Muhamad Roem Pejuang yang Realis
dikembangkan. Rumusan pandangan realitas diungkapkan dengan pembentukan pribadi yang bebas dan tidak terlalu terikat pada kelompok atau organisasi
tertentu. Bentukan sikap inilah yang kemudian menentukan putusan-putusan politik pribadinya.
Adalah wajar, Muhamad Roem sebagai anggota Partai Masyumi yang kurang mendapat dukungan dari kolega-koleganya. Pun terkait dengan pengangkatan
dirinya menduduki menteri dalam kabinet, juga bukan atas nama partainya, tapi karena faktor kepribadian dirinya dan atas nama dirinya sendiri untuk duduk
dalam satu kabinet.
42
Tidak ada keterangan, apakah sikapnya ini dapat memunculkan ketegangan dan konflik antara dirinya dengan pimpinan Masyumi
atau tidak. Namun yang jelas, sikap seperti ini telah dibuktikan ketika ia terpilih menjadi ketua PMI atau ketika menerima pencalonannya sebagai anggota
parlemen pada pemilu 1972, walau Muhamad Natsir telah mengingatkan dirinya.
43
Faktor yang
mempengaruhi Muhamad Roem menjadi diplomat dan pejuang
bukanlah karena semata-mata bakat atau warisan keterampilan yang diperolehnya dari Haji Agus Salim, melainkan karena pola pikirannya yang realis. Dengan pola
pikirnya yang realis itu, membebaskan dirinya dari rasa risih untuk bertindak sebagai perunding, sebab waktu itu, ada kekuatan perlawanan kelompok terhadap
42
Muhamad Roem duduk dalam kabinet Syahrir III atas namanya sendiri, bukan mewakili Masyumi, partainya.
43
Lihat Natsir, Insya Allah Roem Tetap Reom, dalam Soemarso Soemarono, Muhamad Roem: Pejuang Perunding, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, hlm. 209 – 214
Belanda lebih menekankan kepada perjuangan fisik daripada berunding secara bijaksana.
Maka pembentukan pola pikir yang bebas bagi Muhamad Roem lebih diprioritaskan untuk lebih memilih lapangan diplomasi atau perundingan dalam
tarik menarik kekuatan pro dan kontra perundingan yang akan bisa difahami dengan melihat realitas kekuatan pergerakan sosial dan persenjataan Indonesia
pada waktu itu. Dengan melihat situasi semacam ini, sedikitnya Muhamad Roem ditempatkan pada perjuangan kemerdekaan penuh yang mendapat pengakuan
formal dari dunia internasional, khususnya Belanda. Dengan itu pula sekaligus menempatkan perjuangan diplomasi dan lokasi tersendiri dalam perjuangan
kemerdekaan.
44
Sesungguhnya setelah Soekarno dan Muhammad Hatta mengumumkan proklamasi kemerdekaan, hampir tidak ada lagi kekuatan-kekuatan bersenjata
yang terorganisir dengan rapi, kecuali kekuatan milisi. Pembela Tanah Air PETA, satu-satunya organisasi bersenjata dengan hirarki yang ketat, dibubarkan
beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dari segala penjajahan kolonialisme. Soekarno ingin mencoba menghindarkan pembubabaran PETA ini,
namun terlambat. Dengan demikian, pemerintah kehilangan kesempatan selama beberapa tahun untuk mengontrol tentara.
45
Kekuatan bersenjata, praktis tidak
44
Subadio Sastrosatomo, “Roem Seperti Saya Kenal”, dalam Soemarso Soemarsono, at. al., ed, Muhamad Roem: Pejuang Perunding, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, hlm. 269
45
Onghokhan, Soekarno Antara Mitos dan Realitas, dalam Taufik Abdullah, at. al., ed. Manusia dalam Kemelut Sejarah, Jakarta: LP3ES, 1978, hlm. 38 - 39
cukup kuat melindungi negara yang baru tumbuh ini dari serangan – serangan luar.
Pada tanggal 23 Agustus 1945, Soekarno mengumumkan berdirinya Badan Keamanan Rakyat BKR, di samping Komite Nasional Indonesia KNI dan
Partai Nasional Indonesia PNI,
46
walaupun dilihat dari segi organisasinya, jelas kekuatan bersenjata ini masih sangat lemah, apalagi berdirinya tanpa adanya
koordinasi yang terpusat. Pembentukan BKR-BKR di daerah-daerah diserahkan kepada daerah yang bersangkutan. Kondisi yang belum stabil serta belum
dibentuknya lembaga-lembaga pemerintah, sehingga kelompok-kelompok radikal yang menolak pembentukan itu membentuk kekuatan tersendiri yang disebut
Komite Van Aksi yaitu gabungan dari Angkatan Pemuda Indonesia API, Barisan Rakyat Indonesia BARA dan Barisan Buruh Indonesia.
47
Kekuatan bersenjata inipun tidak memiliki daya untuk menahan masuknya tentara serikat Southeast Asia Command di bawah Pimpinan Laksamana Lord
Louis Maunntbetten, yang menimbulkan pertempuran-pertempuran lokal. Baru kemudian disadari perlunya mempersatukan BKR yang dinyatakan dengan
maklumat pemerintah pada tanggal 5 Oktober 1945. Dari sinilah terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat TKR.
Dalam kemelut ini, TKR hampir tidak mempunyai kesempatan mengembangkan diri, sementara tentara Belanda terus menerus didatangkan.
46
Sartono Kartodirjo, Op. Cit. hlm. 30 15 Komite Van Aksi ini bermarkas di Jln. Menteng 31 Jakarta. Tokohnya antara lain Adam
Malik, Sukarni, M. Nitimiharjo, dan lain-lain.
Mungkin karena ini pula, pihak TKR pun bersedia maju ke meja perundingan sebagai hasil pertemuan Perdana Menteri Syahrir dengan Lord Killiearn pada
tanggal 17 September 1945. Pertemuan ini menemukan jalan buntu dan tidak ada kesepakatan apa-apa. Namun sikap ingin berunding dari pihak TKR menunjukan
betapa pertempuran fisik bukanlah satu-satunya jalan untuk berjuang.
48
Kegagalan persetujuan
gencatan bersenjata ini punya implikasi yang cukup
luas terhadap sistem pertahanan Indonesia sekaligus semakin membuktikan bahwa, perjuangan diplomasi merupakan alternatif satu-satunya yang harus
ditempuh. Setelah Belanda melaksanakan penafsiran yang sepihak terhadap perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville, serbuan tentara Belanda hampir-
hampir tak tertahan lagi. Yogyakarta, Ibukota negara RI, setelah dihujani bom pada tanggal 19 Desember 1948, jatuh ke tangan Belanda. Soekarno, Hatta,
Syahrir, Muhamad Roem, Ali Sastroamijoyo dan lain-lain ditawan.
49
Indonesia dihadapkan pada satu realitas, melanjutkan perjungan fisik dengan konsekwensi
kedaulatan penuh masih harus diperjuangkan dalam masa yang belum dapat ditentukan atau bersedia berunding.
Dalam korelasi inilah dimensi perjuangan diplomasi menjadi amat penting. Sebab di bawah dominasi kekuatan Belanda yang menyeluruh, hanya ada dua
kekuatan yang harus ditempuh. Pertama, opini dunia terhadap agresi Belanda I dan II serta kelompok-kelompok tertentu di dalam negeri yang mampu
16 Ibid, hlm. 31
49
Suratmin, Op. Cit., hlm. 32
memanfaatkan kekuatan opini tersebut untuk perjuangan. Muhamad Roem hampir sepenuhnya berada pada dunia ini. Debut pertama diplomasinya berlangsung
ketika RI semakin lama semakin tergerogoti. Ketika ia menerima amanat sebagai Menteri Dalam Negeri dalam kabinet Syahriri III pada tahun 1946, ia sangat sadar
bahwa wilayah Republik Indonesia yang efektif hanyalah di Yogyakarta dan Banda Aceh. Alasan inilah yang kemudian mendorong Muhamad Roem
menerima atau menjadi anggota delegasi perjanjian Linggarjati, walaupun Masyumi sendiri menolak perjanjian tersebut.
50
Perjanjian diplomasi
ini merupakan
jalan panjang yang mendebarkan, karena setiap perundingan melahirkan kekeruhan walau hasil yang dicapai dapat
dijadikan dasar pijakan dalam perundingan selanjutnya. Betapapun perjanjian Linggarjati diliputi kekeruhan,
51
kondisi struktural mengharuskan perjuangan diplomasi berjalan terus tidak berhenti. Serangan Belanda terhadap kedaulatan
Indonesia yang membuktikan amarah dunia menyebabkan pada tanggal 1 Agustus 1947 – Dewan Keamanan PBB menyerukan supaya permusuhan di Indonesia
diselesaikan dengan satu perantara, atau dengan cara yang damai. India, Australia mengecam Belanda dengan pelanggaran perdamaiannya, sementara Syahrir
diberikan kesempatan di Dewan Keamanan PBB untuk mengajukan pendapat Indonesia menyelesaikan keadaan tersebut.
52
Atas prakarsa Amerika Serikat, pada tanggal 18 September 1947 lahirlah Komite Tiga Negara KTN yang dibentuk
50
Ibid, hlm. 32
51
Ibid, hlm. 32
52
Ibid, hlm 32
oleh PBB. KTN ini merupakan suatu perdamaian PBB untuk menyelesaikan sengketa antara Indonesia dan Belanda. Pembentukannya dilaksanakan dengan
cara masing-masing pihak yang bersengketa mengusulkan satu orang anggota. Dan kemudian, dua anggota yang telah ditunjuk tersebut menunjuk satu anggota
tambahan. Indonesia memilih Australia, Belanda memilih Belgia, lalu keduanya memilih Amerika Serikat.
53
Hampir bersamaan dengan tekanan-tekanan internasional itu, di Indonesia terjadilah perubahan-perubahan politik yang menentukan nasib Muhamad Roem
dalam dunia diplomasi. Kegagalan dalam perjanjian Linggarjati telah mencoreng dan telah menimbulkan kegagalan serta krisis dalam kepemimpinan Syahrir. Amir
Syarifudin muncul sebagai Pedana Menteri baru. Baru pada anggal 13 November 1947, Masyumi yang semula menolak duduk dalam kabinet , kini menerima
seruan Amir Syarifudin memperkuat kabinetnya. Muhamad Roem yang ikut jatuh bersama Syahrir muncul kembali sebagai menteri, mewakili Masyumi.
Dalam kabinet Amir Syarifuddin inilah, atas prakarsa KTN usaha-usaha perundingan Indonesia – Belanda dilaksanakan kembali. Perundingan ini terjadi
pada tanggal 8 Desember 1947 di atas kapal Renville yang kemudian dikenal dengan sebutan “Perjanjian Renville”. Keikutsertaan dalam perundingan
Lingarjati tetap mengikat Muhamad Roem untuk terus menekuni bidang ini. Sehingga setelah terjadi krisis kabinet Amir Syarifuddin yang tidak lama
53
Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, jilid IV, hlm. 137
kemudian dan dibentuk kabinet baru di bawah Pimpinan Muhammad Hatta, Muhamad Roem ditunjuk sebagai ketua delegasi Indonesia dalam perundingan-
perundingan selanjutnya. Kabinet baru ini mencanangkan 4 pasal program, yaitu: Pertama, berunding dengan Belanda atas dasar persetujuan Renville; kedua,
meningkatkan pembentukan Indonesia Serikat; ketiga, rasionalisasi tentara dan ekonomi; empat, pembangunan fisik akibat kerusakan-kerusakan perang atas
pendudukann Jepang.