Model Ideal Pengambilan Aset Hasil Korupsi

B. Model Ideal Pengambilan Aset Hasil Korupsi

Pemberantasan korupsi memasuki abad 21 tampaknya mengalami perubahan paradigma, dari penghukuman dan penjeraan kepada menitikberatkan pengembalian aset hasil korupsi yang ditempatkan di negara lain. Perubahan paradigma ini secara nyata dimuat dalam Bab V Konvensi PBB Antikorupsi tahun 2003, yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Selain strategi pencegahan yang masih bersifat relatif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, juga diatur tentang strategi penindakan dengan memasukkan jenis tindak pidana korupsi baru seperti, memperdagangkan pengaruh trading in influence, memperkaya diri sendiri illicit enrichment, suap di sektor swasta bribery in the private sector, dan suap pejabat publik asingorganisasi internasional bribery of foreign public officials. Istilah “pengembalian aset” asset recovery tidak diatur secara eksplisit dalam dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara maupun dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, juga tidak diatur di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Keenam undang-undang tersebut hanya mengenalmengakui istilah, ”Keuangan Negara”. Pengembalian aset merupakan nomenklatur baru dan tersendiri, terpisah dari istilah “Keuangan Negara”. Istilah ini jelas menunjukkan secara eksplisit bahwa aset hasil korupsi adalah serta merta merupakan harta kekayaan negara. Universitas Sumatera Utara Sedangkan harta kekayaan pihak ketiga yang beriktikad baik dan juga mereka yang dirugikan karena suapkorupsi tidak memperoleh perlindungan hukum berdasarkan keenam undang-undang tersebut. 135 Bertolak dari penelitian penulis berpendapat penanggulangan korupsi harus ditempuh dengan pendekatan integral komprehensif, baik preventif, represif, dan edukatif. Usaha represif selama ini ditempuh dengan penegakan hukum pidana seperti telah dikemukakan di atas. Namun pengalaman menunjukkan, bahwa upaya penanggulangan dan pemberantasan kejahatan korupsi tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan perangkat hukum pidana yang tersedia, sekalipun UUPTPK berulang kali diubah dan disempurnakan. Sudarto, bahkan pernah menegaskan, bahwa; ”Suatu clean government, dimana tidak terdapat atau setidak-tidaknya tidak banyak terjadi perbuatanperbuatan korupsi, tidak bisa diwujudkan hanya dengan peraturan-peraturan hukum, meskipun itu hukum pidana dengan sanksinya yang tajam. Jangkauan hukum pidana tentunya juga dalam memberantas korupsi, penulis adalah terbatas. Usaha pemberantasan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan tindakan-tindakan di lapangan politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya”. 136 Pernyataan Sudarto tersebut di atas, dikemukakan pada tahun 1971 di Kampus Universitas Diponegoro, dalam pidatonya jelas mengandung pendekatan integral komprehensif. Dalam perkembangannya, pemikiran beliau itu ternyata juga terlihat 135 Romli Atmasasmita Anggota Ahli UNODC untuk Konvensi PBB Antikorupsi, Seputar Indonesia, 25 Juli 2007, Lihat juga di http:www.kpk.go.id, “Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Wujudkan Indonesia Bebas dari Korupsi Pengembalian Aset Korupsi”, Opini, dikirim oleh: humas, Posted on : 3172007 11:20:21. 136 Sudarto, “Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”, Ceramah di UNDIP, 1971, dipublikasikan dalam “Hukum dan Hukum Pidana”, Alumni: Bandung, 1981, hal. 124. Universitas Sumatera Utara dari berbagai hasil Kongres PBB mengenai “Pencegahan Keja-hatan” sejak Kongres ke-5 Tahun 1975 di Geneva sd Kongres ke-11 Di Bangkok 18-25 April 2005 137 . Menurut berbagai Kongres PBB itu, strategi yang sangat mendasar The Basic Strategy dalam penanggulangan kejahatan, mencakup dua kata kunci: 1. Penanggulangan Kausatif, yaitu mengeliminir sebab dan kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan. Statement Kongres PBB, antara lain menyatakan : a. “Crime prevention strategies should be based on the elimination of causes and conditions giving rise to crime” Kongres ke-6; b. “The basic crime prevention strategy must consist in eliminating the causes and conditions that breed crime” Kongres ke-7; dan c. “The basic crime prevention must seek to eliminate the causes and conditions that favour crime” Kongres ke-7. 2. Pendekatan Integral komprehensif, yaitu menempuh upaya pencegahan kejahatan tidak secara simplistik dan fragmentair, tetapi dari berbagai pendekatan dan kebijakan social aspek social, budaya, ekonomi, politik, pendidikan, agama, moral dan sebagainya. Salah satu statement Kongres PBB terkait pendekatan 137 Dalam Kongres ke-11, statement kebijakan komprehensif terdapat dalam Deklarasi Bangkok butir No. 10 : ”We recognize that comprehensive and effective crime prevention strategies can significantly reduce crime and victimization. We urge that such strategies address the root causes and risk factors of crime and victimization and that they be further developed and implemented at the local, national and international levels, taking into account, inter alia, the Guidelines for the Prevention of Crime”. Universitas Sumatera Utara integral ini, terlihat antara lain dalam Deklarasi Wina Kongres PBB ke-10 2000 138 : “Comprehensive crime prevention strategies at the international, national, regional and local levels must adress the root causes and risk factors related to crime and victimization through social, economic, health, educational and justice policies.” Upaya penanggulangan korupsi juga harus dilakukan dengan pendekatan integral dan komprehensif, karena masalah korupsi terkait dengan berbagai kompleksitas masalah, antara lain masalah moral dan sikap mental, masalah pola hidup dan budaya dan lingkungan sosial, masalah kebutuhan akan tuntutan ekonomi dan kesenjangan sosial-ekonomi, masalah struktur dan sistem ekonomi, masalah sistem dan budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya birokrasiprosedur administrasi termasuk sistem pengawasan di bidang keuangan dan pelayanan publik. Jadi kausa dan kondisi yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi sangatlah luas multi dimensional, yaitu bisa di bidang moral, sosial, ekonomi, politik, budaya, birokrasiadministrasi dsb. Mengingat sebab-sebab yang multi dimensional itu, maka korupsi pada hakikatnya tidak hanya mengandung aspek ekonomis yaitu merugikan keuangan atau perekonomian negara dan 138 Deklarasi Wina Nomor 25 dalam dokumen ACONF.18715, 10th UN Congress Report, http:www.asc41.com10th20UN20Congress20on20the20Prevention20of20Crime018 20ACONF.187.13.Add.520Effective20Crime20Prevention.pdf; lihat juga, Deklarasi Bangkok Kongres PBB ke-112005. Universitas Sumatera Utara memperkaya diri sendiriorang lain, tetapi juga mengandung korupsi nilai-nilai moral, korupsi jabatankekuasaan, korupsi politik dan nilai-nilai demokrasi dsb. 139 Dalam perkembangannya, korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik dari aspek kuantitas atau jumlah kerugian keuangan negara maupun kualitas yang dilakukan secara canggih dan sistematis, bahkan telah menembus lintas batas negara. Oleh karena itu, penanganan korupsi, khususnya dalam rangka memaksimalkan pengembalian aset yang menjadi kerugian negara, perlu pendekatan yang bersifat integral, di samping melalui penal, non penal, serta melalui kerja sama internasional. Terkait dengan kerugian negara yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana korupsi, UUPTPK telah mengetengahkan konsep pengembalian kerugian keuangan negara. Konsep tersebut diharapkan mampu mengembalikan kerugian negara di samping pelaku tindak pidana korupsi dikenai sanksi pidana. Jalur pidana dimasukkan dalam pidana tambahan berupa uang pengganti dengan jumlah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Dalam praktiknya, uang pengganti itu sulit dikembalikan. Sebagaimana dilansir banyak media, uang pengganti perkara korupsi yang ditangani kejaksaan yang sudah berkekuatan hukum tetap berdasarkan putusan pengadilan sejak tahun 2007 sampai bulan Juni tahun 2008 sebesar Rp.106,7 miliar 139 Barda Nawawi Arief, ”Kapita Selekta Hukum Pidana”, Bab VII, Citra Aditya Bakti, 2003 dan ”Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan”, Bab XIII, Prenada Group, 2008, hal. 34. Universitas Sumatera Utara dan USD 18 juta. Dari jumlah itu, baru Rp.2,081 miliar yang disetorkan ke kas negara, departemen, dan BUMN, dengan Rp.14,32 miliar diganti dengan hukuman pidana. 140 Fakta tersebut mengindikasikan bahwa dalam tindak pidana korupsi, para koruptor lebih memilih tidak mengembalikan hasil korupsinya dengan risiko dipenjara sekalipun. Selain melalui jalur pidana, pengembalian keuangan negara juga dilakukan melalui jalur perdata. Jalur perdata ini ditempuh bila upaya pidana sudah tidak dimungkinkan. Artinya, perampasan dan uang pengganti tidak berhasil dilakukan karena dihadapkan pada kondisi hukum tertentu. Satu-satunya alternatif ialah dilakukan melalui gugatan perdata. Dengan demikian, jalur perdata bersifat fakultatif dan merupakan komplemen dari hukum pidana. UUPTPK tidak mewajibkan gugatan perdata. Tidak adanya kewajiban itu memberikan peluang kepada Jaksa Pengacara Negara untuk melakukan atau tidak melakukan gugatan perdata pengembalian aset negara. Buktinya, selama ini gugatan perdata pengembalian aset negara hasil korupsi tidak banyak dilakukan. Dua kasus menonjol yang pernah dilakukan melalui instrumen gugatan perdata ialah gugatan terhadap Yayasan Supersemar yang melibatkan mantan Presiden Soeharto. Dalam kasus tersebut, Soeharto digugat membayar ganti rugi materiil sebesar USD 400 juta dan Rp.185,9 miliar, juga mengganti kerugian imateriil Rp 10 triliun. Pada saat kasus itu memasuki tahap akhir, tepatnya 27 Januari 2008, 140 Jawa Pos,12 Agustus 2008 Universitas Sumatera Utara Soeharto meninggal dunia sehingga secara hukum posisinya tergantikan oleh ahli waris keenam anak Soeharto. 141 Setelah memakan waktu yang sangat panjang, pada 23 Maret 2008, vonis hakim menyatakan Soeharto tidak terbukti merugikan keuangan negara secara melawan hukum. Kasus gugatan kedua ditujukan kepada PT Goro Batara Sakti GBS yang melibatkan Tommy Soeharto sebagai tergugat, dengan total nilai gugatan Rp 550,7 miliar, yang diajukan Perum Bulog. Atas gugatan itu, Tommy Soeharto mengajukan gugatan balik terhadap Perum Bulog dengan meminta ganti rugi secara keseluruhan Rp 10 triliun. Gugatan terhadap Tommy akhirnya kandas juga, ditolak pengadilan. Sebaliknya, justru Perum Bulog dihukum membayar ganti rugi materiil Rp.5 miliar. 142 Menurut Eka Iskandar, 143 kegagalan gugatan perdata terhadap dua kasus di atas sebenarnya sudah diduga sejak awal. Bukan saja karena kasus itu sarat muatan politik, tapi juga karena alasan yuridis. Secara prosedural, kegagalan tersebut disebabkan gugatan perdata bersifat menunggu. Yaitu diajukan setelah proses pidana tidak mungkin lagi dilakukan. Akibatnya, sejak awal gugatan perdata telah kehilangan momentum atau kesempatan yang tepat untuk menarik aset koruptor. Selain itu, kesulitan yang lebih serius dihadapi Jaksa Pengacara Negara terkait dengan persyaratan prosedural pengajuan gugatan perdata. Hal ini disebabkan 141 http:antikorupsi.orgindocontentview131526, diakses tggal 12 Oktober 2009 142 Ibid. 143 Eka Iskandar, ”Prinsip Pengembalian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata”, konsultan hukum, meraih gelar Doktor dari Pascasarjana Universitas Airlangga Unair, tanggal 13 Agustus 2008, hal. 3. Universitas Sumatera Utara gugatan perdata diajukan setelah dalam proses pidana dinyatakan tidak cukup unsur bukti, bahkan diputus bebas. Logika hukumnya, bagaimana mungkin dapat berhasil menuntut pengembalian keuangan atau aset negara terhadap perkara yang telah dinyatakan tidak cukup unsur bukti atau terhadap perkara yang telah diputus bebas. Dengan demikian, gugatan perdata pengembalian keuangan negara semakin rumit. Kenyataan di atas menuntut perlunya pengaturan pengembalian aset keuangan negara melalui instrumen gugatan perdata secara khusus. Konsekuensinya, gugatan perdata tidak dapat hanya disandarkan pada ketentuan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku HIR, yang ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan pemberantasan korupsi. Gugatan perdata perlu ditempatkan sebagai upaya hukum yang utama di samping upaya secara pidana, bukan sekadar bersifat fakultatif atau komplemen dari hukum pidana, sebagaimana ketentuan UU Antikorupsi. Oleh karena itu, diperlukan konsep pengembalian aset keuangan negara yang progresif. Misalnya, dengan mengharmonisasikan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa UNCAC 2003 144 yang 144 I Gusti Ketut Iriawan, “Stolen Asset Recovery Initiaitve, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara”, Kertha Patrika, Artikel, Vol. 33 No. 1, Januari 2008, hal. 6, Indonesia telah meratifikasi UNCAC 2003 dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Korupsi. UNCAC 2003 telah diadopsi oleh sidang Majelis Umum PBB dalam resolusinya No 584 tangal 31 Oktober 2003, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang korupsi 2003 oleh pemerintah Indonesia, secara politis telah Eka Iskandar, ”Prinsip Pengembalian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata”, konsultan hukum, meraih gelar Doktor dari Pascasarjana Universitas Airlangga Unair, tanggal 13 Agustus 2008, hal. 3. menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama Internasional. Dengan konvensi PBB tersebut telah terjadi perubahan paradigma dalam melihat fenomena serta multi aspek korupsi sebagai kejahatan transnasional. Makin disadari, bahwa pencegahan korupsi, tidaklah dapat dilakukan oleh suatu negara tanpa adanya Universitas Sumatera Utara telah diratifikasi di Indonesia. Harmonisasi ini diperlukan dalam kaitannya dengan pengembalian aset negara melalui gugatan perdata yang di dalam UUPTPK belum disertai dengan pembalikan beban pembuktian sebagaimana model civil forfeiture di negara-negara lain. Terlebih Indonesia telah ikut serta dalam program Inisiatif StAR Stolen Asset Recovery untuk mencari dukungan dan bantuan dalam mengatasi hambatan- hambatan pengembalian aset hasil tindak kejahatan korupsi yang diparkir di luar negeri. Dengan demikian, model civil forfeiture menjadi signifikan untuk pengembalian hasil korupsi di Indonesia. Bukan saja karena civil forfeiture menggunakan pembalikan beban pembuktian, tetapi juga karena civil forfeiture dapat melakukan penyitaan lebih cepat setelah diduga adanya hubungan aset dengan tindak pidana. Selain itu, civil forfeiture juga merupakan gugatan terhadap aset, bukan tersangka atau terdakwa, sehingga aset negara dapat diselamatkan meski tersangka telah melarikan diri atau meninggal dunia. Jadi, cara apa pun yang dapat dibenarkan menurut hukum harus diupayakan seoptimal mungkin. Prinsipnya, hak negara harus kembali ke negara demi kesejahteraan rakyat. Pengaturan khusus ”pengembalian asset” dalam Konvensi PBB tersebut mencerminkan bahwa pandangan tentang aset hasil korupsi merupakan harta kerjasama dengan negara lain yang mempunyai komitmen sama dalam pemberantasan korupsi. Pengembalian aset negara yang dikorupsi di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia yang umumnya disimpan di sentra-sentra finansial negara maju, merupakan agenda kerjasama internasional dalam konvensi ini. Bagi Indonesia pengembalian aset negara sangatlah penting, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik, sebagai suatu perbuatan yang sangat merugikan serta dapat merusak sendi-sendi kehidupan perekonomian suatu negara. Universitas Sumatera Utara kekayaan negara harus diakhiri. Jika tidak, hak pihak ketiga yang dirugikan karena suap dan korupsi tidak akan terjangkau secara hukum. Contoh, proses lelang pengadaan barang dan jasa yang merugikan pihak peserta tender yang beriktikad baik dan kalah dalam tender karena pihak peserta lain menyuap panitia tender, tetap tidak memperoleh hak untuk mengajukan klaim atas kerugian karena keuntungan yang diharapkan dari proses lelang tersebut tidak dapat diraih karena suap. Selama ini dalam praktik, proses peradilan kasus tindak pidana korupsi hanya mementingkan kepentingan negara. Hal ini tidak dapat dielakkan selama ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UUPTPK hanya menegaskan unsur ”kerugian keuangan negara atau perekonomian negara” saja. Konvensi PBB Antikorupsi 2003 tidak menempatkan unsur “kerugian negara state damage” sebagai unsur menentukan ada tidak adanya suatu tindak pidana korupsi sehingga perlu ada perubahan dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kini sedang disusun pemerintah. Di lain pihak, RUU baru tersebut harus dapat menyediakan saluran hukum bagi pihak ketiga atau pihak yang dirugikan langsung oleh tindak pidana korupsi untuk mengajukan gugatan ganti rugi terhadap pemerintah atau terhadap terdakwa perkara korupsi. Berkaitan dengan perubahan paradigma tersebut di atas, perlu dipertimbangkan secara hati-hati untuk segera memberlakukan undang-undang baru pemberantasan korupsi, jika status hukum aset-aset hasil korupsi tidak ditetapkan terlebih dulu karena UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara telah menegaskan lingkup definisi keuangan negara atau perbendaharaan Universitas Sumatera Utara negara. Dalam hal ini, sudah tentu perlu diteliti kembali UU tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP. Sehubungan dengan pengembalian aset hasil korupsi di Indonesia, telah terbukti, sampai saat ini pemerintah tidak secara transparan dan bertanggung jawab mengemukakan secara rinci penerimaan nyata dari Kejagung dan KPK mengenai nilai kerugian keuangan negara yang telah dikembalikan atau diterima departemen keuangan. Kejaksaan Agung dan KPK telah memberitahukan kepada Komisi III DPR mengenai hasil kinerja pengembalian kerugian negara akan tetapi tidak ada pernyataan dari Depkeu kebenaran setoran hasil kinerja kedua lembaga tersebut. Sudah tigapuluh lima tahun lebih lamanya pengembalian kerugian negara akan tetapi pengumuman resmi nilai total penerimaan dari pemerintah belum pernah disampaikan kepada publik atau DPR RI. Atas dasar pertimbangan tersebut, perlu dipertimbangkan badan pengelola aset-aset hasil korupsi yang telah dikembalikan oleh Kejagung dan KPK di masa yang akan datang sehingga pengelolaan dan pertanggungjawaban pemasukan dan pengeluaran anggaran hasil korupsi dapat dilaksanakan secara transparan. Kegunaan badan tersebut juga penting untuk mencegah hambatan-hambatan teknis pendanaan guna kegiatan operasional Kejagung dan KPK dalam melaksanakan tugas-tugasnya tanpa harus membebani anggaran masing-masing lembaga tersebut yang sudah tidak memadai lagi. Untuk tujuan tersebut diperlukan undang-undang tersendiri tentang Pengembalian Aset Hasil Korupsi imtuk memperkuat kinerja kedua lembaga penegak hukum tersebut. Universitas Sumatera Utara

C. Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi