Pola Hubungan Sipil Dan Militer Di Indonesia

Pada masa 10 tahun pertama Indonesia merdeka persoalan tentang militer selalu timbul, terutama mengenai peran politik yang ingin dimiliki oleh militer, karena mereka merasa juga perlu ikut berperan aktif dalam perpolitikan bangsa ini. Tetapi, pola hubungan sipil-militer pada masa-masa ini kurang harmonis, asumsi mengenai peran militer dalam perpolitikan harus dibatasi, berkembang berbarengan dengan keinginan pihak militer yang menginginkan berperan dalam perpolitikan.

C. Pola Hubungan Sipil Dan Militer Di Indonesia

Hubungan sipil militer merupakan tema dan agenda utama yang dibicarakan oleh para ilmuan politik dan pegiat demokrasi. Tentu saja dengan tujuan untuk menemukan sebuah konsep yang komprehensif yang bisa membuat relasi sipil-militer berjalan secara sehat, sehingga demokratisasi bisa benar-benar tumbuh dan berkembang dengan sehat pula. Di Indonesia, upaya ini dilakukan pertama-tama dengan penghapusan dwifungsi atau reposisi TNI. Tentang profesionalisme militer, Huntington menggunakan analogi yang sederhana. Jika tanggung jawab pokok dari seorang dokter adalah kepada pasiennya, dan seorang pengacara kepada kliennya, maka tanggung jawab pokok seorang perwira militer adalah kepada negara. Seperti dokter dan pengacara, perwira hanya mengurusi satu segmen dari berbagai kegiatan kliennya. Ia hanya menjelaskan kepada kliennya mengenai kebutuhan dalam bidang ini, menyarankan hal-hal yang dapat memenuhi segala kebutuhan klien tersebut, dan setelah kliennya tersebut mengambil keputusan, membantu klien tersebut menerapkan itu semua. Pada batasan tertentu, perilaku seorang perwira militer terhadap negara dituntun oleh suatu kode yang tersurat dalam hukum yang setara dengan norma-norma etika profesional para dokter dan pengacara. Sebagian besar kode etik perwira diungkapkan dalam kebiasaan, tradisi, dan semangat profesi yang berkesinambungan. Huntington menambahkan bahwa profesionalisme tidak hanya dimaknai sebagai kemampuan, skill, dan expertise seseorang atau lembaga terhadap pekerjaan yang menjadi bidangnya saja, tetapi juga memiliki ciri-ciri khusus lain. Salah satu hal yang bisa disebut sebagai ciri khusus di sini adalah responsibility. 39 Begitu pula dalam dunia militer, profesionalitas tidak hanya dimaknai sebagai kemahiran atau kemampuan dalam menggunakan senjata, tetapi tanggung jawab akan tugasnya sebagai lembaga yang bertugas dalam masalah pertahanan negara. Dalam pandangan Huntington, profesionalitas militer tidak hanya dalam konteks mahir dalam menggunakan senjata dan dilatih dalam tugasnya saja, tetapi juga harus dapat menggunakan kemampuan analisis, pandangan luas, imajinasi dan pertimbangan. Karena itu, masih dalam pandangan Huntington, militer profesional mempunyai tiga karakter atau ciri 40 , yaitu: 39 Samuel P. Huntington, The Soldier and the State: The Theory and Politics Civil- Military Relation , Cambridge: Harvard University Press, 2003, h. 13. 40 Huntington, The Soldier and the State, h. 15-17. 1 Keahlian sebagai karakter utama yang karena keahlian ini profesi militer kian menjadi spesifik serta perlu pengetahuan dan keterampilan. Militer memerlukan pengetahuan yang mendalam untuk mengorganisasi, merencanakan, dan mengarahkan aktivitasnya, baik dalam kondisi perang maupun damai. 2 Militer profesional mempunyai tanggung jawab sosial yang khusus. Selain mempunyai nilai-nilai moral yang harus terpisah sama sekali dari insentif ekonomi, perwira militer mempunyai tanggung jawab kepada negara. Ini berbeda dengan paradigma yang lazim sebelumnya bahwa militer seakan-akan ”milik pribadi” komandan dan harus setia kepadanya, yang dikenal dengan sebutan ”disiplin mati”. Sebaliknya, pada profesionalisme, perwira militer berhak mengontrol dan mengoreksi komandannya, jika komandan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan rasional. 3 Militer profesional memiliki karakter korporasi yang melahirkan rasa esprit de corps yang kuat. Ketiga ciri militer profesional tersebut melahirkan apa yang disebut oleh Huntington dengan the military mind , yang menjadi dasar bagi hubungan militer dan negara. Huntington melihat bahwa intervensi politik militer terjadi sehubungan dengan adanya instabilitas politik dan kemunduran yang berasal dari politisasi kekuatan-kekuatan sosial serta tidak adanya partai-partai politik yang melembaga. Ia juga melihat bahwa prajurit profesional klasik lahir apabila suatu koalisi sipil memperoleh supremasi terhadap militer. Militer dengan pengetahuan dan keahlian profesionalnya menjadi pelindung tunggal negara. Sebab itu, di negara-negara yang telah maju, militer berada di bawah supremasi sipil. Sistem politik yang telah mapan, pendapatan per kapita yang tinggi, tingkat industrialisasi yang tinggi, ditambah dengan kesadaran politik dan hukum rakyat yang tinggi telah mengurangi kemungkinan terjadinya intervensi militer. Hal ini bukan berarti bahwa di negara-negara maju tidak ada keikutsertaan militer dalam politik. Militer tetap ikut berpolitik dalam proses pembuatan kebijakan politik, seperti pembuatan kebijakan politik luar negeri dan pertahanan. Militer di negara-negara maju juga ikut dalam mengatasi masalah- masalah sosial ekonomi yang dihadapi oleh negara-negara maju, seperti aktivitas civic missions untuk menanggulangi bencana alam atau bencana lainnya. Namun demikian, kadar keikutsertaan militer dalam politik itu amatlah rendah. Keikutsertaannya dalam bidang-bidang nonmiliter hanyalah menjalankan fungsi bantuan yang bersifat sementara dan dalam kondisi darurat. Akhirnya, militer adalah sangat diperlukan dalam sebuah negara. Negara kuat jika mempunyai kekuatan militer yang hebat dan bisa diandalkan. Tetapi kekuatan militer ini berada dalam frame work sebagai alat negara yang profesional yang tidak turut campur dalam masalah- masalah politik dan menyerahkan sepenuhnya menjadi otoritas sipil. Intervensi militer ke wilayah politik akan menghambat proses demokratisasi dan bahkan membunuh demokrasi itu sendiri. 41 Masalah yang menyangkut hubungan sipil dan militer adalah soal yang muncul sebagai akibat lahirnya profesi perwira sebagai keahlian tersendiri. Fenomena ini mulai tampil pada awal abad ke-19 di Eropa. Ketika profesi perwira masih merupakan monopoli para kerabat istana, maka tidak ada masalah antara pimpinan politik dengan para perwira sebagai pengelola kekerasan manage of violence. Tetapi ketika posisi perwira terbuka untuk siapa saja yang memenuhi syarat untuk itu, dan pimpinan tentara terpisah dari pimpinan politik, maka timbullah soal di sekitar hubungan antara pimpinan politik dan pimpinan tentara. 42 Secara empiris, dalam hubungan sipil-militer ada beberapa pola yang dapat diamati dari sistem pemerintahan suatu negara. Negara-negara liberal demokratis, biasanya menganut sistem supremasi sipil. Sedangkan negara- negara rezim pemerintahan otoriter, biasanya cenderung menggunakan pola supremasi militer. Pola lainnya adalah gabungan dari kedua pola di atas, yakni tidak supremasi sipil atau militer pola campuran di mana kedua pihak sepakat dalam kesetaraan dan kesehjateraan untuk menjalankan pemerintahan. Hubungan sipil-militer dapat juga diamati melalui misi atau peran militer yang dijalankan, apakah misinya dalam menghadapi ancaman terhadap kedaulatan negara berorientasi ke dalam atau keluar atau kedua- duanya. Hubungan sipil-militer dalam masa transisi menuju demokrasi juga 41 Huntington, The Soldier and the State, h. 18. 42 Huntington, The Soldier and the State, h. 19. dapat dilihat dari dua dimensi penting, yaitu kontestasi militer dan hak-hak istimewa kelembagaan militer. 43 Namun sekali lagi dapat dikatakan bahwa pemikiran tentang hubungan sipil-militer dengan segala varian-variannya yang ada, memang memiliki perbedaan-perbedaan, sesuai dengan rezim pemerintahannya atau sistem politik yang dianut oleh suatu negara. Jika pola yang berkembang adalah supremasi sipil, maka pada akhirnya dalam model seperti ini akan memberikan dampak pada peran militer yang hanya sebagai alat negara, yang mengurusi masalah pertahanan ataupun melebur menjadi sub-ordinasi pemerintahan sipil. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, dimana supremasi militer yang lebih menonjol, maka peran militer tidak hanya berfungsi sebagai alat negara, akan tetapi juga menjadi alat kekuasaan. Pada pola ini, kekuatan militer akan diarahkan untuk mendominasi semua peran yang ada, termasuk pula mengambil alih peran-peran yang seharusnya merupakan ranah orang-orang sipil. Pada umumnya di negara-negara barat, terdapat model hubungan sipil- militer yang menekankan “supremasi sipil atas militer” civilian supremacy upon the military atau militer adalah sub-ordinat dari pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. 44 “supremasi sipil atas militer” merupakan konsep yang melekat dalam pengertian demokrasi di mana sebuah masyarakat yang demokratis hanya akan mungkin tumbuh 43 Bakrie, Pertahanan Negara. 44 Dewi Fortuna Anwar. Dkk, Gus Dur Versus Militer: Studi tentang Hubungan Sipil- Militer di Era Transisi . Jakarta: PT. Grasindo, 2002, h. 19. jika setiap komponen bangsa, terutama militer karena monopoli formalnya atas penggunaan kekerasan, tunduk pada institusi kenegaraan yang dihasilkan secara demokratis beserta kebijakan dan keputusan yang dikeluarkannya. Model ini juga banyak dianut oleh negara-negara sedang berkembang yang menerapkan sistem demokrasi liberal. Konsep tentang “kontrol sipil” lahir “dalam ketakutan abad 18 dan kebencian terhadap tentara sebagai suatu ancaman terhadap kebebasan- kebebasan rakyat”. 45 Teori-teori yang membahas soal hubungan sipil-militer ini pada umumnya bertolak dari pengalaman negara-negara demokrasi yang salah satu cirinya adalah secara tegas menempatkan tentara di bawah kendali kepemimpinan sipil. Secara khusus mengenai hubungan sipil-militer di negara industri yang demokratis, Perlmutter yang mengutip Huntington menyebut dengan istilah objective civilian control pengendalian sipil objektif dan subjective civilian control pengendalian sipil subjektif. 46 Dalam penjelasannya, karakteristik yang terkandung dalam pengertian objective civilian control pengendalian sipil objektif adalah: 1. Profesionalisme militer yang tinggi dan pengakuan dari pejabat akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka; 2. Sub-ordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer; 45 Bilveer Singh, Dwi Fungsi ABRI: Asal Usul, Aktualisasi, dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan , Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996, h. 2. 46 Perlmutter, Militer dan Politik, h. 15. 3. Pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tesebut atas kewenangan profesional dan otonomi bagi militer; 4. Akibatnya, minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi politik dalam militer. 47 Dapat pula dijelaskan bahwa dalam model kontrol sipil objektif ini biasanya dilakukan dengan cara militarizing the military. 48 Hal ini dapat dicapai dengan memperbesar profesionalisme kelompok militer di satu sisi, dan pada sisi yang lain kekuasaan militer harus mengalami pengurangan yang sedemikian rupa. Namun yang perlu dipertegas dalam hal ini adalah bahwa kekuasaan militer tersebut tidak serta-merta hilang sama sekali, melainkan tetap diberikan tetapi dalam bentuk kekuasaan yang terbatas. Kekuasaan yang diberikan hanya berfungsi untuk digunakan dalam hal-hal yang terkait dengan permasalahan profesinya. Apabila ada hal yang berada di luar kepentingan profesinya, dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk meningkatkan profesionalisme militer, maka secara otomatis kekuasaan militer harus dipangkas. Sebaliknya, menurut Salim Said model subjective civilian control adalah keadaan ketika salah satu dari sejumlah kekuatan berkompetisi dalam masyarakat berhasil mengontrol tentara dan menggunakannya untuk tujuan dan kepentingan politik mereka. 49 Lebih lanjut bahwa pengendalian sipil 47 Anwar, Gus Dur Versus Militer, h. 20. 48 P. Anthonius Sitepu, “Militer dan Politik: Suatu Tinjauan terhadap Peranan Militer dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer ,” dalam POLITEIA Jurnal Ilmu Politik Medan: Departemen Ilmu Politik dan Labotarium Politik Fisip Universitas Sumatera Utara, 2006, h. 46. 49 Said, Militer Indonesia dan Politik, h. 275. subjektif lazimnya dilakukan dengan cara memperbesar kekuasaan sipil maximing civilian power dibandingkan dengan kekuasaan militer. 50 Pengendalian sipil subjektif subjective civilian control merujuk pada upaya politisi sipil untuk mengontrol militer dengan mempolitisasi mereka dan membuat mereka lebih dekat kepada para politisasi sipil tersebut civilianizing the military , baik politisasi pro maupun anti pemerintah, khususnya di parlemen dan di partai-partai politik. Model kontrol sipil subjektif ditengarai akan melahirkan pola hubungan sipil dan militer yang kurang sehat. Huntington dalam Salim Said menekankan bahwa esensi Objective civilian control adalah pengakuan pada otonomi profesi militer, sedangkan subjective civilian control menolak adanya otonomi profesi militer. Dengan bahasa lain mungkin dapat dikatakan, pada objective civilian control otonomi yang dimiliki tentara menyebabkan mereka menjadi golongan profesional yang hanya menjalankan tugas negara. sedang pada subjective civilian control , tidak adanya otonomi tentara menjadikan mereka hanya alat bagi penguasa. 51 Namun demikian, di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia, 52 dikotomi sipil-militer tersebut dianggap –oleh kalangan militer atau sipil yang tak mau berkonfrontasi dengan militer– kurang menggambarkan realitas sesungguhnya, karena dikotomi tersebut hanya akan melahirkan 50 Bakrie, Pertahanan Negara, h. 42. 51 Said, Militer Indonesia dan Politik, h. 275. 52 Syahdatul Kahfie, “Peran Militer Indonesia: Tuntutan atau Kepentingan” dalam PROGRESSIF Vol. II, No. 1 Jakarta: Political Science Forum FISIP UI, 2002, h. 34. konfrontasi. 53 Oleh sebab itu, kalangan ini lebih menginginkan terjadinya “kerja sama”, “hubungan kemitraan” atau “harmonikeselarasan” antara sipil dan militer. Dalam model tersebut, dapat saja terjadi militer merupakan “the first among equals” pertama di antara yang sederajat dalam hubungannya dengan institusi-institusi sipil. Ini khususnya terjadi apabila mitra sipilnya lemah. Namun, bila institusi-institusi sipil cukup kuat, maka muncullah gagasan dari militer untuk melakukan “pembagian peran” role sharing. Di sini sangat tampak, kalangan militer tidak memandang demokrasi dalam hubungan vertikal antara sipil dan militer, yang sebenarnya lebih mengedepankan supremasi sipil atas militer. Pada posisi tersebut, para tentara lebih senang pada pola hubungan yang setara equal relationship. Sambil mengkritik teori Huntington yang dianggapnya lebih bertolak dari pengalaman tentara di negara-negara maju, Alfred Stepan 54 juga memperkenalkan peranan baru tentara. Peranan baru yang terutama terlihat di negara-negara baru merdeka bagi Stepan menyebabkan lahirnya konsep “the new profesionalism of internal security and national development”. Contoh yang dikemukakan Stepan untuk mendukung teorinya adalah Brazil dan Peru. Secara teknis militer tingkat profesionalitas tentara Brazil dan Peru sangat tinggi, tetapi pada saat yang sama keterlibatan mereka ke dalam urusan keamanan dalam negeri, mereka akhirnya terseret ke urusan politik. 53 Sitepu, Militer dan Politik, h. 46. 54 Alfred C Stepan, Bambang Cipto Penerjemah, Militer dan Demokrasi: Pengalaman Brasil dan Beberapa Negara Lain Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1996. Dalam hubungannya dengan konsep relasi sipil-militer di sebuah sistem pemerintahan, maka menurut Eric A. Nordlinger, bentuk pemerintahan sipil dibagi dalam tiga model, yakni: Model Tradisional, Model Liberal, dan Model Panetrasi atau Serapan. 55 1. Model Tradisional adalah model kontrol sipil di negara monarki. Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini sangat berpengaruh dalam sistem pemerintahan kerajaan abad ke-17 dan abad ke-18 di Eropa. Hal itu terjadi karena golongan aristokrat Eropa merupakan elit sipil dan juga elit militer. Walaupun kedua golongan elit ini berbeda, akan tetapi dalam kepentingan dan pandangannya hampir sama karena keduanya berasal dari golongan aristokrat. Golongan bangsawan tidak bisa memanfaatkan kedudukan militer mereka untuk menentang raja karena raja masih sangat dihormati sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Tindakan menentang raja justru akan melemahkan kedudukan politik, ekonomi, dan sosial mereka yang sangat bergantung kepada raja. Dalam model ini biasanya tidak terjadi konflik antara sipil dan militer. Ketika terjadi konflik, mereka lebih memilih untuk mempertahankan statusnya sebagai sipil atau bangsawan yang memiliki previlege. Dalam model ini, militer dianggap sebagai golongan amatir. Model ini mulai runtuh di Eropa Barat setelah tahun 1800-an ketika pendidikan dan kemahiran dijadikan parameter utama 55 Eric A. Nordlinger, Militer dalam Politik, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, h. 8-30. dibandingkan status dan kekayaan warisan. bentuk pemerintahan sipil di mana tidak ada perbedaan yang mencolok antara sipil dan militer. Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini berpengaruh sekali di bawah sistem pemerintahan kerajaan pada abad ketujuh belas dan delapan belas. Golongan aristokrat Eropa elit Eropa dan elit militernya lebih mengutamakan kekuasaan, kekayaan, dan status sebagai seorang sipil. Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini dapat mempertahankan legitimasi pihak sipil yang disebabkan oleh tidak adanya perbedaan antara sipil dan militer. 2. Model Liberal. Model ini dengan jelas mendasarkan pada diferensiasi tugas dan wewenang sipil dan militer. Militer hanya bertugas menjaga keamanan dan pertahanan negara. Selain itu, militer diberikan kemampuan manajemen militer yang mumpuni. Seluruh kebutuhan militer dipenuhi dengan sebaik-baiknya oleh sipil. Singkat kata, model ini berupaya melakukan depolitisasi semaksimal mungkin terhadap militer. Semua hak militer yang diberikan untuk sipil bukan berarti memberikan kewenangan yang seenaknya kepada sipil untuk melakukan apapun terhadap militer. Dalam hal ini, sipil dituntut untuk memiliki civilian ethic. Ada beberapa etika sipil yang harus dilakukan, antara lain sipil harus menghormati kehormatan militer, keahlian, dan otonomi, serta harus menunjukkan sikap netral. Selain itu, sipil tidak boleh melakukan intervensi ke dalam profesi militer apalagi menyusupkan ide-ide politik bahkan menggunakan militer untuk kepentingan politik tertentu. Model liberal ini sebenarnya memiliki banyak kelebihan, tetapi segalanya bisa bermasalah ketika sipil tidak konsisten dalam setiap etika yang harus dipenuhi. Model ini secara jelas mendasarkan diri pada pemisahan para elit militer dan sipil sesuai dengan keahlian dan tanggung jawab masing-masing dalam jabatan pemerintahan, baik mereka dipilih melalui pemilihan umum ataupun diangkat. Elit sipil sesuai dengan kemampuannya menjalankan tanggungjawab di bidang pembangunan politik, ekonomi, sosial-budaya, mengawasi dan melaksanakan undang- undang, serta menyelesaikan konflik antar-kelompok. Sedangkan militer sesuai dengan keahliannya, mengelola, dan menggunakan kekerasan serta bertanggungjawab mempertahankan negara dari serangan luar dan kekacauan yang timbul dalam negeri. Kelompok militer juga tidak dapat mencampuri urusan di luar keamanan nasional. Secara singkat, model liberal menutup kemungkinan militer ikut campur dalam kegiatan politik. Model pemerintahan sipil liberal juga didasarkan pada prinsip pihak sipil harus menghormati pihak militer. Di dalam tindakan dan pelaksanaannya, pemerintah menghargai kedudukan, kepakaran, dan netralitas pihak militer. Pemerintah tidak merendahkan peran para perwira militer ataupun mencampuri urusan profesional militer dan memasukkan pertimbangan politik ke dalam angkatan bersenjata, seperti menaikkan pangkat perwira karena alasan kesetiaan mereka di bidang politik atau melibatkan militer untuk kepentingan politik domestik. Jika pihak sipil menghargai keabsahan militer, maka semakin kecil alasan militer untuk melakukan intervensi. 3. Model Serapan, adalah suatu model kontrol sipil yang melakukan penebaran ide-ide politik terhadap perwira militer yang masuk dalam partai-partai politik. Dalam hal ini, sipil dan militer adalah satu perangkat ideologi. Model ini hanya bisa diterapkan di suatu negara yang menerapkan sistem partai tunggal. Kontrol sipil terhadap militer dilakukan melalui dua struktur yaitu struktur militer itu sendiri dan struktur partai politik. Militer yang masuk dalam partai politik harus melepaskan semua aturan militernya dan masuk dalam aturan partai politik sehingga semua tunduk dalam aturan partai. Hal ini membuat tidak dominannya peran militer. Kalaupun ada dominasi militer dalam partai hanya mungkin terjadi sebatas faksi. Model panetrasi ini biasanya diterapkan di negara komunis. Apabila model ini diterapkan, ia akan sangat memperlihatkan supremasi sipil. Akan tetapi dalam keadaan tertentu, pelaksanaan yang kurang baik akan menimbulkan resiko yang cukup tinggi. Sama seperti model liberal, dalam model panetrasi ini akan berakibat buruk ketika setiap aksi kelompok sipil mengganggu wilayah otonom militer. Dalam model ini pemerintahan sipil memperoleh pengabdian dan kesetiaan dengan cara menanamkan ide-ide politik ke dalam tubuh angkatan bersenjata. Sepanjang hidupnya, militer senantiasa didoktrinasi dengan ide-ide politik sipil. Baik di dalam akademi militer, pusat latihan, tempat kursus, sekolah dasar dan lanjutan militer, ataupun diskusi formal dan informal. Hal ini sering dilakukan untuk membentuk ide dan sikap politik militer dengan asumsi bahwa ide dan persamaan politik pihak sipil dan pihak militer yang muncul kemudian akan menghapuskan gejala konflik sipil-militer. Penerimaan para perwira militer terhadap ide-ide politik ortodok juga digunakan sebagai satu syarat penting dalam kenaikan pangkat, di samping kemampuan militer. Dalam konteks mewujudkan militer yang mempunyai profesionalisme tinggi di bidangnya pada era modern seperti sekarang ini, model liberal Nordlinger patut diapresiasi oleh semua komponen negara sebagai pilihan yang terbaik. Hubungan Sipil–Militer yang ideal, tentunya kembali pada porsi profesionalisme-nya, dimana Militer mengemban tugas utamanya menjaga Kedaulatan Negara, Pertahanan dan Keamananan, yang tidak mencampuri urusan atau wilayah Politik Sipil. 56 Konsep pengabdian kepada Negara adalah Rakyat yang berdaulat, Pemerintahan yang sah dan Wilayah kedaulatan Nasional. Militer harus sadar benar akan Profesionalisme-nya, Netralitasnya sebagai alat Negara 56 http:ahmadfathulbari.multiply.comjournalitem40Catatan_Kuliah_Peranan_Militer_ dalam_Politik_ bukan alat Kekuasaan. Sedangkan kalangan Sipil bertanggungjawab melakukan fungsi-fungsi ke-Negara-an yang menjadi wilayah Politik- Publik, pelayanan masyarakat, menegakan Supremasi Hukum dan mengembangkan kesejahteraan. Hubungan Sipil-Militer yang Ideal ditandai oleh rasa saling menghormati Wilayah Kewenangannya, saling percaya didasarkan atas system peraturan dan perundangan yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, Militer dapat menata dirinya lebih mandiri, tanpa kekhawatiran di-Intervensi oleh pihak diluar Militer, sehingga para personil Militer tidak perlu menjadi Opurtunis yang sibuk mendekati penguasa untuk kedudukannya, sebagai konsekuensi logis penghormatan Kekuasaan Sipil kepada Institusi Militer. Secara Teoritis-historis, seperti dikemukakan diatas, Supremasi Sipil atau Masyarakat Sipil hanya akan dapat menempatkan posisi peran Militer secara tepat sesuai fungsinya “Profesional”, bila Kepemimpinan Sipil tersebut memiliki : Managerial State’s Capability kemampuan mengelola Negara, Integritas moral, Dukungan Partai Politik yang kuat dan Legitimasi Konstitusional. Bila salah satu saja dari indikator tersebut hilang, maka Militer masih memiliki peluang untuk mempermainkan proses Civil Society. Dan apabila hal itu terjadi, adalah suatu kerugian besar bagi Bangsa Indonesia mengalami kemunduran dari suatu proses perjuangan menegakan Demokrasi-Masyarakat Sipil yang telah lama diimpikan.

D. Fungsi Militer Dalam Negara