BAB IV PENERAPAN ATURAN GUGATAN PERDATA
TERHADAP PENGAMBILAN ASET NEGARA
A. Model Ideal dan Pengaturan Khusus Gugatan Perdata
Gugatan perdata untuk pengambilan aset negara telah diatur dalam Pasal 32 Ayat 1 UUPTPK. Pengaturan itu menurut Eka Iskandar,
belum menampilkan karakter spesifik dalam kaitannya dengan 3 tiga kondisi tertentu tindak pidana
korupsi, yaitu:
121
1. Yang tidak terbukti secara pidana;
2. Tersangka dan terdakwanya meninggal dunia sebelum ada putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap; 3.
Karena kerugian negara yang belum disita baru diketahui kemudian setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Jika tidak terbukti secara pidana, maka unsur perbuatan melawan hukumnya jelas tidak ada, karena menurut Moeljatno, bahwa semua unsur-unsur kesalahan yang
ada harus dihubungkan dengan perbuatan pidana yang telah dilakukan.
122
Akan tetapi, jika terdakwa meninggal dunia sebelum ada putusan pengadilan yang
berkekuatan tetap, atas kerugian negara jelas sudah ada, maka hal inilah yang dimaksud dalam Pasal 32 Ayat 1 untuk dilakukannya gugatan perdata.
121
Eka Iskandar, ”Prinsip Pengembalian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata”, konsultan hukum, meraih gelar Doktor dari Pascasarjana Universitas
Airlangga Unair, tanggal 13 Agustus 2008, hal. 3.
122
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hal. 164.
Universitas Sumatera Utara
Dilihat dalam perspektif hukum perdata, khususnya prinsip-prinsip hukum acara perdata dengan melihat pengalaman di berbagai negara, misalnya di Ontario,
mengenai gugatan perdata dalam kasus korupsi yang dikonsepsi sebagai civil forfeiture
123
diatur tersendiri, baik di luar hukum pidana umum maupun khusus, serta di luar hukum acara perdatanya.
Masalah pembuktian, pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan yang layak bagi pelaku, kemudian membandingkan dengan aset yang dimiliki. Jika aset
yang dimiliki melebihi jumlah pendapatannya, maka pelaku berkewajiban membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal. Kemudahan dalam masalah
pembuktian melalui jalur civil forfeiture, merupakan alternatif yang potensial, karena lebih efektif dalam upaya pengembalian aset, walaupun prosedur ini tidak luput dari
berbagai kelemahan, seperti lambat dan biaya tinggi. Di samping itu, perlu dipertimbangkan bahwa pemanfaatan potensi civil forfeiture harus diikuti dengan
adanya perjanjian bilateral disamping pula memerlukan suatu re-strukrisasi hukum nasional. Restrukrisasi di bidang hukum, antara lain menghendaki adanya reformasi
bidang hukum materiil dan formil. Bidang hukum formil antara lain, hukum acara perdata yang harus diformat kembali, mengingat Indonesia masih menggunakan
hukum acara perdata yang hanya berlaku dalam kasus-kasus yang bersifat individual atau private to private. Di samping itu pula civil forfeiture menuntut legal expertise
dan pengetahuan teknis yang tinggi, dan dikhawatirkan Indonesia masih belum
123
I Gusti Keutut Iriawan, “Stolen Asset Recovery Initiaitve, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara”, Kertha Patrika, Artikel, Vol. 33 No. 1, Januari 2008, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
memiliki sumber daya yang bisa memenuhi tuntutan ini. Perluasan jurisdiction scope dari civil forfeiture merupakan suatu hal yang mutlak, mengingat aset hasil korupsi
lebih banyak disembunyikan di negara lain. Yang lebih penting, adalah perlu dipertimbangkannya aspek check and balance karena jalur ini rawan penyalahgunaan
oleh aparat penegak hukum. Civil forfeiture sebagai hukum acara perdata khusus, termasuk bagi tindak
pidana korupsi diatur dalam “Civil Remedies Act”. Melihat pengalaman tersebut, dan dalam rangka mengharmonisasi dengan UNCAC 2003 United Nations Convention
Against Corruption 2003, seyogyanya diatur secara tersendiri dalam undang-undang khusus. Di Amerika juga demikian, terdapat ketentuan khusus yang mengatur
“federal forfeiture law”, adapun di AustraliaNew Zealand diatur khusus dalam “Proceeds of Crime Act, 2002”. Di Ireland, diatur khusus dalam “The Proceeds of
Crime Act, 1996”, di Inggris United Kingdom diatur dalam “The United Kingdom’s Proceeds of Crime Act, 2002” yang telah diamandemen dalam “The Serious
Organized Crime and Police Act, 2005”.
124
Pengaturan khusus ini penting terutama dikaitkan dengan tiga hal: 1.
Harmonisasi UUPTPK dengan Konvensi Anti Korupsi sehubungan dengan ratifikasi Konvensi tersebut;
2. Pengaturan BW maupun HIR mengenai tanggung gugat dan gugatan perdata
yang tidak menunjuk pada penerapan untuk kasus tindak pidana korupsi;
124
http:www.thenewspaper.comrlcdocs2007ontarioag-size.pdf, Ministry of the Attorney General, Civil Forfeiture in Ontario, An Update On the Civil Remedies Act, 2001, Ministry of the
Attorney General, 2007.
Universitas Sumatera Utara
3. Prinsip dalam hukum pidana bahwa seseorang yang dibebaskan atau tidak
dapat dipidana menandai tidak adanya perbuatan melawan hukum atau tidak adanya kesalahan.
Harmonisasi UUPTPK dengan UNCAC 2003 dalam kaitan dengan gugatan perdata terutama mengenai yang dapat dijadikan dasar seperti diatur dalam Pasal 32,
33, 34, dan 38 C UUPTPK diperlukan karena dalam ketentuan tersebut belum disertai pembalikan beban pembuktian sebagaimana model civil forfeiture di negara-negara
lain. Hal ini terutama ditekankan, namun tidak terbatas pada kasus-kasus “illicit enrichment” oleh pejabat publik public official, dalam pengertian terjadi
peningkatan signifikan terhadap kekayaan pejabat publik tersebut yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal dalam hubungan dengan penghasilannya yang sah
lawful income. Burgerlijke Wetboek BW, memungkinkan untuk diterapkan mengenai
tanggung gugat yang dipertajam dalam bentuk “pembalikan beban pembuktian” dan “tanggung gugat risiko”. Dimungkinkannya kedua hal tersebut, karena alasan sebagai
berikut yaitu: 1.
Posisi pihak yang dirugikan mungkin diperkuat dengan sambil mempertahankan persyaratan; sifat melanggar hukum dan kesalahan mengubah pembagian beban
pembuktian yang normal tanggung gugat kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian, demi kerugian pelaku dan oleh demi keuntungan yang dirugikan.
Kalau dalam keadaan normal pihak yang dirugikan wajib membuktikan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan melanggar hukum, maka di sini pelanggaran
Universitas Sumatera Utara
norma dianggap ada, dan selanjutnya mewajibkan pelaku meniadakan anggapan dan persangkaan ini untuk menunjukkan bahwa ia tidak berbuat melanggar
hukum. Contoh adalah Pasal 6.3.6 Rancangan BW baru Belanda, dimana anak yang masih sangat muda dan orang gila, yang tentu tidak bersalah, dalam
keadaan-keadaan tertentu dapat dinyatakan bertanggung gugat atas perbuatan melanggar hukum yang mereka lakukan.
125
2. Mungkin pula mempertajam tanggung gugat ditimbulkannya kerugian dengan
menimbulkan syarat-syarat; sifat melanggar hukum dan kesalahan tanggung gugat risiko. Dalam hal ini, masih dapat dibedakan antara hanya meniadakan
kesalahan dalam arti sempit di satu pihak dan peniadaan sifat melanggar hukum dan kesalahan sebagai syarat tanggung gugat di lain pihak. Contoh adalah
tanggung gugat majikan atas perbuatan melanggar hukum bawahannya. c.f. Pasal 1367 Ayat 3 BW.
126
Mengenai gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi, lebih berkaitan dengan penajaman tanggung gugat kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1367 Ayat 2 jo Ayat 5 BW. Dicontohkan dalam hal ini anak A yang berumur tiga tahun merusakkan jendela rumah tetangganya B,
anak A hanya bertanggung gugat atas kerugian B jika A tidak melakukan kewajibannya selaku “orang tua yang baik” dan menjaga agar anak tersebut tidak
menimbulkan kerugian pada pihak ketiga sifat melanggar hukum dan selain itu, ia
125
J.H. Nieuwenhuis, diterjemahkan oleh Djasadin Saragih, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Surabaya: tanpa penerbit, 1985, hal.135.
126
Ibid. hal.74.
Universitas Sumatera Utara
dapat disesali karena telah mengabaikan tugasnya itu kesalahan. Bentuk tanggung gugat di sini tidak berbeda dari contoh pertama. Tetapi, B tidak perlu membuktikan
bahwa A tidak secukupnya menjaga anaknya. Sebaliknya, untuk menghindari tanggung gugat, A harus membuktikan bahwa ia sudah cukup baik menjaga anak
itu.
127
Apabila ketentuan ini diterapkan dalam perkara tindak pidana korupsi, hanya memungkinkan bagi kondisi berlakunya Pasal 32, 33, dan 34 UUPTPK. Argumentasi
yang dapat dikemukakan, yaitu dalam kondisi berlakunya Pasal 32, 33, dan 34 UUPTPK, penuntut umum tidak Pasal 32 UUPTPK atau belum Pasal 33 dan 34
UUPTPK berhasil membuktikan sifat melawan hukum dan kesalahan terdakwa. Persoalannya menjadi sulit, terutama berkaitan dengan ketentuan Pasal 32 UUPTPK
karena sifat melawan hukum dalam pengertian materiil telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai bertentangan dengan UUD 1945.
Sifat melawan hukum formal di sisi lain, sudah tidak dapat dibuktikan oleh penuntut umum, sehingga mengakibatkan dibebaskannya terdakwa. Terhadap kondisi
seperti diatur dalam Pasal 33 dan 34 UUPTPK, gugatan dengan pembalikan beban pembuktian masih mungkin diterapkan. Ahli waris tersangka atau terdakwa yang
telah meninggal dunia harus membuktikan bahwa tersangka atau terdakwa telah berbuat sedemikian rupa sehingga di samping tidak berbuat melanggar hukum dan
melakukan “kesalahan”, juga telah berusaha dengan cukup baik supaya tidak timbul kerugian pada negara.
127
Ibid., hal.136.
Universitas Sumatera Utara
Pengembalian aset akibat korupsi dalam penerapannya, Indonesia harus melihat pengalaman dari negara-negara berkembang lainnya yang dihadapkan pada
situasi yang sama dengan Indonesia. Negara-negara seperti Filipina, Peru dan Nigeria telah berhasil mengambil kembali aset-aset yang dicuri dengan menggunakan Mutual
Legal Assistance MLA. Pengintegrasian MLA ke dalam regulasi nasional dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana selanjutnya disebut UUMLA setelah menandatangani dan meratifikasi United Nations Convention Against
Corruption UNCAC 2003.
128
Pada September 2007, ketika Bank Dunia World Bank dan Perserikatan bangsa-Bangsa PBB meluncurkan Stolen Asset Recovery StAR dalam rangka
untuk meningkatkan kerjasama komunitas internasional dalam mengimplementasikan Bab V UNCAC yang merupakan terobosan besar dalam hukum internasional yang
menetapkan landasan mengenai pengembalian aset hasil kejahatan terutama korupsi, Indonesia ikut serta dalam program Inisiatif StAR tersebut untuk mencari dukungan
dan bantuan dalam mengatasi hambatan-hambatan pengembalian aset hasil tindak kejahatan korupsi. Pada Januari 2008 Indonesia dipilih sebagai tempat
berlangsungnya Konferensi tentang Konvensi Anti Korupsi UNCAC sebagai lanjutan dari pertemuan di Yordania pada Desember 2006, dengan salah satu materi
bahasannya adalah pengembalian aset jarahan yang disimpan di luar negeri.
128
http:gagasanhukum.wordpress.com20081027prinsip-pengembalian-aset-hasil-orupsi- bagian-x, diakses terakhir tanggal 12 Oktober 2009.
Universitas Sumatera Utara
Instrumen civil forfeiture sekilas mirip dengan gugatan perdata yang ada dalam UUPTPK, namun keduanya memiliki perbedaan. Upaya perdata dalam
UUPTPK menggunakan aturan perdata biasa dimana proses persidangannya masih tunduk pada hukum perdata formil atau materiil biasa. Civil forfeiture menggunakan
aturan perdata yang berbeda, seperti pembalikan beban pembuktian. Civil forfeiture tidak berkaitan dengan pelaku tindak pidana dan memperlakukan sebuah aset sebagai
pihak yang berperkara. Perbedaan tersebut menghasilkan dampak yang berbeda. Salah satu hasil dari Konvensi UNCAC 2003 adalah lahirnya prinsip cicvil
forfeiture. Gugatan perdata yang ada dalam UUPTPK memberikan beban pembuktian adanya “unsur kerugian negara” kepada jaksa sebagai pengacara negara. Sebaliknya
civil forfeiture mengadopsi prinsip pembalikan beban pembuktian dimana para pihak yang merasa keberatan membuktikan bahwa aset yang digugat tidak mempunyai
hubungan dengan korupsi. Hal ini menjadikan Jaksa Pengacara Negara cukup membuktikan adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan
suatu tindak pidana korupsi.
129
Semakin meningkatnya kuantitas dan kualitas kasus-kasus korupsi di Indonesia, maka untuk memerangi korupsi, salah satu cara dapat menggunakan
instrument civil forfeiture untuk memudahkan penyitaan dan pengambilalihan aset hasil korupsi yang dilakukan para koruptor melalui jalur perdata.
129
Suhadibroto, Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian negara Dalam korupsi, www. Komisi Hukum.go id. dalam Detania, hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia selama ini cenderung mengutamakan penyelesaian melalui jalur pidana yang lebih fokus untuk menghukum pelaku tindak pidana korupsi dari pada
pengembalian aset negara. Kenyataannya jalur pidana tidak cukup ampuh untuk meredam atau mengurangi jumlah terjadinya tindak pidana korupsi. Hal ini
sebagaimana diungkapkan oleh Marwan Effendy, bahwa korupsi di Indonesia seperti tidak habis-habisnya, semakin ditindak makin meluas, bahkan perkembangannya
terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah kasus, jumlah kerugian negara maupun kualitasnya. Akhir-akhir ini nampak makin terpola dan sistematis,
lingkupnya pun telah merambah ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara. , korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai “extraordinary
crime” kejahatan luar biasa, tetapi juga sebagai kejahatan transnasional.
130
Mempertajam pemahaman tentang civil forfeiture, terdapat beberapa perbedaan mendasar secara umum antara civil forfeiture dibandingkan dengan
criminal forfeiture, antara lain; Pertama, Civil forfeiture tidak berhubungan dengan sebuah tindak pidana, sehingga penyitaan dapat lebih cepat diminta kepada
pengadilan. Penyitaan dalam proses pidana mengharuskan adanya seorang tersangka atau putusan bersalah. Civil forfeiture dapat dilakukan secepat mungkin begitu
adanya hubungan antara aset dengan tindak pidana. Kedua, Civil forfeiture menggunakan standart pembuktian perdata, tetapi dengan menggunakan sistem
pembalikan beban pembuktian, sehingga lebih ringan dalam melakukan pembuktian
130
Marwan Effendy, ”Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”, Lokakarya, Anti-korupsi bagi Jurnalis, Surabaya, 2007, hal.1.
Universitas Sumatera Utara
terhadap gugatan yang diajukan. Ketiga, Civil forfeiture merupakan proses gugatan terhadap asset in rem, sehingga pelaku tindak pidana tidak relevan lagi. Keempat,
Civil forfeiture berguna bagi kasus dimana penuntutan secara pidana mendapat halangan atau tidak mungkin untuk dilakukan.
131
Keberhasilan penggunaan civil forfeiture di negara maju mungkin bisa dijadikan wacana di Indonesia karena prosedur ini akan memberikan keuntungan
dalam proses peradilan dan untuk mengejar aset para koruptor. Seperti yang terlihat selama ini, seringkali jaksa mengalami kesulitan dalam membuktikan kasus-kasus
korupsi karena tingginya standar pembuktian yang digunakan dalam kasus pidana. Selain itu seringkali dalam proses pemidanaan para koruptor, mereka menjadi sakit,
hilang atau meninggal yang dapat mempengaruhi atau memperlambat proses peradilan. Hal ini dapat diminimalisir dengan menggunakan civil forfeiture karena
obyeknya adalah aset bukan koruptornya, sehingga sakit, hilang atau meninggalnya si koruptor bukan menjadi halangan dalam proses persidangan.
Prinsip-prinsip menyangkut gugatan perdata pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi, secara umum mengikuti ketentuan yang diatur
dalam UUPTPK maupun hukum acara perdata dan BW. Dalam UUPTPK hanya mengatur beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai ikhwal yang spesifik, baik
mengenai tujuan dilakukannya gugatan perdata maupun karakter spesifik gugatan
131
Ario Wandatama dan Detania Sukarja, “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia untuk mendukung Stolen Asset Recovery StAR Initiative”, Makalah dalam Seminar
Pengkajian Hukum Nasinal, 2007, hal.22-23.
Universitas Sumatera Utara
perdata dalam tindak pidana korupsi yang membedakan dengan gugatan perdata pada umumnya.
Dasar yang menjadi pengaturan gugatan perdata dimungkinkan dalam
UUPTPK bukan saja karena selama ini penyelesaian perkara korupsi secara pidana tidak selalu berhasil mengembalikan keuangan negara, tetapi secara filosofis
mengandung maksud untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang menyembunyikan hasil korupsi. Alasan lain karena tindak
pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa extra ordinary crime sehingga melibatkan kekuasaan dan kerugian negara, maka cara penanganannya dilakukan
dengan cara yang luar biasa pula yaitu disamping melalui jalur pidana juga dilakukan melalui jalur perdata.
Tujuan yang hendak dicapai dalam gugatan ini, yaitu pengembalian kerugian keuangan negara assets recovery, namun gugatan ini bersifat fakultatif dan
komplemen dari upaya perampasan melalui mekanisme hukum pidana. Mengenai karakteristik spesifik dari gugatan perdata dalam perkara tindak pidana korupsi,
UUPTPK mensyaratkan adanya proses pidana terlebih dahulu. Prinsip gugatan perdata untuk pengembalian keuangan negara yang
terkandung di dalam UUPTPK antara lain; prinsip kondisional yaitu gugatan perdata tidak selalu dapat diajukan dalam tindak pidana korupsi, kecuali dalam kondisi-
kondisi tertentu, prinsip gugatan perdata untuk jenis tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara saja yang dapat diajukan gugatan serta prinsip gugatan perdata
sebagai komplemen perampasan untuk negara.
Universitas Sumatera Utara
Prinsip-prinsip Konvensi Anti Korupsi meskipun belum diharmonisasi dengan UUPTPK, namun dapat diterapkan karena telah diratifikasi oleh Pemerintah
Indonesia. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Anti Korupsi, 2003 United Nations Conventions Against Corruption, 2003
atau UNCAC 2003, meliputi; Prinsip “Asset Recovery”, prinsip gugatan perdata sebagai alternatif pengembalian aset negara, prinsip litigasi multiyurisdikasi, prinsip
pembekuan atau penyitaan dan perampasan dari hasil korupsi atau kekayaan yang dicuci di negara lain. Harmonisasi UUPTPK dengan UNCAC 2003 dalam kaitannya
dengan gugatan perdata terutama mengenai yang dapat dijadikan dasar seperti diatur dalam Pasal 32, 33, 34, dan Pasal 38 C UUPTPK diperlukan karena dalam ketentuan
tersebut belum disertai pembalikan beban pembuktian sebagaimana model civil forfeiture di negara-negara lain.
Gugatan perdata dalam prakteknya memunculkan problem pengembalian kerugian keuangan negara. Kendala teknis yuridis terletak pada sistem pembuktian
yang rumit. Hal ini menuntut pengaturan gugatan perdata mengenai tindak pidana korupsi secara khusus, sehingga dapat diharapkan mencapai tujuan. Gugatan perdata
dengan demikian tidak dapat hanya disandarkan atau didasarkan pada ketentuan- ketentuan mengenai gugatan perdata dalam HIR dan Rbg.
Salah satu unsur mendasar dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan negara. Konsekuensinya, pemberantasan korupsi tidak semata-mata
bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana penjara detterence effect, tetapi harus juga dapat mengembalikan kerugian negara yang telah dikorup.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 2006, pengembalian kerugian negara atas kasus korupsi yang ditangani KPK hanya Rp. 27,7 miliar.
132
Jumlah itu tidak terlalu menggembirakan jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang ditangani. Pengembalian kerugian
negara diharapkan mampu menutupi defisit APBN sehingga dapat menutupi ketidakmampuan negara dalam membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan
sepertin pendidikan, kesehatan. Sebenarnya politik hukum pemberantasan korupsi sudah menyadari
pentingnya hukum pidana maupun hukum perdata. Karena itu, UUPTPK tidak hanya memberikan peluang hukum pidana melalui penyitaan harta benda milik pelaku oleh
penyidik dan selanjutnya Jaksa Penuntut Umum JPU menuntut agar Hakim melakukan perampasan, tetapi juga memberikan peluang melalui instrumen hukum
perdata. Selama ini jaksa hanya menggunakan instrumen pidana semata, sementara gugatan perdata belum pernah dilakukan. Timbul pertanyaan, Mengapa gugatan
perdata tidak dilakukan? Adakah persoalan yuridis? Harus diakui, secara teknis- yuridis terdapat beberapa kesulitan yang akan dihadapi Jaksa Pengacara Negara
dalam melakukan gugatan perdata. Antara lain, hukum acara perdata yang digunakan sepenuhnya tunduk pada hukum acara perdata biasa yang, dan menganut asas
pembuktian formal. Beban pembuktian terletak pada pihak yang mendalilkan Jaksa Pengacara Negara yang harus membuktikan kesetaraan para pihak, kewajiban hakim
untuk mendamaikan para pihak, dan sebagainya. Sedangkan Jaksa Pengacara Negara
132
http:antikorupsi.orgindocontentview110076, diakses terakhir tanggal 12 Oktober 2009
Universitas Sumatera Utara
JPN sebagai penggugat harus membuktikan secara nyata bahwa telah ada kerugian negara. Yakni, kerugian keuangan negara akibat atau berkaitan dengan perbuatan
tersangka, terdakwa, atau terpidana; adanya harta benda milik tersangka, terdakwa, atau terpidana yang dapat digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan
negara.
133
Selain itu, seperti umumnya penanganan kasus perdata, membutuhkan waktu yang sangat panjang sampai ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap.
Berharap Banyak Pembentuk UUPTPK, tampaknya, berharap banyak untuk mengembalikan keuangan negara sebanyak-banyaknya. misalnya, ketentuan tentang
dimungkinkannya melakukan gugatan perdata dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup
bukti. Padahal, secara nyata telah ada kerugian keuangan negara Pasal 32, gugatan terhadap ahli waris, dan terhadap putusan bebas juga masih dimungkinkan dilakukan
gugatan perdata. Sayang, ketentuan tersebut tidak operasional dan belum pernah dilakukan.
Begitu besarnya perhatian terhadap korupsi yang sudah dikategorikan extra ordinary crime, transnational crime, dan julukan lain yang menunjukkan betapa
berbahayanya korupsi, sehingga tersangka, terdakwa, atau terpidana yang meninggal dunia sekalipun masih dimintai pertanggungjawaban kepada ahli warisnya. Konvensi
PBB Antikorupsi 2003 UNCAC 2003, juga membolehkan mengambil tindakan- tindakan yang diperlukan untuk melakukan penyitaan atau perampasan atas kekayaan
133
http:www.komisihukum.go.id.
Universitas Sumatera Utara
pelaku tindak pidana korupsi tanpa adanya putusan pengadilan dalam pelaku meninggal dunia, melarikan diri, atau tidak hadir meskipun telah dipanggil dengan
layak. Keinginan besar untuk mengembalikan kerugian negara dan julukan korupsi
sebagai extraordinary crime tidak didukung oleh perangkat hukum yang ada, khususnya dalam upaya pengembalian kerugian negara melalui gugatan perdata.
Dalam hal ini, hukum acara perdata tidak memberikan kemudahan, bahkan cenderung menghambat, misalnya, tidak dikenalnya sistem pembuktian terbalik, adanya biaya
yang harus dibayar oleh penggugat, tidak adanya prioritas penanganan perkara, dan tidak adanya jangka waktu penyelesaian perkara. Juga, misalnya, tidak ada hakim ad
hoc, proses litigasi bagi tersangkaterdakwaterpidana yang meninggal dunia, tidak ada kemudahan dalam proses sita jaminan, adanya proses perdamaian yang harus
ditempuh dading, dan sebagainya.
134
Hambatan-hambatan tersebut harus segera diatasi untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian negara melalui pembuatan hukum acara perdata khusus
perkara korupsi yang keluar dari pakem-pakem hukum acara perdata konvensional. Jika tidak, pengembalian kerugian negara melalui instrumen perdata yang
diamanatkan undang-undang hanya akan menjadi macan ompong.
lis
134
Mujahid A. Latief, peneliti pada Komisi Hukum Nasional KHN di Jakarta Email: jahidkomisihukum.go.id
mu Tu
an ini disalin dari Jawa Pos, 1 Agustus 2007, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
B. Model Ideal Pengambilan Aset Hasil Korupsi