Andaikan si penerima wasiat terlebih dulu meninggal dari pada si pemberi wasiat, wasiat akan berjalan terus tanpa dapat dibatalkan oleh siapapun, karena
wasiat tersebut dapat diterimakan kepada ahli warisnya. Adapun bentuk wasiat menurut KHI terdapat dalam pasal 195 yaitu dapat
dilakukan dengan cara:
33
1. Lisan, bahwa suatu wasiat ataupun akta di bawah tangan harus dilakukan
di hadapan dua orang saksi. 2.
Tertulis, bahwa suatu wasiat yang dilakukan secara tertulis dapat berupa akta di bawah tangan dan akta otentik. Apabila wasiat ditujukan kepada
ahli waris, maka persetujuan ahli waris atau para ahli waris lainnya itu dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Persetujuan lisan maupun tertulis
yang bukan akta otentik harus dilakukan di hadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris
D. Kecakapan Membuat Surat Wasiat
Kompilasi Hukum Islam tidak lagi menggunakan ukuran-ukuran yang tidak mengandung kepastian hukum untuk menentukan apakah seorang itu cakap
atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum, melainkan mempergunakan batasan umur, yaitu sekurang-kurangnya 21 tahun. Angka ini pulalah yang
dipergunakan oleh KUH Perdata untuk menentukan apakah seseorang sudah dewasa atau belum dewasa. Akan tetapi, sesungguhnya Pasal 194 ayat 1 yang
menegaskan batasan umur tersebut harus diikutu perkecualian, yaitu: “kecuali orang-orang yang telah melangsungkan perkawinan. Walaupun perkecualian ini
tidak dicantumkan secara tegas, tetapi tetap dianggap ada agar tidak terjadi pertentangan antara Pasal 194 ayat 1 dengan Pasal 15 ayat 1. Adapun bunyi
Pasal 15 ayat 1: “untuk kemaslahatan keluarga dan rumah-tangga, perkawinan
33
Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, hal 177.
Universitas Sumatera Utara
boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-
kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya 16 tahun”. Setelah seseorang melangsungkan perkawinan, meskipun belum berumur
21 tahun, harus dianggap telah dewasa, yang berarti cakap melakukan perbuatan hukum, termasuk membuat wasiat. Supaya seseorang dapat menyatakan
kehendaknya, maka ia harus berakal sehat. Syarat ini logis dan harus disertakan, sebab jika tidak akan sulit diketahui apakah seseorang benar-benar ingin
mewasiatkan harta-bendanya atau tidak. Yang paling sulit sebenarnya adalah mencari ukuran yang dapat dikatakan berakal sehat.
Dan dalam Pasal 194-196 KHI, disebutkan juga bahwa setiap orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat dengan
mudah mewasiatkan sebagian hartanya untuk orang lain atau untuk suatu lembaga, atau kepada ahli warisnya yang lain. Pernyataan para ahli waris yang
menyetujui ini harus diucapkan secara lisan atau dapat secara tertulis di hadapan dua orang saksi, atau dibuat di hadapan notaris. Dalam surat baik dibuat secara
tertulis, maupun secara lisan, harus diterangkan dengan jelas dan tegas siapa-siapa saja, atau lembaga mana saja yang ditunjuk untuk menerima harta yang
diwasiatkan itu. Wasiat itu suatu keharusan yang harus dilaksanakan oleh seorang untuk
memberi wasiat atau menerima wasiat. Oleh karena itu, orang yang memberi wasiat itu boleh saja menarik kembali wasiat yang dinyatakan, baik itu wasiat yang
berkenaan dengan kekuasaan atau wilayah. Pencabutan kembali wasiat itu dapat
Universitas Sumatera Utara
dilaksanakan dengan lisan atau dengan perbuatan, seperti seseorang mewariskan sebidang tanah untuk orang lain, kemudian orang yang mewasiatkan itu menjual
tanah tersebut kepada pihak lain lagi tanpa memberitahukan kepada orang yang telah menerima wasiat itu. Terhadap yang terakhir ini, Imam Hanafi mengatakan
bahwa menjual barang wasiat sepihak seperti itu, sipenerima wasiat berhak menerima harga barang wasiat yang telah dijual itu. Menyangkut hal ini Sayyid
Sabiq mengatakan bahwa “wasiat itu termasuk dalam perjanjian yang dibolehkan oleh hukum, tetapi di dalam perjanjian itu orang yang memberi wasiat boleh saja
mengubah wasiatnya atau menarik kembali apa yang dikehendaki dari wasiatnya, atau menarik kembali wasiatnya itu baik secara lisan maupun secara perbuatan”.
34
1. Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum
menyatakan persetujuannya atau menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali;
Dalam Pasal 199 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ditegaskan bahwa:
2. Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan dengan dua
orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris;
3. Bila wasiat dilakukan secara tertulis maka pencabutan hanya dapat dilakukan
secara tertulis dengan dua orang saksi atau dengan akta notaris; 4.
Apabila wasiat dilakukan dengan akta notaris, maka pencabutannya hanya dilakukan dengan akta notaris.
34
Ibid., hal. 111.
Universitas Sumatera Utara
Pada Pasal 203 ayat 2 KHI disebutkan bahwa bilamana surat wasiat dicabut, sesuai dengan Pasal 199 KHI maka surat wasiat yang telah dicabut itu
diserahkan kembali kepada pewasiat. Tampaknya dalam masalah pencabutan wasiat yang dikemukakan oleh Kompilasi Hukum Islam ini lebih banyak
menyangkut persoalan administratifnya, bukan masalah substansinya. Dalam rumusan fiqih tradisional dikemukakan bahwa wasiat dapat saja
batal jika orang yang memberi wasiat tidak cakap bertindak hukum atau orang yang memberi wasiat itu tidak berhak atas barang yang diwasiatkan itu, wasiat
juga batal jika orang yang menerima wasiat itu lebih dulu meninggal dunia dari pada orang yang memberi wasiat dan wasiat juga bisa batal jika barang yang
diwariskan itu musnah sebelum barang tersebut diterima oleh orang yang menerima wasiat. Sehubungan dengan pembatalan wasiat itu, Sayyid Sabiq
merumuskan hal-hal yang membatalkan wasiat yaitu jika orang yang memberi wasiat menderita sakit gila hingga meninggal dunia. Jika orang yang menerima
wasiat itu meninggal dunia sebelum orang yang memberi wasiat meninggal dunia dan jika benda yang diwasiatkan itu rusak sebelum diterima oleh orang atau badan
yang menerima wasiat itu. Sementara itu Peunoh Daly sebagaimana yang dikutip oleh Achmad Rofiq memperinci hal-hal yang menjadikan wasiat batal, yaitu:
35
a. yang menerima wasiat dengan sengaja membunuh penerima wasiat;
b. yang menerima wasiat meninggal lebih dahulu dari si pemberi wasiat;
c. yang menerima wasiat menolak wasiat yang diberikan itu sesudah
meninggalnya pemberi wasiat; d.
barang yang diwasiatkan itu ternyata kemudian bukan milik yang berwasiat;
e. yang berwasiat menarik kembali wasiatnya;
35
ibid., hal 115.
Universitas Sumatera Utara
f. yang memberi wasiat hilang kecakapannya dalam melakukan perbuatan
hukum karena gila terus-menerus sampai meninggal dunia.
Dalam Pasal 197 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ditegaskan bahwa wasiat bisa dibatalkan apabila calon penerima wasiat berdasarkan
keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena: 1 dipersalahkan karena membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat
si pewaris; 2 dipersalahkan secara memfitnah telah membuat pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman 5 tahun penjara; 3
dipersalahkan dengan kekerasan ancaman mencegah pewasiat membuat atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat; 4 dipersalahkan
telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat-surat wasiat dari orang yang memberi wasiat. Kemudian dalam Pasal 197 ayat 2 dikemukakan bahwa
wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat: 1 tidak mengetahui adanya wasiat sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat; 2
mengetahui adanya wasiat tersebut, tetapi ia menolak menerimanya; 3 mengetahui adanya wasiat, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau
menolak sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat. Wasiat bisa menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.
Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang perubahan dari Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
ditetapkan bahwa “perselisihan tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah menjadi kewenangan peradilan agama untuk
Universitas Sumatera Utara
menyelesaikannya”.
36
Salah satu ciri yang membedakan Islam dan lainnya adalah penekanan yang difokuskan terhadap ilmu sedangkan Al- Qur’an dan hadits sering kali
Oleh karena itu, permohonan pembatalan wasiat ini diajukan ke peradilan agama oleh pihak yang merasa dirugikan karena adanya
wasiat tersebut dengan menyebut alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum tersebut dan memberikan putusan sebagaimana mestinya. Dalam praktik peradilan
agama banyak ditemukan gugatan yang berhubungan dengan wasiat oleh pencari keadilan dengan alasan wasiat telah melebihi dari sepertiga harta si pewaris, atau
si pewaris telah memberi wasiat semua harta kepada anak angkat sehingga ahli waris yang berhak tidak mendapat bagian, atau sebaliknya anak angkat
menggugat ahli waris karena wasiat yang diberikan oleh bapak angkatnya saat ini dikuasai oleh ahli waris. Kebanyakan pelaksanaan wasiat itu dilaksanakan
sebelum berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dengan berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 yang telah di
ratifikasi menjadi Undang-undang tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dengan oleh penggugat dianggap telah terbuka peluang untuk
mengajukan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 gugatan tentang pembatalan wasiat ke pengadilan agama.
E. Pihak-Pihak Yang Dapat Menikmati Wasiat Dan Yang Tidak Diperkenankan Menikmati Wasiat