Perjanjian Pengangkutan. PERJANJIAN PENGANGKUTAN DALAM ANGKUTAN UDARA

BAB II PERJANJIAN PENGANGKUTAN DALAM ANGKUTAN UDARA

MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

A. Perjanjian Pengangkutan.

Hukum terbagi menjadi 2 bagian yaitu hukum yang bersifat publik dan hukum yang bersifat privatpribadi. Hukum yang bersifat publik diartikan sebagai hukum yang mengatur antara orang dengan pemerintah yang bersifat umum hukum pidana sedangkan hukum yang bersifat perdata diartikan sebagai hukum yang mengatur antara orang dengan orang atau badan hukum yang bersifat pribadiprivat hukum perdata . Perikatan merupakan salah satu bagian dari hukum perdata yang mengatur hubungan antara orang dengan orangbadan hukum. Sesuai dengan penggunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUHPerdata menentukan bahwa perikatan dapat timbul baik karena perjanjian maupun karena undang-undang. Pengertian perjanjian dirumuskan dalam pasal 1313 KUHperdata yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. ketentuan pasal ini kurang tepat karena ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi. Kelemahan – kelemahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Hanya menyangkut sepihak saja. hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, jadi ada consensus antara dua pihak. Universitas Sumatera Utara 2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan zaakwarneming yang tidak melawan hukum onrechtmatige daad yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya dipakai istilah “persetujuan”. 3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam buku III KUHPerdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian personal. 4. Tanpa menyebut tujuan. Dalam rumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak – pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa. 8 Berdasarkan alasan-alasan di atas ini maka definisi perjanjian dapat dirumuskan sebagai berikut: “ Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan” 9 Sedangkan kata pengangkutan berasal dari kata “angkut” yang diartinya bawa atau muat dan kirimkan. Jadi pengangkutan diartikan sebagai pengangkutan dan pembawaan barang atau orang, pemuatan dan pengiriman barang atau orang, 8 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia.PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 224. 9 Ibid, hal 225. Universitas Sumatera Utara barang atau orang yang diangkut dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan selamat, walaupun demikian diperlukan suatu alat sebagai sarana pengangkut. Menurut Poerwosutjipto mengatakan bahwa: “Pengangkutan adalah perjanjian timbal – balik antara pengangkut dengan pengirim dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang danatau orang dari satu tempat ke tempat tertentu dengan selamat,sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan” 10 “Sebuah perjanjian timbal balik, dimana pihak pengakutan mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari tempat tujuan tertentu dengan selamat tanpa berkurang jumlah dari barang yang dikirimkan, sedangkan pihak lainnya pengirim atau penerima berkeharusan memberikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut” Menurut Sutiono Usman Adji, bahwa pengangkutan adalah: 11 “Sebuah perjanjian timbal balik, dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan ke tempat tujuan tertentu sedangkan pihak lain berkewajiban untuk membayar biaya tertentu pekerjaan pengangkutan itu” Sedangkan menurut Soekardono, bahwa perjanjian pengangkutan itu adalah: 12 10 HMN Poerwosutjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3 Hukum Pengangkutan. Djambatan. Jakarta. 1991. hal.3. 11 Sutiono Usman Adji, dkk, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Rineka Citra, Bandung, 1990, hal.6. 12 Soerkardono, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Soereong, Jakarta, 1981, hal.2. Universitas Sumatera Utara Tentang pengertian pengangkutan sendiri tidak ada diatur di dalam B.W ataupun di dalam Kitab Undang – Undang Hukum Dagang KUHD. Jadi dapat disimpulkan bahwa, Perjanjian pengangkutan ialah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu kelain tempat, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya. 13 13 R.Subekti. Aneka Perjanjian.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung 1995. hal 69. Perjanjian pengangkutan sendiri terbagi menjadi 3 sesuai dengan jenis pengangkutan yaitu perjanjian pengangkutan darat, perjanjian pengangkutan laut dan perjanjian pengangkutan udara. Menurut pasal 466 KUHD menyatakan tentang pengangkutan laut yaitu setiap orang yang berjanji untuk menyelenggarakan pengangkutan barang semua atau sebagian secara Time Charter atau Voyage Charter atau persetujuan lain. Sedangkan dalam Ordonansi Pengangkutan udara atau biasa dikenal OPU Luchvervoer Ordonantie Staatsblat staatsblat 1939 No. 100 dinyatakan bila pengangkut udara tersebut adalah pihak yang mengikat perjanjian angkutan udara dengan pihak penumpang atau pengirim kargo dinamakan contracting carrier, maka ia akan berada di bawah ketentuan-ketentuan sistem tanggung jawab pengangkut udara sebagaimana ditetapkan dalam ordonansi Angkutan Udara tahun 1939 Staatsblad 1939 No. 100. OPU sendiri dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 sedangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 menyatakan Undang-Undang tersebut sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Universitas Sumatera Utara Menurut pasal 1 ayat 29 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, perjanjian pengangkutan udara adalah perjanjian antara pengangkut dan pihak penumpang danatau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang danatau kargo dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa yang lain. Berbeda dengan angkutan udara, menurut Pasal 1 ayat 13 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, danatau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Pengangkutan Udara dengan Angkutan Udara merupakan suatu hal yang berbeda. Dari uraian tentang pengertian perjanjian pengangkutan yang diambil dari para sarjana dan Undang – Undang terdapat perbedaan antara perjanjian pengangkutan orang dengan perjanjian pengangkutan barang. Dimana perbedaannya perjanjian pengangkutan orang tidak mempunyai tanggung jawab dalam hal penyerahan setelah sampai ke tempat tujuan setelah mengangkut dengan selamat, tidak seperti yang terdapat dalam perjanjian pengangkutan barang dengan penyelenggaraan pengangkutan sampai dengan pada saat penyerahan barang tersebut diterima dengan baik oleh si penerima barang. Agar memahami konsep pengangkutan secara komprehensif perlu dikaji terlebih dahulu aspek yang tersirat dalam konsep pengangkutan. Konsep pengangkutan meliputi tiga aspek, yaitu: Universitas Sumatera Utara 1 Pengangkutan sebagai usaha business. 2 Pengangkutan sebagai perjanjian agreement. 3 Pengangkutan sebagai proses penerapan applying process. 14 Ketiga aspek pengangkutan tersebut menyatakan kegiatan yang berakhir dengan pencapaian tujuan pengangkutan. Kata yang paling tepat untuk menyatakan ketiga aspek kegiatan dan hasilnya itu adalah “Pengangkutan“. Karena sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, bukan “angkutan”. Istilah angkutan sendiri artinya hasil dari perbuatan mengangkut atau menyatakan apa yang diangkut muatan. Jika dipakai dengan istilah hukum yang tepat adalah “hukum pengangkutan” transportation law bukan “Hukum Angkutan”. Menurut Pasal 33 Konvensi Warsawa 1929, perusahaan penerbangan maupun penumpang danatau pengirim barang bebas membuat perjanjian transportasi udara internasional asalkan perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan – ketentuan yang diatur dalam konvensi Warsawa 1929, sedangkan berlakunya konvensi Warsawa 1929 diatur dalam Pasal 34. 15 14 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Cipta Aditya Bakti, Bandung: 2008, hal 1 15 K. Martono, Amad sudiro, Hukum Angkutan Udara.PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta. 2011, hal 256.

B. Subyek Objek Perjanjian Dalam Pengangkutan Udara.