Tujuan dan Kegunaan Penulisan Sistematika Penulisan

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi khazanah keilmuan mahasiswa dan kalangan akademisi dan juga kepada seluruh masyarakat yang masih mencari tahu tentang peran politik Muhamad Roem di Indonesia pasca kemerdekaan 1945 – 1957.

F. Sistematika Penulisan

Mengingat kajian ini sangat luas serta untuk lebih mudah dalam memahaminya, maka secara singkat penulis menyusunnya dalam lima bab. Bab pertama, pendahuluan yang membahas tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, metodologi penelitian, objek penelitian, tujuan dan kegunaan penulisan, dan sistematika penulisan. Bab kedua, seputar riwayat Mohamad Roem. Bab ini memuat pembahasan tentang kelahiran Muhamad Roem, pendidikannya, dan karya-karyanya. Bab ketiga, Muhamad Roem sebagai diplomat dan pejuang. Bab ini membahas tentang Muhamad Roem dalam gerakan nasionalisme, Muhamad Roem sebagai pejuang yang realis, dan keterlibatan Muhamad Roem dalam perundingan. Bab keempat, peran politik Muhamad Roem di Indonesia. Bab ini membahas tentang keberadaan Muhamad Roem dalam partai Masyumi, Muhamad Roem dalam pemerintahan, yang meliputi Muhamad Roem sebagai menteri Dalam Negeri, sebagai ketua delegasi Indonesia dalam perundingan Roem-Royen tahun 1949, sebagai wakil ketua delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949, sebagai menteri Luar Negeri tahun 1950-1951, dan sebagai wakil perdana menteri tahun 1956-1957. Bab kelima, penutup yang mencakup kesimpulan dan kritik saran yang relevan.

BAB II RIWAYAT HIDUP MUHAMAD ROEM

A. Kelahiran dan Keluarganya

Muhamad Roem dilahirkan pada tanggal 16 Mei 1908 di Desa Klewongan, Parakan, Temanggung Jawa Tengah, dari suami isteri Dulkarnaein Joyosasmito dan Siti Tarbiyah. 16 Mereka memiliki tujuh orang anak, lima orang laki-laki dan dua orang perempuan. Muhamad Roem adalah anak yang ke-enam dan anak laki- laki yang ke-lima. 17 Kakaknya yang tertua dan adiknya yang bungsu perempuan, bernama Mutiah dan Siti Khadijah. Empat dari anak laki-laki dalam keluarga tersebut mempunyai urutan nama yang khas. Ayah Muhamad Roem Dulkarnaen Joyosasmito – sebagaimana yang diakui oleh Muhamad Roem sendiri – sebenarnya orang yang bukan ahli dalam bidang agama, bahkan bila dilihat dari nama saja telah menunjukkan adanya perubahan antara nilai Jawa di satu sisi dan Islam di sisi lain, dan sulit untuk digolongkan ke dalam kalangan santri. Hanya saja, setidak- tidaknya Dulkarnaen memiliki kesadaran ke-Islaman yang tinggi, khususnya kesadaran historis. Ke-empat anaknya diberi nama para Khalifah Ar-Rasyidun, suatu sistem pemerintahan yang menjadi simbol historis dalam Islam, setelah 16 Harun Nsution, “Muhamad Roem”, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Departemen Agama, 1987 1988, Cet. ke-1, jilid. II, hlm. 617 17 Soemarso Soemarsono, Muhamad Roem 70 Tahun: Pejuang Perunding, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, Cet. ke-1, hlm. 1 Nabi Muhammad wafat. Nama anaknya yang tertua atau anak pertama diberi nama Abu Bakar, yang ke-dua Umar, yang ke-tiga Usman, dan yang ke-empat Ali. Namun Muhamad Roem sendiri merupakan refleksi dari kesadaran historis sang ayah, sebab dalam Al-qur’an terdapat surat yang bernama “Ar-Rum” yang mengisahkan tentang imperium Romawi. Kesadaran yang semacam inilah yang mungkin Muhamad Roem katakan tentang ayahnya, sebagai orang yang berusaha untuk menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan keluarga sehari-hari. 18 Lingkungan ini memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan keluarga Muhamad Roem, termasuk keluarganya dalam memilih aktivitas kehidupan. Usman kakaknya, lebih memilih menjadi Jawatan Agama Propinsi Jawa Tengah. Sementara isteri Usman adalah aktivis dalam organisasi perempuan yang bernama ‘Muslimat” yaitu sebuah organisasi kumpulan wanita-wanita muslimah. Kakak perempuan Muhamad Roem, Muti’ah juga aktivis dalam organisasi Muhammadiyah di Pekalongan. Hanya satu orang dari sekian banyak saudara- saudaranya yang dapat menggantikan posisi ayahnya sebagai lurah di Desa Klewongan. Masa kecil Muhamad Roem dihabiskan di Desa Klewongan sampai ia berumur 11 tahun, setelah itu beliau pindah ke Pekalongan hingga berumur 16 tahun. Di Desa, Muhamad Roem hidup dalam keluarga priyayi kecil, dalam suasana kejawaan dan pemeluk Islam tradisional. Sedangkan di Pekalongan, ia 18 Kustiniyati Mochtar, Muhamad Roem, Diplomasi; Ujung Tombak Perjuangan RI, Jakarta: Gramedia, 1989, cet, ke-1, hlm.