Keterlibatan Muhamad Roem dalam Perundingan
menguasai Indonesia sebagai daerah jajahan – sebagaimana yang telah dan pernah mereka lakukan.
Belanda mencoba untuk bertahan dengan pendapat dan argumentasinya dalam perundingan yang berlangsung pada pertengahan bulan Maret 1948. Dalam
perundingan tersebut, Belanda tetap pada prinsipnya, yaitu adanya keinginan untuk mendirikan negara-negara bagian di Indoensia. Walau demikian sikap yang
ditunjukkan oleh Belanda, Indonesia tidak tinggal diam dan pasrah serta tunduk dengan pengaruh Belanda, justru Indonesia semakin termotivasi dan terus
melakukan diplomasi hingga ke luar negeri. Hal ini dilakukan untuk mempengaruhi negara-negara lain, agar dapat mengakui secara de facto bahwa
Indonesia adalah sebuah negara yang merdeka dan lepas dari intervensi penjajahan. Nampaknya, Belanda di lain pihak juga tidak mau mengalah dan terus
berusaha dengan gigih untuk tetap bertahan, sehingga terjadi hubungan tegang antara Indonesia – Belanda, tetapi juga antara Belanda dengan KTN, yaitu
Australia, Belgia dan Amerika Serikat.
54
Kerasnya sikap Belanda ini juga ada hubungannya dengan pergerakan kelompok-kelompok kekuasaan di negeri Belanda sendiri. Pada bulan Juli 1948,
kekuatan kaum kanan Belanda semakin membesar, dan mendesak kelompok kiri. Dr. Dresa dari partai Buruh yang terpilih menjadi Perdana Menteri, ternyata tidak
cukup tangguh mempengaruhi tekanan-tekanan kaum kanan. Situasi ini semakin tegang dengan naiknya Dr. Emmanuel M.J.A. Sassen sebagai menteri seberang
54
Fachri Ali, Muhamad Roem Diplomat Pejuang, Jakarta: Perisma, 1984, hlm. 84
lautan. Naiknya Sassen mempengaruhi tekad Belanda dalam perundingan di Indonesia.
55
PBB tidak berhasil menembus kemacetan,
56
situasi politik di Indonesia semakin keruh. Hal ini disebabkan oleh pelanggaran yang dilakukan Belanda
dalam perundingan Renville dengan melakukan agresi militer kedua ke kota Bandung, Cilacap dan sekitarnya. Situasi yang demikian ini dimanfaatkan oleh
kelompok tertentu dalam usaha untuk menjatuhkan kabinet Muhammad Hatta, seperti PKI dan Front Demokrasi Rakyat FDR. Akhirnya, pada tanggal 18
Desember 1948, PKI dan FDR melakukan pemberontakan di Madiun di bawah pimpinan Musso, Amir Syarifuddin, Setiadji, dan lain-lain. Pemberontakan ini
justru terjadi di tengah-tengah blokade Belanda semakin ketat. Bersamaan dengan itu, di dalam anggota delegasi KTN pun terjadi perubahan.
Mehre Cochran menggantikan Graham. Atas nama PBB Cochran membuat usul baru yang sebenarnya menguntungkan pihak Belanda.
57
Namun ditolak Belanda, karena hak komisi agung Belanda tidak termasuk hak mengirimkan tentara-
tentara Belanda ke wilayah-wilayah manapun yang dikehendaki. Muhamad Roem dan kawan-kawan tentu saja menolak usul tersebut, sebab tidak hanya
55
Fachri Ali,
56
Untuk menembus kemacetan, Du Bois dari AS yang menggantikan Graham dan Thomas K. Crichtly Australia mengajukan usul-usul sebelumnya, namun ditolak Belanda, pada tanggal 1 Juli
1948 PBB bersidang mengenai Indonesia. Sayangnya AS yang menolak usun Du Bois yang disiukan Cina. Akibatnya, terjadi kemacetan total dalam perundingan.
57
Usul Cochran dalah pembentukan pemerintah federal Indonesia yang dikepalai oleh komisaris Agung Belanda dengan kekuasaan yang amat luas. Ia dapat memveti badan Legislatif dan
wewenang untuk memerintah. Lihat Sartono Kartodirjo, op. cit, hlm. 139
mengembalikan kekuasaan Belanda, tetapi sekaligus menghapuskan Tentara Nasional Indonesia TNI.
58
Dinamika pertumbuhan situasi inilah yang mendorong Belanda melakukan agresi ke II menganeksasi Yogyakarta, daerah inti pemerintahan Indonesia.
Dalam aneksasi ini presiden dan wakil presiden memilih untuk menyerah.
59
Praktis seluruh pemerintah Indonesia runtuh, kecuali PDRI yang dipimpin oleh Syarifuddin Prawiranegara di pendalaman Sumatera Barat.
Serangan Belanda tidak menghasilkan alih kekuasaan, kecuali kemenangan militer. Reaksi dunia terhadap peristiwa itu semakin keras. Tiongkok, Kuba,
Amerika, dan Norwegia mengajukan resolusi ke PBB pada tanggal 19 Januari 1949. Isinya adalah sebagai berikut:
“Menyerukan kepada Belanda agar segera menghentikan serangan operasi militernya, dan kepada Republik untuk memerintahkan kepada pengikutnya menghentikan serangan
grilya. Tahanan politik Indonesia dibebaskan segera tanpa syarat dan dibolehkan kembali sekaligus ke Yogyakarta…..agar mereka dapat melanjutkan tugasnya dalam kebebasan
penuh, termasuk pemerintah kota Yogyakarta”
60
Resolusi ini
lebih disempurnakan
dalam konferensi New Delhi. Atas desakan Amerika Serikat, tanggal 28 Januari 1949, PBB berhasil memutuskan Resolusi.
Resolusi serta merta menggoncangkan politik Belanda. Sassen Menteri seberang lautan, jatuh dan diganti J.H. Van Maarseveen. Perubahan politik di Belanda dan
penggantian menteri seberang lautan mengubah pula pandangan perundingan
58
Fachri Ali, op, cit. hlm.
59
Soekarno, Haji Agus Salim dan Syahrir ditawan di Berastagi. Sementara Muhammad Hatta, Muhamad Roem, Ali Sastromijoyo, Asa’at, Pringgodigdo dan komodor Suryadarma di Bangka.
60
Muhamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1977, jilid II, hlm. 33
dengan Indoensia. Perundingan harus terus dilaksanakan. Untuk itu tempat Soekarno dan Haji Agus Salim dipindahkan dari Berastagi ke Bangka, agar
mereka bisa saling berhubungan dan berkomunikasi dengan Muhammad Hatta dan kawan-kawan, untuk membahas rencana perundingan Beel.
61
Menurut rencana, pemerintah Belanda mengundang perwakilan dari Indonesia untuk
mengadakan Konferensi Meja Bundar KMB dengan maksud menyerahkan kedaulatan kepada negara Indonesia Serikat. Namun usul ini ditolak oleh
Soekarno dan Hatta, jika kedudukan Republik Indonesia tidak dipulihkan terlebih dahulu.
Pada tanggal 7 Mei 1949 diadakan pertemuan antara delegasi Indonesia dengan Belanda dimana dilangsungkan “Van Roeyen – Roem Statements”, maka
Dr. Beel menyadari bahwa yang akan dilaksanakan adalah resolusi Dewan Keamanan dan karena tidak ada lagi rencana Beel, maka tidak ada lagi Dr. Beel
sebagai wakil Tinggi Kerajaan Belanda, ia minta berhenti.
62
Muhamad Roem dalam situasi ini, sebagai ketua delegasi, dihadapkan pada dilema, sebab
Soekarno dan Hatta menyetujui KBM dengan catatan kedudukan RI kembali ke Yogyakarta, Ibu Kota negara RI, padahal sebelum ditawan, Presiden telah
memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara menjadi Presiden PDRI, sehingga acara formal PDRI lah yang berhak melaksanakan perundingan.
61
Dr. Beel merupakan wakil tertinggi Ratu Belanda di Indonesia. Lebih jelas lagi lihat Ronald Gase, Beel in Batavia. Van Contact tot Conflict Verwikkelingen rond de Indonesische Kwestie in
1948, Anthos: Uitgeverij In den Toren, 1986, hlm. 50 – 53
62
Ronal Gase, Ibid, hlm. 287 - 288
Masyumi mendukung pendapat ini. Bahkan Muhammad Natsir, Dr. Dermawan Setiawan dan DR. Halim sengaja datang ke Bangka untuk merealisasikan
pendapat ini. Namun Muhamad Roem lebih memihak pada Soekarno – Hatta dan tidak mendukung pendapat Masyumi. Sikap Muhamad Roem terbukti dengan
penolakannya atas undangan Cochran untuk memulai perundingan pada tanggal 30 Maret 1949. Muhamad Roem bersikap sama dengan Soekarno – Hatta, bahwa
ia memulihkan kedaulatan pemerintah RI ke Yogyakarta merupakan syarat memulai perundingan. Sebab, menurut Muhamad Roem tanpa itu akan
menimbulkan kesalah pahaman. Muhamad Roem bersedia hanya membicarakan segi-segi praktis secara detil bagi pemulihan RI, lebih dahulu di Yogyakarta.
63
Ketika perundingan berlangsung yang kemudian terkenal dengan “Roem – Royen Statement” berlangsung pada tanggal 14 April 1949, Muhamad Roem
mengecam serangan-serangan Belanda. Dalam pidatonya ia menyatakan, agresi Belanda kedua telah mengakibatkan kehilangan kepercayaan rakyat Indonesia
bagi berhasilnya suatu perundingan damai. Sesungguhnya, perundingan yang berlangsung di hotel Des Indes, Jl.
Molenvliet,
64
merupakan suatu perundingan yang sangat menentukan masa depan bangsa Indonesia yang berdaulat, sebab pertempuran lokal yang hanya terjadi di
daerah pinggiran, sementara pusat sudeh dikuasai oleh Belanda. Roem – Royen
63
Soemarso Soemarsono, Roem Sebagai Perunding, Jakarta: Bulan Bintang, 1970, cet. ke- 1, hlm. 135
64
Sekarang diganti dengan Jl. Gajah Mada. Tempat tersebut kini menjadi pertokoan Duta merlin.
Statement merealisasikan konflik yang jika dilihat dari perspektif perjuangan militer sangat sukar dicapai dalam waktu singkat. Dalam hal ini, Statement Roem
sebagai ketua delegasi Republik Indonesia yang diberi kuasa oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta menyatakan: Pertama,
mengeluarkan perintah kepada pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya. Kedua, bekerja sama dalam hal pengambilan
perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan. Ketiga, turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat
penyerahan kedaulatan yang lengkap kepada Negara Republik Indonesia Serikat, dengan tiada bersyarat.
Sementara Statement Royen menyatakan: Pertama, Pemerintah Belanda setuju bahwa pemerintah RI harus bebas dan leluasa melaksanakan jabatan yang
sepatutnya dalam suatu daerah yang meliputi kepresidenan Yogyakarta. Kedua, Pemerintah Belanda sekali lagi menguatkan kesanggupan untuk menjamin
penghentian segera tanpa syarat tahanan politik yang ditangkap sejak tanggal 17 Desember 1948 dalam RI. Segera setelah persetujuan ini, proses pencapaian
kedaulatan RI berjalan lebih lancar. Pada tanggal 10 Juni 1949, ditetapkan pertemuan antara Indonesia dan Belanda, yang diikuti oleh negara federal dan
KTN. Pada tanggal 22 Juni 1949 Royen mengumumkan penarikan pasukan Belanda. Selanjutnya, giliran Soekarno – Hatta dielu-elukan rakyat Yogyakarta
sekembali nya dari tahanan mereka di Bangka. Semua yang terjadi ini adalah berkat usaha dan diplomasi yang dilakukan oleh Muhamad Roem.