Muhamad Roem dalam Gerakan Nasionalisme
adalah semata-mata untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Ia mengatakan bahwa bangsa Belanda telah berhutang budi kepada rakyat Hindia, karena
eksploitasi yang dilakukan sebelumnya telah melimpahkan keuntungan yang besar bagi Belanda. Dampak kebijaksanaan ini mulai dirasakan oleh anak-anak
pribumi, termasuk Muhamad Roem, di mana ia sempat menamatkan sekolahnya sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
Orang-orang yang
pernah mengenyam
dan merasakan dunia pendidikan Barat, memiliki persepsi dan bahkan prinsip, bahwa masa depan kemerdekaan politik di
Indonesia tidak akan memiliki nilai dan arti yang sesungguhnya, jika kemerdekaan politik tersebut tidak disertai dengan kemerdekaan dalam bidang
ekonomi. Hal ini disebabkan oleh hampir semua pemilik modal dikuasai oleh orang-orang non-pribumi, terutama pihak sekutu yaitu Belanda. Oleh sebab itu,
cita-cita dan semangat untuk meraih kemerdekaan dan menguasai secara total persoalan ekonomi menjadi penting dan prioritas utama. Perasaan ini muncul
bersamaan dengan tidak baiknya lapangan kerja bagi mereka yang terdidik, sehingga menimbulkan kelompok elit yang frustasi. Diskriminasi bidang
pekerjaan, antara kelompok terdidik pribumi dengan Belanda, walaupun memiliki titel dan keterampilan yang sama. Gejala dan pesoalan-persoalan yang dihadapi
di atas adalah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses pembentukan karakter yaitu nasionalisme Indonesia. Munculnya kaum intelektual
baru yang menggugat struktur sosial politik Hindia Belanda merupakan dampak terpenting dari perubahan kebijaksanaan ini. Kelompok intelektual, terutama
pelajar-pelajar Hindia Belanda bisa berkomunikasi langsung dengan berbagai aliran yang sedang berkembang di Eropa, pada tahun 1982-an, terutama
Marxisme, Leninisme, dan Sosialisme. Lewat pemikiran yang berkembang ini sehingga mereka dapat mendapatkan penjelasan tentang situasi penjajahan dan
filsafat determinisme historis.
33
Berdasarkan pada pemikiran aliran ini para pelajar yang disebut sebagai Perhimpunan Indonesia PI, sejak tahun 1925
menyusun ideologi nasional yang terdiri dari empat pokok: Kesatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi dan swadaya.
34
Sebelumnya di Hindia Belanda gerakan menuntut kemerdekaan juga bermunculan, dimulai dari lahirnya Budi Utomo
pada tahun 1908 dan Serikat Islam pada tahun 1911, di samping itu juga bermunculan organisasi-organisasi pemuda – mulai dari organisasi kesukuan
sampai pada organisasi nasional keagamaan seperti Muhammadiyah pada tahun 1912 dan Nahdatul Ulama NU pada tahun 1926.
Pekalongan menjadi
penting bagi
Muhamad Roem, karena kota ini adalah salah satu dari pusat reformis Islam di tanah Jawa, Muhamad Roem tinggal dalam
salah satu keluarga yang menjadi anggota dan sekaligus aktivis salah satu organisasi pergerakan Islam modernis. Kakaknya menjadi sekretaris PSII dan
sekaligus tokoh Muhammadiyah di Pekalongan. Dari Pekalongan Muhamad Roem menuju ke Jakarta setelah menamatkan AMS 1930.
33
Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Dep. P dan K, 1975, jilid V, hlm. 35
34
John Ingleson, Jalan ke Pengasingan, Pergerakan Indonesia Tahun 1927 – 1934, Jakarta: LP3ES, 1973, hlm. 7
Meski menjadi anggota Jong Islamieten Bond JIB di Jakarta, Muhamad Roem lebih mengenal gerakan PSII daripada gerakan-gerakan lainnya, sekalipun
corak pergerakan PSII pada periode itu belum lagi sebagai organisasi gerakan radikal. “Hijrah” yang dipelopori oleh Kartosuwiryo,
35
dan menjadi konsep dasar gerakan radikal telah dipisah dari tubuh PSII, dan sebagai gantinya, corak
pergerakan PSII dimulai dengan jalan kooperasi dalam bentuk tuntutan bersama partai-partai lainnya tentang berdirinya sebuah parlemen di Hindia Belanda.
36
Lewat PSII inilah Muhamad Roem berkenalan dengan tokoh muda Islam lainnya, terutama Haji Agus Salim, sang guru Muhamad Roem. Menurutnya radikalisme
PSII dan gerakan-gerakan lainnya harus dilihat dari konteks yang luas. Sekitar tahun 20-an telah terjadi depresi ekonomi yang menyebabkan lahirnya perubahan
kebijaksanaan pemerintah Belanda. Deliar Noer menjelaskan,
37
tingkat ekspor mendorong runtuhnya perusahaan-perusahaan Barat. Keadaan inilah yang
mendorong terjadinya penghematan dana. Pajak ekspor dihapus, sementara pajak rakyat naik mencapai 34 gulden pada tahun 1925. Akibatnya, pengangguran
meningkat, dan menyebabkan tumbuhnya gerakan radikalisme nasionalis. Dalam rangka menghadapai aksi-aksi yang dilancarkan oleh organisasi-
organisasi pergerakan nasional yang semakin gencar dan radikal itu, pemerintah kolonial merasa semakin terancam kedudukan dan otoritasnya, sehingga tidak
35
Ibid, hlm. 8
36
Lihat G. Van Dikj, Darul Islam, Jakarta: Grafiti, 1983, cet.ke-1
37
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Jakarta 1900 – 1942, Jakarta: LP3ES, 1980, hlm. 154 – 155
segan-segan melakukan tindakan keras dan tegas dalam menghadapi aksi-aksi tersebut.
38
Pada tahun 1926 terjadi pergolakan besar-besaran di Sumatera Barat, Banten dan beberapa tempat lainnya di Jawa. Situasi ini membuat De Graaf,
seorang Gubernur Jenderal yang baru, menindas nasionalis. Pada masa De Graaf ini, masih memberi ruang gerak politik bagi kegiatan kaum nasionalis. Ketika
Gubernur Jenderal beralih tangan ke De Jonge, penindasan-penindasan terhadap gerakan-gerakan nasionalis semakin gencar. Peraturan tentang larangan
berkumpul dan mengadakan rapat, hukuman bagi pegawai yang menggabungkan diri pada kegiatan “ekstriminis”, hak pemerintah jajahan untuk membuang kaum
nasionalis radikal. Soekarno, Muhamad Hatta, dan Syahrir, merupakan tokoh- tokoh nasionalis termasuk yang terkena kebijaksanaan yang baru ini.
39
Perubahan-perubahan inilah yang kemudian mendorong surutnya radikalisme. Partai politik yang bersifat non-kooperasi dipaksa untuk bersifat kooperasi. Hal
ini menyebabkan partai-partai politik pada waktu itu mendukung berdirinya parlemen.
Dalam konteks PSII, konflik-konflik yang terjadi antara fraksi yang mendukung non-kooperasi dengan fraksi yang mendukung kooperasi telah
menyebabkan Haji Agus Salim dan Kartosuwiryo terpental dari PSII. Haji Agus Salim terlempar karena ideologi “hijrah” yang ia usung. Kartosuwiryo yang
mengusung dan menekan sifat non-kooperasi bagi PSII, sementara Salim lebih
38
Ibid, hlm. 156
39
Sartono Kartodirjo, Op. Cit., hlm. 147
memilih kooperasi. Mereka tidak mendapatkan dukungan sama sekali dari Tjokroaminoto, ketika itu menjabat sebagai ketua PSII. Terpentalnya
Kartosuwiryo, juga tidak terlepas dari peran dan tekanan Belanda kepada Tjokroaminoto yang sesungguhnya sudah tidak lagi mendukung konsep hijrah.
40
Melihat konteks di atas, Muhamad Roem mengagumi pandangan Haji Agus Salim yang realistis. Baginya, dalam situasi dan kondisi penekanan seperti itu
cara untuk mencapai kemerdekaan harus dirubah, yaitu dengan cara perundingan bukan secara radikal. Muhamad Roem pernah ikut berunding dengan Tjarda Van
Starkenborgh Stakhouwer, Gubernur Jenderal Belanda, mengenai masa depan Indonesia. Dalam perundingan tersebut, Agus Salim mengusulkan kesediaan
rakyat Hindia membantu Belanda dalam perang dunia II dengan syarat, Indonesia harus diberikan kemerdekaan dan menjadi negara merdeka. Sampai Indonesia
merdeka, Tjarda tidak lagi mngurusi usulan yang disampaikan oleh Agus Salim tersebut. Ketika Jepang masuk pada tahun 1942, seluruh partai politik dibubarkan,
kendati begitu pengalama dengan Haji Sagus Salim, memberikan arah aktivitas politik Muhamad Roem sebagai pejuang dan perunding.
41