BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Militer sebagai sebuah organisasi pertahanan, mutlak di perlukan oleh setiap negara yang ingin aman dari ancaman-ancaman yang dapat
mengganggu eksistensi negara tersebut. Urgensi akan organisasi militer tersebut bagi negara yang baru merdeka dari kolonialisme adalah untuk
mempertahankannya dari ancaman kembalinya bangsa kolonial. Sebagai kalangan yang merasa ikut berperan dalam proses pencapaian kemerdekaan
di Indonesia, militer memang tidak dapat dipungkiri, walaupun bentuknya belum seperti saat ini. Sehingga tuntutan untuk ikut terlibat dalam
perpolitikanpun harus dipertimbangkan. Beberapa manuver yang dilakukan militer untuk ke tujuan itupun terekam dalam sejarah, di antaranya pada
“Peristiwa 17 Oktober 1952”
1
, dan yang tidak dapat dilupakan dan juga merupakan awal dari sejarah dominasi militer bangsa ini adalah pada
peristiwa ”Gerakan 30 September 1965
2
sampai Supersemar”
3
. Dimana militer mengambil alih tandu kekuasaan demi keselamatan negara.
Geliat militer Indonesia dalam gelanggang politik tidak terjadi secara alami, tetapi merupakan konsekuensi sejarah sejak lahirnya tentara
Indonesia. Mentalitas umum tentara Indonesia sebelum maupun setelah
1
Peristiwa 17 Oktober 1952 dibahas dalam Skripsi ini pada Bab IV h. 76.
2
Gerakan 30 September 1965 dibahas dalam Skripsi ini pada Bab IV h. 91.
3
Arbi Sanit, Partai, Pemilu dan Demokrasi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, h. 239.
kemerdekaan adalah peran langsungnya dalam perpolitikan. Harold Crouch mencatat, “dalam masa revolusi tahun 1945 sampai 1949, tentara terlibat di
dalam perjuangan kemerdekaan di mana tindakan politik dan militer saling menjalin tak terpisahkan”.
4
Apabila dalam keadaan mendesak di mana kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa terancam, panglima TNI dapat
menggunakan kekuatan TNI sebagai langkah awal mencegah kerugian negara lebih besar. Padahal, krisis dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia NKRI adalah krisis keadilan dan kemakmuran yang kian jauh, sehingga militer bukan solusinya. Meski dalam konteks Indonesia, militer
pada dasarnya merupakan budaya politik yang kuat dalam kehidupan masyarakat.
Terdapat pula pendapat yang menolak keras peran sosial politik ABRITNI dikarenakan oleh dua hal,
5
Pertama, peran sosial politik militer terlahir dalam keadaan perang atau keadaan darurat, sehingga untuk masa
kini di mana kondisi darurat perang telah dilewati maka secara otomatis peran sosial politik akan hilang dengan sendirinya. Artinya meminjam
istilah dalam kaidah “ushul fiqh” peran sosial politik di masa perang adalah sebuah ruqshoh keringanan yang masih bisa ditoleransi. Kedua, karena
panduan politik yang diajukan dalam melihat peran sosial politik adalah konsep civilian supremacy. Dalam konsep ini fungsi sosial politik militer
4
Crouch, Militer dan Politik Di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999, h. 15.
5
A. Dinajani S.H. Mahdi, Peran Sosial Politik ABRI dalam Era Reformasi: Kertas Karya Perorangan Taskap Kursus Singkat Angkatan VII Lemhanas 1998
Jakarta: Dept. Pertahanan Keamanan RI dan Lemhanas, 1998, h. 44-45.
akan berhadap-hadapan dengan demokrasi dan demokratisasi. Karena diyakini budaya militer akan menghambat laju dari demokrasi yang tengah
diupayakan. Bila kita ingin membenahi negara dan keluar dari krisis multidimensi,
harus dilakukan demiliterisasi total dalam kehidupan politik dan bisnis. Apa yang diberitakan koran, maraknya penyelundupan dan perdagangan barang
ilegal, karena ada backing beking, dan biasanya oknum militer, karena desakan kebutuhan yang tak bisa ditutup oleh pendapatannya yang rendah.
Ini menunjukkan betapa tidak mudahnya membenahi kehidupan militer menjadi profesional.
Munculnya militer dipanggung politik, sosial dan ekonomi negara- negara berkembang, berpangkal dari lemahnya pihak sipil untuk
mengendalikan unsur-unsur kehidupan masyarakat. Politisi sipil yang dengan relatif cepat dihadapkan kepada segala masalah seperti penyusunan
suatu sistem politik yang sama sekali lepas dari kekuasaan asing, mengorganisisr masyarakat yang relatif tergesa-gesa berhadapan dengan
tuntutan modernisasi, masih mencoba model-model yang mungkin dipergunakan untuk melayani tuntutan-tuntutan masyarakatnya sendiri.
6
Kekuatan militer dalam dunia politik di Indonesia, sebenarnya mempunyai akar sejarah yang panjang dan tidak bisa dihapus begitu saja,
bahkan akan menjadi sesuatu yang musykil. Pada era reformasi, saat partai- partai politik bermunculan, ternyata partai-partai politik mengundang militer
6
Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik, dan Pembangunan,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, h. 49.
masuk di dalamnya. Dianggapnya partai politik akan menjadi kuat bila ada militernya, apalagi yang sudah berpangkat jenderal. Akibatnya, hampir tidak
ada satu partai pun yang di dalamnya tidak ada militernya. Peran militer dalam kehidupan politik masih tetap dominan, meski
kepala negara orang sipil, apalagi jika para militer di partai-partai politik bermain mata, maka militer tetap akan mengendalikan kehidupan politik
di suatu negara. Munculnya satgas-satgas satuan tugas di partai-partai politik, sebenarnya dapat ditengarai, budaya militer tetap besar dan
mengakar kuat dalam kehidupan politik kita. Bahkan, satgas-satgas itu bisa menjadi dan bertindak lebih militer daripada militer sendiri. Penampakan
lahiriahnya saja menunjukkan sikap over acting militernya, dengan memakai baju, topi, sepatu bak seorang militer sejati.
Jika kita ingin mengakhiri peran politik militer dan menjadikannya profesional, maka budaya militer yang telah berkembang kuat di
masyarakat, harus dirombak lebih dulu. Budaya militer tidak hanya pada uniformitas berpakaian. Yang mendasar adalah cara berpikir militer yang
ada pada politisi kita, yang suka memaksakan kehendak dan pendapat sendiri dengan cara mengerahkan massa guna mendukung sikap pokoknya
dari para pemimpin partai politik. Bahkan, militer seolah menjadi simbol kepahlawanan bangsa, sehingga taman makam pahlawan seakan hanya
haknya militer. Merebaknya budaya militer dalam kehidupan partai politik, akan
merusak kehidupan partai politik, dan menjadi pemicu munculnya
komunalisme, di mana partai politik selalu mengandalkan pengerahan massa guna melakukan tekanan politik. Komunalisme cenderung destruktif, dan
melemahkan kekuatan akal budi untuk menyelesaikan masalah dengan cara- cara cerdas, komunikatif dan mencerahkan. Komunalisme dapat
berkembang sebagai bentuk kepanikan politik yang biasanya berujung pada tindakan kekerasan tak terkendali.
Dalam dunia bisnis, peran militer harus diperkecil, apalagi untuk menjadi kekuatan beking dunia usaha dan bisnis, yang akan memunculkan
premanisme bisnis dan menyuburkan perdagangan barang ilegal yang merusak kehidupan masyarakat. Pengurangan peran militer ini hanya
mungkin diwujudkan, jika ada kekuatan hukum yang aktual dalam praktik hidup masyarakat. Jika hukum masih disubordinir kekuasaan dan
kepentingan politik partai, maka militer akan menjadi tulang punggungnya. Kolaborasi penguasa, pengusaha, dengan militer akan memperparah dan
menghambat proses demokratisasi dan penegakan hukum yang bertumpu pada law enforcement.
Dalam laporan Human Rights Watch bertajuk Too High A Price: The Human Rights Cost of Indonesian Military Economic Activities
, fenomena militer sebagai businessmen dilihat terjadi sebagian karena minimnya
anggaran negara untuk militer.
7
Faktor ini pun sering dijadikan pembenaran bagi setiap aktivitas ekonomi, legal ataupun ilegal, yang dilakukan oleh
militer. Kendati demikian, laporan yang sama juga membongkar mitos
7
Lisa Misol, “Kuasa Militer Indonesia: Antara Bisnis, Politik Dan Kekerasan,” Jakarta Post
, 14 Maret, 2006.
minimnya anggaran untuk militer, karena bukti-bukti aktual yang ada justru berkata sebaliknya.
Fakta bahwa militer merupakan kekuatan yang menentukan dalam jagat perpolitikan kita adalah realitas yang tidak bisa ditolak siapa pun. Buktinya
kejatuhan Presiden Soekarno karena berseberangan dengan militer, sehingga jenderal Soeharto menggantikannya, dan jenderal Soeharto pun lalu jatuh,
karena militer menarik dukungan darinya. Begitu juga dengan kejatuhan presiden KH Abdurrahman Wahid. Bahkan, fenomena dukungan Megawati
terhadap pencalonan Gubernur DKI Sutiyoso tidak bisa dipisahkan dari upaya melakukan konspirasi politik dengan militer guna mendukung dan
memantapkan kekuasaannya. Tanpa dukungan militer, maka kekuasaan Megawati akan jatuh, apalagi di saat-saat seperti sekarang, banyak
kelompok masyarakat
menggugat kekuasaannya
sebagai akibat
kebijakannya yang tidak populis, seperti menaikkan harga BBM, tarif dasar listrik TDL.
8
Karena itu, yang menjadi persoalan adalah masih kuatnya budaya militer dalam jagat perpolitikan bangsa, yang ditandai kecenderungan
menguatnya penyelesaian masalah dengan mengandalkan otot ketimbang nalar. Cara-cara pemaksaan kehendak secara sepihak, baik pemerintah
maupun kelompok-kelompok masyarakat yang sedang terlibat konflik, dengan mengerahkan massanya dan tidak sabar dengan proses dialektika
8
M. Sadli, Bila Kapal Mempunyai Dua Nakhoda: Esai-Esai Ekonomi Politik Masa Transisi
, Jakarta: Alvabet, 2002, h. 129.
akal budi untuk mencari jalan keluarnya adalah pertanda kuatnya budaya militer dalam kehidupan politik kita.
Cara-cara premanisme yang hanya mengandalkan kekerasan dan kekuatan fisik tidak hanya subur dalam kehidupan masyarakat, tetapi juga
dalam menjalankan pemerintahan, di mana pemerintah, di pusat maupun daerah, dalam usahanya meningkatkan pendapatannya, melakukan cara-cara
preman, hanya mengandalkan kekuatan kekuasaan, yang sama sekali tidak cerdas dan mencari gampangnya, yaitu dengan menaikkan tarif dan menarik
pungutan. Padahal, pemerintah seharusnya kreatif, berjiwa entrepreneur untuk mengelola kekayaan sumber daya alam yang dikuasainya. Jika tidak,
bernapas pun suatu saat akan dikenai pungutan oleh pemerintah, jika sumber pungutan lain sudah dikuras habis.
Demokrasi pada hakikatnya bertumpu pada kekuatan akal budi guna mengatasi konflik dan pluralitas, yang sudah menjadi kodrat hidup
masyarakat di mana pun dan kapan pun. Konflik dan pluralitas adalah realitas fundamental kehidupan masyarakat yang tidak mungkin berakhir,
dan demokrasi adalah cara paling sehat untuk mengelola dan menyelesaikannya, dengan bertumpu proses dialektika akal budi. Jika
kekuatan akal budi menjadi landasan kehidupan politik rendah dan jatuh, kekuatan otot yang mendasari budaya militer akan menguat. Demokrasi
hanya mungkin dengan demiliterisasi budaya politik bangsa. Pada dasarnya RUU TNI patut dikritisi, terutama dalam kaitan dengan
kecenderungan mempersubur budaya militer yang ada dalam bawah sadar
pemikiran politik bangsa, yang sudah mulai letih dengan aneka konflik kekerasan yang tidak segera dapat diselesaikan. Akibatnya, militer dianggap
sebagai satu-satunya solusi mengatasi krisis multidimensi yang melanda kehidupan bangsa. Padahal, kembalinya kekuasaan politik militer
sebenarnya berlawanan secara fundamental dengan proses demokratisasi. Dalam konteks ini, gonta-ganti kepala pemerintahan atau presiden
bukan sesuatu yang negatif, justru akan menjadi political exercise bagi pendewasaan demokrasi, dan siapa saja yang jadi presiden harus melakukan
kontrak kerja dengan rakyatnya untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Jika dalam praktiknya tidak mampu
mewujudkannya, ia harus bersedia turun atau diturunkan di tengah jalan, sepanjang law enforcement tetap terjaga dengan kian meningkatnya disiplin
para aparat penegak hukum dan militer melepaskan diri dari kepentingan kekuasaan politik dan pemerintahan.
Karena itu,
harus dilakukan
perubahan konstitusi
secara berkesinambungan, sesuai tuntutan dan tantangan perubahan. Dan,
reformasi tidak akan dirusak akibat gonta-ganti presiden di tengah jalan, bahkan akan memperjelas arah untuk menegakkan keadilan dan
kemakmuran bagi kehidupan seluruh rakyat, dan akan memacu lahirnya pemerintahan yang makin bersih dan efektif.
Di dalam suatu perubahan, apalagi suatu perubahan paradigmatis, selalu terdapat suatu kegelisahan yang muncul karena ketegangan antara kehendak
yang maksimal dan ketersediaan energi politik untuk mewujudkan kehendak
itu. Langkah maju-mundur lalu tampak sebagai bentuk luar dari kegelisahan. Dan di dalam kegelisahan itulah potensi set back selalu
membayangi proses politik. sebab, kekuatan status quo selalu menunggu di tikungan kegelisahan, apalagi bila kehendak perubahan ini menyangkut
suatu fondasi yang selama ini menjadi tumpuan politik status quo, yaitu kedudukan tentara di dalam politik.
9
Pada akhir tahun 1950-an ilmuwan politik barat menanggapi bahwa peranan militer yang memiliki peran bidang pemerintahan demokrasi barat
akan memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan politik di negara-negara Dunia Ketiga
10
pada umumnya. Banyak negara-negara dunia mencoba mengupayakan sistem demokrasi dengan berlandaskan pada model
yang terdapat di barat, senantiasa akhirnya melahirkan rezim otorian dimana pihak militer turut serta bermain didalamnya.
Dalam kasus Indonesia, hal ini bisa dijawab karena secara formal, ideologi sebagai konsepsi kenegaraan yang dipedomani militer Indonesia
untuk mengarahkan posisi dan perannya dalam kedudukan kenegaraan ialah doktrin Tri Ubaya Cakti dan Catur Darma Eka Paksi. Di samping itu, karena
militer juga berperan dalam menentukan pola kenegaraan serta cara mengisi kemerdekaan, maka konsep kenegaraan integralistik yang dipedomani dan
dipertahankan militer juga bisa disebut sebagai bagian dari ideologi militer.
9
Rocky Gerung, “Tentara, Politik, dan Perubahan,” dalam Lukas Luwarso dan Imran Hasibuan, Indonesia di Tengah Transisi Jakarta: Propatria, 2000, h.178.
10
Dunia Ketiga Third World: 1 Kelompok negara-negara yang belum maju, misal: negara-negara Non-Blok; 2 Kelompok minoritas dari suatu negara atau masyarakat. Dalam Save
M. Dogan, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1997, h. 191.
Di dalam doktrin pertahanan negara dan perjuangan militer, dikenal dua konsep utama yang secara langsung akan melibatkan militer dalam proses
demokratisasi, yakni konsepsi tentang perang dan konsepsi tentang musuh. Doktrin militer di Indonesia mengajarkan konsep perang rakyat semesta
dimana atas perintah pimpinan militer, seluruh rakyat harus ikut berperang. Implikasi dari pelaksanaan doktrin ini adalah
11
: 1. Militer bisa menentukan arah kebijakan politik yang bukan saja harus
dipatuhi oleh kalangan prajurit militer, tetapi juga oleh seluruh komponen masyarakat sipil.
2. Karena mencakup semua komponen bangsa maka otomatis menutup peluang bagi pemimpin sipil untuk mengambil kebijakan-kebijakan
politik yang memberikan kebebasan pada rakyat untuk menyalurkan aspirasi sesuai dengan bisikan hati nuraninya karena yang ada dan
berhak disalurkan hanyalah aspirasi pimpinan militer. Hal ini sangat erat kaitannya dengan konsepsi militer mengenai musuh.
Dalam doktrin militer Indonesia terdapat rumusan ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan AGHT yang merupakan strategi yang lahir dari
rumusan fungsi hankam ABRI yang menyatakan bahwa tugas militer adalah memelihara dan memperkuat ketahanan, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan
nasional untuk secara defensif aktif mempertahankan dan mengamankan kedaulatan serta integritas negara, wilayah, dan bangsa Indonesia..
12
Lewat
11
Bilveer Singh, Dwi Fungsi ABRI: Asal Usul, Aktualisasi, dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan
, Robert Hariono Imam penerjemah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996, h. 56.
12
Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, h. 52.
konsep AGHT-nya militer bisa dengan mudah merumuskan siapa kawan dan lawan. Dengan begitu akan dengan mudah membungkam setiap
aspirasi yang bernada kritis baik terhadap pemerintah maupun pimpinan militer. Apalagi dalam konteks Indonesia, antara kepala pemerintahan dan
panglima tertinggi militer berada dalam satu lembaga kepresidenan. Jadi, sempurnalah otoritas dan kewenangan menentukan lawan dan musuh itu
dalam satu tangan: presiden. Di samping itu, konsepsi tentang negara integralistik yang menyatukan
rakyat dengan negara berdampak pada subordinasi seluruh kepentingan dan aspirasi rakyat pada negara yang sudah diidentifikasi dengan kekuasaan
militer. Dalam konsep ini sulit dibedakan mana militer yang merupakan bagian dari negara dengan militer yang dikuasai negara. Kosepsi kenegaraan
seperti itu akan membenarkan militer untuk berperan atas nama negara dan rakyat sekaligus. Di sinilah letak akutnya hubungan antara peran militer
dengan otoritarianisme negara dan dengan demikian berarti demokrasi yang sejati otomatis akan menjauh dari peran sosial politik militer.
Setelah melalui pergulatan mengenai peristiwa pembentukan organisasi militer di Indonesia, yang telah berganti-ganti nama, yang tentunya
mempengaruhi terhadap sifat serta orientasi militer. Ketika bernama TNI, nasionalisme yang tercermin dari nama itu menandakan anggota militer
tidak terbatas pada satu etnis atau suku tertentu, tetapi seluruh warga negara Indonesia dipersilahkan menjadi anggota militer.
Peran politik yang diperoleh militer dengan susah payah mereka peroleh, melalui berbagai peristiwa yang terekam dalam sejarah bangsa ini,
menandakan bahwa militer sebagai salah satu unsur yang mutlak dalam suatu negara keberadaannya tidak dapat dipandang sebelah mata. Fakta
bahwa militer merupakan kekuatan yang menentukan dalam jagat perpolitikan kita adalah realitas yang tidak bisa ditolak siapa pun. Buktinya
kejatuhan Presiden Soekarno karena berseberangan dengan militer, sehingga jenderal Soeharto menggantikannya, dan jenderal Soeharto pun lalu jatuh,
karena militer menarik dukungan kepadanya. Apabila kita melihat proses di atas secara lebih jernih, persoalan
peranan dan keterlibatan TNI dalam konteks dunia politik pada saat itu adalah awal mula keberagaman proses politik di Indonesia dimana militer
menjadi ornament politik yang diperhitungkan. Melalui pertimbangan- pertimbangan yang telah diungkapkan, penulis menganggap betapa
pentingnya dilakukan penelitian atas keterlibatan politik TNI di era orde lama. Penelitian skripsi ini akan menyoroti proses peranan TNI menjadi
sebuah kekuatan politik sekaligus mencoba melihat seberapa besar pengaruhnya terhadap stabilitas negara Indonesia. Untuk itu skripsi ini
mengambil judul “ Militer Dan Kekuatan Politik: Studi Tentang Keterlibatan TNI Dalam Perpolitikan Nasional Era 1945-1998”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.