kita dengan

panggilan „antum’, maka ada kesan sopan dan ramah serta penghormatan

ketimbang menggunakan sapaan "anta". Khusus kata „nahnu` tidak selalu bermakna banyak, tetapi menunjukkan keagungan Allah SWT. Ini dipelajari dalam ilmu balaghah.

Contoh: Dalam bahasa kita ada juga penggunaan kata “Kami” tapi


(33)

berkata,”Kami sebagai kepala sekolah berpesan…. Padahal Kepala Sekolah hanya dia sendiri dan tidak banyak, tapi dia bilang “kami”. Lalu apakah kalimat

itu bermakna bahwa Kepala Sekolah sebenarnya ada banyak, atau hanya satu ?

Kata “kami” dalam hal ini digunakan sebagai sebuah rasa bahasa dengan tujuan

nilai kesopanan. Tapi rasa bahasa ini mungkin tidak bisa diserap oleh orang asing yang tidak mengerti rasa bahasa atau mungkin juga karena di barat tidak lazim digunakan kata-kata seperti itu.6

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang ada pada tiap-tiap diri hamba-Nya. Oleh karenanya bentuk penggunaan kata ganti kami bukan tanpa alasan atau sebab begitu saja tanpa adanya maksud tertentu yang tersirat. Ada pun maksud dari penggunaan kata ganti kami yang terdapat dalam al-Quran bertujuan untuk:

1. Sebagai kata kami (nahnu) bermakna bahwa dalam mengerjakan tindakan tersebut Allah melibatkan unsur-unsur makhluk (selain diri-Nya sendiri) dalam kasus nuzulnya al-Quran makhluk-makhluk yang terlibat dalam pewahyuan dan pelestarian keasliannya ialah sejumlah malaikat terutama jibril, kedua; Nabi Muhammad sendiri, ketiga; para pencatat/penulis, keempat; para huffadz (penghafal), dan lain-lain. Kalau diperhatikan kebanyakan ayat-ayat yang bercerita tentang turunnya al-Quran, Allah selalu menggunakan kata kami (nahnu).7

2. Selain itu ayat yang menggunakan kata "kami" biasanya menceritakan sebuah peristiwa besar yang berada di luar kemampuan jangkauan nalar

6 Sumber: http://adiabdullah.wordpress.com/2008/12/02/kata-aku-dan-kami-dalam- 7 Ibnu Taimiyyah, Al Furqon Baina ‘l Haq wa ‘l Bathil (Dar Ihyai‟t Turotsi „l Arabi: tth),


(34)

19

manusia, seperti penciptaan Adam penciptaan bumi, dan langit. Di sini, selain peristiwa itu sendiri yang bernilai besar, Allah sendiri ingin mengukuhkan/memberi kesan "Kemahaan-Nya" kepada manusia agar manusia dapat menerima/mengimani segala sesuatu yang berada di luar jangkauan nalar/rasio manusia. Seperti contoh berikut:









)

ا ا /فارع ۷ : ١١ )

Artinya Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada Para Malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", Maka merekapun bersujud kecuali

iblis. Dia tidak Termasuk mereka yang bersujud.(QS. Al-'Araf: 7)

3. Kata ganti Tuhan (Allah) dalam al-Quran berbentuk tunggal dan jamak, itu menunjukkan pihak-pihak yang berperan atau terlibat aktif dalam prosesi berlangsungnya 'kata kerja'. Tugas-tugas seperti mencipta jin dan manusia, kata ganti tunggal 'Aku' yang dipilih, itu artinya bahwa hanya Dia, dan tidak ada campur tangan pihak lain, yang terlibat dalam tugas penciptaan itu. Adapun tugas sepeti menurunkan rejeki, menjaga (otentisitas) al-Quran dan sebagainya, digunakan kata ganti jamak 'Kami', itu berarti bahwa benar Dialah yang pada tingkat hakiki menurunkan rejeki, namun pada tingkat lahiriah manusia individu yang bersangkutan ikut pula menentukan apakah ia akan memperolehnya (dengan segala kualitas dan kuantitasnya) atau tidak.8

8 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,


(35)

Lafadz (ا إ)) dan ( ح) atau selainnya termasuk bentuk jamak, tapi dapat diucapkan untuk menunjukkan seseorang yang mewakili kelompoknya, atau dapat pula mewakili seseorang yang agung. Sebagaimana dilakukan oleh sebagian raja apabila mereka mengeluarkan keputusan atau ketetapan, maka dia berkata, “Kami

tetapkan” atau semacamnya, padahal dia yang menetapkan itu hanyalah satu

orang. Akan tetapi diungkapkan demikian untuk menunjukkan keagungan.

Dengan kata lain ketika Allah menggunakan kata “Kami”, pada saat itu

Allah sedang menunjukkan kebesaran, keagungan, dan kemahaan-Nya. Sehingga kata-kata “Kami” banyak digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan penciptaan seperti penciptaan alam semesta, atau ketika Allah mengatakan mengenai ayat-ayat (tanda-tanda)-Nya yg berada di alam. Atau ketika Allah

mengatakan “Kami maafkan”, saat itu Allah sedang mengagungkan Diri-Nya

sebagai Maha Pemaaf.

Sedangkan ketika Allah menggunakan kata “Aku”, Allah sedang

menegaskan ketunggalan-Nya, hanya Dia, keunikan-Nya. Jadi ketika Allah

mengatakan “ayaati (ayat-ayat-Ku) di beberapa tempat dalam Al-Qur‟an,

bukannya “ayaatiina (ayat-ayat Kami)” sebagaimana yang digunakan di banyak

tempat yg lainnya dalam Al-Qur‟an, Allah ingin menegaskan bahwa semua tanda -tanda, semua ayat-ayat itu adalah milik-Nya semata.

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwasannya Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan muatan nilai sastra tingkat tinggi, tak heran jika dalam hal ini al-Quran pun sering terdapat perubahan dan pengulangan di sebagian ayatnya dari segi bentuknya, yaitu penggunaan kata kerja, baik fi'il madhi atau fi'il mudhari.


(36)

21

Penggunaan kata kerja masa lampau (fi'il mâdhi) dan kata kerja masa kini (fi'il

mudha'ri) pun mengandung pemahaman yang jauh berbeda. Kata kerja masa

lampau, misalnya menunjuk kepada peristiwa yang terjadi pada masa lampau, sedangkan kata kerja masa kini menunjuk kepada peristiwa yang terjadi secara berulang-ulang.9

Seperti contoh berikut:

….





...

/رط ۴ف( ٦ ۹ : ۹ )

Artinya: Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki

kepada kamu dari langit dan bumi (QS. Fathir: 35)

Berdasarkan kaidah yang demikian pula, maka para ulama memahami lafal

yarzuqu dalam kalimat di atas, bahwa Allah memberikan rizki kepada

makhluk-Nya secara berulang-ulang dan berkesinambungan. Artinya pekerjaan memberi rizki itu telah menjadi perilaku-Nya secara terus menerus. Itulah sebabnya Allah



di Dzariyat di sebut Razzâq. Dalam ayat 58

Dengan begitu dapat dimengerti bahwa Razzâq atau Râziq adalah sifat yang tetap dan tidak berubah-ubah, sementara yarzuqu menggambarkan suatu sikap yang terlaksana secara berulang-ulang dan berkesinambungan, tapi bukan sikap yang menetap pada dirinya. Contoh lain yang sejalan dengan ini, misalnya kosa kata infâq. Dalam al-Quran dalam rangka mendorong umat agar berinfak Allah selalu menggunakan fi'il mudhari dalam berbagai konjugasinya ,قف ت ,قف ي وقف ت , وقف ي dan lain-lain, tidak menggunakan isim (kata benda). Itu berarti kata

9 Al-Suyûthi,


(37)

berinfak harus dilakukan secara berulang kali dan berkesinambungan secara terus menerus, misalnya Allah berfirman:

ةبح لث ك ها ليبس يف مهلاومأ وقف ي يذلا لثم

...لب ا س عبس تتب أ

. Allah tidak berkata يقف لا لثم karena yang dikehendaki ialah

agar mereka berinfak secara berulang-ulang dan terus menerus dan sifat mau berinfak itu tidak perlu menyatu dalam diri mereka secara menetap. Berbeda dengan iman, takwa, syukur dan lain-lain. Bentuk kosa kata tersebut dalam fi'il mudhari dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bahwa sifat-sifat tersebut harus diperbarui secara terus menerus dan berkesinambungan.10

Kata kerja fi'il mudhari menunjukan pada sesuatu yang dilaksanakan secara berulang-ulang tapi belum merupakan sifat yang menyatu dalam diri pelakunya, serta pemakaian kata kerja masa lampau (fi'il mudhari) pula tidak memberikan pemahaman yang spesifik karena ia menjelaskan kejadian suatu peristiwa pada masa lampau. Pemakaian kata kerja pada masa lampau juga memberitakan peristiwa yang akan terjadi di masa depan mengandung makna bahwa peristiwa itu pasti akan terjadi, cepat atau lambat dan tidak dapat ditolak oleh siapapun.11 Apabila suatu ayat menggunakan fiil mudhari tetapi yang ditunjukkannya sudah lampau, dinisbatkan kepada Allah, maka hal itu menunjukan terus menerus.12 Selai itu menunjukan pengertian yang sebenarnya dan itu berarti kata tesebut memiliki makna yang menjadi fokus utama ayat

10 Nashruddin Baidan,

Wawasan Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet-1.,

hal. 322-323

11 Nashruddin Baidan,

Wawasan Ilmu Tafsir , hal. 325 12Rachmat Syafe'I,


(38)

23

Quran ini. kandungannya memiliki keberlangsungan sepanjang zaman, masa sekarang dan masa mendatang13.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa pemakaian satu lafal dalam al-Quran bukan secara kebetulan, melaikan sengaja dibuat dengan sedemikian rupa agar membawa pesan yang dimaksud dengan tepat dan mengenai sasarannya dengan jitu dalam membingbing umat ke jalan yang benar demi memperoleh kebahagian dunia dan akhirat.

B. Objek (Pelaku) Taklif

1. nafs

Kata nafs (سفݎ) dalam bentuk mufrad disebutkan 77 kali tanpa idhâfah dan 65 kali dalam bentuk idhâfah. Kata tersebut terdapat dalam surat al-Baqarah ayat: 48, 233, 281, 286, 30, 185; surat al-Imrân ayat: 25, 28, 93; surat an-Nisa ayat: 1, 79, 83 dan lain-lain. Kata nafs dalam bentuk jamak mengikuti pola (wazan af'al) dalam al-Quran disebutkan 184 kali, diantaranya ialah, al-Baqarah ayat: 155, an-Nisa ayat: 128, an-Nahl ayat: 16, az-Zumar ayat: 42.

Untuk mengetahui makna kata secara morfologis (leksikal) yang paling mudah dilakukan adalah dengan melihat kamus Mu'jam al-Wajiz memberi padanan kata nafs dengan ruh dan zat (subtansi) sesuatu.14

Kata nafs adalah bentuk mashdar. Kata ini diderivasi dari kata

nafusa-yanfusu-nafs (indah; berharga) nafisa-yanfisu-nafs (kikir; melahirkan) ketika kata

ini menempati bentuk mashdar, memiliki berbagai makna, seperti mengandung

13 H.D. Hidayat,

al-Balaghah al-Jami'ah wa asy-syawahid min kalami al-Badi,

(Semarang: PT: Karya Toha Putra & Bina Masyarakat Qurani, tth), hal. 95,

14 Anonymous


(39)

pengertian mata, jahat, jasad, darah, tubuh, semangat, hasrat, kehendak, pendapat, kemuliaan, hawa, hisapan, mufakat, orang, ruh, tegukan, model, ruh, akal, zat, dan esensi.15

Dari pendapat Ali Atabik, kata nafs tampaknya memiliki banyak makna. Dengan kata lain jenis kata tersebut dapat dikatakan sebagai jenis kata musytarak lafdhi atau sebuah kata yang memiliki banyak makna. Ar-Râghib al-Ashfahâni, menjelaskan kata nafs dengan memberikan padanannya yaitu dengan kata rûh.

)

حورسلا :سفݏلا

( Abdul Khamid Zahwan memberikan penjelasan makna kata nafs dengan ruh, tubuh, nyawa, diri seseorang, darah, niat, orang dan kehendak16. Ibrahim Anis dalam Mu'jam al-Wasith memaknai kata nafs dengan kata ruh, seperti dalam kalimat kharajat nafsuhu (ruhnya keluar) artinya ia telah mati.17 Manurut Abu Husen Ahmad bin Faris bin Zakariya kata nafs berasal dari kata huruf nun-fa, dan sin. Kata ini mengandung pengertian bagaimana keluarnya sesuatu yang lembut seperti, angin dan sebagainya ruh dan darah.18

Kata nafs dalam al-Quran disebutkan dalam bentu-bentuk kata jadian seperti nafs, anfus, nufûs, tanâfasa, yatanâfasu, dan mutanâfisan. Kata nafs dalam bentuk kata kerja hanya disebutkan dua kali. Satu dalam bentuk fi'il mâdhi, dan yang satu dalam bentuk fi'il mudhâri. Kedua kata nafs tersebut sudah mengalami perubahan pola (wazan) atau telah mengalami proses afiksasi yaitu tanaffasa

15Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor,

al-Mu'jam al-Ashri, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak, 1999), hal. 1932-1933., Lihat Muhammad Idris Abd al-Rauf al-Marbawi Idris

al-Marbawi, Juz-1, karya (Indonesia: Karya Insani), hal. 334 16Ar-Raghib al-Ashfahani,

Mu'jam Mufradat al-Fadl al-Quran (Beirut: Libanon, Dâr

al-Fikr, tth), hal. 522

17 Abdul Khamid Zahwan,

Kamus al-Kamil: Arab-Indonesia-Arab (Maktabah wa

Mahbaah Usaha Keluarga: ttp, tth), hal.549

18 Ibrahim Anis,

al-Mu'jam al-Wasith (Maktabah wa Syirkah Makhfa al-Babi al-Halabi


(40)

25

(سفݏت) dan yatanâfasu (سفاݏتي). Dalam bentuk tanaffasa artinya bernafas, menarik nafas dan bersenang diri.19 Ibn Mandhûr memaknai kata tanaffasa dengan padanan kata minum (syariba), terbit (thala'), atau menyinari (nawwara).20 Sedangkan dalam bentuk yatanâfasu (سفاݏتي) maknanya adalah (يف بغر) menyukai.21

Adapun kata nafs yang mengalami perubahan bentuk hanya satu kata yaitu

al-Mutanâfisûn(݌وسفاݏت݋لا) kata jadian ini terdapat dalam surat al-Muthaffifin ayat

26. Secara leksikal kata tersebut merupakn bentuk ism fa'il dan fi'il mâdhi سفاݏت سفاݏتي jadi kata al-Mutanâfisûn bermakna "orang yang menyukai".22 Walaupun kata itu berasal dari kata nafasa dan nafisa tetapi kata jadian tersebut terlalu jauh dari makna kata dasarnya.

Ada pula kata jamak dimana suatu benda yang berjumlah dua atau lebih. Dalam pendekatan semantik jika sebuah kata berbentuk jamak, tetapi belum bergabung dengan kata lain maka tetap disebut kata tunggal. Semua kata nafs dalam al-Quran yang berbentuk jamak adalah bermakna kully/tarkiby (karena sudah bergabung dengan kata lain). Kata nafs dalam al-Quran yang menunjukan jumlahnya lebih dari dua disebutkan sebanyak 160 kali. Al-Quran menyebutkan dua kali dalam bentuk nufûs yang mengikuti pola bentuk jamak (لوعف) dalam bahasa Arab seperti dalam surat at-Takwir ayat 7 dan al-Isra ayat 25; dan 158 dalam bentuk anfus mengikuti pola bentuk jamak (لعفأ). Seperti di bawah ini:

19 Abdul Khamid Zahwan,

Kamus al-Kamil: Arab-Indonesia-Arab (Maktabah wa

Mahbaah Usaha Keluarga: ttp, tth), hal. 549

20 Ibn Mandzur,

Lisân al-Arab (Dâr al-Ma'arif: ttp, tth), jil-VI.,hal. 237 21 Muhammad Abd al-Lathif al-Sabaki,

al-Mukhtâr min Shihhah al-Lughah, hal. 533 22 Muhammad Abd al-Lathif al-Sabaki,


(41)





/ريوكتلا( ٨٤ : ۷ )







...

/ءارساا( ٤۷ : ٠٦ )



... /۹ارق۸لا( ٠ : ٥ ٨ ٠ )









...

(

/۹ارق۸لا ٠ : ٠۹۹ )

Pada surat al-Baqarah ayat 233 dan 286 di atas kata nafs mengandung pengertian "individu" manusia dalam arti fisik manusia dari sisi luarnya dan psikis manusia dari sisi dalamnya. Karena secara konteks linguistik kata nafs salah satu kata yang menjadi unsur kalimat dari dua struktur kalimat yaitu "la tukallafu

nafsun ila wus 'aha" dan struktur kalimat "la yukallifullahu nafsan ilâ wus 'aha"

kata nafs pada kedua struktur di atas berfungsi sebagai pergerakan manusia.



/ء۴سنلا( ١ : ١ ٨ )

Kemudian kata nafs dalam surat an-Nisa ayat 84 di atas bermakna kewajiban karena berhubungan dengan kalimat "fa qâtil fi sabilillâh lâ tukalafu

'illa nafsaka". Kata nafs bermakna kewajiban dalam ayat ini, karena berkaitan

dengan asbâb an-nuzûl dan sejarah ayat ini diturunkan. Berdasarkan konteks sejarahnya, ayat ini muncul karena merupakan perintah Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk pergi berperang ke Badar kubrâ. Ayat ini berhubungan


(42)

27

dengan keengganan dengan sebagian orang-orang Madinah untuk pergi berperang bersama Nabi ke tempat itu.





.... ) /م۴عناا ٥:٤٦٠ )

Makna kata nafs pada surat al-An'am ayat 152 di atas adalah bermakna manusia dari sisi dalam dan sisi luarnya. Manusia dari sisi luarnya adalah akal dan dari sisi luarnya adalah fisik. Kata nafs mengandung makna demikian karena berkaitan dengan struktur kalimat sebelum dan sesudahnya, yaitu wa aufû al-kaila

wa al-mizâna bi al-qisthi- lâ nukallifu nafsan illâ wus 'ahâ. Kegiatan penakaran

dan penimbangan memerlukan dua unsur, yaitu kesanggupan akal dan kemampuan fisik.

Kesimpulannya makna kontekstual kata nafs dalam al-Quran yaitu mencakup: kata nafs konteks sejarah seperti dalam surat an-Nisa ayat 84, maknanya adalah perintah Allah kepada Rasul untuk berperang. Selain itu kata nafs bisa berarti budaya (tsaqâfi) seperti dalam surat al-Maidah ayat 32























)

/۹دئ۴݊لا ٦ : ۹٠ )

Artinya: Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena


(43)

orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas

dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (QS. Al-Maidah: 32)

2. Nabi Muhammad. SAW

Disadari atau tidak, wujud Tuhan (Allah) pasti dirasakan oleh jiwa manusia baik redup, atau pun benderang. Manusia menyadari bahwa suatu ketika dirinya akan mati. Kesadaran ini mengantarkannya pada pertanyaan apa yang akan terjadi setelah kematian, bahkan menyebabkan manusia berusaha memperoleh kedamaian dan keselamatan di negeri yang tidak diketahui itu.

Wujud Tuhan (Allah) yang dirasakan, serta hal kematian, merupakan dua dari sekian banyak faktor pendorong manusia untuk berhubungan dengan Tuhan dan memperoleh informasi yang pasti. Namun, tidak semua manusia mampu melakukan hal itu, kemurahan Allah menyebabkan-Nya memilih manusia tertentu untuk menyampaikan pesan-pesan Allah, baik untuk waktu dan masyarakat tertentu, atau untuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat. Mereka yang mendapat tugas itulah yang dinamai Nabi (penyampai berita) dan Rasul (utusan Allah).23

Jumlahnya yang banyak sehingga secara pasti tidak diketahui, al-Quran hanya menginformasikan bahwa:

23 M. Quraish Syihab, Wawasan al-Quran (Tafsir Maudhu'I atas Berbagai Persoalan


(1)

69 A. Kesimpulan

Setelah memaparkan seluruh hal yang berkaitan dengan penggunaan kata taklif, penulis menyimpulkan bahwa: "setiap perintah Allah yang ditujukan kepada manusia mengandung taklif. Dimana taklif itu sendiri tidak bersifat kaku atau mengikat, artinya taklif tersebut dulu hingga sekarang masih tetap berlaku ketetapan hukumnya. Hal ini menunjukan taklif tersebut sesuai dengan situasi, kondisi zaman, dan masyarakat. Melihat al-Quran menggunakan kata taklif secara berulang-ulang dalam setiap ayat dan surat yang berbeda. Itu semua terjadi tidak lepas karena objek yang dituju berbeda-beda situasi dan kondisinya, selain itu maksud yang ingin disampaikannya pun lain. Selain itu terdapat beberapa poin yang dapat diutarakan yaitu:

1) Taklif yang Allah SWT. bebankan kepada manusia itu bersifat dinamis. Pembebanan tersebut dapat berubah sesuai dengan kondisi keadaan mukallaf alami, hal itu terlihat dari banyaknya ayat berkenaan dengan taklif itu sendiri.

2) Dalam penggunaannya kata taklif melibatkan berbagai pihak yang ada, hal ini menunjukan besarnya pengaruh taklif dalam kehidupan.

3) Penggunaan kata taklif dalam al-Quran semuanya dalam bentuk kata kerja fiil mudhari, itu mengindikasikan taklif tersebut memiliki ajaran yang keberlangsungannya terus menerus hingga masa yang akan datang.


(2)

70

4) Sebagi sebuah subjek (pelaku) Allah SWT. bebas menjadikan dirinya untuk berbicara langsung dengan menggunakan kata "Allah" atau "nahnu".

B. Saran

Kajian ‘taklif’ merupakan sebuah kajian penting dan menarik, hal ini karena sidikit orang yang memahaminya. Padahal taklif itu sendiri disadari atau tidak sudah menjadi bagian dari kehidupan sejak dalam kandungan hingga ajal menjemput. Kajian ini dimaksudkan agar kita mengetahui lebih jelas konsep taklif dalam al-Quran dalam kehidupan sehari-hari serta memandang taklif tersebut lebih bijaksana.

Penulis merasa banyak sekali kekurangan dalam pembahasan ini, dikarenakan dalam penulisannya kajian mengenai taklif dirasa sangat luas, hingga memungkinkan untuk mencapai segala aspek, kehidupan, sosial, politik, ekonomi, jual beli, pendidikan, dll. Oleh karenanya penulis berharap kajian ini tidak berhenti sampai disini. Mudah-mudahan Allah memberikan kita semua keberkahan dalam hidup, khususnya bagi Saya pribadi mudah-mudahan Allah SWT. masih memberikan nikmatnya yang mulia, untuk melanjutkan studi S.2. (bidang hukum atau pendidikan) amiiin….

Akhirnya, hanya kepada Allah SWT. lah saya menyandarkan diri dan kepada-Nya pula kuserahkan segala perkara. Bagi-Nya segala puji dan kenikmatan serta di sisi-Nya petunjuk dan perlindungan.


(3)

71

Abduh, Muhammad, , Beirut: Dâr al-Andalus, 1382/1963 ______________ Ta'lif Muhammad Rasyid Rido, Tafsir al-Quran al-Hakim

al-Qahirah: Dâr al-Manar, 1367 H, juz-8

Achmad. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Surabaya: Grasindo.

2009.

Ahmad, Khurshid, Pesan Islam, Bandung: Pustaka, 1983, cet-1

______________, ISLAM: Its Meaning and Message, Pesan Islam, Terj. Achsin

Mohammad, Bandung: Pustaka, 1983

Ali Atabik dan Muhzar Zuhdi Ahmad, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,

Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Ponpes Krapyak, 1996, Cet-1

______________, al-Mu'jam al-Ashri, Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak,

1999

Anis, Ibrahim, al-Mu'jam al-Wasith, Maktabah wa Syirkah Makhfa Babi

al-Halabi wa Awladuhu, ttp, 1972, Cet-II, Juz-II

Anonymous, al-Mu'jam al-Wajiz, Majma' al- Lughah al-Arabiyyah,

al-Asfahānì, Ar-Rāgib, Mu'jam Mufradat li Alfâzi Quran, Beirut: Dârul Fikr, tth ______________, Mu'jam Mufradat al-Fadl al-Quran, Beirut: Libanon, Dâr

al-Fikr

al-Bantani, Al-Syekh Nawawi, Marah Labid, Beirut: Dâr al-Fiker, 1980, jil-1

al-Barrya, Ahmad Zakariya, Hukum Anak-anak dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1977, Cet. 1

al-Faruqi, Ismail Raji, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka, 1988,

cet-1

Al-Ghazali, Menjadi Muslim Ideal: Meletakan Islam Sebagai Petunjuk dan Penerang Kehidupan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, cet-2

Ali Salim, Ahmad Husain, Terapi al-Quran: Untuk Penyakit Fisik dan Psikis Manusia, terj. Muhammad al-Mighwar Jakarta: Asta Buana Sejahtera,


(4)

72

al-Maraghi, Ahmad Mus afa, Tafsir al-Maraghi, terj. Drs. Anwar Rasyidi, et.al.,

Semarang: Toha Putra, 1989, cet-1.

__________________, Tafsir al-Maraghi (Mesir: Maktabah wa Maṯ a'ah

Mus afa al-Baby al-Halabi, 1974), cet-5., juz, 16

Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi ilmu al-Quran. Bogor: Pustaka Litera Antar

Nusa, 2004.

al-Qurṯ ubi, Syaikh Imam, Tafsir al-QurTubi al-Jami lî ahkam Quran, Jakarta:

Pustaka Azzam, 2008, jil. 10., cet. 1

al-Rauf, Abd Idris Muhammad, al-Marbawi Idris al-Marbawi, Indonesia: Karya

Insani, Juz-I

al-Sabaki, Muhammad Abd al-Lathif, al-Mukhtâr min Shihhah al-Lughah, ttp, tth

al-Suyuti, Abdurrahman Jalaluddin. al-Dur al-Manar fî tafsir al-Manar . Beirut:

Dar al-Fikr, 1993

________________, al-Itqan Fî Ulum al-Quran, Beirut, Dâr al-Fikr, tth, Juz-II

ash Syayyim, Muhammad, Mukjizat Nabiku Muhammad SAW. Jakarta: Gema

Insani Press, 2003

ash-Sabuny, Muhammad Ali, Cahaya al-Quran Tafsir Tematik, terj, Kathur

Suhardi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001, cet-1

__________________ safwatut Tafasir, terj. Yasin, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,

2011, jil-5, Cet-1

Asyr, Muhammad ibn, al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunis: Dar Sahnun Linnasy wa

al-Tawzi, tth

ath-abari, Abû Ja'far Muhammad bin Jarir, tahqiq: Amad Abdurraziq al-Bakri, Muẖammad Adil Muhammad, Muhammad Abdul Latif Khalaf, Mahmud Mursi Abdul Hamid, Tafsir ath-Tabari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, jil.

19

Baidan, Nashruddin, Wawasan Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005,

Cet-I

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia

Jakarta: Balai Pustaka, 1988

Hamka, Studi Islam, Semarang: Pustaka Panjimas, 1984, Juz-III


(5)

Hidayat, H.D, al-Balaghah al-Jami'ah wa Asy-Syawahid min Kalami al-Badi,

Semarang: PT. Karya Toha Putra & Bina Masyarakat Qurani, tth

Hijazi, Muhammad, Mahmud, Fenomena Keajaiban al-Quran, Jakarta: Gema

Insani, 2010, Cet-I

Ismail, Hudzaifah, Tadabbur Ayat-Ayat Motivasi. Jakarta: PT Elek Media

Komputindo Kelompok Gramedia, Februari 2010.

Jafar, Iftitah, Konsep Ibadah dan Dakwah dalam al-Quran, Yogyakarta:

Cakrawala, 2009, cet-1

Lajnah Pentashihan al-Quran, Tafsir Tematik (Jihad; Makna dan Implementasinya), Jakarta: Lajnah Pentashihan al-Quran, 2012, cet-1.,

jil-5

Luis Ma’luf, al-Munjid fî al-Lughah, Beirut: Dâr al-Misria, 1982, cet ke-26

Mandzur, Ibn, Lisân al-Arab, Dâr al-Ma'rif, ttp, tth, Jil-VI

Munthahari, Murtadho, Perspektif Islam Tentang Manusia dan Agama,

Terjemahan, Bandung: Mizan, 1995, cet-7

Najati, Utsman, Ilmu Jiwa, Kuwait: Daar asy-Syuruk, 1982

Nata, Abuddin, Kajian Tematik al-Quran Tentang Fiqih dan Ibadah, Bandung:

Angkasa, 2008, cet-1

Qaradhawi, Yusuf, Kita dan Barat: Menjawab Berbagai Pertanyaan yang Menyudutkan Islam, Penerjemah Arif Munandar Riswanto dan Yadi

Saeful Hidayat, Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2007

Qutb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Quran, terj As'ad Yasin, et.al, Jakarta: Gema

Insani, 2004, cet-1., jil-8

________________, Tafsir Fi Zhilalil Quran, diterjemahkan oleh As’ad Yasin.

Jakarta: Gema Insani Press, 2002.

Raya, Ahmad Thib, Mulia, Siti Musdah, Menyelami Seluk-Beluk Ibadah Dalam Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003, cet-1

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran Jakarta: Lentera Hati, 2002, jil. 2., cet. 1

________________, Wawasan al-Quran, Bandung: Mizan, 1997, cet.V

________________, Lentera Hati "Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan, 1996, cet. VI


(6)

74

________________, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan. Mei 2007.

________________, Lentera Hati. Bandung: Mizan, Juli 1996.

________________, Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’I Atas Berbagai Persoalan Umat.Bandung: Mizan, 1997.

Syafe'I, Rachmat, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, 2006

Syaltut, Mahmud, Tafsir al-Quran al-Karim: Pendekatan Syaltut dalam Menggai Esensi al-Quran, Bandung: Diponegoro, 1990, Cet-1

Taimiyyah, Ibn, al-Furqon Baina al-Haq wa al-Bathil, Dâr Ihyat Turots

al-I'rabi, tth

________________, al-Aqidah at-Tadmuriah, Beirut, ttp, tth

Wahib, Maulana Abdul, Fadhilah Sedekah,Bandung: Zadul Maād, tth

Wahid, Abdurrahman, Islam tanpa Kekerasan, Yogyakarta: LkiS, 2000, cet. 2

Zahwan, Abdul Hakim, Kamus al-Kamil: Arab-Indonesia-Arab, Maktabah wa

Mahbâh Usaha Keluarga.

Tafsir Karim ar-Rahman, Majalah as-Sunnah Edisi 04, tahun 2006. http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash

http://www.organisasi.org/1970/01/faktor-penyebab-alasan-seseorang-memakai-menggunakan-narkoba-narkotika-zat-adiktif.htm

http://id.wikipedia.org/wiki/pengertian.jihad diakses pada tanggal 15 Februari pukul 15.30