Pemikiran politik Mohammad Natsir dalam peta perpolitikan di Indonesia di masa Orde Lama
(2)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun oleh :
MUHAMMAD IBNU TASLIM NIM: 1110045200007
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(3)
(4)
(5)
i
ABSTRAK
MUHAMMAD IBNU TASLIM. NIM 1110045200007. PEMIKIRAN POLITIK MOHAMMAD NATSIR DALAM PETA PERPOLITIKAN DI INDONESIA DI MASA ORDE LAMA. Konsentrasi Ketatanegaraan Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tahun 1436 H/2015 M. IX + 76.
Tokoh Mohammad Natsir ini penting untuk dikaji. dari karya-karya dia mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran Islam dan politik di Indonesia dalam melihat berbagai fenomena keagamaan Islam dan ia juga mengkritik sejumlah persoalan politik yang berkembang di Tanah Air terutama pada masa orde lama. Karena, Natsir mampu membicarakan persoalan Islam, baik dalam dimensi normative maupun historis, yang melibatkan isu-isu sosial budaya, ekonomi, dan politik yang lebih bersifat praktis.
Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif (library research). yaitu metode penelitian yang menggunakan teknik pengumpulan datanya dengan memanfaatkan berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan permasalahan penelitian baik dari buku-buku teks, media masa, ataupun jurnal, yang membicarakan tentang pemikiran politik Mohammad Natsir.
Hasil dari penelitian ini untuk menambah khazanah keilmuan bagi pembaca, memberikan wawasan serta keilmuan bagi peneliti, dan memberikan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Kata Kunci : Orde Lama, Pemikiran Politik, Peta Perpolitikan. Pembimbing : Dr. H. Abdurrahman Dahlan, MA.
(6)
ii
melimpahkan rahmat, nikmat dan karunia-Nya kepada segenap umat manusia. Shalawat beriringkan salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, manusia yang sempurna keimanannya serta manusia yang paling mulia, hingga patutlah menjadi teladan bagi seluruh umat manusia lainnya.
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah. Penelitian yang berjudul
“Pemikiran Politik Mohammad Natsir Dalam Peta Perpolitikan Di Indonesia
Di Masa Orde Lama” telah dapat penulis selesaikan. Penulisan karya ilmiah dalam bentuk skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi strata satu (S1) guna memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Merupakan suatu kehormatan bagi penulis untuk mempersembahkan yang terbaik bagi kedua orang tua, seluruh keluarga penulis, almamater, dan pihak-pihak yang telah ikut andil dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Sebagai bentuk penghargaan, penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dra. Hj. Maskufah, MA. Selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah yang telah memberikan arahan dalam penelitian skripsi penulis.
3. Ibu Hj. Rosdiana, MA. Selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah banyak membantu dalam hal akademik terkait penyelesaian studi penulis.
(7)
iii
5. Segenap Dosen dan staf akademik Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat serta bantuan bagi penulis. 6. Segenap staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan
Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas penyediaan literature dalam penulisan skripsi ini.
7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Suhartono dan Ibunda Inayah Zakaria, serta adik-adik tersayang Muhammad Fahri Husain dan Syifa Amalia dan keluarga yang telah memberikan motivasi, saran, dukungan dan doa bagi penulis.
8. Keluarga Besar Siyasah Syariah (Ketatanegaraan Islam) 2010, khususnya teman-teman seperjuangan Siyasah Syariah 2010, Alumni Darussalam Gontor 2008 serta K.H.Abdullah Syukri Zarkasyi, K.H. Hasan Abdullah Sahal, K.H. Syamsul Hadi Abdan S,Ag. Dan masih banyak yang lainnya yang tidak mampu penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan dan doanya selama ini.
9. Teman-teman KKN Sahabat dan Keluarga Besar Desa Mauk Barat. Terimakasih atas motivasinya.
10.Teman-teman Seperjuangan HMI KOMFAKSY terimakasih atas dukungan dan doanya selama ini.
(8)
iv
pahala yang berlipat ganda. Dengan segala kekurangan, besar harapan penulis agar skripsi ini mampu memberikan manfaat serta pengetahuan bagi penulis pribadi dan para pembaca lainnya. Semoga Allah senantiasa membimbing dan memberikan petunjuk dalam setiap langkah.
Jakarta, 5 April 2015 Penulis
(9)
v
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan ... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
D. Metode Penelitian ... 11
E. Review Studi Terdahulu ... 16
F. Sistematika Penulisan ... 18
BAB II PETA PERPOLITIKAN DI MASA ORDE LAMA ... 21
A. Kondisi Sosial Politik Di Masa Orde Lama ... 21
B. Kekuatan Politik Islam Di Masa Orde Lama ... 26
1. Politik Islam di Masa Kemerdekaan ... 26
2. Politik Islam Dalam Pembentukan Negara Pada Masa Kemerdekaan ... 32
3. Peranan Islam dalam Konstituante ... 35
C. Kebijakan Politik Orde Lama ... 37
1. Kebijakan Pemerintah Orde Lama ………. .. 37
(10)
vi
BAB III BIOGRAFI MOHAMMAD NATSIR ... 46
A. Riwayat Hidup Mohammad Natsir ... 46
B. Riwayat Intelektual Mohammad Natsir ... 47
C. Posisi Mohammad Natsir Diantara Para Pemikir Islam Pada Masanya ... 52
D. Pengaruh Pemikiran Mohammad Natsir di Indonesia…….. ... 55
1. Dianggap Sebagai Tokoh Pancasila ... 55
2. Arsitek Utama Negara Kesatuan ... 56
3. Dari Berpolemik Hingga Menjadi Menteri Kesayangan Soekarno ... 56
4. Tokoh Dunia Islam Yang Sederhana ... 58
BAB IV SIGNIFIKANSI PEMIKIRAN POLITIK MOHAMMAD NATSIR ... 60
A. Peran Natsir Sebagai Menteri Penerangan……….. ... 60
B. Peran Natsir Sebagai Perdana Menteri Pertama Negara Kesatuan RI ... 63
1. Pembentukan Negara Kesatuan RI……….. ... 63
2. Pemetaan Politik Luar Negeri……….. ... 66
(11)
vii
BAB V PENUTUP ... 79
A. Kesimpulan ... 79
B. Saran ... 80
(12)
1 A. Latar Belakang Masaalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terbentang dari Sabang sampai Merauke adalah sebuah negara besar. NKRI yang diperjuangkan dengan segenap pengorbanan, baik melalui perang maupun diplomasi. Perjuangan itu pun melahirkan banyak pahlawan pejuang kemerdekaan dari Sultan Hasanuddin, Sultan Ageng Tirtayasa, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, hingga KH Zaenal Mustafa. Dalam bidang diplomasi ada Soekarno, Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir, Muhammad Roem, Sjafruddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir yang mana mereka gigih memperjuangkan Kedaulatan Negara dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.1
Dalam upaya menegakkan kedaulatan NKRI selain Sjafruddin Prawiranegara dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia-nya (PDRI) di Sumatera Barat, juga ada Mohammad Natsir yang turut serta memainkan peranan luar biasa bagi tegaknya kedaulatan Negara kita ini.2 Di mana dalam sidang parlemen gabungan Negara Republik Indonesia (RI) dan Republik Indonesia Serikat (RIS), Mohammad Natsir yang sebagai anggota parlemen dari Masyumi, pada 3 april 1950, mengajukan Mosi Kesatuan yang populer
1
Lukman Hakiem,dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir (Jakarta: Republika, 2008), h. 353-354.
2
(13)
dengan sebutan Mosi Integral Natsir.3 Mosi inilah yang mengantarkan masing-masing Negara bagian, untuk bersatu kembali ke dalam Negara kesatuan Republik Indonesia. Pengaruh mosi ini diakui sangat strategis bagi perjuangan Negara Kesatuan Republik Indonesia.4
Masa orde lama sangatlah menarik karena adanya pertarungan ideologi partai berbeda antara yang satu dengan lainnya. Misalnya, Nasakom yaitu Nasionalis PNI-PARTINDO-IPKI-dll, Komunis PKI; Islam NU-MASYUMI- PSII-PI PERI, Sosialis PSI-MURBA, Kristen PARKINDO dll.5 Orde Lama dalam sejarah politik Indonesia merujuk kepada masa pemerintahan Soekarno (1945-1965).6 Sedangkan Nasakom merupakan konsep politik selama presiden Sukarno di Indonesia. Nasakom adalah akronim dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme.7 Memang Orde lama telah dikenal dengan prestasinya dalam memberi identitas, kebangsaan nasional dan mempersatukan bangsa Indonesia.8
Namun di sisi lain Orde Lama juga telah memberikan peluang bagi kemungkinan kaburnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pemberontakan PKI pada 1948, Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD
3
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan RI (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h.70-71.
4
Lukman Hakiem,dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir, h.359-360.
5
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), h.34.
6
https://id.wikipedia.org/wiki/Orde_Lama
7
https://id.wikipedia.org/wiki/Nasakom
8
Lukman Hakiem, dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir (Jakarta: Republika, 2008), h. 353-354.
(14)
Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965 yang mengaburkan identitas nasional kita. 9
Pada masa Orde Lama partai-partai Islam berasaskan Islam juga bersatu padu memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara.10 Namun, kekuatan politik umat Islam banyak dirugikan oleh kebijakan Soekarno. Kebijakan itu terutama berkaitan dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang diberlakukan. Sebab sistem ini, memberikan keleluasaan lebih besar kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk bergerak dan menguasai panggung politik Nasional. Juga, kebijakan Soekarno tentang keputusannya membubarkan Masyumi Agustus 1960.11
Dalam proses pengakuan kedaulatan dan pembentukan kelengkapan Negara, ditetapkan sistem demokrasi liberal. Dalam sistem demokrasi ini presiden hanya bertindak sebagai kepala negara. Presiden hanya berhak mengatur formatur pembentukan kabinet.12 Oleh karena itu, tanggung jawab pemerintah ada pada kabinet dan presiden tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Adapun kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Dalam hal ini Presiden Soekarno menunjuk Mohammad Natsir sebagai formatur
9
Anwar Harjono, Perjalanan Politik Bangsa (Jakarta:Gema Insani Press, 1997), h.60-61.
10
https://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/10/13/partai-politik-islam-dalam-peta-politik-indonesia/
11
https://ikadianhumairohsuparyat.wordpress.com/2013/07/25/politik-islam-era-orde-lama/
12
Yusril Ihza Mahendra, ed., M.wahyuni Nafis, dkk, Makna dan peranan islam dalam proses sosio-politik di Indonesia konstektualisasi ajaran islam: 70 tahun Munawir Sjadzali, cet.I. (Jakarta:IPHI dan Paramadina,1995), h. 354
(15)
karena telah berjasa dengan Mosi Integralnya yang membubarkan RIS yang diterima bulat oleh parlemen, lalu diangkatlah Mohammad Natsir sebagai Perdana Menteri oleh Presiden saat itu yaitu Soekarno.13
Dalam sistem demokrasi liberal ini, partai-partai besar seperti Masyumi, PNI, dan PKI mempunyai partisipasi besar dalam pemerintahan. Dibentuklah kabinet-kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat ) yang merupakan kekuatan-kekuatan partai besar berdasarkan UUDS 1950.14 Salah satu ciri penting dalam penerapan sistem Demokrasi Liberal di negara kita ini adalah silih bergantinya kabinet yang menjalankan pemerintahan. Kabinet yang pertama kali terbentuk pada tanggal 6 september 1950 adalah kabinet Natsir.15
Mohammad Natsir dikenal sebagai seorang negarawan Muslim, ulama, intelektual, tokoh pembaharu dan politisi kenamaan dunia Islam pada abad ke-20 ini. Pada masa perjuangan kemerdekaan ia dipercaya untuk menduduki jabatan-jabatan penting di Republik Indonesia, seperti menjadi anggota badan pekerja komite nasional Indonesia pusat (BP KNIP), Menteri Penerangan 1946-1948, anggota DPRS dan Perdana Menteri 1950-1951.16
Setelah pemilu tahun 1955, terjadi perkembangan politik yang cukup menarik. Pertentangan antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis
13
Lukman Hakiem, dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir, h.283.
14
Deliar Noer, Partai-partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, h.347.
15
Soekarno, Bung Karno: Negara Nasional dan Cita-cita Islam (Jakarta: Seridokumentar,2003), h.103.
16
(16)
sekuler mulai terlihat dalam majelis konstituante yang membahas tentang rancangan UUD perihal dasar Negara yang akan digunakan.17 Saat itu ada tiga rancangan dasar Negara yaitu Islam, Pancasila dan Sosial-ekonomi. Rancangan tentang sosial ekonomi diajukan oleh partai buruh. Sedangkan murba hanya didukung oleh sebagian kecil anggota Majelis Konstituante. Sementara itu perdebatan didominasi antara golongan Islam dan Nasionalis sekuler yang mengajukan Pancasila sebagai dasar Negara. Perdebatan itupun berakhir setelah Bung Karno membubarkan Majelis Konstituante dengan dekrit presiden 5 juli 1959 dan menyerukan kembali pada UUD 1945 dengan tetap berdasarkan Pancasila.18
Suasana di atas setidaknya menggambarkan dinamika politik pasca kemerdekaan dengan upaya untuk merumuskan kembali hubungan antara agama Islam dan Negara yang dapat diterima secara luas oleh bangsa Indonesia. Pada pemerintahan sistem politik orde lama, masyarakat masih belum memiliki kesadaran berpolitik.19
Dalam perdebatan dasar Negara golongan Islam diwakili oleh Mohammad Natsir yang selama masa pra-kemerdekaaan telah berusaha merumuskan konsep-konsepnya mengenai Negara Islam melalui tulisan-tulisannya di majalah Pembela Islam yang terbit antara tahun 1929-1935 dan
17
A.H. Nasution, Sejarah Kembali Ke UUD 1945 (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1976), h.14.
18
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta:LP3ES,1987), h.124.
19
Sudirman Teba, Islam Orde Baru Perubahan Politik dan Keagamaan (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993), h.9.
(17)
Pandji Islam 1937-1941.20 Menurutnya, Islam bukan semata-mata agama dalam pengertian ruhaniah saja. Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dan antara sesama manusia. Islam merupakan pedoman dan falsafah hidup yang tidak mengenal pemisahan agama dan politik.21
Mohammad Natsir merupakan tokoh yang telah berhasil membangun fondasi perpolitikan di Indonesia, dan khusus bagi umat Islam, Mohammad Natsir telah memerankan peranan yang luar biasa dalam bingkai Ke-Islaman dan meletakkan Islam dalam bingkai Ke-Indonesiaan. Maka tak heran jika banyak predikat yang melekat pada pribadinya. Predikat ini pun muncul bukan dari keinginannya, tetapi justru lahir dari umat ketika melihat perjalanan hidup Mohammad Natsir.22
Tanpa menafikan peran para pemikir muslim lainnya, Mohammad Natsir telah mengembangkan pemikirannya di masa orde lama dan Politik Islam di Indonesia dengan bingkai teori Ilmu-ilmu politik.23 Banyak karya dan buku telah di terbitkannya sebagai bagian kepedulian dan kontribusinya dalam mencari jalan keluar dari kebuntuan perdebatan mengenai politik. Ini menunjukkan, pentingnya Ilmu politik dalam memahami soal politik yang terjadi di Indonesia dan khususnya di masa orde lama.24Dalam hemat penulis tokoh seperti Mohammad Natsir penting untuk dikaji sebab dari pemikiran
20
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h.125-127.
21
Deliar Noer, Partai-partai Islam di pentas nasional 1945-1965, h.126.
22
Lukman Hakim, dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir, h.140.
23
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h.9.
24
(18)
serta karya-karyanya mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran Islam dan politik di Indonesia dalam melihat berbagai fenomena politik.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis memfokuskan kajian penelitian pada pemikiran politik Mohammad Natsir (selanjutnya disebut Natsir) tentang Peta perpolitikan di Indonesia pada masa orde lama, dan beberapa aspek pemikirannya yang mengundang kontroversi. Pemikiran politik Natsir dalam hal ini, merupakan ijtihad politik Natsir dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks sistem bernegara. Kepedulian seorang tokoh terhadap tanah kelahirannya dapat dilihat dari pemikiran, perjuangan dan tindakannya dalam mengartikulasikan ide-idenya. Ide-idenya dipaparkan secara komprehensif dan meyakinkan. Argumen-argumen yang dibangunnya disampaikan, mulai dari filosopis sampai praktisnya. Sehingga ide-idenya tidak saja memperkaya wacana, namun dapat dijabarkan secara operasional. Hal itu dimungkinkan karena kapasitasnya sebagai intelektual dan negarawan.25
Natsir memang telah tiada, namun ia telah mewariskan ide dan gagasan pemikiran yang mahal dan langka. Semuanya telah tertuang dalam beberapa artikel yang jumlahnya tak terhitung.26 Islam jelas berpengaruh dalam pikiran dan perjuangannya. Oleh karena itu, studi tentang pemikiran dan aksi politik Islam Mohammad Natsir menjadi sangat menarik dan patut untuk diteliti secara mendalam dalam rangka memberikan kontribusi positif
25
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia (Bandung: Mizan Pustaka, 2010), h.42.
26
(19)
bagi upaya memahami format politik Islam di Indonesia dalam kaitannya dengan Islam dan politik di masa orde lama. Untuk itu judul yang diambil dalam penelitian skripsi ini adalah PEMIKIRAN POLITIK MOHAMMAD NATSIR DALAM PETA PERPOLITIKAN DI INDONESIA DI MASA ORDE LAMA.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dengan mengajukan skripsi ini maka peneliti memperoleh kesempatan melakukan historical insight, tentang seorang tokoh besar yaitu Mohammad Natsir. Kiprah Natsir sebagai seorang tokoh intelektual, politikus, pemimpin negara maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka di abad ini tak pernah selesai menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi asal-usul dan fisiknya, Natsir hanyalah orang biasa, dengan temperamen yang lemah lembut, bicara penuh sopan santun, dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya. Tak diragukan lagi banyak sekali pengalaman yang menginspirasikan pemikiran-pemikirannya untuk diterapkan di Indonesia. Dari sekian banyak pemikiran Mohammad Natsir, penulis ingin memfokuskan kajian penelitiannya terhadap pemikiran politik Mohammad Natsir di masa orde lama.
2. Pembatasan Masalah.
Sebagaimana banyak diketahui Mohammad Natsir dikenal sebagai seorang tokoh intelektual, politikus, pemimpin negara maupun tokoh dunia
(20)
Islam, Seorang tokoh yang menghasilkan pemikiran yang luar biasa tentang Islam. Oleh sebab itu, dalam skripsi ini penulis akan membatasi pembahasannya lebih fokus kepada pemikiran politik Mohammad Natsir di masa orde lama dan difokuskan yang ditulis adalah kerangka pemikiran politik Mohammad Natsir di masa orde lama dalam membatasi ruang kajian ini.
3. Perumusan Masalah
Dengan merujuk pada keterangan yang telah dijelaskan diatas, ada bebarapa persoalan yang terangkum dalam identifikasi masalah, berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pembahasan skripsi ini penulis melakukan penelitian bagaimana pemikiran politik Mohamammad Natsir di Indonesia di masa orde lama dan dapat diuraikan secara terperinci sebagai berikut:
a. Bagaimana peta perpolitikan Mohammad Natsir di Indonesia di masa orde lama?
b. Bagaimana Perjalanan hidup Mohammad Natsir selaras dengan kehidupan politiknya?
c. Bagaimana Signifikansi pemikiran politik Mohammad Natsir?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui dan memahami secara jelas tentang pemikiran politik Mohammad Natsir khususnya pemikiran politik Mohammad Natsir di masa orde lama. Serta melakukan analisis
(21)
kritis terhadap pemikiran dan gagasannya. Dan juga ingin lebih dalam mengkaji tentang beberapa hal, yang di antaranya adalah:
a. Untuk mengetahui peta perpolitikan Mohammad Natsir dalam politiknya, khususnya peta perpolitikan Mohammad Natsir di masa orde lama.
b. Mengetahui Perjalanan hidup Mohammad Natsir selaras dengan kehidupan politiknya.
c. Untuk mengetahui signifikansi pemikiran politik Mohammad Natsir. 2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Praktis
Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam meraih gelar kesarjanaan strata 1 (S1) Fakultas Syariah dan Hukum di Jurusan Ketatanegaraan Islam pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Manfaat Akademis
1) Sebagai tambahan referensi atau perbandingan bagi studi-studi yang akan datang, judul skripsi yang penulis angkat diharapkan akan menambah jumlah studi mengenai politik Islam.
2) Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan dibidang ilmu poltik.
3) Bagi Fakultas, diharapkan memberikan sumbangan kepustakaan dalam pengembangan wacana civitas akademika di Jurusan
(22)
Ketatanegaraan Islam.
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini adalah library research yaitu metode penelitian yang menggunakan teknik pengumpulan datanya dengan memanfaatkan berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan permasalahan penelitian baik dari buku-buku teks, media masa, ataupun jurnal, yang membicarakan tentang pemikiran politik Mohammad Natsir. Namun yang tetap perlu diperhatikan adalah unsur selektif yaitu tidak semua unsur bacaan yang di temukan lalu ditelaah dan dipakai begitu saja, agar didapatkan hasil penelitian yang relevan dan tidak meluas kemana-mana. Kajian inipun sering juga disebut kajian literatur27.
Penelitian tokoh ini juga bersifat kualitatif yang berangkat dari generalisasi empiris atau realitas-realitas sosial sejarahnya. Realitas-realitas tersebut dideskripsikan dan di analisis secara komprehensif, holistik, dan komparatif. Aspek yang bersifat fenomenal dan historis juga didiskripsikan dan ditelaah secara kritis hingga melahirkan satu generalisasi yang bersifat ideografis.
27
Mohammad Kasiram, Metodologi Penelitian : Refleksi Pengembangan Pemahaman dan Penguasaan Metodologi Penelitian (Malang: UIN Press, 2008), h. 111.
(23)
Menurut Bogdan dan Taylor (1973),28 penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan, dan perilaku yang dapat diamati dari subyek itu sendiri. Pendekatan ini menunjukkan langsung dari setting itu secara keseluruhan. Subjek studi baik berupa organisasi, lembaga, atau individu tidak dipersempit menjadi variable yang terpisah atau menjadi hipotesis, tetapi dipandang sebagai bagian dari suatu keseluruhan (holistik).
Strategi penelitian menggunakan studi tokoh kritis yang merupakan salah satu jenis penelitian kualitatif. Dalam studi tokoh kritis, metode yang digunakan untuk meneliti subjek penelitian akan mempengaruhi cara pandang subjek tersebut. Sehingga studi tokoh kritis terletak pada kapasitas untuk menganalisa dan menginterpretasi tokoh Mohammad Natsir secara kritis. Melalui metode ini juga, dapat dikenali secara mendalam bagaimana Mohammad Natsir secara pribadi dengan melihat konsepnya, sesuai dengan cara pandangnya terhadap dunia dengan pemikiran, karya, dan perilaku politiknya. Penelitian kualitatif ini mencoba mengeneralisasikan tokoh Mohammad Natsir, dari sisi pemikiran politiknya khususnya tentang perpolitikan di masa orde lama.
Oleh karena itu, kajian literatur kritis yang baik menjadi prasyarat wajib bagi setiap penelitian, baik untuk penjabaran atau mempertajam permasalahan, merumuskan hipotesis, merumuskan konsep-konsep, menentukan dasar-dasar teori yang dipergunakan dalam mengumpulkan
28
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Farian Kontemporer (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001), h.31.
(24)
data, maupun dalam menafsirkan data. Penelitian kepustakaan ini diperoleh dengan melakukan penalaran dedukatif secara simultan dari sumber-sumber bacaan yang diperoleh. Jadi penelaahan ini tidaklah hanya memindahkan buah pemikiran orang lain secara dogmatis tetapi memerlukan proses berpikir seorang peneliti agar terhindar dari unsur menjiplak.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan sejarah (historical approach) dalam hal ini peneliti mengeksplorasi perkembangan konsep ataupun pemikiran serta aksi politik Mohammad Natsir secara kronologis. Dengan mengunggkap perkembangan politik Islam secara kronologis, dari itu akan dapat diketahui dengan lebih mudah perihal sebab-sebab lahir dan berkembangnya kebijakan-kebijakan pada masa itu. Pada akhirnya penulis dapat menemukan orisinalitas dan inti pemikiran Mohammad Natsir tersebut.
2. Teknik Pengumpulan Data a. Pengumpulan data
Sebagai implikasi dari pendekatan yang digunakan, maka metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan, dan prilaku yang dapat diamati dari subyek itu sendiri. dengan metode ini penulis mengkaji bahan atau data dari sumber tulisan yang terkait, baik dari sumber primer maupun sekunder.
(25)
karya tulis yang merupakan karya asli dari Mohammad Natsir antara lain adalah Kebudayaan Islam dalam perspektif sejarah, Di bawah Naungan Risalah, Islam Sebagai Dasar Negara, Demokrasi di Bawah Hukum, Indonesia di Persimpangan Jalan, dll.
Adapun sumber data yang bersifat sekunder adalah dokumen atau karya tulis yang ditulis oleh orang atau suatu lembaga tentang sosok Mohammad Natsir dengan memberikan kategorisasi dan pengelompokan kualitas pada data yang diperoleh baik yang berasal dari dokumen pustaka misalnya Buku-buku yang mengkaji tentang Mohammad Natsir adalah Pemikiran Natsir dalam perkumpulan intelektual di Indonesia yang ditulis oleh Anwar Haryono dan Lukman Hakim, dan juga buku Mohammad Natsir 70 tahun: kenang-kenangan kehidupan dan perjuangan karangan Yusuf Abdullah Puar, lalu ada pula buku yang menjelaskan tentang Biografi Mohammad Natsir yaitu buku M. Natsir, sebuah biografi yang ditulis oleh Ajib Rosyidi, kemudian ada buku tentang Gerakan Modernisme Islam di Indonesia 1900-1942 yang ditulis oleh Deliar Noer dan Partai Islam di Pentas Nasional, ataupun dari data lain seperti internet, kemudian data-data tersebut dianalisis dengan kritis secara akademis. Oleh karena itu, penulisan akan merujuk pada pengkajian pustaka, baik karya asli mapun terjemahan, juga karya-karya yang sesuai atau mendukung dengan tema bahasan.
b. Pengolahan Data
(26)
skripsi ini adalah metode deskriptif analisis, yaitu memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari data primer dan sekunder secara apa adanya. Kemudian dianalisa dengan cara menginterpretasikan dari hasil-hasil yang telah didapatkan. Kemudian data-data tersebut diklasifikasikan sesuai dengan tema dan sub-sub bab yang akan dibahas oleh penulis, kemudian penulis mendeskripsikan ini dengan memaparkan secara sistematis yang disertai dengan membuat analisis, kritik dan kesimpulan. Analisis yang digunakan penulis adalah analisis hubungan yaitu memberikan analisis dengan menghubungkan uraian dan penjelasan yang terdapat pada bab-bab sebelumnya diakhir pembahasan.
c. Teknik Analisis Data
Analisis data dengan metode analisis induktif yaitu dengan melakukan analisis secara menyeluruh terhadap data-data yang telah didata, kemudian akan dihasilkan kesimpulan penelitian terhadap permasalahan yang diangkat. Metode ini dilakukan penulis dengan berbagai langkah yaitu dengan cara menghimpun seluruh data-data tersebut dijadikan beberapa bab dan sub bab, setelah semuanya terdata dengan baik, langkah selanjutnya data-data tersebut dianalisa oleh penulis sehingga menjadi sebuah kesimpulan yang sesuai dengan informasi dan data-data yang didapatkan.
d. Teknik Penulisan Skripsi
Teknik penulisan skripsi ini berpedoman kepada Buku pedoman Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(27)
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Fakultas
Syari‟ah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tahun 2012.
E. Review Studi Terdahulu
Sebagai seorang tokoh agama sekaligus negarawan, kehidupan dan pemikiran Mohammad Natsir cukup banyak mendapat sorotan dari para penulis, terutama berkaitan dengan perjuangan Islam dan bangsa Indonesia. Sebagai contoh Deliar Noer dalam bukunya yang berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Deliar Noer memaparkan tentang Mohammad Natsir sebagai anggota Persis, permulaan karirnya, kaitannya dengan Partai Islam Indonesia, dan Polemiknya dengan Soekarno.29 Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya yang berjudul Runtuhnya Mitos Politik Santri: Strategi Kebudayaan dalam Islam : di dalamnya memaparkan pandangan Mohammad Natsir tentang Perjuangan Islam dan Bangsa Indonesia.30 Meskipun kedua buku ini membicarakan tentang Mohammad Natsir dalam Perjuangan Islam dan Bangsa Indonesia, tapi ia bukanlah tema sentral dari tulisan tersebut. Mohammad Natsir dibahas sebagai sebuah bagian yang berfungsi untuk menyempurnakan tema sentral dari kedua tulisan.
Adapun tulisan yang menjadikan Mohammad Natsir sebagai tema sentral antara lain: (1) Pak Natsir 80 Tahun: Pandangan dan Penilaian Generasi Muda Antar Generasi. Tulisan ini merupakan kumpulan tulisan dari
29
Deliar Noer , Gerakan Modernisme Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996), h.308-315.
30
Abdur Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri : Strategi Kebudayaan Dalam Islam (Yogyakarta: Sipress,1994), h. 140-149.
(28)
beberapa tokoh tentang pandangan mereka terhadap Mohammad Natsir baik sisi pribadinya, perjuangannya dalam agama dan Negara ataupun pemikirannya tentang Islam dan Negara.31 (2) Percakapan antar Generasi: Natsir Pesan Perjuangan seorang bapak adalah hasil wawancara A.W. Praktiknya dan Amien Rais dengan Mohammad Natsir yang berkaitan dengan Islam, Gerakan, dan Perkembangannya.32 (3) Natsir: Sebuah Biografi oleh Ajib Rasidi. Dari judul tulisan ini dapat terlihat bahasa tulisan tersebut memfokuskan diri pada biografi Mohammad Natsir dari awal kelahirannya hingga perjuangan dan perannya dalam kehidupan beragama dan berbangsa.33 (4) Dasar Negara Islam Indonesia: Pemikran, Cita-cita, dan Semangat Nasionalisme Natsir oleh Kholid O.Santosa: Memaparkan Perkembangan Pemikiran Mohammad Natsir berkaitan dengan agama dan politik serta konsep Negara Islam sebagai konsep usulannya.34 (5) Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir oleh Ahmad Suhelmi. Fokus tulisan ini adalah perdebatan antara Soekarno dan Natsir dalam memahami hubungan agama dan Negara.35
Selain tulisan-tulisan diatas, terdapat juga tulisan dalam bentuk skripsi
31
Endang Saifuddin Anshari dan Amien Rais, Pak Natsir 80 Tahun: Pandangan dan Penilaian Generasi Muda (Jakarta: Media Dakwah, 1988), h.187-189.
32
A.W Praktiknya, Percakapan Antara Generasi: Natisr Pesan Perjuangan seorang Bapak (Yogyakarta : Labda, 1989), h.1-130.
33
Ajib Rosidi, M.Natsir: Sebuah Biografi, h.15-312.
34
Kholid O. Santosa, Dasar Negara Islam Indonesia: Pemikiran, Cita-cita dan Semangat Nasionalisme Mohammad Natsir (Bandung: LP2EPI, 2002), h.187-345.
35
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir (Jakarta: Terajin, 2002), h.79-127.
(29)
yang membahas tentang Mohammad Natsir, antara lain (1) “Konsep
Kenegaraan Dalam Islam Menurut Mohammad Natsir” oleh Muhammad Taisir. Tulisan ini menyoroti pandangan Mohammad Natsir tentang Negara yang berpijak pada ajaran agama Islam.36 (2) “Natsir: Politikus Intelektual
Muslim” oleh Sri Murti. Tulisan ini tidak memfokuskan pada salah satu pemikiran Natsir namun menyoroti segala sesuatu yang berkaitan dengan Mohammad Natsir sebagai seorang politikus Muslim.37 (3) “Pemikiran
Mohammad Natsir tentang Negara dan Kiprahnya dalam Perpolitikan di Indonesia” oleh Adhiyat Bagus Nugraha. Dalam pembahasannya lebih mengarah pada hubungan agama dan Negara.38
Dengan demikian, Penelitian ini berbeda dengan tulisan-tulisan tentang Mohammad Natsir yang telah ada, penelitian ini lebih menekankan dan membahas serta menitikberatkan tentang pemikiran politik Mohammad Natsir dalam peta perpolitikan di Indonesia di masa orde lama. Oleh karena itu, studi tentang pemikiran dan aksi politik Mohammad Natsir menjadi sangat menarik dan patut untuk diteliti secara mendalam dalam rangka memberikan kontribusi positif yang tinggi bagi upaya memahami format politik Islam di Indonesia dalam kaitannya dengan Islam dan politik.
F. Sistematika Penulisan
36Muhammad Taisir, “Konsep KenegaraanIslam Menurut Mohammad Natsir”,
(Skripsi S1 Fakultas Adab, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, 1999).
37Sri Murti, “Politikus Intelektual Muslim”
, (Skripsi S1 Fakultas Adab, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, 1996).
38Adhiyat Bagus Nugraha, “Pemikiran Mohammad Natsir tentang Negara dan Kiprahnya
dalam Perpolitikan di Indonesia”, (Sripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Jurusan Ketatanegaraan Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004).
(30)
Untuk memudahkan penulisan, maka penulis menggunakan sistematika penulisan dengan menggunakan pedoman penulisan karya ilmiah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta agar pemaparan hasil penelitian dalam bentuk penulisan skripsi ini lebih terarah dan sistematis, penulis membagi uraian skripsi ini menjadi lima bab, yakni masing-masing terdiri dari sub-sub yang terdiri sebagai berikut:
Pada Bab I (bab Pertama) Penulisan ini dimulai bab pertama, Merupakan bab pendahuluan yang diuraikan tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu dan Sistematika Penulisan. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi standar laporan penulisan dalam bentuk skripsi sebagaimana lazimnya.
Selanjutnya diuraikan pula Pada Bab II (bab Kedua) Pada bagian ini akan dibahas mengenai peta perpolitikan di Indonesia di masa orde lama, serta pergulatan sejarah kekuatan politik Islam di Masa Orde lama, dan kebijakan pemerintah Orde lama, serta kebijakan orde lama terhadap Islam secara deskriptif. Uraian ini dimaksudkan untuk menggambarkan peta perpolitikan pada umumnya di masa orde lama, uraian ini penulis tempatkan pada bab Kedua.
Selanjutnya untuk mengenal lebih dekat sosok Mohammad Natsir, pemikiran politik Mohammad Natsir di masa orde lama. Maka lebih dahulu diuraikan dalam hal ini Biografi Mohammad Natsir adapun materi-materi yang disajikan pada bab III (bab Ketiga) ini adalah Membahas mengenai
(31)
Riwayat Hidup, Riwayat Intelektual (Pendidikan), Corak dan Posisi Mohammad Natsir diantara para pemikir Islam pada masanya, dan Pengaruh Pemikiran Mohammad Natsir di Indonesia.
Masuk pada bab IV (Bab keempat). Pada bab keempat ini penulis menjelaskan tentang pembahasan masalah, dimana didalamnya penulis menjelaskan Signifikansi Pemikiran Mohammad Natsir tentang peta perpolitikan di Indonesia di masa orde lama, dan penulis juga menjelaskan Peran Mohammad Natsir di masa orde lama, serta Signifikansi Peran Mohammad Natsir dalam Peranannya.
Selanjutnya dalam Bab V (Bab Kelima) adalah bab Penutup, dimana dalam bab ini penulis mencoba menyimpulkan apa yang jadi tema skripsi ini yang berisi kesimpulan dan Rekomendasi. Dalam bab ini disajikan pokok-pokok temuan penelitian yang dihasilkan. Disamping itu, dimuat pula saran terkait tindak lanjut atas temuan penelitian.
(32)
21 A. Kondisi Sosial-Politik Di Masa Orde Lama
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi, dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan.1
Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan Instabilisasi nasional sejak periode orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era orde baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik orde lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideologi sosialisme komunisme.2
Konfigurasi politik yang ada pada periode lama membawa bangsa Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur
1
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta:UII Press,1991), h.3.
2
Suhadirman, Pembangunan Politik Satu Abad (Jakarta: Yayasan Lestari Budaya, 1996), h.50.
(33)
pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Konfigurasi politik otoriter yang dimaksudkan disini ialah dimana susunan sistem politik yang lebih memungkinkan Negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan Negara. konfigurasi ini ditandai oleh dorongan elite kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan Negara untuk menentukan kebijaksanaan Negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elite politik yang kekal, serta dibalik semua itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan.3 Konfigurasi politik diartikan sebagai kekuatan-kekuatan politik yang riil dan eksis dalam suatu sistem politik.4 Pada masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme.5
Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim orde baru yang mengakhiri tahapan tradisional tersebut pembangunan politik hukum memasuki era lepas landas lewat proses rencana Pembangunan Lima Tahun yang berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap kedewasaan (maturing society) dan selanjutnya berkembang menuju bangsa yang adil dan makmur.6
3 Gallenksonk,”Konfigurasi Politik”, artike
l diakses pada 19 Maret 2015 dari https// Kodifikasi.blog.spot.com
4 Gallenksonk,”Konfigurasi Politik”, artike
l diakses pada 19 Maret 2015 dari https// Kodifikasi.blog.spot.com
5
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.91.
6
(34)
Presiden Soekarno pada tanggal 5 juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No.75, Berita Negara 1959 No.69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstitiuante melaksanakan tugasnya.7 Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang
“memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang
dilakukan melalui dekrit.8
Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah menjadi masyarakat merdeka.9 Masa orde lama bisa diartikan juga sebagai masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam
7
Moh Mahfud MD, Politik Hukum Diklat Program Pasca Sarjana UII Tahun 1998/1999
(Yogyakarta: penerbit UII Press,1998), h.133-134.
8
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.115.
9
Fira Rahmania, “Penerapan pancasila pada masa orde lama”, artikel diakses pada 19 Maret 2015 https: // Firacomplicated.blogspot.com
(35)
bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama.10 Orde lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando. Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer.11
Problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila.12
Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan
“excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi
secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democraticie).13
10
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (Jakarta: Rajawali,1986), h.93.
11
Cita Dastmik. “Orde Lama”. artikel diakses pada 19 Maret 2015 dari https: // citadastmikpringsewu.wordpress.com
12
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik:Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) (Jakarta: Gema Insani Press,1996), h.31-32.
13
(36)
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan
multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Nahdhatul Ulama (NU), Majlis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas.14
Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tinggi berupa :
1. Gerakan separatis pada tahun 1957;
2. Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam Fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara Pro dan yang Kontra.15
Pihak yang pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru,
14Ibid
,. h.155.
15
(37)
sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.16
B. Kekuatan Politik Islam di Masa Orde Lama 1. Politik Islam di Masa Kemerdekaan
Ketika Indonesia memasuki pintu gerbang kemerdekaan, muncul persoalan yang sangat pelik atau kritis, yaitu mengenai pilihan dasar negara atau undang-undang dasar negara. hal ini terkait dengan adanya golongan masyarakat yang secara teoritis digambarkan oleh Geertz, melalui kategori sosial santri, priyai dan abangan. Kalangan santri secara politik mengelompokkan dalam aliran politik dengan ideologi yang agamis (Islam), sedangkan kalangan priyayi (Islamiyah) ke dalam kelompok kecil yang bercakupan Nasional dan Aksi Kesatuan Umat Islam (AKUI) Madura ke dalam kelompok kecil yang bercakupan daerah.17
Berbicara secara Ideologis , perdebatan serius antara wakil-wakil golongan Islam dan kelompok Nasionalis sekuler dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) harus dan abangan secara politik mengelompokkan dalam aliran politik dengan
16
Ibid., h.124.
17
Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Penerjemah: Nugroho Katjasungkana (Jakarta: kepustakaan popular Gramedia, 1999), h. 84-90.
(38)
ideologi yang sekuler.18
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 atau tepatnya pada tanggal 3 November 1945, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Pemerintah tentang hak hidup Partai-partai politik Indonesia. Partai-partai tersebut diharapkan sudah berdiri sebelum dilangsungkan pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946. Pada saat inilah setelah Partai Nasional Indonesia didirikan, Partai Muslim bernama Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) didirikan pada tanggal 7 November 1945.19
Antara bulan November sampai Desember 1945, berbagai partai politik bermunculan di tanah air. Umat Islam, sekalipun tidak secara langsung berkaitan dengan seruan pemerintah itu, menyelenggarakan kongres umat Islam Indonesia pada tanggal 7-8 November 1945 di Yogyakarta. Semangat yang menjiwai kongres itu bukan saja semangat persatuan, tetapi juga semangat kesatuan. Kongres yang dilaksanakan pada saat seluruh bangsa tengah menghadapi tentara sekutu dan tentara Belanda yang membonceng sekutu berniat kembali menjajah bangsa Indonesia, dengan tegas dan penuh keyakinan mengumandangkan seruan Jihad fi sabilillah untuk mempertahankan kemerdekaan.20
Pembentukan Partai Masyumi di Yogyakarta pada tahun 1945,
18
Firdaus Syam, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra Di Pentas Politik Indonesia Modern (Jakarta: Khoirul Bayaan, Sumber Pemikiran Islam, 2003), h.47.
19
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.94.
20
Ades Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam Dalam Lintasan Sejarah (Bandung:Pustaka Setia, Januari 2004), h.121-122.
(39)
melalui kongres umat Islam, salah satu tujuannya adalah melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan. Kongres ini mengahasilkan kesepakatan bahwa Masyumi Merupakan satu-satunya institusi politik umat Islam. Dari komposisi personalia kepengurusan Masyumi, tampak bahwa partai ini melibatkan seluruh fungsionaris Islam pasca
kemerdekaan, seperti dalam Majlis Syuro diketuai oleh Hasyim Asy‟ari
(NU), Agus Salim (PSII) dan lain-lain; sedangkan Pengurus Besar diketuai oleh Sukiman, Abikusno Tjokrosujoso, dan kemudian melibatkan M. Natsir, Mohammad Roem, dan juga Kartosuwirjo.21
Mulai dilaksanakannya sistem pemerintahan parlementer berarti membuka peluang lebih besar kepada partai politik untuk memainkan perannya di legislatif. Partai apa pun yang bisa memperoleh suara terbanyak di legislatif pada gilirannya ia akan mendapat kesempatan untuk mendominasi kabinet atau lembaga eksekutif. Hal ini menjadi salah satu pendorong bagi masyarakat yang terbelah menjadi lima aliran pemikiran politik untuk mendirikan partai sesuai dengan aliran yang dimilikinya. Kelima aliran itu adalah Komunisme, Sosialisme Demokratik, Islam, Nasionalisme Radikal, dan Tradisionalisme Jawa.22
Pada bagian lain, Alfian membagi partai-partai yang muncul pasca-Maklumat November 1945 menjadi lima bagian, yaitu Nasionalisme, Islam, Komunis, Sosialis, dan Kristen/Nasrani. Sedangkan buku
21
Ibid,. h.122-123.
22
Herberth Feith dan Lance Castle (penyunting), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, ,Penerjemah: Nugroho Katjasungkana, (Jakarta:LP3ES, 1965), h. iii-Iix.
(40)
Kepartaian Indonesia terbitan Kementerian Penerangan tahun 1951 menggolongkannya menjadi 4 jenis, yakni (1) Dasar Ketuhanan, (2) Dasar Kebangsaan, (3) Dasar Marxisme, dan (4) Partai Lain-lain.23 Sementara itu Herbert Feith dengan mendasarkan diri pada hasil perolehan suara dan jumlah kursi yang diperoleh partai-partai dalam pemilu 1955, mengelompokkan partai menjadi empat bagian. Keempat bagian itu adalah partai besar, partai menengah, kelompok kecil yang bercakupan nasional, dan kelompok kecil yang bercakupan daerah. Mengikuti taksonomi ini, Feith memasukkan Masyumi dan NU ke dalam Golongan Partai besar, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), PPTI (Partai Persatuan Tharikat Indonesia).24
Pada 9 April 1945, BPUPKI (dalam bahasa jepang :Dokuritsu Zyumbi Tyoosokai) dibentuk sebagai realisasi janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia sebagaimana telah diumumkan Perdana Menteri Koiso pada 9 September 1944. Perdebatan tentang dasar Negara dalam sidang-sidang BPUPKI memang tegang dan panas. Ada dua aliran politik yang muncul ke permukaan: Islam dan aliran pemisahan Negara dan Agama. Profesor Supomo menjelaskan tentang dua aliran ini sebagai Perbedaan dua paham : Paham pertama dibela oleh ahli-ahli agama yang bertujuan mendirikan suatu Negara Islam di Indonesia; paham kedua, sebagaimana disarankan oleh Hatta ialah paham pemisahan
23
M.Rusli karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah potret pasang-surut
(Jakarta:Rajawali Press, 1993), h. 65-68.
24
Ahmad Syafii Maarif, Islam Dan Pancasila Sebagai Dasar Negara (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006) h.103.
(41)
antara urusan Negara dan urusan Islam. Pendeknya bukan suatu Negara Islam.25
Pendapat di atas dikemukakan Supomo pada 31 Mei 1945, yakni sehari sebelum Soekarno menyampaikan usul Pancasila sebagai dasar ideologi Negara. hanya perlu dicatat bahwa dalam Pancasila Soekarno, sila Ketuhanan diletakkan sebagai sila kelima, sila pengunci. Dengan demikian Soekarno tidak menjadikan sila Ketuhanan sebagai sumber moral bagi sila-sila yang lain. Lebih dari itu, bagi Soekarno Pancasila dapat disarikan menjadi Trisila, yakni : 1. Sosio-nasionalisme; 2. Sosio-demokrasi; 3. Ketuhanan.26 Bahkan sila yang tiga ini dapat diperas menjadi Ekasila dalam bentuk gotong-royong. Dalam perasan yang terakhir ini sila Ketuhanan telah menghilang. Sudah barang tentu teori tipikal ini dipandang tidak masuk akal oleh setiap Muslim yang sadar akan ajaran agamanya. Itulah sebabnya mereka berusaha melakukan modifikasi terhadap rumusan Pancasila Soekarno, jika memang Pancasila mau dijadikan Falsafah Negara.27
Isu tentang dasar Negara telah memaksa para pendiri Republik Indonesia untuk menjalani masa-masa yang sulit dalam sejarah modern Indonesia. Tetapi Akhirnya, sebuah kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 dapat dicapai. Piagam Jakarta adalah hasil kerja sebuah Panitia kecil dalam BPUPKI yang diketuai
25
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h.17.
26Ibid,
. h.26.
27
(42)
Soekarno, dan ditandatangani oleh 9 anggota terkemuka, yaitu: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim dan Muhammad Yamin.28
Piagam Jakarta sebenarnya adalah sebuah preambule (Pembukaan) bagi konstitusi yang diajukan dalam sidang BPUPKI. Di dalamnya, Pancasila sebagai dasar Negara yang telah disepakati, tetapi sila pertama, yaitu sila Ketuhanan diikuti oleh klausul:…dengan kewajiban
menjalankan syari‟at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Anak kalimat yang dinilai strategis ini juga terdapat dalam pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang diusulkan itu. Bagi ummat Islam, anak kalimat ini menjadi sangat penting sebab dengan itu tugas pelaksanaan syari‟at Islam secara konstitusional terbuka pada waktu yang akan datang. Inilah salah satu alasan mengapa wakil-wakil ummat Islam dalam BPUPKI dapat berkompromi dengan kelompok nasionalis.
Sisi lain yang menarik di sini ialah bahwa anggota panitia kecil, kecuali Maramis yang Kristen, semuanya beragama Islam, sekalipun hanya empat wakil saja yang membawa aspirasi politik Islam. Mereka adalah Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim dan Wachid Hasjim. Sedangkan empat anggota lainnya telah sejak awal menolak Islam sebagai dasar Negara.29
28
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h.30.
29
(43)
2. Politik Islam dalam Pembentukan Negara Pada Masa Kemerdekaan Sebagai realisasinya maka dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 9 April 1944. Dalam pembahasan mengenai dasar negara Indonesia merdeka terdapat dua golongan yang saling bertentangan yakni golongan Islam dan nasionalis Sekuler.30 Salah satu kepentingan umat Islam ketika itu adalah menjadikan Islam sebagai dasar negara. Tuntutan ini menimbulkan reaksi dari kelompok nasionalis sekuler, sosialis, dan nasrani yang pada masa itu merupakan mayoritas dalam BPUPKI. Kelompok tersebut mengajukan pancasila sebagai dasar negara. untuk mengatasi permasalahan ini
dibentuklah “Panitia Sembilan”.
Panitia ini terdiri atas lima orang dari golongan nasionalis sekuler
dan empat orang dari golongan Islam. Berdasarkan keputusan dari “Panitia Sembilan” pada tanggal 22 Juni 1945 dicapai kesepakatan menambah
tujuh kata dalam sila pertama pancasila menjadi “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Konsep ini kemudian disebut Piagam Jakarta.31 Piagam ini adalah sebuah kompromi politis ideologis antara golongan yang beraspirasi Islam dan kelompok nasionalis yang sebagian besar juga beragama Islam, akan tetapi menolak ide negara berdasarkan Islam.
Meskipun demikian UUD 1945 yang disahkan sehari setelah proklamasi kemerdekaan ternyata menghapuskan tujuh kata dalam Piagam
30
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.112.
31
(44)
Jakarta diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dan menetapkan Pancasila sebagai dasar Negara. Umat Islam terpaksa mengalah dengan tuntutan kelompok pendukung Pancasila. Perubahan ini dipandang oleh sebagian orang sebagai kekalahan politik wakil-wakil umat Islam.32
Pada era pasca kemerdekaan harapan untuk semakin berperan dalam politik tetap ada. Sarana perjuangan politik yang paling utama di era ini adalah melalui partai Masyumi, yang mewadahi dua kelompok besar, yaitu kelompok tradisional dan kelompok modernis. Di era Demokrasi Liberal (1945-1959)33 peran partai Masyumi cukup menggembirakan. Tetapi partai ini pecah menjadi dua setelah Nahdlatul Ulama (NU) yang pada awalnya merupakan sebuah organisasi keagamaan keluar dari Masyumi dan membentuk partai baru pada tahun 1952.
Pemilu pertama tahun 1955 yang dilaksanakan selama dua kali. Pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR sedang yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Pemilu tahun 1955 ini telah menghasilkan empat partai besar pemenang pemilu yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI.34 Setelah pemilu tahun 1955 selesai, terjadi perkembangan politik yang cukup menarik. Pertentangan antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis sekuler mulai terlihat dalam majelis konstituante yang membahas tentang rancangan UUD perihal dasar Negara yang akan digunakan. Pada saat itu
32
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h.108-109.
33
Deliar Noer, Partai-partai Islam di pentas nasional (1945-1965), h.49-50.
34Ibid
(45)
ada tiga rancangan dasar negara yaitu Islam, Pancasila dan Sosial-ekonomi. Rancangan tentang sosial-ekonomi yang diajukan oleh partai buruh dan Murba hanya didukung oleh sebagian kecil anggota Majelis Konstituante sehingga akhirnya perdebatan didominasi antara golongan Islam dan Nasionalis sekuler yang mengajukan Pancasila sebagai dasar negara. Perdebatan tentang dasar negara ini berakhir setelah Bung karno membubarkan Majelis Konstituante dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 juli 1959 dan menyerukan kembali pada UUD 1945 dengan tetap berdasarkan pancasila.35
Suasana di atas setidaknya menggambarkan dinamika pemikiran politik pasca kemerdekaan berkenaan dengan upaya untuk merumuskan kembali hubungan antara agama (Islam) dan Negara yang dapat diterima secara luas oleh bangsa Indonesia. Dalam beberapa peristiwa politik tampak bahwa upaya untuk membangun hubungan formalistik dan Legalistik antara Islam dan sistem politik Negara selalu berujung pada kebuntuan dan pertentangan ideologis antara dua kelompok pemikiran politik di kalangan aktivis politik Muslim yakni kelompok Islam dan kelompok Nasionalis sekuler. Kelompok pertama menuntut dijadikannya Islam sebagai dasar Negara sedangkan kelompok kedua menolak hubungan agama dan Negara yang bersifat formalistik dan legalistik seperti yang dituntut oleh kelompok Islam.
35
(46)
3. Peranan Islam dalam Konstituante
Pemimpin-pemimpin Islam Indonesia dari semua golongan menjelang Proklamasi telah berusaha agar pelaksanaan syariah diakui secara konstitusional dengan dicapainya suatu kesepakatan antara wakil-wakil Islam dengan para pemimpin Nasionalis yang netral agama melalui Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945. Piagam ini hanya berumur selama 57 hari, yakni sampai dengan tanggal 18 Agustus 1945. Sebagai gantinya maka sila pertama Pancasila yang semula Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada saat itu juga Presiden Soekarno memberikan janji kepada umat Islam untuk menjadikan UUD 1945 bersifat sementara. Janji Presiden Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1945 tersebut sejalan dengan janjinya terdahulu dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 ketika dia mengusulkan prinsip permusyawaratan sebagai salah satu sila dasar Negara.36
Pada tanggal 27 Januari 1953 Presiden Soekarno menyampaikan pernyataan yang mengagetkan di Amuntai, Kalimantan Selatan, sebagaimana yang dikutip oleh H. Endang saifuddin Anshori ketika Soekarno berkata: “Negara yang kita susun dan yang kita ingini ialah Negara Nasional yang melliputi seluruh Indonesia. Kalau kita dirikan Negara berdasarkan Islam, maka banyak daerah-daerah yang penduduk-penduduknya tidak beragama Islam akan melepaskan diri, misalnya Maluku, Bali, Flores, Timor, Kutai dan juga Irian barat yang belum masuk
36
(47)
wilayah Indonesia tidak akan mau ikut dalam Republik”.37 Pidato Soekarno ini mengandung banyak reaksi dan protes dari berbagai kelompok Islam diantaranya adalah dari Gerakan Pemuda Islam.
Usaha-usaha yang ditempuh untuk memperjelas apa yang menjadi pemikiran Soekarno tersebut secara detail dapat dilihat dalam diskusi yang dilakukan oleh A. Dahlan Ranuwiharjo, ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam yang menulis surat kepada Soekarno untuk meminta penjelasan tentang hubungan antara negara nasional dan negara Islam, dan antara Pancasila dan Ideologi Islam.38
Dalam masa kepemimpinan Mohammad Natsir ini juga, Masyumi ikut dan berpartisipasi aktif dalam menyukseskan Pemilihan Umum tahun 1955, yang merupakan pemilu pertama dalam sejarah Republik Indonesia. Pemilu 1955 dimaksudkan untuk memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk
di DPR dan di Konstituante. Menurut Badruzzaman Busyairi, “Dasar
hukum penyelenggaraan Pemilu 1955 adalah UUDS 1950, khususnya Pasal 1 Ayat 2 dan Pasal 35”.39 Partisipasi aktif Masyumi terlihat sejak awal persiapan dan pelaksanaan pemilu itu, termasuk ikut berkompetisi bersama partai-partai lain pada hari pelaksanaannya.
Berdasarkan telaahan dari berbagai sumber, penulis menyimpulkan bahwa Pemilu 1955 adalah unik dan istimewa, karena melibatkan tiga
37Ibid
,. h.153.
38
Soekarno, Bung Karno: Negara Nasional dan Cita-cita Islam, h.103.
39
Badruzzaman Busyairi, Boerhanudin Harahap: Pilar Demokrasi (Jakarta:Bulan Bintang, 1989), h.87.
(48)
kabinet berturut-turut secara langsung, yakni Kabinet Wilopo, Kabinet Ali I, dan Kabinet Boerhanuddin, mulai masa persiapan, masa kampanye, sampai tahap pelaksanaannya sejak 1952 hingga awal 1956.
C. Kebijakan Politik Orde Lama
1. Kebijakan Pemerintah Orde Lama
Pendeknya usia Piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia tidak mengendorkan semangat politik umat Islam dalam perpolitikan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka. Gerak politik umat Islam diwadahi melalui Partai Masyumi buatan Indonesia. Partai Masyumi sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam memiliki keanggotaan dari berbagai organisasi Islam maupun perorangan. NU dan Muhammadiyah merupakan anggota yang mendominasi Masyumi. Namun, keutuhan keanggotaan Partai Masyumi tidak bisa bertahan lama. Keluarnya PSII dari Masyumi merupakan awal dari perpecahan dalam tubuh Masyumi.
Pada tahun 1952 menyusul NU sebagai penyokong besar
Masyumi keluar dari partai tersebut. NU mengubah dirinya dari jami‟ah
(gerakan sosio-keagamaan) menjadi partai politik yang berdiri sendiri. Keluarnya NU dari tubuh Masyumi merupakan goncangan hebat bagi Masyumi mengingat pengikut NU yang cukup banyak di tiga daerah yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan.40 Dengan tampilnya NU sebagai partai politik, maka umat Islam terbagi menjadi dalam empat
40
(49)
partai yaitu Masyumi, PSII, NU, dan Perti.41
Pada awal Demokrasi Parlementer, Masyumi masih memegang peranan aktif dalam politik. Pada masa kabinet Natsir dan Kabinet Soekiman, posisi menteri Agama berada ditangan K.H. Wahid Hasyim (tokoh NU dalam Masyumi). Namun, pada masa Kabinet Wilopo-Prawoto yang dimulai sejak April 1952, posisi Menteri agama dipegang oleh K.H. Fakih Usman (unsur Muhammadiyah dalam Masyumi). Dalam masa kabinet ini NU memang tidak terwakili, sementara Masyumi menduduki empat kursi dan PSII satu kursi. Pertengahan tahun 1953 Kabinet Wilopo digantikan dengan Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Dalam kabinet ini NU telah berdiri sendiri sebagai partai politik dan mula-mula hanya menduduki tiga kursi namun setelah terjadi perubahan, NU mendapat empat kursi yang meliputi kursi wakil perdana menteri I, menteri dalam negeri, menteri agama, dan menteri agraria. Kabinet Ali I jatuh pada bulan Juli 1955 dan digantikan oleh kabinet Burhanudin Harahap (Masyumi). Kabinet ini merupakan kabinet terakhir sampai partai tersebut bubar pada tahun 1960. Salah satu prestasi dari kabinet ini adalah berhasil menyelenggarakan Pemilu pertama pada tahun 1955.42
Sebelum dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959, pada tanggal 22 April 1959, Soekarno sebagai Presiden pertama RI menyampaikan definisi
41
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) (Yogyakarta:IAIN Suka Press, 1988), h. 38.
42
(50)
Demokrasi Terpimpin.43 Salah satu definisi mengatakan bahwa Demokrasi Terpimpin ialah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan. Namun, dalam kesempatan lain Soekarno menyampaikan bahwa Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan, tanpa anarkinya liberalisme dan tanpa otokrasi yang diktator. Yang dimaksud dengan demokrasi kekeluargaan adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat dalam satu kekuasaan sentral yang tidak diktator dan mengayomi masyarakat.44
Periode Demokrasi Parlementer berakhir setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit 5 Juli mengukuhkan kembali UUD 1945 dan pembubaran Majelis Konstituante serta sebagai tanda dimulainya fase baru yang disebut Demokrasi Terpimpin.45 Soekarno memilih Demokrasi Terpimpin sebagai bentuk demokrasi Indonesia karena menurutnya Demokrasi Parlementer tidak bisa mewujudkan cita-cita demokrasi bangsa Indonesia. Kekecewaan Soekarno pada keadaan yang sebenarnya juga berpangkal dari tidak terwujudnya kabinet gotong royong yang diinginkannya di mana PKI turut serta di dalamnya. Soekarno membentuk Dewan Nasional pada tanggal 11 Juli 1959 yang diketuai oleh Soekarno sendiri. Lalu pada tanggal 22 Juli 1959 Dewan Nasional diganti dengan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang juga
43
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), h.17.
44
Ibid,. h.21.
45
(51)
diketuai oleh Soekarno. Penanganan sehari-hari DPAS diserahkan oleh wakilnya, Roeslan Abdoelgani, tokoh PNI. DPAS ini pulalah yang mengusulkan agar pidato kenegaraan presiden tanggal 17 Agustus 1959 dijadikan sebagai Manifesto Politik.46
Demokrasi Terpimpin dengan pemusatan kekuasaan ditangan seorang pemimpin dalam hal ini Soekarno, membawa konsekuensi politik bagi umat Islam. Sayap pesantren, yaitu NU bersama PSII dan Perti diizinkan hidup di bawah payung Demokrasi terpimpin. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi politik yang baru dan berusaha bertindak selalu menyenangkan Soekarno.
Di sisi lain, kaum modernis bagi Soekarno merupakan penghalang revolusi. Kaum modernis terutama Masyumi dianggap sebagai musuh revolusi. Adanya perbedaan antara musuh dan kawan revolusi menyebabkan kristalisasi dalam tubuh umat Islam. Pada tanggal 20 Maret 1960 Soekarno membubarkan parlemen dan menggantinya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR).47 Anggota DPRGR yang dipilih merupakan mereka yang mengiakan Soekarno. Tokoh-tokoh Masyumi dan PSI tidak dimasukan dalam anggota DPRGR dengan alasan bahwa kedua partai tersebut terlibat dalam pemberontakan. Jika diteliti lebih cermat, keanggotaan DPRGR terdiri dari 94 pihak Nasionalis-Sekuler, kelompok Komunis mendapat 81 kursi, dan wakil Islam hanya
46
Ibid,. h.182.
47
(52)
mendapat 67 kursi. Di sini umat Islam kehilangan kursi sebanyak 48 jika dibandingkan dengan parlemen sebelumnya. Namun, yang lebih menderita kerugian adalah modernis yang telah dicap sebagai musuh revolusi.48
Soekarno juga menyampaikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang beberapa bulan kemudian disebut Manifesto Politik (Manipol). Ia menyerukan semangat revolusi, keadilan sosial, dan revitalisasi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi Negara demi revolusi yang berkesinambungan. Pada awal tahun 1960 ideologi yang samar-samar ini menjadi semakin rumit dengan ditambahkannya kata USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Soekarno mengharuskan pers mendukung Manipol-USDEK yang dicetuskannya. Namun, beberapa redaktur yang pro-Masyumi dan pro-PSI menolak sikap mendukung terhadap Manipol-USDEK. Sebagai akibatnya, terjadi pembredelan surat kabar.49
Kebijakan-kebijakan politik Soekarno kini lebih menekankan pada adanya persatuan antara Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Dengan berkurangnya peran umat Islam dalam panggung politik Demokrasi Terpimpin menunjukan bahwa Soekarno menginginkan suatu koalisi politik antara kaum Nasionalis, Agama, dan Komunis. Tema yang diangkat oleh Soekarno adalah Nasakom (Nasionalis, Agama, dan
48
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h.183-186.
49
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Penerjemah: Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1994), h. 403-404.
(53)
Komunis). Perwujudan dari politik Nasakom ini adalah tampilnya PNI sebagai wakil Nasionalis, NU sebagai wakil Agama, dan PKI sebagai wakil Komunis dalam koalisi kabinet baru bentukan Soekarno.50
2. Kebijakan Orde Lama Terhadap Islam
Dekrit Soekarno yang diikuti oleh pelaksanaan Demokrasi Terpimpin telah menyumbat saluran legal bagi umat Islam, terutama kelompok modernis, untuk menyatakan ide-ide dan aspirasi politik mereka. Bagi kelompok modernis periode Demokrasi Terpimpin adalah suatu kenyataan politik yang amat pahit dan memperkosa. Dengan tidak mengabaikan kekurangan-kekurangan demokrasi liberal, umat Islam mempunyai kemerdekaan politik yang penuh selama periode ini.51 Karena Demokrasi Terpimpin juga bertanggung jawab bagi jatuhnya kekuatan politik Islam Indonesia.
Pemusatan kekuasaan ditangan seorang pemimpin dalam hal ini Soekarno mempunyai konsekuensi politik yang berbeda bagi partai-partai Islam. Sayap pesantren, yaitu NU bersama PSII dan Perti, diizinkan hidup dibawah payung Demokrasi Terpimpin dengan gaya dan retorika politiknya, masing-masing partai ini telah melakukan berbagai langkah penyesuaian diri dengan berbagai perkembangan politik yang serba sulit. Bagi kaum modernis, situasi baru ini cukup jelas. Menurut kategori Soekarno, kelompok modernis ini “merintangi penyelesaian revolusi kita,“
50
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h. 406.
51
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), h.83-84.
(54)
atau dengan memakai jargon komunis, mereka adalah golongan kepala batu, suatu jargon yang juga popular dalam kamus politik Soekarno. Sebagai kekuatan perintang, logika revolusioner Soekarno menyatakan lebih jauh, bahwa golongan modernis, terutama Masyumi, tidaklah hidup pada masa Demokrasi Terpimpin.52
Sebaliknya, tiga partai Islam lainnya, yakni NU, PSII, dan Perti, berusaha menyesuaikan diri dengan demokrasi ala Soekarno tersebut. Mereka bersikap akomodatif sehingga bisa hidup berdampingan dengan Soekarno dan bertahan dalam alam demokrasi terpimpinnya Soekarno. NU adalah partai yang paling besar di antara ketiganya, karenanya dapat dianggap sebagai pendukung utama setiap gagasan Soekarno. Bahkan NU menikmati sekali iklim politik yang diciptakan Soekarno dengan sistem Nasakomnya. Memang dalam era ini NU terlibat aktif dalam Demokrasi Terpimpin dan ingin mewarnai peta percaturan politik berkembang ketika itu. Setidaknya NU berusaha memasukkan Islam dalam tataran politik dan mengimbangi dominasi komunisme yang sudah sangat berpengaruh.53
Namun demikian, antara NU dan Soekarno sudah terjalin hubungan yang baik sekali. Antara keduanya seakan-akan saling membutuhkan. Bahkan NU, bersama-sama partai Islam lainnya yang mendukung Demokrasi Terpimpin serta pendukung-pendukung Soekarno dari pihak nasionalis dan komunis, pada sidang MPRS 18 Mei 1963 mengangkat Soekarno menjadi presiden Seumur Hidup. Ini tentu suatu
52
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, h.190.
53
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), h.23.
(55)
bentuk penyimpangan dari UUD 1945. NU, dengan juru bicara Sjaikhu, mencari dalil agama bagi pembenaran sikap mereka.54
3. Aspirasi dan Perjuangan Umat Islam Terhadap Kebijakan Orde Lama.
Dalam Periode Orde Lama, tampaknya peran umat Islam terpilahkan dalam 3 aspirasi besar: Pertama, peran umat Islam yang bersikap kritis kepada Negara yang diwakili oleh Masyumi; Kedua, peran umat Islam yang bersikap akomodatif kepada Negara yang diwakili oleh NU; Ketiga, peran umat Islam yang bersebelahan pemikiran di luar pagar sampai memberontak yang diwakili oleh gerakan DI/TII. Sehingga dalam posisi ini Douglas Ramage, memberikan makna yang khas, bahwa umat Islam lebih disosokkan sebagai ancaman. Dalam pandangannya, Islam pernah ditempatkan sebagai kekuatan terlarang sebagaimana kekuatan komunis.55
Umat Islam membentuk Kogalam (Komando Kesiapsiagaan Umat Islam) dan GEMUIS (Genarasi Muda Islam), Organisasi-organisasi Islam mendirikan pasukan Banser, Kokam, Brigade PII, Korba HMI, dan sebagainya, sebagai kekuatan untuk menghadapi pemberontakan PKI 1965 itu. Gerakan pemberontakan G. 30. S/PKI di pusat maupun daerah-daerah berhasil ditumpas, sehingga selamatlah Negara Republik Indonesia dari
54
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam (Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer) (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010) h. 270-271.
55
Douglas E. Ramage, Democracy,Islam and The Ideology of Tolerance, Penerjemah:
(1)
81 Husain/wordpress.com.
Alfian. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: PT Gramedia, 1981. Ali, Fachri dan Bachtiar Effendi. Menambah Jalan Baru Islam. Bandung: Mizan,
1986.
Amir, Ahmad Nabil. “Pak Natsir dalam Perjuangan Politik dan Dakwah”. Artikel diakses pada 28 Maret 2015 dari http://Infront.net.//
Amir, Zainal Abidin. Peta Islam Politik Pasca Soeharto. Jakarta: LP3ES, 2003. Anshari, Endang Saifuddin dan Amien Rais. Pak Natsir 80 Tahun: Pandangan
dan Penilaian Generasi Muda. Jakarta: Media Dakwah, 1988.
Anshari, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Jakarta: Rajawali, 1986.
Bachtiar, Arifin. “Biografi Moh.Natsir”. Artikel diakses pada 5 September 2014 dari http://www.wikipedia/MohammadNatsir/wikipedia.com.
Bangunan, Tridah, dkk. Susunan dan Program Kabinet-kabinet RI 1945-1998. Jakarta: DPP Karya Pembangunan, 1993.
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif. Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Farian Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Busyairi, Badruzzaman. Boerhanuddin Harahap: Pilar Demokrasi. Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Darban, Ahmad Adaby. Peran Serta Islam Dalam Perjuangan di Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 1989.
Dastmik, Cita. “Orde Lama”. Artikel diakses pada 19 Maret 2015 dari http://www.citradastmikpringsewu-wordpress.com.
Dzulfikriddin, Muhammad. Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia. Bandung: Mizan Pustaka, 2010.
(2)
Effendi, Bahtiar. “Integrasi Keagamaan dan Teori Ilmu Sosial”. Kompas, 16 Desember 2014.
Elha, Shofwan Karim. “Ensiklopedi Minang M.Natsir”. artikel diakses pada 27 Maret 2015 dari http://www.scribd.com.
Fahri, Muhammad. “Mohammad Natsir: Sejarah dan Gagasannya Terhadap Pendidikan Islam”. Artikel diakses pada 27 Maret 2015 dari http://mpiuika.wordpress.com.
Fatwa, A.M. “M.Natsir dan Kontribusinya Dalam Pembangunan Negara Kesatuan”. Artikel diakses pada 27 Maret 2015 dari http://docs.google.com/document.
Feith, Herbert dan Lance Castle. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Penerjemah Nugroho Katjasungkana. Jakarta: LP3ES, 1965.
Feith, Herbert. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Penerjemah Nugroho Katjasungkana. Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia, 1999.
Gallenksonk. “Konfigurasi Politik”. Artikel diakses pada 19 Maret 2015 dari http://www.kodifikasi.blogspot.com/konfigurasi/blogspot.com
Ghazali, Ades Muchtar. Perjalanan Politik Umat Islam Dalam Lintasan Sejarah. Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Hakiem, Lukman, dkk. Refleksi Seabad Mohammad Natsir. Jakarta: Republika, 2008.
__________ Ensiklopedia Nasional Indonesia. Jakarta: Ciptaka Adi Pustaka, 1990.
Hakim, Lukman. Pemimpin Pulang: Rekaman Peristiwa Wafatnya M.Natsir. Jakarta: Yayasan Piranti Ilmu, 1993.
__________ Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan: Biografi Dr Anwar Harjono SH. Jakarta: Media Dakwah,1993.
Harjono, Anwar dan Lukman Hakim. Di Sekitar Lahirnya Republik. Jakarta: DDII, 1997.
Harjono, Anwar. Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Hasyimi, Ahmad. Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
(3)
Heryana, Aidil. “Proklamator Mosi Integral Bangsa”. Artikel diakses pada 27 Maret 2015 dari http://Dakwatuna.com.
Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. Pemikiran Politik Islam (Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer). Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Jansen, G.H. Islam Militan. Penerjemah Armahedi Mahzar. Bandung: Pustaka, 1983.
Joeniarto. Sejarah Ketatanegaraan RI. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Karim, Muhammad Rusli. Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang Surut. Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Karim, Shofwan. “Mohammad Natsir (1908-1993)”. Artikel diakses pada 5 September 2014 dari http://www.shofwankarim/blogspot.com.
Kasiram, Mohammad. Metodologi Penelitian: Refleksi Pengembangan Pemahaman dan Penguasaan Metodologi Penelitian. Malang: UIN Press, 2008.
Liddle, R.William. “Skriptualisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam Masa Orde Baru”. Jurnal Ulumul Quran. Vol.IV (1993): h.57
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta:LP3ES, 1987. __________ Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin
(1959-1965). Jakarta:Gema Insani Press, 1996.
__________ Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia,2006.
__________ Peta Bumi Intelektualisme di Indonesia. Bandung: Mizan, 1993. Machmudi, Yon. Sejarah dan Profil Ormas-ormas di Indonesia. Jakarta: Penerbit
PSKTTI UI, 2013.
Madinier, Remi. Partai Masjumi Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral. Jakarta: Mizan,2013.
Madjid, Nurcholis. “Kita Kenang Pak Natsir”. Pandji Masyarakat, 20 Maret 1993.
Mahendra, Yusril Ihza dan M.Wahyuni Nafis, Ed. Makna dan Peranan Islam Dalam Proses Sosio-Politik di Indonesia Konstektualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Munawir Sjadzali. Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995.
(4)
Mahendra, Yusril Ihza. “Modernisasi dan Islam: Pandangan Politik Mohammad Natsir”. Islamika, 12 Maret 1994.
Malik, Adam. Mengabdi Republik. Jakarta: Gunung Agung, 1978.
Manan, Bagir. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press, 2004. Mayeli, Yoechenky Salahuddin. “Konsep Pendidikan Mohammad Natsir”. Artikel
diakses pada 27 Maret 2015 dari http://yoechenkymayeli.blogspot.com. MD, Mohammad Mahfud. Politik Hukum Diklat Program Pasca Sarjana UII
Tahun 1998/1999. Yogyakarta: UII Press, 1998.
Mughni , Syafiq, dkk. Pak Natsir 80 Tahun. Jakarta: Media Dakwah, 1998.
Mughni, Syafiq. A. Hasan Bandung: Pemikir Islam Radikal. Surabaya: Bina Ilmu, 1994.
Mulkhan, Abdur Munir. Runtuhnya Mitos Politik Santri: Strategi Kebudayaan Dalam Islam. Yogyakarta: Sipress, 1994.
Murti, Sri. “Politikus Intelektual Muslim.” Skripsi S1 Fakultas Adab, 1996.
Muttaqin, Hidayatullah. “Pemikiran Politik”. Artikel diakses pada 2 Maret 2015 dari http://www.wikipress.html/muttaqinblogspot./wiki.
“Mohammad Natsir.” Dalam Lukman Hakim, dkk, ed., Ensiklopedi Islam, Vol. 4, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993: h.
Nasution, Abdul Haris. Sejarah Kembali Ke UUD 1945. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1976.
Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia: Studio Sosio Legal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995.
Natsir, Seri Buku Tempo. Politik Santun Diantara Dua Rezim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011.
Natsir, Mohammad. Capita Selekta, cet.II. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
__________ World Of Islam Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Yayasan Idayu, 1976.
__________ Dunia Islam dari Masa ke masa. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982. Noer, Deliar. Partai-partai Islam Di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta: PT
(5)
__________ Gerakan Modernisme Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1996.
Nugraha, Adhiyat Bagus. “Pemikiran Mohammad Natsir Tentang Negara dan Kiprahnya Dalam Perpolitikan di Indonesia.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,2004. Nurbowo. “Bercermin pada Masjumi”. Artikel diakses pada 28 Maret 2015 dari
http://www.suara-Islam.com.
Praktiknya, A.W. Percakapan Antara Generasi: Natsir Pesan Perjuangan Seorang Bapak. Yogyakarta: Labda, 1989.
Puar, Yusuf Abdullah. Mohammad Natsir 70 Tahun, Kenang-kenangan Hidup dan Perjuangan. Jakarta: Pustaka Antara, 1978.
__________ Kelemahan Atau Kelebihan Natsir. Jakarta: Pustaka Antara, 1978. Rahmania, Fira. “Penerapan Pancasila pada Masa Orde Lama”. Artikel diakses
pada 19 Maret 2015 dari http://www.firacomplicated/blogspot.com. Rais, Lukman Fatahullah, dkk. Mohammad Natsir Pemandu Umat, Jakarta: Bulan
Bintang, 1989.
Ramage, Douglas E. Democracy Islam and The Ideology of Tolerance. Penerjemah Dharmono Hardjowidjono. London: Routledge, 1995.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Penerjemah Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994.
Roem, Mohammad. “Mohammad Natsir dan Perjuangannya”. Artikel diakses pada 28 Maret 2015 dari http://www.Islampos.com.
__________ Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI. Jakarta: Gramedia, 1989. Rosidi, Ajib. M.Natsir: Sebuah Biografi. Jakarta: Giri Mukti Pustaka, 1990. Saidi, Ridwan. Zamrud Khatulistiwa. Jakarta: LSIP, 1995.
__________ Islam dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: LSIP, 1995.
Salim, Islam. Terobosan PDRI dan Peranan TNI. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Santosa, Kholid. O. Dasar Negara Islam Indonesia: Pemikiran, Cita-cita, dan Semangat Nasionalisme Mohammad Natsir. Bandung: LP2EPI, 2002. Satriawan. “Natsir Dan Masjumi”. Artikel diakses pada 27 Maret 2015 dari
(6)
http://satriawan.wordpress.com.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: UII Press, 1998.
Sjamsuddin , Nazaruddin. Integrasi Politik di Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1989. Soekarno. Bung Karno: Negara Nasional dan Cita-cita Islam. Jakarta:
Seridokumentar, 2003.
Solihin. “Moh.Natsir”. Artikel diakses pada 28 Maret 2015 dari http://solihinnet/wordpress.com.
Stanzah, Akmal. “Natsir, Syafruddin, Kasman, Noer Ali, Soleh Iskandar, Pahlawan Nasional?”. Pandji Masyarakat, 20 April 1995.
Suhadirman. Pembangunan Politik Satu Abad. Jakarta: Yayasan Lestari Budaya, 1996.
Suhelmi, Ahmad. Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir. Jakarta: Terajin, 2002.
__________ Dari Kanan Islam Hingga Kiri Islam. Jakarta: Darul Falah, 2001. __________ “Sekitar Islam dan Negara”. Pedati V. (April 1995): h.1-15.
Syam, Firdaus. Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra Di Pentas Politik Indonesia Modern. Jakarta: Khoirul Bayaan, Sumber Pemikiran Islam, 2003.
Taisir, Muhammad. “Konsep Kenegaraan Islam Menurut Mohammad Natsir.” Skripsi S1 Fakultas Adab, 1999.
Tamam, Badrul. “Konsep Pendidikan Mohammad Natsir”. Artikel diakses pada 27 Maret 2015 dari http://www.voa-Islam.com//
__________ “Natsir: Berpetisi Tanpa Caci Maki”. Tempo, 21 Juli 2008
Teba, Sudirman. Islam Orde Baru Perubahan Politik dan Keagamaan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta, Mutiara Sumber Widya, 1992.
Zuhri, Damanhari. “Mohammad Natsir: Pendidik-Pejuang Yang Istiqomah”. Republika, 17 Juli 1994.