Di dalam kehidupan politik, kelompok-kelompok sosial yang mempunyai sumber kekuasaan tidaklah terkotak sejelas dan sesederhana itu.
Artinya sungguhpun diantara kekuatan-kekuatan politik di atas terdapat perbedaan kemampuan dan peranan, di dalam menghadapi berbagai
masalah-masalah terdapat semacam jalur penghubung di antara kekuatan- kekuatan politik tersebut. Dengan demikian maka golongan yang bermain di
dalam mencari penyelesaian persoalan-persoalan yang dihadapi oleh sistem politik tidak lagi didasarkan kepada militer dan non militer, partai dan bukan
partai. Akan tetapi secara keseluruhan kekuatan-kekuatan politik ini dapat di kategorikan ke dalam golongan radikal, konservatif atau moderat.
C. Kekuatan Politik Militer
Dalam historiografi sejarah awal militer Indonesia, atau Tentara Nasional Indonesia TNI, hanya terdapat satu paradigma tunggal, yaitu
bahwa TNI dibentuk dari rakyat yang sedang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda.
65
Dalam bahasa Salim Said mengungkapkan bahwa tentara Indonesia adalah tentara yang
menciptakan diri sendiri.
66
TNI diyakini sebagai institusi profesional yang bukan merupakan warisan institusional negara metropolitan dalam
hubungan kolonial masa lampau, sebagaimana umumnya ditemui di negara-
65
Ikrar Nusa Bhakti, dkk., Tentara Mendamba Mitra: Hasil Penelitian LIPI tentang Pasang Surut Keterlibatan ABRI dalam Kehidupan Kepartaian di Indonesia.
Bandung: Mizan, 1999, h. 53.
66
Salim Said, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, h. 2.
negara bekas jajahan.
67
Terlihat memang ada yang tidak biasa dari proses terbentuknya Tentara Nasional Indonesia, di mana pemerintah tidak
memiliki peran dalam pembentukan institusi ketentaraan. Perwujudan peran militer dalam politik Indonesia telah melewati
perjalanan panjang, dan keterlibatan militer dalam politik senantiasa mengalami pasang surut. Bilveer Singh,
68
menyebutkan bahwa kerterlibatan militer dalam bidang non-militer politik disebabkan oleh faktor-faktor
internal dan eksternal. Faktor-faktor internal tersebut terdiri dari; 1 nilai- nilai dan orientasi para perwira militer, baik secara individu maupun
kelompok, serta 2 kepentingan-kepentingan material korps militer. Menurut Eric Nordlinger, yang mendorong keterlibatan militer dalam politik
adalah perlindungan otonomi dan kepentingan korporat militer. Begitu juga menurut S.E. Finer kepentingan korpslah yang menjadi perhatian utama
peran militer. Kepentingan-kepentingan material angkatan bersenjata juga memainkan
peranan amat penting dalam keputusan militer untuk campur tangan dalam politik seperti:
a Memperjuangkan kepentingan kelompok dan organisasi, baik
untuk memperoleh fasilitas-fasilitas militer seperti alat utama sistem persenjataan, maupun untuk memberikan gaji yang layak
kepada anggotanya. Jika para pemimpin politik sipil gagal untuk
67
Bhakti, Tentara Mendamba Mitra, h. 53
68
Bilveer Singh, Dwi Fungsi ABRI: Asal Usul, Aktualisasi, dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan
, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996, h. 1-24.
memenuhi kebutuhan-kebutuhan
tersebut, maka
ada kecenderungan militer terpolitisasi dan terintervensi dalam politik.
b Korps militer adalah wakil penting dari kelas menengah perkotaan,
dan apabila pemerintah gagal untuk memenuhi kebutuhan kelas menengah, maka kelompok perwira militer diperkirakan akan
melakukan tekanan
terhadap pemerintah
kemungkinan menjatuhkannya.
c Para pemimpin puncak militer dapat pula membangun
kepentingan-kepentingan pribadinya melalui intervensi militer dengan menempatkan mereka dalam kontrol jaringan patronase
pemerintah, bahwa ketidak pedulian pemimpin sipil terhadap kepentingan militer dapat menyebabkan terjadinya intervensi
militer. Nilai-nilai dan orientasi militer secara garis besar merupakan hasil dari
sejarah pengalaman yang dimiliki para anggota militer. Pada gilirannya, sejarah asal-usul dan peran awal militer tersebut membentuk suatu tradisi
dan seperangkat nilai, yang di dalamnya para generasi perwira militer pendahulu dan penerusnya cenderung mematuhi dan mengekalkannya.
Faktor kunci dalam memperkuat keutuhan militer adalah ancaman terhadap institusi tersebut. Alfred Stepan mengatakan:
69
“Sebenarnya seringkali ancaman terhadap kepentingan institusional atau kelangsungan hidup
69
Alfred Stepan, Militer dan Demokrasi: Pengalaman Brasil dan Beberapa Negara Lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1996.
militer menjadi faktor dalam menciptakan konsensus akhir pejabat tinggi militer, karena setiapkali area tradisional dari otoritas institusional militer
diganggu, misalnya dalam hal struktur disiplin dan hirarkinya, maka bahkan non-aktifis dan legalis di dalam jajaran pejabat militer itu akan terprovokasi
untuk bertindak”. Faktor institusional adalah salah satu variabel yang krusial di antara
ancaman terhadap lembaga militer dan perebutan kekuasaan oleh militer. Gerakan militer untuk merebut kekuasaan menjadi efektif hanya jika ia
berhubungan dengan perhatian militer untuk mempertahankan kepentingan dirinya. Di bawah akan kita ketahui faktor apa yang melatarbelakangi terjun
bebasnya militer dalam hiruk-pikuk politik kekuasaan di Indonesia. Militer yang masuk ke dalam dunia politik didasari oleh banyak faktor
pendukung. Secara kultur yang dibangun dalam dunia milter memang menjadikan setiap perwira militer memiliki keunggulan yang dapat
dikatakan melebihi kualitas sipil. Indoktrinasi yang dibangun dalam dunia militer juga memberikan semangat juang yang berbeda dibandingkan
kalangan sipil. Faktor-faktor pendukung itu antara lain adalah jaringan yang dibangun oleh setiap perwira cukup baik. Jaringan itu dibangun dari
berbagai momen seperti latihan militer bersama, pendidikan militer bersama, atau hubungan antar pimpinan militer di negara yang berbeda.
Perwira tinggi militer yang memiliki jaringan yang kuat dapat melakukan koordinasi bahkan bantuan dukungan jaringannya di negara lain. Selain
Jaringan, faktor pendukung lainnya adalah sistem kepemimpinan yang
dibangun dalam dunia militer. Setiap perwira militer sudah dilatih kepemimpinannya dalam suatu entitas terkecil sampai memimpin satu
angkatan secara keseluruhan. Kultur itu membuat pengalaman seorang perwira militer benar-benar terlatih sejak dini. Selain itu, ada faktor-faktor
lain yang juga sangat mempengaruhi kualitas seorang perwira militer yang siap memimpin negara antara lain pendidikan berkualitas yang dididik
dengan orang-orang berkualitas bahkan dari kalangan sipil yang memenuhi kriteria terbaik seperti Guru Besar, dsb.
Kekuatan politik militer dapat dilihat dari sumber-sumber powernya, yaitu
70
: a.
Garis komando yang jelas; melalui sistem komando militer lebih mampu untuk berada didalam suatu organisasi yang utuh.
b. Sistem Hirarki; lebih utuhnya kepemimpinan militer, disokong
pula oleh sistem hirarki yang dilaksanakan dengan disiplin, amat membantu komandan untuk mengendalikan tingkah laku
anggotanya yang tersebar dideluruh daerah. Dengan demikian pengendalian dan pengawasan terhadap organisasi tingkat daerah
dapat dilaksanakan dengan efektif. c.
Rasa keterikatan di antara anggota-anggota militer esprit decorp; sebagai kelompok yang memperoleh sosialisasi secara seragam,
diikatkan oleh organisasi dan lambang-lambang yang ditafsirkan secara seragam oleh keseluruhan anggotanya, maka lebih kecil
70
Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, h. 56-58.
kemungkinan untuk tumbuhnya perbedaan pandangan dalam militer.
d. Komunikasi intern yang terpelihara; sebagai organisasi yang paling
modern di dalam masyarakat, militer mempunyai jaringan komunikasi yang terpisah dari sistem komunikasi yang
dipergunakan masyarakat pada umumnya. Peralatannya termasuk yang paling efektif untuk menghubungkan pimpinan di pusat
dengan satuan-satuan didaerah. Meskipun naluri militer adalah ingin terjun ke bidang politik, tetapi hal
itu tergantung pada beberapa faktor, antara lain ialah latar belakang terbentuknya militer, situasi dan kondisi masyarakatpemerintahan dan
sistem atau bentuk pemerintahan dalam suatu negara. Menurut Talcot Parson dalam Arif Yulianto, terdapat tiga hal yang menyebabkan militer
terlibat dalam politik, yaitu
71
: 1
Kelemahan strukturaldisorganisasi. 2
Adanya kelas-kelas yang cenderung terpecah belah dan tidak mampu melancarkan aksi terpadu, termasuk kelas menengah yang
secara politik impoten. 3
Rendahnya tingkat aksi sosial dan mobilisasi sumber-sumber materiil.
Persoalan disorganisasi, tidak dapat dipungkiri, mengingat militer memiliki kelebihan daripada kelompok lain, yaitu kedisiplinan, sentralisasi
71
Hand Out Mata Kuliah Haniah Hanafie, Kekuatan-Kekuatan Politik, h. 40-41.
sistem komando, disiplin tinggi, sehingga organisasi militer lebih solid dan mampu mengorganisir dengan baik, apabila militer tampil sebagai penguasa.
Dengan kerapuhan secara struktural yang dialami masyarakat, maka titik kelemahan ini, menarik militer untuk tampil melekukan intervensi politik.
Motivasi politik tentara untuk terjun ke dalam politik memang sudah ada pada rezim-rezim yang kekuasaannya mengalami kemunduran. Naluri
militer untuk terjun ke politik dan kondisi pemerinthan yang tidak demokratis, adalah dua hal yang mempengaruhi motivasi militer untuk
melakukan kudeta. Kudeta dilakukan kelas menengah bukan karena ideologi atau politik kelas menengah. Menurut Amos Palmutter militer, melakukan
kudeta apabila
72
: a.
Tentara merupakan kelompok yang kohesif dan secara politik teroganisir paling baik pada suatu saat tertentu dan suatu sistem
politik. b.
Apabila tidak ada kelompok oposisi yang kuat. c.
Harus mendapat dukungan partai politik tertentu atau kelompok masyarakat lainnya misalnya kelas pekerja.
Menurut K. Man Haim, ada tiga faktor yang mendorong militer berpolitik yaitu
73
: 1
Ambisi Pribadi Ambisi-ambisi pribadi para perwira militer untuk merebut posisi
penting di dalam jaringan kekuasaan politik. Ambisi pribadi perwira tinggi
72
Hand Out Mata Kuliah Haniah Hanafie, Kekuatan-Kekuatan Politik, h. 42.
73
Rivai Nur, Dkk., Saatnya Militer Keluar Dari Kancah Politik, Jakarta: PSPK, 2000, h. 12-13.
dan menengah militer dapat dilihat dari dua segi yakni keinginan berkuasa dan keinginan memperoleh materi sebagai konsekuensi dari jabatan itu, atau
karena jabatan tertentu memberi peluang seseorang untuk memperoleh berbagai fasilitas dan kemudahan yang pada akhirnya bermuara pada
kesenangan materi. 2
Kepentingan Kelompok Kepentingan kelompok yakni keinginan untuk mendominasi kelompok
yang lain melalui kekuasaan. Keinginan untuk mendominasi kekuasaan terkait dengan status mereka di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat
para perwira merupakan kelompok elite sesuai konsep ksatria. Para perwira berusaha untuk memperlihatkan atau menampilkan diri sebagai kelas elite
dengan standar hidup di mana ia berada. Untuk memenuhi standar hidup tersebut para perwira harus merebut kekuasaan nonmiliter, selanjutnya
secara sistematis membangun hegemoni. Para perwira kemudian mengalienasi kelas yang lain yang merupakan mayoritas sosial dan
membiarkannya berada pada posisi tertentu yang terabaikan dalam setiap pengambilan keputusan publik. Dominasi kekuasaan diiringi pula oleh
dominasi bisnis. Hal ini dikaitkan dengan dua hal yaitu Pertama, penguasaan bisnis bertujuan untuk mengumpulkan materi dalam rangka
pemenuhan standar hidup kelas menengah. Kedua, pengumpulan materi untuk
membiayai kegiatan-kegiatan
memperluas kekuasaan
dan mempertahankannya.
3 Kepentingan Nasional
Kepentingan Nasional, yakni mempertahankan dan membangun keamanan negara dan masyarakat, dengan asumsi mereka adalah kekuatan
pengintegrasi bangsa. Artinya, militer menjaga kemungkinan berkembang suatu pemikiran untuk merubah bentuk negara atau munculnya daerah
tertentu untuk memaksakan kehendaknya untuk memisahkan diri. Militer tampil melindungi kepentingan segala golongan di dalam negara dan
masyarakat. Beberapa literatur mendeskripsikan intervensi angkatan bersenjata
dalam politik suatu negara diakibatkan situasi-situasi seperti ini:
74
1. Jatuhnya prestise pemerintah atau partai politik yang memegang pemerintahan, menyebabkan rezim yang bersangkutan semakin
banyak menggunakan paksaan untuk memelihara ketertiban dan untuk menekankan perlunya persatuan nasional dalam menghadapi
krisis, yang selanjutnya menyebabkan penindasan terhadap perbedaan pendapat;
2. Perpecahan diantara pemimpin-pemimpin politik, menimbulkan keragu-raguan pada komandan-komandan militer apakah rezim sipil
masih mampu untuk memerintah secara kolektif; 3. Kecilnya kemungkinan terjadinya intervensi dari luar oleh negara
yang besar atau oleh Negara-negara tetangga dalam hal perebutan kekuasaan;
74
Robert P Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik Di Dunia Ketiga, Jakarta: Penerbit Erlangga,1989, h. 155-156.
4. Pengaruh buruk dari perebutan kekuasaan oleh militer di negara- negara tetangga;
5. Permusuhan sosial dalam negeri, yang paling jelas terjadi di negara- negara yang diperintah oleh suatu kelompok minoritas;
6. Krisis ekonomi, yang menyebabkan dicabutnya kebijakan penghematan yang mempengaruhi sektor-sektor masyarakat kota
yang terorganisir; 7. Korupsi, pejabat-pejabat pemerintahan dan partai yang tidak efesien,
atau anggapan bahwa pejabat-pejabat sipil berniat menjual bangsanya kepada suatu kelompok asing;
8. Struktur kelas yang sangat ketat, yang menyebabkan dinas militer menjadi satu-satunya saluran yang terbuka untuk anak miskin untuk
status dari bawah ke atas; 9. Kepercayaan yang semakin meningkat tebal pada anggota-anggota
militer bahwa merekalah satu-satunya kelas sosial yang mempunyai cukup disiplin dan cukup setia kepada modernisasi untuk menarik
negara keluar dari tata-caranya yang tradisional; 10. Pengaruh asing, dapat melibatkan perwakilan militer negara asing,
pengalaman yang diperoleh dalam perang di negara asing, atau dalam pusat-pusat latihan di luar negeri, atau bantuan asing dalam
bentuk peralatan dan senjata; 11. Kekalahan militer dalam perang dengan Negara lain, khususnya
kalau para pemimpin militer yakin bahwa pemerintahan sipil telah
mengkhianati mereka dengan merundingkan ketentuan-ketentuan perdamaian yang tidak menguntungkan atau karena salah
menjalankan kegiatan perang di belakang garis pertempuran. Disamping beberapa alasan yang terpapar di atas, perlu pula kita lihat
alasan-alasan militer merambah ke dunia politik dalam sejarah Indonesia sendiri. Kusnanto Anggoro melihat ada beberapa faktor yang mendorong
militer maju kepanggung politik, yaitu tidak dewasanya para politisi sipil dalam mengelola negara, adanya ancaman terhadap keamanan nasional,
ambisi mempertahankan privilege seperti otonomi dalam merumuskan kebijakan pertahanan, memperoleh dan menggunakan anggaran pertahanan
serta melindungi aset dan akses ekonomi dan tugas sejarah.
75
Daniel S. Lev sendiri mengemukakan dalam sejarah militer Indonesia ada alasan yang sifatnya sangat subjektif dari kalangan perwira TNI itu
sendiri untuk masuk ke ranah politik, yaitu dipersulitnya reorganiasi kekuatan militer oleh politik pemerintah, dicampurinya urusan internal TNI
oleh pimpinan politik, terjadinya pertentangan dikalangan perwira TNI sendiri, serta tidak disukainya kondisi politik dan kemimpinan pemerintahan
oleh TNI.
76
Setelah melihat beberapa alasan yang bisa dimanfaatkan militer merebut dan mempertahankan kekuasaan di panggung politik, tentu perlu
75
Apa yang disampaikan oleh Kusnanto ini tentu sangat erat kaitannya dengan menjadi utamamnya militer dalam politik Indonesia setelah tahun 1966. Sedangkan tugas sejarah seringkali
disurakan oleh para petinggi TNI sampai hari ini. Lihat Kusnanto Anggoro, “ Gagasan Militer Mengenai Demokrasi, Masyrakat Madani dan Transisi di Indonesia,” dalam Rizal Sukma dan J.
Kristiadi penyuting Hubungan Sipil Militer dan Tanrsisi Demokrasi di Indonesia Jakarta: CSIS, 1999, h. 10.
76
Daniel S. Lev, “ ABRI dan Politik: Politik dan ABRI,” dalam Diponegaro 74, Jurnal HAM dan Demokrasi, No.7IIIApril 1999,
YLBHI, h 7-8.
pula diperhatikan bahwa dalam menjalankan fungsi-fungsinya TNI tidak boleh berinisiatif sendiri, melainkan atas persetujuan otoritas politik yang
lebih tinggi yaitu Presiden dan Parlemen. Hal itu untuk menghindarkan militer menjadi lembaga superbody dalam sebuah negara.
D. Keterlibatan Militer Dalam Politik Militer Pretorian