Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 4. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum

Telah diuji pada Tanggal 29 Desember 2009 PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS Anggota :

1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH

3. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 4. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK Kejaksaan Republik Indonesia diberi kewenangan oleh undang-undang sebagai Jaksa Pengacara Negara bertindak dalam mengambil aset hasil korupsi melalui gugatan perdata Pasal 38 C UUPTPK di samping pelaku korupsi dikenakan sanksi pidana Pasal 4 UUPTPK. Kewenangan Kejaksaan Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Pengambilan Aset Hasil Korupsi dalam implementasinya dilakukan oleh negara melalui Jaksa Pengacara Negara terhadap pelaku korupsi sangat kecil jumlahnya. Untuk memaksimalkan pengembalian aset hasil korupsi maka negara harus terus-menerus menggalakkan upaya hukum secara perdata. Karena pada prinsipnya bahwa aset hasil korupsi merupakan hak negara, maka oleh sebab itu, hak negara tersebut harus dikembalikan kepada negara untuk dipergunakan bagi kepentingan kesejahteraan rakyat. Pengambilan aset hasil korupsi melalui gugatan perdata memperlihatkan keseriusan negara untuk mengembalikan aset hasil korupsi. Seorang tersangka atau terdakwa yang telah meninggal sekalipun tetap memungkinkan digugat untuk mengembalikan aset hasil korupsi dapat dilakukan Jaksa Pengacara Negara melalui gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka atau terdakwa Pasal 33 dan Pasal 34 UUPTPK. Permasalahan di dalam penelitian ini adalah; Pertama, Bagaimana dasar hukum kewenangan Jaksa sebagai Jaksa Pengacara Negara JPN?, Kedua, Bagaimana penerapan aturan gugatan perdata dalam pengembalian aset hasil korupsi melalui Jaksa sebagai Pengacara Negara? Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif, yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma- norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan serta pemilihan terhadap pasal-pasal yang relevan dengan permasalahan dimaksud. Sebagai bahan hukum primer adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai bahan hukum sekunder adalah berbagai makalah, jurnal ilmiah, diktat, hasil-hasil penelitian, artikel di surat kabar maupun dari internet. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa; Pertama, Jaksa berwenang beracara dalam lapangan hukum perdata sebagai Jaksa Pengacara Negara diatur dalam Pasal 30 Ayat 2, dan Pasal 35 butir d UU Kejaksaan RI. Kedua, Penerapan gugatan perdata terhadap aset hasil korupsi didasarkan pada prinsip Asset Recovery, prinsip gugatan perdata sebagai alternatif pengembalian aset negara, prinsip litigasi multiyurisdikasi, prinsip pembekuan atau penyitaan dan perampasan dari hasil korupsi atau kekayaan yang dicuci di negara lain. Harmonisasi UUPTPK dengan UNCAC 2003 dalam kaitannya dengan gugatan perdata terutama mengenai yang dapat dijadikan dasar seperti diatur dalam Pasal 32, 33, 34, dan Pasal 38 C UUPTPK diperlukan karena dalam ketentuan tersebut belum disertai pembalikan beban pembuktian sebagaimana model civil forfeiture di negara-negara lain. Hukum Universitas Sumatera Utara acara perdata tidak memberikan kemudahan, bahkan cenderung menghambat, misalnya, tidak dikenalnya sistem pembuktian terbalik, adanya biaya yang harus dibayar oleh penggugat, tidak adanya prioritas penanganan perkara, dan tidak adanya jangka waktu penyelesaian perkara. Juga, misalnya, tidak ada hakim ad hoc, proses litigasi bagi tersangkaterdakwaterpidana yang meninggal dunia, tidak ada kemudahan dalam proses sita jaminan, adanya proses perdamaian yang harus ditempuh dading, dan sebagainya. Saran di dalam penelitian ini diantaranya adalah; Pertama, Perlu dilakukukan reformasi peraturan perundang-undangan anti korupsi, terutama berkaitan dengan telah diratifikasinya Konvensi Anti Korupsi UNCAC 2003 karena UUPTPK belum mampu memenuhi kebutuhan pemberantasan korupsi, khususnya mengenai prinsip- prinsip pengembalian aset negara yang dikorupsi melalui gugatan perdata, Kedua, Mekanisme civil forfeiture sebagaimana dianut di berbagai negara perlu diadopsi dalam pengaturan gugatan perdata pengembalian aset negara yang dikorupsi karena mengingat gugatan perdata yang diatur dalam UUPTPK maupun HIR tidak optimal dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara juga karena saat ini Jaksa Pengacara Negara dihadapkan pada kendala-kendala teknis, Ketiga, Gugatan perdata perlu ditempatkan sebagai upaya hukum yang utama di samping upaya secara pidana, bukan sekadar bersifat fakultatif sebagaimana diatur dalam UUPTPK saat ini, artinya diharapkan perubahan terhadap UUPTPK, Keempat, Di samping upaya gugatan perdata, mekanisme penyelesaian yang bersifat alternatif, dalam hal ini ADR alternative dispute resolution atau APS alternatif penyelesaian sengketa perlu dipertimbangkan dalam reformasi hukum sebagai upaya pengembalian aset hasil korupsi, dam Kelima, Memberikan prioritas pengembalian kerugian keuangan negara melalui mekanisme administratif dengan melakukan tuntutan ganti rugi atau melalui Uang Pengganti. Kata Kunci: Jaksa Pengacara Negara, dan Pengambilan Aset Hasil Korupsi. Universitas Sumatera Utara ABTRACT Indonesian attorneys have, by law, the authority, as the legal attorneys, to revert the corrupted assets through the civil suit in court Article 4 UUPTPK. The Authority of The Attorneys, as The Legal Attorneys in Reverting The Corrupted Assets has inadequate implementation. Therefore, the action should be maximized by continuously encouraging the legal action through the civil suit. Since the corrupted assets belong to the government, they have to be reverted by the government for the benefit of the people. The reversion of the corrupted assets through the civil suit indicates that the government is serious. Even though the accused or the defendant has already died, he can be charged to give back the corrupted assets. The attorneys have the authority to sue his heirs in the civil suit in court Article 33 and 34 UUPTPK. The research problems are: First, do the attorneys, by law, have the authority to act as the legal attorneys JPN? Secondly, how is the civil suit applied by the legal attorneys in reverting the corrupted assets? The research uses the normative legal research method with the qualitative approach that refers to the values and norms of law found in the ordinance and the selection of articles which are relevant to the case. The primary law material is Act Number 16, 2004 about the criminal Corruption Eradication. The secondary law material is the variety of papers, scientific journals, university text books, researches, and articles in the newspapers and in the internet. The conclusion of the research shows that: First, attorneys have the authority to act in the civil suit in court as legal attorneys, as it is regulated in article 30, subsection 2, and Article 35 point d of The Indonesian Attorney Act. Secondly, the application of the corrupted assets is based on the principles of Asset Recovery, of the civil suit as an alternative reverting of the government assets, of the civil suit as an alternative of the multi jurisdiction litigation, of the freezing and confiscating, and expropriating the corrupted assets and laundered money. The harmony between UUPTPK and UNCAC 2003, concerning the civil suit, and related to Articles 32, 33, 34 and Article C UUPTPK, is required since there is no evidence inversion like civil forfeiture in other countries. Civil law does not give simplicity but it tends to hamper. For examples, it does not have evidence inversion, no ad hoc judge, no litigation process for the accuseddefendantprisoner who has already died, no simplicity in the process of confiscation warrant, the arbitration process which should be done, and so on. Some suggestions in the research are; First, Anti Corruption Act should be reformed, especially which is related to Anti Corruption Convention UNCAC 2003 since UUPTPK is not able to fulfil the need of Corruption Eradication, especially to revert the corrupted government assets through civil suit in court. Secondly, the mechanism of the civil forfeiture which is practiced in some countries should be adopted in the civil suit in UUPTPK and HIR is not optimum and because the legal attorneys have to face many technical problems. Thirdly, we should enhance the use of the civil as well as the criminal suits, not as the facultative materials; it means that Universitas Sumatera Utara we have to reform the UUPTPK. Fourthly, besides the civil suit as the alternative mechanism of the resolution, the ADR Alternative Dispute Resolution or APS Alternatif Penyelesaian Sengketa should be considered in the law reform in order to revert the corrupted assets. Fifthly, the priority of reverting the government corrupted money should be given through the administrative mechanism by loss or money compensation. Keywords: Legal Attorneys, Reverting the Corrupted Assets. Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR Puji Tuhan atas Kasih yang telah diberikanNYA serta juga kesehatan yang diberikan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun topik penelitian menyangkut tentang ”Kewenangan Kejaksaan Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Pengambilan Aset Hasil Korupsi”. Tesis ini di buat dan diselesaikan sebagai suatu syarat untuk mendapat gelar magister ilmu hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTMH, Sp. A K, selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, Pembimbing sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan bimbingan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Megister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara 4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Pembimbing Utama serta Bapak syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM atas bimbingan dan dorongan dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian tesis. 5. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum dan Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M. Hum, selaku penguji, terima kasih atas masukan dan pendapatnya dalam penyempurnaan substansi tesis ini. 6. Seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis juga sangat berterima kasih kepada kedua orangtua dan mertua yang telah menanamkan nilai-nilai dasar keilmuan dan mendo’akan penulis. Salam bahagia penulis haturkan kepada isteri tercinta dan anak-anak tersayang atas kerelaan waktu mereka tersita dan dorongan yang selalu mereka berikan agar penulis segera menyelesaikan studi. Kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penyelesaian tesis ini, teman- teman di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih.Semoga kasih Tuhan senatiasa menyertai Kita dalam hidup damai dan tentram. Puji Tuhan Hormat penulis Pirmawan Sitorus Universitas Sumatera Utara RIWAYAT HIDUP Nama : Pirmawan Sitorus TempTgl. Lahir : Jakarta 30 November 1971 Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Kristen Pendidikan :

1. Sekolah Dasar St. Tarsisius Menado, Lulus Tahun 1984