BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Dasar hukum kewenangan Jaksa Pengacara Negara tersebar dalam sejumlah
peraturan perundang-undangan. Bahkan penyebaran tersebut lebih banyak lagi diatur di luar UU Kejaksaan itu sendiri. Dalam UU Kejaksaan hanya ada 2 dua
pasal yang mengatur secara tegas tentang jaksa berwenang beracara dalam lapangan hukum perdata sebagai Jaksa Pengacara Negara yaitu Pasal 30 Ayat 2,
”Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara
atau pemerintah. Pasal 35 butir d, ”Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara”.
Selain UU Kejaksaan, dasar gugatan perdata mengacu kepada ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 UUPTPK, terkait dengan keberadaan tersangka atau
terdakwa yang tidak mungkin lagi perbuatannya dipertanggungjawabkan secara hukum pidana, karena meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan danatau
pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam Pasal 33 dinyatakan bahwa, “Dalam hal tersangka meninggal pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang
pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut
kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan
Universitas Sumatera Utara
untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”. Sedangkan dalam Pasal 34 disebutkan, “Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan
pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita
acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.
Dalam KUH Perdata juga disebutkan tugas dan wewenang Jaksa di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara dalam mengajukan gugatan. Jaksa yang demikian
ini disebut juga sebagai Jaksa Pengacara Negara, kewenangan tersebut adalah: KUH Perdata yang ditetapkan pada tahun 1847 S.1847 – 23. Pasal-pasal dalam
KUH Perdata yang berhubungan dengan peran Kejaksaan di antaranya: a.
Pasal 360 KUH Perdata yang menentukan bahwa Kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri agar seseorang
diangkat sebagai Wali dari seorang anak; b.
Pasal 463 KUH Perdata yang menentukan bahwa Kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri agar seseorang
diangkat sebagai Pengurus dari harta kekayaan orang yang meninggalkan tempat tinggalnya tanpa diketahui alamat barunya dan tanpa menunjuk
seorang kuasa untuk mengurus harta miliknya afwezigheid;dan c.
Pasal 1737 KUH Perdata yang menentukan bahwa Kejaksaan dapat meminta laporan perhitungan kepada orang yang oleh pengadilan
Universitas Sumatera Utara
ditugaskan untuk mengurus barang sengketa yang dititipkan kepadanya sekuestrasi.
Peraturan perundang-undangan lama lainnya yang mencantumkan peran Kejaksaan di bidang hukum perdata antara lain adalah:
a. Peraturan tentang Perkumpulan Berbadan Hukum S.1870 – 64 yang
menentukan bahwa Kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan agar sebuah badan hukum dibubarkan “digugurkan” apabila
badan hukum tersebut melakukan “pelanggaran terhadap statuta”; b.
Koninklijke Besluit Firman Raja Belanda Tahun 1922 No. 522 yang menyatakan bahwa Kejaksaan dapat mewakili NegaraPemerintah dalam
perkara perdata, baik dalam kedudukan sebagai Penggugat maupun dalam kedudukan sebagai Tergugat;
c. Peraturan Kepailitan S.1905 - 217 jo S.1906 – 348 yang menentukan
bahwa Kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepailitan demi kepentingan umum;
d. HIR serta RBg, yang dalam Pasal 123 HIR dan Pasal 147 RBg
menyatakan bahwa Kejaksaan dapat mewakili Pemerintah di dalam perkara perdata. Peraturan Kepailitan S.1905-217 jo S.1906-348 yang
menentukan bahwa Kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepailitan demi kepentingan umum;
Universitas Sumatera Utara
e. HIR serta RBg, yang dalam Pasal 123 HIR dan Pasal 147 RBg
menyatakan bahwa Kejaksaan dapat mewakili Pemerintah di dalam perkara perdata.
Undang-undang lain yang mencantumkan peran Kejaksaan di bidang hukum perdata dan hukum tata usaha negara adalah:
a. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal
105 UU ini memberikan wewenang kepada Kejaksaan untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri bagi dilaksanakannya pemeriksaan
terhadap sebuah Perseroan Terbatas, sementara Pasal 117 memberikan wewenang kepada Kejaksaan untuk mengajukan permohonan kepada
Pengadilan Negeri bagi dibubarkannya sebuah PT; b.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Kepailitan. Pasal 1 UU ini memberi wewenang kepada Kejaksaan untuk mengajukan permohonan
kepailitan demi kepentingan umum; c.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Prinsip-prinsip Konvensi Anti Korupsi meskipun belum diharmonisasi dengan
UUPTPK, namun dapat diterapkan karena telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Anti Korupsi, 2003 United Nations Conventions Against Corruption, 2003 atau UNCAC 2003, meliputi; Prinsip “Asset Recovery”, prinsip gugatan
perdata sebagai alternatif pengembalian aset negara, prinsip litigasi
Universitas Sumatera Utara
multiyurisdikasi, prinsip pembekuan atau penyitaan dan perampasan dari hasil korupsi atau kekayaan yang dicuci di negara lain. Harmonisasi UUPTPK dengan
UNCAC 2003 dalam kaitannya dengan gugatan perdata terutama mengenai yang dapat dijadikan dasar seperti diatur dalam Pasal 32, 33, 34, dan Pasal 38 C
UUPTPK diperlukan karena dalam ketentuan tersebut belum disertai pembalikan beban pembuktian.
Keinginan besar untuk mengembalikan kerugian negara dan julukan korupsi sebagai extraordinary crime tidak didukung oleh perangkat hukum yang
ada, khususnya dalam upaya pengembalian kerugian negara melalui gugatan perdata. Dalam hal ini, hukum acara perdata tidak memberikan kemudahan,
bahkan cenderung menghambat, misalnya, tidak dikenalnya sistem pembuktian terbalik, adanya biaya yang harus dibayar oleh penggugat, tidak adanya prioritas
penanganan perkara, dan tidak adanya jangka waktu penyelesaian perkara. Juga, misalnya, tidak ada hakim ad hoc, proses litigasi bagi
tersangkaterdakwaterpidana yang meninggal dunia, tidak ada kemudahan dalam proses sita jaminan, adanya proses perdamaian yang harus ditempuh dading,
dan sebagainya. Penerapa gugatan perdata pengembalian aset hasil korupsi tidak banyak dilakukan Jaksa Pengacara Negara, upaya-upaya Jaksa Pengacara Negara
dalam hal ini tidak sebanding dengan jumlah kasus tindak pidana korupsi yang merugikan aset keuangan negara, padahal ditemukan banyak kasus tindak pidana
korupsi yang merugikan aset keuangan negara terbuka peluang untuk diajukan gugatan perdata;
Universitas Sumatera Utara
B. Saran