Vector Autoregressive (VAR) Analysis on Relation between Biodiesel Production and Palm Oil Price in Indonesia

(1)

ANALISIS VEKTOR AUTOREGRESI (VAR) TERHADAP

HUBUNGAN ANTARA PRODUKSI BIODIESEL DAN HARGA

MINYAK SAWIT DI INDONESIA

DHANI SATRIA WIBAWA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Vektor Autoregresi (VAR) Terhadap Hubungan Antara Produksi Biodiesel Dan Harga Minyak Sawit Di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2012

Dhani Satria Wibawa NIM. H251100141


(4)

(5)

SUMMARY

DHANI SATRIA WIBAWA. Vector Autoregressive (VAR) Analysis on Relation between Biodiesel Production and Palm Oil Price in Indonesia. Under direction of MUHAMAD SYAMSUN and YANDRA ARKEMAN.

Indonesian palm oil industry continues to grow and develop rapidly. Indonesia, which was originally a manufacturer of the world's number two oil palm since 2006 has become the world's largest palm oil producer. According to the Indonesian Palm Oil Board (IPOB) production of Crude Palm Oil (CPO) and Crude Palm Kernel Oil (CPKO) Indonesia in 2010 reached 24.459 million tons or 47.9% of the total production of world’s CPO and CPKO, and in 2011 increased to 26.485 million tons.

Bright prospects for oil industry making it one of Indonesia's main industry. For this bright prospects reason which prompted the government of Indonesia to develop oil palm plantations.

For the last few years oil prices soar and affect the price of fossil fuels. This makes a lot of countries are seeking alternative sources of energy that is renewable bioenergy, including the government of Indonesia. Bioenergy feedstock for biodiesel, which is one of renewable bioenergy, could use palm oil which is produced in Indonesia.

Utilization of palm oil as biodiesel feedstock will lead to increased demand for CPO. Thus the demand for palm oil will increase not only from the demand from the food sector but also from non-food sector. Production of biodiesel tend to respond positively to the CPO price shocks. Response of cooking oil for biodiesel production is positive and tends to increase steadily.

Fluctuations in the price of cooking oil in the long run is more affected by the price of CPO than biodiesel production, but CPO is the main raw material of biodiesel so that when there is an increase in the demand for palm oil, biodiesel production will also increase. Increased demand for palm oil could trigger an increase in CPO prices so that the price of cooking oil will rise. It shows that the price of cooking oil will indirectly influenced by the production of biodiesel.

The increase in cooking oil prices caused by the increase in crude palm oil prices due to the production of biodiesel can be reduced by increasing the supply of CPO either by reduction of exports and the increase in CPO production.


(6)

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

(9)

(10)

ANALISIS VEKTOR AUTOREGRESI (VAR) TERHADAP

HUBUNGAN ANTARA PRODUKSI BIODIESEL DAN HARGA

MINYAK SAWIT DI INDONESIA

DHANI SATRIA WIBAWA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Manajemen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(11)

(12)

NIM : H251100141

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr Ir Muhammad Syamsun, MSc Dr Ir Yandra Arkeman, MEng

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Manajemen

Dr Ir Abdul Kohar Irwanto, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(13)

(14)

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu serta memberikan arahan, bimbingan dan kerjasamanya dalam pelaksanaan penelitian ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Muhammad Syamsun dan Bapak Dr Ir Yandra Arkeman selaku pembimbing serta Bapak Dr Sukiswo Dirdjosuparto dan Bapak Dr Ir Abdul Kohar Irwanto yang telah banyak memberi saran. Penghargaan juga disampaikan oleh penulis kepada Prof Dr Erliza Hambali atas kesempatan yang diberikan kepada penulis sehingga bisa melanjutkan studi di jenjang master dan PT Indocement Tunggal Prakasa atas beasiswa yang diberikan kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua, istri, anak-anakku, serta seluruh keluarga, atas doa dan dukungannya. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih atas kebersamaan dari rekan-rekan di Departemen Ilmu Manajemen serta rekan-rekan di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC) serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Semoga karya ilmiah ini bisa bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Desember 2012 Dhani Satria Wibawa


(15)

(16)

Penulis dilahirkan di Bojonegoro pada tanggal 1 September 1982 dengan nama lengkap Dhani Satria Wibawa. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Sujono (Alm.) dan Sri Mudjajati Rahaju.

Pendidikan penulis dimulai dari Taman Kanak-Kanak Dharma Wanita tamat tahun 1989, SD Negeri Kutorejo 1 Tuban tamat pada tahun 1995. Pada tahun 1998 penulis menamatkan pendidikan di SLTP Negeri 3 Tuban kemudian penulis melanjutkan ke jenjang SMU di SMU Negeri 1 Tuban dan tamat pada tahun 2001. Pada jenjang pendidikan tinggi, penulis tamat dari Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008.

Sejak tahun 2006 sampai sekarang, penulis bekerja di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan Strata-2 pada program Ilmu Manajemen di Sekolah Pascasarjana IPB.


(17)

xix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 6

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Kelapa Sawit ... 7

2.2. Biodiesel ... 14

2.3. Minyak Goreng ... 20

2.4. Vektor Autoregresi ... 24

2.4.1. Uji Stasioneritas ... 28

2.4.2. Penentuan Panjang Lag Optimal ... 30

2.4.3. Uji Kausalitas Granger ... 31

2.4.4. Uji Kointegrasi ... 33

2.5. Penelitian Terdahulu ... 35

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 37

3.1. Kerangka Pemikiran ... 37

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 38

3.3. Metode ... 39

3.3.1. Uji Stasioneritas Data ... 39

3.3.2.Model Vector Autoregression (VAR) ... 41

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

4.1. HASIL ANALISIS ... 43

4.1.1.Uji stasioneritas Data ... 43

4.1.2.Uji Lag Optimal ... 46

4.1.3.Uji Kausalitas Granger ... 46


(18)

xx

4.1.5. Estimasi Vector Error Correction Model (VECM) ... 50

4.1.6. Impuls Response Function (IRF) ... 54

4.1.7. Forecast error Variance Decomposition (FEVD) ... 58

4.2. IMPLIKASI MANAJERIAL ... 62

5. SIMPULAN DAN SARAN ... 65

5.1. Simpulan... 65


(19)

xxi DAFTAR TABEL

No. Halaman

1.1 Negara produsen utama minyak sawit dunia 2005-2010 ... 5

1.2 Volume ekspor CPO Indonesia dan Malaysia 2006-2011 ... 5

2.1 Perkembangan ekspor minyak sawit menurut jenis komoditi, ... 9

2.2 Perbandingan sifat biodiesel dan solar ... 14

2.3 Sifat minyak-lemak nabati kelapa, sawit, kapas dan jarak pagar ... 17

2.4 Enam produsen biodiesel terbesar di Indonesia... 19

2.5 Pelaku usaha terbesar industri refinery/minyak goreng di ... 21

2.6 Tinjauan penelitian terdahulu ... 35

4.1 Hasil uji stasioneritas pada level... 45

4.2 Hasil uji stasioneritas pada pembedaan pertama ... 45

4.3 Hasil uji lag optimal... 46

4.4 Hasil uji kointegrasi ... 50

4.5 Hasil estimasi VECM ... 51

4.6 Dekomposisi varian untuk variabel HCPO... 58

4.7 Dekomposisi varian untuk variabel PBIO ... 59

4.8 Dekomposisi varian untuk variabel HTBS ... 60

4.9 Dekomposisi varian untuk variabel HMGO ... 61


(20)

(21)

xxiii DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1.1 Perkembangan harga minyak mentah dunia (basis data CEIC) ... 1

1.2 Bauran energi tahun 2006 dan proyeksi tahun 2025 (Kementerian ESDM) ... 2

1.3 Persentase konsumsi energi akhir menurut sumber energi ... 3

2.1 Kelapa sawit Afrika (Elaeis guineensis), ... 8

2.2 Tumpukan tandan buah kosong di kebun kelapa sawit ... 11

2.3 Tumpukan pelepah sawit di kebun kelapa sawit (Sumber: ... 11

2.4 Pohon industri hilir kelapa sawit (Industri Hilir Kelapa Sawit Indonesia, Kemenperin 2011) ... 12

2.5 Neraca massa pengolahan kelapa sawit ... 13

2.6 Reaksi Transesterifikasi ... 15

2.7 Diagram alir proses pembuatan biodiesel satu tahap ... 16

2.8 Produksi biodiesel Indonesia... 19

2.9 Grafik perkembangan produksi minyak goreng Indonesia ... 23

3.1 Bagan alir teknik dan uji statistik ... 38

4.1 Grafik untuk variabel PBIO dan HCPO ... 44

4.2 Grafik untuk variabel HTBS dan HMGO ... 44

4.3 Visualisasi uji kausalitas Granger ... 48

4.4 Respon HCPO terhadap guncangan variabel lainnya ... 55

4.5 Respon PBIO terhadap guncangan variabel lainnya ... 56

4.6 Respon HMGO terhadap guncangan variabel lainnya ... 57


(22)

(23)

xxv DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Produsen Biodiesel Indonesia ... 73 2. Uji Stasioneritas Produksi Biodiesel ... 74 3. Uji Stasioneritas Harga CPO ... 75 4. Uji Stasioneritas Harga TBS ... 76 5. Uji Stasioneritas Harga Minyak Goreng ... 77 6. Uji Lag Optimum ... 78 7. Uji Kausalitas Granger ... 79 8. Uji Kointegrasi ... 80 9. Estimasi VECM ... 81 10. Uji Stabilitas Model ... 84 11. Impulse Response Function dari HCPO ... 85 12. Impulse Response Function dari PBIO ... 87 13. Impulse Response Function dari HTBS ... 89 14. Impulse Response Function dari HMGO ... 91 15. Variance Decomposition dari HCPO ... 93 16. Variance Decomposition dari PBIO ... 94 17. Variance Decomposition dari HTBS ... 95 18. Variance Decomposition dari HMGO ... 96


(24)

(25)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Beberapa tahun terakhir ini Indonesia mulai mengalami perubahan, dari yang semula sebagai negara pengekspor bahan bakar minyak (BBM) menjadi negara pengimpor minyak. Sebagai negara importir minyak, Indonesia menjadi lebih rentan ketahanan energinya karena pasokan BBM sangat tergantung dari luar negeri. Kerentanan ini menjadi semakin terlihat ketika harga minyak bumi dunia tidak stabil dan mengalami peningkatan. Pada awal tahun 2009 harga minyak dunia masih berkisar di angka US$ 40 per barel tetapi pada awal tahun 2010 harga minyak bumi dunia naik menjadi sekitar US$ 70 per barel. Harga ini ternyata masih terus naik, pada awal tahun 2010 harga minyak dunia ini bahkan menembus angka US$ 100 per barel. Kenaikan harga minyak ini akan berdampak pada devisa negara. Pengeluaran devisa untuk impor dan subsidi BBM meningkat, akibatnya harga BBM dalam negeri juga ikut meningkat. Perkembangan harga minyak mentah dunia dalam tiga tahun terakhir yang diakses dari basis data CEIC dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut.

Gambar 1.1 Perkembangan harga minyak mentah dunia (basis data CEIC)

Untuk mengantisipasi ketergantungan terhadap bahan bakar impor, pemerintah Indonesia kemudian mengembangkan energi alternatif sebagai

0,00 50,00 100,00 150,00

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11

2009 2010 2011

US

$

/

b

ar

e

l

Tahun


(26)

pengganti bahan bakar minyak fosil. Pengembangan energi alternatif di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2006. Pada tahun 2006 ini Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pada peraturan ini Pemerintah menargetkan bauran energi nasional pada tahun 2025 porsi minyak bumi turun dari sekitar 50% pada tahun 2006 menjadi sekitar 20% pada tahun 2025 dan porsi energi baru terbarukan (EBT) diharapkan mencapai 17%. Gambar 1.2 menunjukkan bauran energi (energy mix) pada tahun 2006 dan bauran energi pada Perpres No 5/2006 yang menunjukkan proyeksi bauran energi pada tahun 2025 seperti yang dijelaskan oleh Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral.

Gambar 1.2 Bauran energi tahun 2006 dan proyeksi tahun 2025 (Kementerian ESDM)

Pemerintah fokus terhadap pengurangan pemakaian bahan bakar minyak karena konsumsi bahan bakar minyak di Indonesia mencapai 50% dari konsumsi energi nasional. Pengurangan konsumsi BBM ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap BBM yang harganya terus meningkat, apalagi cadangan minyak Indonesia juga semakin sedikit.


(27)

3

Dengan memgurangi ketergantungan terhadap BBM maka diharapkan keamanan pasokan energi nasional akan meningkat dan pada akhirnya akan meningkatkan keamanan energi nasional. Persentase konsumsi energi nasional pada tahun 2010 seperti yang terdapat pada Neraca Energi Indonesia 2006-2010 dapat dilihat pada Gambar 1.3 berikut.

Gambar 1.3 Persentase konsumsi energi akhir menurut sumber energi tahun 2010 (Neraca Energi Indonesia 2006-2010, diolah)

Indonesia sebagai negara agraris dan memiliki lahan yang cukup luas berpotensi untuk mengembangkan bioenergi. Bioenergi, khususnya biofuel dapat dibuat dengan bahan baku yang terdapat di Indonesia seperti kelapa sawit, sagu, kelapa, ubi kayu, jarak pagar, tebu, maupun jagung.

Salah satu biofuel yang dikembangkan di Indonesia adalah biodiesel. Biodiesel adalah bioenergi atau bahan bakar nabati yang dibuat dari minyak nabati, baik baru maupun bekas penggorengan dan melalui proses transesterifikasi, esterifikasi, atau proses esterifikasi-transesterifikasi (Hambali 2007). Menurut Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Indonesia sebetulnya memproduksi dua jenis biofuel yaitu bioetanol dan biodiesel. Pada tahun 2008 bioetanol dan biodiesel dikembangkan sebagai bahan bakar alternatif, namun bioetanol hanya bertahan sampai dengan


(28)

tahun 2010 karena terkendala persediaan bahan baku. Dilain pihak biodiesel tetap bertahan sampai sekarang.

Menurut Aun 2006, tanaman penghasil minyak di Indonesia diantaranya adalah kelapa sawit, kelapa, dan jarak pagar. Diantara ketiga tanaman tersebut kelapa sawit memiliki produktivitas yang paling tinggi, yaitu sekitar 5.950 Liter Minyak/Ha/Thn sedangkan kelapa dan jarak pagar produktivitasnya masing-masing sekitar 2.689 Liter Minyak/Ha/Thn dan 1.892 Liter Minyak/Ha/Thn. Bila dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak lainnyapun kelapa sawit masih tetap yang paling tinggi produktivitasnya.

Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor kelapa sawit kedua terbesar setelah Malaysia sampai dengan tahun 2005. Di tahun 2006 Indonesia berhasil menjadi negara produsen minyak sawit nomor satu di dunia. Produksi CPO (Crude Palm Oil) Indonesia pada tahun 2006 sebesar 16.050 ribu ton, sedangkan total produksi CPO Malaysia sebesar 15.881 ribu ton. Walaupun menempati peringkat sebagai negara produsen CPO terbesar dunia namun untuk kegiatan ekspor CPO, Indonesia masih kalah dengan Malaysia. Data volume ekspor tahun 2006 hingga 2011 memperlihatkan bahwa Malaysia masih menempati peringkat pertama didunia untuk ekspor CPO (Tabel 1.1 dan Tabel 1.2).

Produktivitas kelapa sawit yang cukup tinggi dengan biaya produksi yang relative lebih rendah dari tanaman penghasil minyak lainnya membuat kelapa sawit menjadi primadona di Indonesia. Prospek cerah industri sawit membuatnya menjadi salah satu industri unggulan Indonesia. Prospek cerah ini pulalah yang mendorong pemerintah Indonesia untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran.

Beberapa tahun terakhir harga minyak mentah melambung tinggi dan mempengaruhi harga bahan bakar fosil. Hal ini membuat banyak negara mencari sumber energi alternatif terbarukan yaitu bioenergi, termasuk pula pemerintah Indonesia. Bahan baku bioenergi, dimana salah satunya biodiesel, bisa menggunakan minyak sawit yang banyak diproduksi di Indonesia.


(29)

5

Tabel 1.1 Negara produsen utama minyak sawit dunia 2005-2010 (000 Ton)

Negara 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Indonesia 14.070 16.050 16.800 19.200 21.000 21.800

Malaysia 14.962 15.881 15.823 17.735 17.566 17.320

Thailand 680 860 1.020 1.300 1.310 1.500

Nigeria 800 815 835 830 870 885

Kolombia 661 713 780 778 802 770

Ekuador 319 345 385 418 448 435

Lainnya 2.559 2.478 2.905 3.045 3.107 3.204

TOTAL 33.732 37.142 38.163 43.306 45.102 45.914

Sumber : BPS, Statistik Kelapa Sawit Indonesia, 2011.

Tabel 1.2 Volume ekspor CPO Indonesia dan Malaysia 2006-2011 (000 Ton)

Negara 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Indonesia 10.471,92 11.875,42 14.290,69 16.829,21 16.291,86 16.436,20 Malaysia 14.416,02 13.734,75 15.412,51 15.880,74 16.664,07 17.993,27

Sumber : MPOB, BPS, Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2012, diolah.

Pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel ini oleh banyak pihak dianggap akan meningkatkan permintaan akan CPO. Dengan demikian permintaan CPO akan meningkat tidak hanya dari permintaan dari sektor pangan tetapi juga dari sektor non pangan. Perubahan permintaan ini kemudian akan mengakibatkan perubahan terhadap harga CPO. Perubahan harga CPO terutama kenaikan harga CPO ini pada akhirnya dikhawatirkan akan meningkatkan pula harga minyak goreng sawit. Pada akhirnya penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh produksi biodiesel terhadap harga minyak sawit dan juga harga minyak goreng.


(30)

1.2. Perumusan Masalah

Biodiesel minyak sawit sangat prospektif untuk dikembangkan karena ketersediaan bahan baku yang melimpah. Tetapi penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel juga memicu perubahan harga minyak sawit dan pada akhirnya akan memicu perubahan harga minyak goreng sawit. Perubahan harga minyak sawit akibat produksi biodiesel bisa terjadi melalui berbagai faktor yang mempengaruhi. Teknik analisis vektor autoregresi ini akan digunakan untuk menguji hubungan produksi biodiesel terhadap harga minyak sawit dan juga terhadap harga minyak goreng sawit.

1.3. Tujuan Penelitian

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji: 1. Pengaruh produksi biodiesel terhadap harga minyak sawit. 2. Pengaruh harga minyak sawit terhadap produksi biodiesel.

3. Hubungan produksi biodiesel, harga minyak sawit, dan harga minyak goreng sawit.

4. Model persamaan hubungan produksi biodiesel, harga minyak sawit, dan harga minyak goreng sawit.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat dan kontribusi: 1. Bagi penulis, dapat menerapkan ilmu pengetahuan yang didapatkan dari

perkuliahan dan dapat menerapkannya dilapangan.

2. Bagi masyarakat secara umum, dapat menjadi referensi jika ingin melakukan penelitian yang serupa.

3. Bagi pemerintah, dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini yaitu analisis hubungan antara produksi biodiesel, harga minyak sawit dan harga minyak goreng di Indonesia. Analisis menggunakan metode vektor autoregresi (VAR). Data yang dibutuhkan berupa data sekunder mengenai produksi biodiesel, harga minyak sawit maupun harga minyak goreng sawit.


(31)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelapa Sawit

Kelapa sawit merupakan sumber bahan baku penghasil minyak paling efisien bila dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Secara garis besar, buah kelapa sawit terdiri dari daging buah yang dapat diolah menjadi minyak sawit kasar atau CPO (crude palm oil) dan inti (kernel) yang dapat diolah mejadi minyak inti sawit atau PKO (palm kernel oil).

Kelapa sawit berbentuk pohon dengan tinggi bisa mencapai 24 meter. Akar kelapa sawit berbentuk serabut yang mengarah ke bawah dan kesamping. Selain itu kelapa sawit juga memiliki akar napas yang tumbuh ke samping atas untuk mendapatkan aerasi tambahan.

Kelapa sawit mirip dengan jenis palem-paleman lainnya. Daun kelapa sawit tersusun secara majemuk menyirip. Batang tanaman muda diselimuti bekas pelepah tetapi setelah tanaman menua maka bekas pelepah tersebut akan mengering dan terlepas sehingga penampakannya akan mirip dengan kelapa.

Bunga jantan dan betina dari kelapa sawit terpisah tetapi masih berada dalam satu pohon. Walaupun berada dalam satu pohon tetapi sangat jarang terjadi penyerbukan sendiri, hal ini karena waktu pematangan bunga jantan dan betina berbeda. Penampakan fisik bunga jantan berbentuk panjang dan agak lancip sedangkan bunga betina terlihat lebih besar.

Dalam memudahkan identifikasi tanaman secara ilmiah maka setiap tanaman diberikan nama ilmiah (latin) sendiri-sendiri. Tanaman kelapa sawit dalam dunia tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut (Pahan 2006).

Divisi : Embryophyta siphonagama

Kelas : Angiospermae

Ordo : Monocotyledonae

Famili : Arecaceae Subfamili : Cocoideae Genus : Elaeis


(32)

Spesies : 1. E. guineensis Jacq.

2. E. oleifera (H.B.K.) Cortes 3. E. odora

Warna buah sawit umumnya jingga tetapi ada juga yang berwarna hitam, ungu, hingga merah. Buahnya berkelompok dalam tandan yang muncul dari pelepah. Penampakan kelapa sawit dapat dilihat seperti Gambar 2.1 berikut.

Gambar 2.1 Kelapa sawit Afrika (Elaeis guineensis), (Koehler’s Medicinal Plants, 1887)

Kelapa sawit merupakan tanaman tropis yang termasuk ke dalam kelompok tanaman tahunan. Kelapa sawit yang dikenal adalah jenis Dura, Psifera dan Tenera. Ketiga jenis ini dapat dibedakan berdasarkan penampang irisan buah. Jenis Dura memiliki tempurung yang tebal, jenis Psifera memiliki biji besar dengan tempurung yang tipis dan Tenera yang


(33)

9

merupakan hasil persilangan Dura dengan Psifera menghasilkan buah tempurung tipis dan inti yang besar (PPKS Medan, 2004).

Kelapa sawit memiliki peran yang besar dalam perekonomian Indonesia. Pertama, minyak kelapa sawit merupakan bahan baku utama minyak goreng, sehingga pasokan yang kontinu ikut menjaga kestabilan harga minyak dari minyak goreng tersebut. Hal ini penting sebab minyak goreng merupakan salah satu dari sembilan bahan kebutuhan pokok masyarakat. Kedua, sebagai salah satu komoditi pertanian andalan ekspor non migas yang memiliki prospek yang cerah dalam perolehan devisa. Ketiga, dalam proses produksi maupun pengolahannya juga menciptakan kesempatan kerja dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani. Keempat, membantu pengembangan wilayah dan memperkecil ketimpangan pertumbuhan ekonomi antar wilayah. Karena perannya itulah kelapa sawit terus dikembangkan di Indonesia. Perkembangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) Indonesia pada periode 2006-2010 cenderung meningkat, seperti terlihat pada Tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Perkembangan ekspor minyak sawit menurut jenis komoditi, 2005 - 2010

Jenis komoditi

Berat Bersih (Ton) Nilai FOB (000 US $)

Crude Palm Oil Other Palm Oil Total Crude Palm Oil Crude Palm Oil Other Palm Oil Total Crude Palm Oil

2005 4.565.625 5.810.565 10.376.190 1.593.295 2.162.988 3.756.283

2006 5.199.287 6.901.634 12.100.921 1.993.667 2.823.975 4.817.642

2007 5.701.286 6.174.132 11.875.418 3.738.652 4.129.988 7.868.640

2008 7.904.179 6.386.507 14.290.686 6.561.330 5.814.239 12.375.569

2009 9.566.746 7.262.460 16.829.206 5.702.126 4.665.495 10.367.621

2010 9.444.170 6.847.686 16.291.856 7.649.966 5.819.000 13.468.966 Sumber: Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2010, diolah

Ekspor minyak sawit Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun, dari sekitar 10 juta ton pada tahun 2005 hingga mencapai lebih dari 16 juta ton pada tahun 2010. Hal ini berarti rata-rata pertumbuhan ekspor minyak sawit Indonesia dari tahun 2005 sampai 2010 adalah sebesar 8,21


(34)

persen. Jika dilihat dari nilainya, ekspor CPO juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 nilai ekspornya baru mencapai US$ 3.756,3 juta, sedangkan pada tahun 2010 sudah meningkat menjadi US$ 13.468,9 juta dengan demikian laju pertumbuhannya adalah sebesar 20,18 persen.

Seperti yang telah diketahui bahwa produk kelapa sawit dapat dikelompokan dalam jenis bahan makanan, bahan non makanan, bahan kosmetika, dan farmasi. Minyak kelapa sawit dan inti kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan pangan diperoleh melalui proses fraksinasi, rafinasi, dan hidrogenasi. Gambar 2.4 merupakan gambar pohon industri kelapa sawit yang menunjukkan setiap bagian dari kelapa sawit yang memiliki nilai ekonomi.

Tandan buah segar kelapa sawit terbagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu buah, tandan kosong, dan sludge (kotoran). Empat bagian utama dari buah kelapa sawit, yaitu daging, biji, tempurung, dan serat dapat diolah menjadi berbagai produk turunan kelapa sawit. Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang sangat berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesocarp) dan minyak yang berasal dari biji (kernel). Minyak kelapa sawit yang dihasilkan dari sabut dikenal dengan minya sawit kasar atau crude palm oil (CPO) dan minyak kelapa sawit yang dihasilkan dari inti (biji) sawit disebut dengan minyak inti sawit atau palm kernel oil (PKO).

Selain minyak, buah kelapa sawit juga menghasilkan bahan padatan berupa sabut, cangkang (tempurung) dan tandan buah kosong kelapa sawit. Bahan padatan ini dapat dimanfaatkan untuk sumber energi, pupuk, makanan ternak, dan bahan untuk industri. Pemanfaatan bahan padatan atau biomasa sawit di kebun sawit terutama adalah untuk menjaga kesuburan tanah dan untuk mengurangi pemakaian pupuk kimia. Gambar 2.2 dan Gambar 2.3 menunjukkan tumpukan tandan kosong kelapa sawit dan pelepah sawit di kebun kelapa sawit.

Dari segi pemanfaatannya, kelapa sawit dapat diolah menjadi berbagai produk. Saat ini, industri hilir kelapa sawit telah mampu mengolah mulai dari daging buah, biji, tandan kosong, hingga batangnya. Komoditas ini


(35)

11

sangat ekonomis karena memiliki berbagai kegunaan baik untuk industri pangan maupun industri non pangan. Namun, perkembangan produk kelapa sawit lebih cenderung ke arah perkembangan produk pangan (sekitar 90 persen) dan sisanya ke arah produk-produk non pangan atau produk oleokimia (sekitar 10 persen). Dalam hal pangan, sebagian besar minyak sawit digunakan untuk pembuatan minyak goreng dan sebagian untuk pembuatan margarin (Hariyadi et al. 2003).

Gambar 2.2 Tumpukan tandan buah kosong di kebun kelapa sawit (Sumber: dokumen pribadi)

Gambar 2.3 Tumpukan pelepah sawit di kebun kelapa sawit (Sumber: dokumen pribadi)


(36)

12

Gambar 2.4 Pohon industri hilir kelapa sawit (Industri Hilir Kelapa Sawit Indonesia, Kemenperin 2011)

MINYAK SAWIT MENTAH (MSM)

MINYAK SAWIT KASAR (CPO)

MINYAK INTI SAWIT (PKO)

OLEIN ASAM AMINO PFAD Vit. A, E KAROTEN PROTEIN SEL

TUNGGAL STEARIN

TRIGLISERIDA, DIGLISERIDA, MONOGLISERIDA

ES KRIM LIPASE SOAP

CHIP ASAM LEMAK

MINYAK GORENG SHORTENING METIL ESTER SABUN CUCI METIL ESTER FAT POWDER COCOA BUTTER SUBSTITUTE (CBS) SURFAKTAN BIODIESEL CONFECTIONERIES MARGARIN KOSMETIKA SHORTENING SABUN VEGETABLE GHEE VANASPATI COCOA BUTTER SUBSTITUTE (CBS)

ESTER ASAM LEMAK: METALIC SALT: FATTY AMINES : OXYGENATED

FATTY ACID / ESTER :

FATTY ALCOHOL FATTY ACID AMIDES: GLYCEROL FOOD EMULSIFIER PALMITAT/PROPAND

STEARAT

OLEAT/GLYCOL PROPYLENE GLYCOL

OLEAT / Ba PALMITAT STEARAT / Ca,

Zn STEARAT / Ca, Mg

STEARAT / Al, Li OLEAT / Zn, Pb

POLYETHOXYLATE DERIVATIVES: PALMITAT/ETHYLENE PROPYLENE OXIDE STEARAT/ETHYLENE PROPYLENE OXIDE OLEIC ACID DIMER

ETHYLENE PROPYLENE OXIDE

SECONDARY C16 & C18 /

ETHOXYLATED BETAIN C16 & C16 /

ETHOXYLATED

EPOXY STEARIC / OCTANOL ESTER EPTHIO STEARIN MONO & POLYHYDRIC ALCOHOL

ESTER METIL ESTER SULFONAT

C16 & C18 ALCOHOL /

SULPHATED C16 & C18 ALCOHOL /

ESTERIFIED WITH HIGHER SATURATED FATTY ACID C16 & C16 ALCOHOL /

ETHOXYLATION MONOGLISERIDA ETHOXYLATION STEARAMIDE ALKANOLAMIDES SULPHATED ALCANOLAMIDE OF PALMITAT, STAERIC &

OLEIC ACIDS OLEAMIDE SUDAH DI PRODUKSI DI INDONESIA

BELUM DI PRODUKSI DI INDONESIA


(37)

13

Minyak kelapa sawit kasar (Crude Palm Oil, CPO) merupakan hasil olahan buah kelapa sawit melalui proses perebusan Tandan Buah Segar (TBS), perontokan, dan pengepresan. CPO ini diperoleh dari bagian mesocarp buah kelapa sawit yang telah mengalami beberapa proses, yaitu sterilisasi, pengepresan, dan klarifikasi. Minyak ini merupakan produk level pertama yang dapat memberikan nilai tambah sekitar 30% dari nilai tandan buah segar. Minyak inti sawit atau Palm Kernel Oil (PKO) diperoleh dari bagian inti buah kelapa sawit dengan cara pengepresan. Komponen asam lemak terbesar penyusun PKO adalah asam laurat. Minyak inti sawit (PKO) memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan minyak sawit (CPO). Minyak inti sawit memiliki kandungan asam laurat yang sangat tinggi dengan titik leleh yang tinggi, sedangkan minyak sawit didominasi oleh asam palmitat dengan kisaran antara titik leleh dengan titik lunak (softening point) yang sangat jauh (O’Brien 2000).

Proses pengolahan lebih lanjut pada CPO dan PKO tersebut dapat meningkatkan nilai tambah produk dan memberi kesempatan kerja yang lebih besar bagi rakyat Indonesia. Secara umum neraca massa pengolahan kelapa sawit disajikan pada Gambar 2.5.


(38)

Saat ini pasokan bahan baku minyak sawit cukup melimpah, karena perkebunan kelapa sawit sudah cukup lama diusahakan dalam skala besar dan berkembang dengan baik. Pengembangan tetap perlu dilakukan karena selama ini minyak sawit banyak digunakan sebagai bahan baku industri, baik industri pangan (minyak goreng) maupun non pangan (oleokimia). Penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel tentunya mempertegas hal tersebut. Harapannya, konsumsi minyak sawit untuk biodiesel tidak akan mengganggu ketersediaan minyak sawit untuk pangan dan oleokimia pada masa yang akan datang.

2.2. Biodiesel

Biodiesel adalah bahan bakar alternatif terbarukan yang dapat dihasilkan dari minyak nabati maupun lemak hewani (Ma dan Hanna 2001). Karakteristik minyak nabati tidak memungkinkan penggunaannya secara langsung sebagai bahan bakar sehingga diperlukan suatu proses untuk mengubah minyak nabati menjadi bahan bakar (Korus et al. 2000), dimana salah satu contohnya adalah biodiesel. Biodiesel memiliki sifat menyerupai minyak diesel (solar) sebagaimana disajikan pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2 Perbandingan sifat biodiesel dan solar

No Sifat Fisiko-kimia Biodiesel Solar

1 Komposisi Metil ester dari

asam lemak

Hidrokarbon

2 Massa jenis (mg/ml) 0,8624 0,8750

3 Viskositas kinematik pada 40oC, mm2/s (cSt)

5,55 4,0

4 Titik kilat (oC) 172 98

5 Angka setana 62,4 53

6 Kadar air (%) 0,1 0,3

7 Tenaga mesin yang dihasilkan

128.000 BTU 130.000 BTU

8 Putaran mesin Sama Sama

9 Pelumasan Lebih tinggi Lebih rendah

10 Emisi CO, jumlah

hidrokarbon, SO2 dan nitro oksida

CO, jumlah

hidrokarbon dan SO2 lebih tinggi


(39)

15

(Biodiesel)

Lanjutan Tabel 2.2

No Sifat Fisiko-kimia Biodiesel Solar

Lebih rendah

11 Handling Kurang mudah

terbakar

Lebih mudah

terbakar

12 Lingkungan Toksisitas rendah Toksisitas 10 kali

lebih tinggi Sumber : Gafar (2001) dalam Mariana (2005).

Pada prinsipnya, proses pembuatan biodiesel sangat sederhana. Biodiesel dihasilkan melalui proses transesterifikasi minyak atau lemak dengan alkohol. Alkohol akan menggantikan gugus alkohol pada struktur ester minyak dengan dibantu oleh katalis. NaOH dan KOH adalah katalis yang umum digunakan.

Minyak/lemak + metanol/etanol metil ester/etil ester + gliserin

Proses transesterifikasi bertujuan untuk menurunkan viskositas (kekentalan) minyak, sehingga mendekati nilai viskositas minyak diesel. Nilai viskositas yang tinggi akan menyulitkan pemompaan/pemasukan bahan bakar dari tangki ke ruang bahan bakar mesin dan menyebabkan atomisasi lebih sulit terjadi, hal ini mengakibatkan pembakaran yang kurang sempurna dan akan menimbulkan endapan pada nosel. Proses atau reaksi transesterifikasi ini bisa dilihat pada Gambar 2.6 sedangkan diagram alir proses pembuatan biodiesel satu tahap (transesterifikasi) bisa dilihat pada Gambar 2.7.


(40)

Gambar 2.7 Diagram alir proses pembuatan biodiesel satu tahap transesterifikasi (Hambali et al. 2010)

Biodiesel dapat dibuat dari minyak nabati, lemak binatang, dan ganggang. Pemanfaatan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel memiliki beberapa kelebihan, diantaranya sumber minyak nabati mudah diperoleh, proses pembuatan biodiesel dari minyak nabati mudah dan cepat, serta tingkat konversi minyak nabati menjadi biodiesel tinggi (mencapai 95%). Minyak nabati memiliki komposisi asam lemak berbeda-beda tergantung dari jenis tanamannya. Zat-zat penyusun utama minyak-lemak (nabati maupun hewani) adalah trigliserida, yaitu trimester gliserol dengan asam-asam lemak (C8-C24). Komposisi asam lemak dalam minyak nabati

Recovery Metanol

Recovery Metanol Bahan baku

dengan kadar FFA <5% Pemanasan

Transesterifikasi

KOH Metanol

Pencampuran

Separasi

Gliserol Crude Biodiesel

Kasar Sludge

Purifikasi Purifikasi

Biodiesel Refined Gliserol


(41)

17

akan menentukan sifat fisiko-kimia minyak. Sifat minyak-lemak nabati dari kelapa, sawit, kapas dan jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut.

Tabel 2.3 Sifat minyak-lemak nabati kelapa, sawit, kapas dan jarak pagar

Minyak Massa

jenis, (20°C, Kg/Liter) Viskositas kinematika (20°C, cSt) DHc, MJ/Kg Angka Setana Titik awan/ kabut, °C Titik tuang, °C

Kelapa 0,915 30 37,10 40-42 28 23-26

Sawit 0,915 60 36,90 38-40 31 23-40

Kapas 0,921 73 36,80 35-50 -1 2

Jarak pagar

0,920 77 38,00 23-41 2 -3

Sumber : Vaitilingom et al. 1997

Biodiesel juga merupakan salah satu sumber energi yang terbarukan, biodegradable, serta mempunyai beberapa keuntungan apabila dibandingkan dengan petroleum diesel. Kandungan sulfur dan karbon pada biodiesel relatif rendah sehingga penggunaan biodiesel dapat mengurangi karbonmonoksida dan sulfur pada emisinya. Artinya, biodiesel sawit yang berasal dari bahan baku yang dapat diperbarui ini akan mereduksi efek gas rumah kaca dan pemanasan global sehingga lebih ramah terhadap lingkungan.

Biodiesel dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar pada mesin diesel tanpa adanya modifikasi mesin atau dalam bentuk campuran dengan petroleum diesel pada berbagai konsentrasi dari 5 persen sampai 50 persen. Karena sifatnya yang biodegradable, biodiesel sangat cocok untuk digunakan di perairan sebagai bahan bakar kapal atau perahu, baik untuk komersial maupun rekreasi. Aplikasi lainnya adalah bahan bakar bus dan kendaraan umum perkotaan.


(42)

Biodiesel dapat digunakan dalam bentuk murni atau dicampur dalam berbagai rasio dengan petrodiesel. Campuran paling umum adalah 20 bagian biodiesel : 80 bagian petrodiesel atau sering disebut B20. Semakin banyak jumlah biodiesel dalam campuran, maka emisi gas buang yang dihasilkan semakin baik. Penggunaan minyak sawit secara langsung untuk menggantikan solar tidak disarankan karena dapat menghasilkan senyawa plastis semi padat dari gliserin yang bisa mengganggu kerja mesin. Selama pembakaran, minyak sawit akan terurai menjadi asam lemak dan gliserin yang selanjutnya berubah menjadi senyawa plastis dan membentuk deposit yang bisa mengganggu kerja pompa injector. Guna menghilangkan gangguan mesin ini, minyak sawit dikonversi terlebih dahulu menjadi metil ester atau biodiesel. Proses konversi bisa dilakukan lewat transesterifikasi minyak sawit dengan metanol sehingga dihasilkan gliserin dan metil ester seperti yang sudah dijelaskan. Metil ester ini kemudian dipisahkan dan dicuci untuk menjadi biodiesel yang siap digunakan. Produk samping dari proses ini, yaitu gliserin merupakan bahan baku industri yang sangat luas penggunaannya, mulai dari bahan kosmetika, sabun hingga farmasi dan obat.

Menurut Kementerian Perindustrian, sampai tahun 2011 terdapat sekitar dua puluh perusahan yang memproduksi biodiesel. Diantara produsen-produsen biodiesel tersebut yaitu PT Wilmar Bioenergi Indonesia (PT WBI) merupakan produsen terbesar di Indonesia. Kapasitas terpasang PT WBI mencapai satu juta ton/tahun sedangkan kapasitas terpasang dari produsen terbesar kedua yaitu PT Cemerlang Energi Perkasa (PT CEP) mencapai 400 ribu ton/tahun. Beberapa diantara produsen biodiesel yang memiliki kapasitas terbesar dapat dilihat pada Tabel 2.4. Menurut data dari PT Pertamina dan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), sampai dengan tahun 2011 kapasitas produksi biodiesel Indonesia mencapai 4,28 juta kiloliter sedangkan produksi aktualnya hanya sekitar 1,73 juta kiloliter. Dengan demikian rasio produksi aktual dibandingkan dengan potensinya hanya 0,4 atau dengan kata lain produksi biodiesel Indonesia baru 40% dari kapasitas terpasangnya.


(43)

19

Tabel 2.4 Enam produsen biodiesel terbesar di Indonesia

No Nama Perusahaan Lokasi Kapasitas

(ton/Tahun)

1 PT Wilmar Bio Energi Indonesia Dumai 1.050.000

2 PT Cemerlang Energi Perkasa Dumai, Riau 400.000

3 Musim Mas Group Kab Deli Serdang 70.000

Batam 350.000

4 PT Pelita Agung Agrindustri Bengkalis, Riau 200.000

5 PT Darmex Biofuel Bekasi 150.000

6 PT Petro Andalan Nusantara Dumai 150.000

Sumber: Industri Hilir Kelapa Sawit Indonesia, Kementerian Perindustrian.

Produksi biodiesel Indonesia mayoritas ternyata untuk pasar ekspor. Hal ini terlihat dari data yang ada dari PT Pertamina dan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral yang menunjukkan bahwa pada tahun 2011 pemanfaatan biodiesel dalam negeri hanya sekitar 350 ribu kiloliter sedangkan ekspornya mencapai 1,3 juta kiloliter. Hal ini berarti biodiesel untuk ekspor mencapai hampir 80% dari total produksi biodiesel nasional. Perkembangan produksi biodiesel Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.8 berikut.

Gambar 2.8 Produksi biodiesel Indonesia

0 500.000 1.000.000 1.500.000

2009

2010

2011

KL

Tahun

Produksi Biodiesel Indonesia

Dalam Negeri Ekspor


(44)

2.3. Minyak Goreng

Minyak goreng merupakan salah satu bahan makanan pokok yang dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, baik yang berada di pedesaan maupun di perkotaan. Oleh karena itu, minyak goreng dapat pula dikategorikan sebagai komoditas yang cukup strategis, karena pengalaman selama ini menunjukkan bahwa kelangkaan minyak goreng dapat menimbulkan dampak ekonomis dan politis yang cukup berarti bagi perekonomian nasional.

Minyak goreng yang dikonsumsi masyarakat, pada masa sebelum orde baru dan sampai pada awal pembangunan jangka panjang (PJP) I, didominasi oleh jenis minyak goreng asal kelapa. Semenjak semakin meningkatnya produksi kelapa sawit pada tahun 1970-an, minyak goreng yang berasal kelapa tergeser oleh minyak goreng yang berasal dari kelapa sawit. Dibandingkan dengan minyak kelapa sawit, minyak kelapa mengandung lemak jenuh dalam jumlah yang relatif tinggi. Rendahnya lemak jenuh dalam minyak sawit dikarenakan produksi minyak sawit yang melalui proses pemanasan dan pengepresan.

Pengembangan industri hilir perlu dilakukan agar nilai tambah kelapa sawit ini dapat dinikmati di dalam negeri. Salah satu industri hilir yang menggunakan minyak kelapa sawit ini adalah industri minyak goreng. Industri minyak goreng merupakan konsumen terbesar dari minyak kelapa sawit (CPO) nasional.

Menurut data dari Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), kapasitas terpasang industri minyak goreng Indonesia mencapai 15,4 juta ton. Di Indonesia, ada sekitar 31 pelaku usaha skala besar di industri minyak goreng dan mayoritas berlokasi di daerah Sumatera Utara. Daftar pelaku usaha terbesar industri refinery/minyak goreng di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.5.


(45)

21

Tabel 2.5 Pelaku usaha terbesar industri refinery/minyak goreng di Indonesia

No Nama Perusahaan Lokasi Kapasitas

Terpasang Ton/Tahun

1 PT. Agrindo Indah Persada Medan - Sumut 120.000

2 PT. Agro Makmur Raya Medan - Sumut 300.000

3 PT. Berlian Eka Sakti Tangguh

Medan - Sumut 225.000

4 PT. Bintang Tenera Medan - Sumut 30.000

5 PT. Wilmar Nabati Indonesia Medan - Sumut 1.800.000

6 PT. Indah Pontjan Medan - Sumut 90.000

7 PT. Indo Karya Internusa Medan - Sumut 300.000

8 PT. Intibenua Perkasatama Medan - Sumut 780.000

9 PT. Musim Mas Medan - Sumut 750.000

10 PT. Nagamas Palmoil Lestari Medan - Sumut 780.000

11 PT. Nubika Jaya Medan - Sumut 300.000

12 PT. Pacific Palmindo Industri

Medan - Sumut 420.000

13 PT. Permata Hijau Sawit Medan - Sumut 180.000

14 PT. Socfin Indonesia Medan - Sumut 99.000

15 PT. Smart Tbk Medan - Sumut 120.000

16 PT. Mitra Perkasa Palm Oil Medan - Sumut 120.000

17 PT. Multimas Nabati Asahan Asahan - Sumut 750.000

18 PT. Sawit Asahan Tetap Utuh

Asahan - Sumut 15.000

19 PT. Pamina Adolina Pebaungan – Sumut 90.000

20 PT. Incasi Raya Padang - Sumbar 300.000

21 PT. Sari Dumai Sejati Dumai - Riau 450.000

22 PT. Sinar Alam Permai Palembang - Sumsel 900.000

23 PT. Kurnia Tunggal Nugraha Jambi 90.000

24 PT. Asianagro Agung Jaya Marunda- Jakarta 1.000.000

25 PT. Smart Tbk Marunda- Jakarta 300.000

26 PT. Mikie Oleo Nabati Industri

Bekasi - Jabar 300.000

27 PT. Royal Cikampek - Jabar 300.000

28 PT. Hasil Abadi Surabaya - Jatim 300.000

29 PT. Megasurya Mas Sidoarjo - Jatim 450.000

30 PT. Multi Nabati Sulawesi Bitung - Sulut 240.000

31 PT. Smart Tbk Kalimantan Barat 300.000

Lain-lain 3.201.000

Total 15.400.000

Sumber : GIMNI, 2011

Agribisnis minyak goreng secara umum berdasarkan definisi Sumaryanto dan Rantetena (1996), merupakan keseluruhan rangkaian


(46)

proses mulai dari produksi bahan baku, pengolahan bahan baku tersebut menjadi minyak goreng, dan pemasaran produk akhir minyak goreng yang dihasilkan. Sistem produksi bahan baku sangat tergantung pada jenis minyak goreng. Bahan baku untuk minyak goreng asal kelapa, sebagian besar berasal dari hasil produksi perkebunan rakyat. Untuk minyak goreng asal sawit, sebagian besar bahan bakunya berasal dari hasil produksi perkebunan milik negara dan perkebunan besar swasta.

Sistem pemasaran minyak goreng dilakukan sepenuhnya oleh perusahaan swasta. Akan tetapi mengingat bahwa minyak goreng merupakan komoditas strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak, pemerintah selalu memantau perkembangan pemasarannya tersebut agar ketersediaannya di pasar mencukupi dengan harga relatif stabil. Salah satu cara untuk mengindentifikasi jaringan agribisnis minyak goreng adalah dengan mengetahui pohon industri dari bahan bakunya. Pohon industri komoditas bahan baku menyajikan ragam jenis, alur dan jaringan produk olahan dari bahan baku tersebut (kelapa sawit).

Keunggulan lain yang dimiliki oleh minyak sawit dibandingkan minyak kelapa adalah harga minyak kelapa sawit lebih murah dan juga warnanya lebih jernih sehingga aman bagi kesehatan. Bagi masyarakat yang sudah paham akan pentingnya kesehatan mereka lebih memilih minyak goreng yang berbahan baku dari minyak kelapa sawit.

Pada awal masa perkembangannya, industri minyak goreng Indonesia dimulai dari skala rumah tangga dengan menggunakan bahan baku yang berasal dari minyak kelapa. Sistem perdagangan minyak goreng saat itu dilakukan dalam bentuk minyak goreng curah, dan selanjutnya mulailah bermunculan minyak goreng bermerek. Sejalan dengan diperkenalkannya tanaman kelapa sawit sebagai salah satu tanaman perkebunan di Indonesia, minyak kelapa mulai tergeser posisinya sebagai bahan baku minyak goreng oleh minyak kelapa sawit. Minyak kelapa sawit mendominasi penggunaannya sebagai bahan baku industri minyak goreng nasional. Pergeseran posisi tersebut dikarenakan minyak sawit mentah yang berasal dari pohon kelapa sawit lebih mudah dibudidayakan. Budidaya kelapa sawit


(47)

23

tidak tergantung musim tertentu, lebih tahan hama dan dapat diusahakan dalam skala besar sehingga dapat mencapai skala ekonomi tertentu.

Menurut kementerian perindustrian, produksi minyak goreng Indonesia rata-rata meningkat 10,6% setiap tahunnya. Peningkatan ini menunjukkan bahwa permintaan minyak goreng cukup stabil dan cenderung meningkat. Perkembangan produksi minyak goreng di Indonesia bisa dilihat pada Gambar 2.9 berikut.

Gambar 2.9 Grafik perkembangan produksi minyak goreng Indonesia (Kementrian Perindustrian, 2011).

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 3,73 4,11 4,43

5,17 5,76

6,43 6,63 7,60

8,33 9,22

10,20

Pr

o

d

u

ksi

(

Ju

ta

To

n


(48)

2.4. Vektor Autoregresi

Model vektor autoregresi (VAR) adalah salah satu analisis model deret waktu multivariat yang paling mudah, fleksibel dan banyak digunakan. Model ini adalah pengembangan dari univariat autoregresi (AR). Model VAR telah terbukti bermanfaat untuk menggambarkan tingkah laku dinamis dalam bidang ekonomi ataupun deret waktu finansial dan bahkan untuk prakiraan.

Model VAR ini menjawab tantangan kesulitan yang ditemui akibat model struktural yang harus mengacu pada teori. Dengan kata lain, model VAR tidak banyak tergantung pada teori, tetapi hanya perlu menentukan variabel yang saling berinteraksi (menyebabkan) yang perlu dimasukkan dalam sistem, dan banyaknya variabel jeda yang perlu diikutsertakan dalam model yang diharapkan dapat menangkap keterkaitan antar variabel dalam sistem (Nachrowi dan Usman, 2006)

Pada tahun 1950 dan 1960-an, model persamaan simultan dalam skala besar sering mengandung ratusan persamaan. Model tersebut dibangun guna meramal beberapa peubah kunci di bidang ekonomi. Terdapat banyak keterbatasan model yang dibangun tersebut, diantaranya adalah: beberapa persamaan terpaksa bertentangan dengan teori yang melandasinya serta parameter dalam model kemungkinan sangat bergantung pada kebijakan ekonomi dan akan berubah bila terjadi perubahan kebijakan ekonomi. Adanya permasalahan tersebut, memunculkan pendekatan baru dalam peramalan di bidang ekonomi, yakni model VAR. Model VAR dirancang dengan meminimalkan asumsi tentang struktur yang melandasi model tersebut (Ashenfelter & Zimmerman, 2003).

VAR dikenalkan pertama kali sebagai pendekataan alternatif pada pemodelan multi-persamaan oleh Sims pada tahun 1980. Oleh Sims, VAR diformulasikan bahwa semua peubah diasumsikan sebagai peubah endogen (Pindyck & Rubinfield 1981).

Misalkan ada sistem bivariat sederhana sebagai berikut.:


(49)

25

...

(2) Asumsi untuk kedua persamaan tersebut adalah:

(1) yt dan zt harus stasioner.

(2) εytdan εzt merupakan ingar putih dengan simpangan baku masing-

masing adalah sy dan sz.

(3) {εyt} dan {εzt} tidak berkorelasi.

Persamaan (1) dan (2) merupakan model VAR ordo pertama dengan syarat bahwa panjang lagnya adalah sama. Model VAR ordo pertama ini sangat berguna bagi ilustrasi sistem peubah ganda ordo yang lebih tinggi. Struktur sistem persamaan tersebut merupakan gabungan umpan balik, karena yt dan zt saling memberikan efek satu sama lain.

Persamaan (1) dan (2) merupakan bentuk yang belum direduksi karena yt mempunyai pengaruh yang sama terhadap zt dan sebaliknya zt juga berpengaruh terhadap yt. Kedua persamaan tersebut dapat ditransformasi menjadi bentuk yang lebih berguna. Dengan menggunakan aljabar matriks, persamaan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :

[

] [

] [

] [

] [

] [

]

... (3)

Atau

...

(4)

Dimana :

[

]

,

[

]

,

[

]

,

[

]

,

dan

[

]

karena B adalah matriks berpangkat penuh maka jika dikalikan dengan B-1 akan didapat model VAR standar berbentuk:


(50)

... (5) Dimana :

,

, dan

Untuk kepentingan notasi, unsur ke-i dari vektor A0 dapat

didefinisikan sebagai ai0, unsur baris ke-i kolom ke-j dari matriks A1 dapat

didefinisikan sebagai aij, dan unsur ke-i dari vektor et didefinisikan sebagai

eit. Menggunakan notasi-notasi baru ini, maka persamaan (5) dapat ditulis

kembali dalam bentuk:

... (6)

... (7) Persamaan (1) dan (2) dinamakan VAR struktural atau sistem primitif, sedangkan persamaan (6) dan (7) dinamakan bentuk VAR standar. Sehingga, secara umum model VAR ordo p dapat diformulasikan sebagai berikut:

... (8)

dimana:

xt = vektor berukuran nx1 yang berisi n peubah yang masuk ke

dalam model VAR

A0 = vektor intersep berukuran nx1

Ai = matriks koefisien berukuran nxn

et = vektor sisaan berukuran nx1

Metode yang diperkenalkan oleh Sims ini hanya memerlukan sedikit peubah yang akan masuk ke dalam model VAR dan penentuan panjang lag yang sesuai. Peubah -peubah yang akan dimasukkan ke dalam model VAR harus dipilih berdasarkan hubungan ekonomi yang relevan. Uji panjang lag akan memilih panjang lag yang sesuai. Sebaliknya, tidak ada ketentuan


(51)

27

eksplisit yang dibuat guna mengurangi jumlah parameter yang akan diduga. Matriks A0 mengandung sebanyak n intersep dan masing-masing matriks Ai mengandung n2 koefisien, oleh karenanya terdapat n+pn2 item yang harus diduga. Keadaan ini menjadikan model VAR akan over parameter, sehingga banyak koefisien yang diduga dapat dikeluarkan dari model (Enders 1995).

Gujarati (2003) menyebutkan keunggulan dari analisis VAR antara lain adalah:

1. Metode ini sederhana, peneliti tidak perlu membedakan antara variabel endogen dan eksogen.

2. Estimasinya sederhana karena dapat digunakan metode Ordinary Least Square (OLS) pada tiap-tiap persamaan secara terpisah.

3. Hasil prakiraan (forecast) yang diperoleh dengan menggunakan metode ini dalam banyak kasus lebih baik dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dengan menggunakan model persamaan simultan yang lain.

Pada dasarnya analisis VAR bisa dipadankan dengan suatu model persamaan simultan, oleh karena dalam analisis VAR kita mempertimbangkan beberapa variabel endogen secara bersama-sama dalam suatu model. Perbedaannya dengan model persamaan simultan biasa adalah bahwa dalam analisis VAR masing-masing variabel selain diterangkan oleh nilainya di masa lampau, juga dipengaruhi oleh nilai masa lalu dari semua variabel endogen lainnya dalam model yang diamati. Di samping itu, dalam analisis VAR biasanya tidak ada variabel eksogen di dalam model tersebut.

Adkins (2012) mengatakan bahwa model vektor autoregresi merupakan kerangka umum untuk menggambarkan hubungan dinamis antara variable-variabel stasioner. Jadi langkah pertama dalam analisis adalah menentukan apakah data yang dimiliki stasioner ataukah tidak. Jika tidak ambil turunan pertama dari data tersebut dan dianalisis kembali. Biasanya jika level (atau log-level) dari data deret waktu tersebut tidak stasioner maka turunannya akan stasioner.


(52)

Jika data deret waktu tidak stasioner maka kerangka VAR perlu dimodifikasi untuk membolehkan estimasi yang konsisten antara hubungan antar deret data. Vector Error Correction Model (VECM) merupakan kasus khusus dari VAR dimana variabelnya stasioner pada turunannya. VECM juga bisa mempertimbangkan hubungan kointegrasi antar variabel.

2.4.1. Uji Stasioneritas

Pada regresi deret waktu, data yang digunakan harus stasioner. Pada dasarnya hal ini menyatakan bahwa rataan, varian, dan kovarian dari data deret waktu tidak tergantung pada periode waktu dimana data tersebut diamati (Adkins 2012). Masih menurut Adkins, tes Augmented Dickey-Fuller (ADF) bisa digunakan untuk menguji apakah data stasioner atau tidak.

Untuk membuat kesimpulan statistik terhadap struktur dari suatu proses stokastik pada suatu data observasi, kita harus menyederhanakan asumsi yang berkaitan dengan struktur tersebut. Asumsi penting tersebut adalah adanya kestasioneran. Ide dasar kestasioneran adalah bahwa proses tersebut mengikuti kaidah kemungkinan yang tidak berubah karena waktu atau proses berada pada keseimbangan secara statistik. Suatu proses stokastik disebut sebagai stasioner kuat apabila distribusi bersama dari Z(t1), Z(t2), …, Z(tn) adalah sama dengan distribusi bersama dari Z(t1-k), Z(t2-k), …, Z(tn-k) untuk semua waktu t1, tβ, …, tn dan semua lag k (Cryer 1986).

Banyak teori kemungkinan dari deret waktu mengasumsikan bahwa data deret waktu mempunyai rataan dan varian yang konstan dari waktu ke waktu. Komponen yang tidak stasioner dari data deret waktu biasanya dapat dihilangkan guna menjadikan data tersebut stasioner, misalnya dengan melakukan pembedaan (differencing) guna menghilangkan variasi karena tren atau musiman (SAS Institute Inc. 1996).

Menurut Wei (1994), kestasioneran data peubah-peubah model VAR dapat diperiksa berdasarkan pola fungsi otokorelasi diri


(53)

29

(autocorrelation function, ACF) dan pola fungsi otokorelasi diri parsial (partial autocorrelation function, PACF). Kestasioneran masing- masing peubah juga dapat diperiksa melalui uji Dickey Fuller. Misalkan data deret waktu peubah tunggal Zt adalah:

Zt = a0 + a1zt -1 + a2zt -2 + … + apzt -p + et

dengan model pembedaan dapat dituliskan sebagai berikut.: Zt = a0+ Zt-1 + a2Zt -2 + … + apZt-p + εt

Hipotesis yang akan diuji adalah: H0: = 0 (data bersifat tidak stasioner)

H1: < 0 (data bersifat stasioner)

Nilai diduga melalui metode kuadrat terkecil dan pengujian dilakukan dengan menggunakan uji t. Statistik uji dapat dituliskan sebagai berikut :

̂

̂

engan meru akan nilai dugaan dan meru akan sim angan baku dari Jika nilai thit < nilai kritis dalam tabel Dickey

Fuller, maka keputusan yang diambil adalah tolak H0 atau data bersifat stasioner.

Kestasioneran data deret waktu dapat diperiksa dengan melihat plot deret waktu. Plot deret waktu yang berfluktuasi dengan ragam yang konstan di sekitar rataan yang konstan menunjukkan bahwa data deret waktu tersebut stasioner. Selain itu plot korelasi diri (ACF) juga dapat menunjukkan data deret waktu stasioner atau tidak stasioner. Jika plot ACF dari data membentuk pola cuts off (memotong garis) atau tails off (turun secara eksponensial menuju nol) dengan cepat, maka data tersebut diperkirakan stasioner. Sedangkan jika plot ACF membentuk pola tails off secara lambat,


(54)

maka data deret waktu tersebut diperkirakan tidak stasioner (Bowerman & O’Connell 1993). Data dikatakan stasioner bila memenuhi syarat berikut : (1) rata-rata dan variannya konstan sepanjang waktu, dan (2) kovarian antara dua data deret waktu tergantung pada kelambanan antara dua periode tersebut (Winarno, 2007)

2.4.2. Penentuan Panjang Lag Optimal

Dalam model VAR, panjang lag menunjukkan derajat bebas. Jika panjang lag dilambangkan dengan p, maka setiap n persamaan berisi n.p koefisien ditambah dengan intersep. Dalam memilih panjang lag peubah-peubah yang masuk ke dalam model VAR, kita menginginkan panjang lag yang cukup sehingga dapat menangkap dinamika sistem yang akan dimodelkan. Di sisi lain, lag yang lebih panjang akan mengakibatkan lebih banyak jumlah parameter yang harus diduga dan derajat bebas yang lebih sedikit. Pada umumnya, kita harus mempunyai jumlah lag dan parameter yang cukup. Hal ini merupakan kelemahan dari model VAR. Dalam prakteknya, kita sering menemukan perlunya membatasi jumlah lag dengan mengesampingkan lag yang ideal yang memberikan gambaran dinamika model, sehingga dapat mengaplikasikan model VAR.

Jumlah lag dapat ditentukan dengan menggunakan R2 terkoreksi atau menggunakan AIC (Akaike Information Criterion). Baik R2 terkoreksi maupun AIC mengukur kebaikan model yang memperbaiki kehilangan derajat bebas ketika lag tambahan dimasukkan ke dalam model. Statistik-statistik tersebut dapat digunakan untuk membantu jumlah lag yang masuk ke dalam model VAR. Dalam banyak aplikasi model VAR, AIC digunakan sebagai cara yang obyektif guna menentukan jumlah lag yang disertakan dalam model (Pindyck dan Rubinfeld 1981).

Sebelum uji kointegrasi dilakukan maka sebelumnya harus ditentukan lebih dahulu panjang lag optimalnya. Uji kointegrasi sangat peka terhadap panjang lag, maka penentuan lag yang optimal


(55)

31

menjadi salah satu prosedur penting yang harus dilakukan dalam pembentuka model (Enders, 2004).

Dalam banyak aplikasi model VAR, AIC digunakan sebagai cara yang obyektif guna menentukan jumlah lag yang disertakan dalam model (Pindyck dan Rubinfeld 1981).

Penentuan lag dapat digunakan dengan beberapa pendekatan antara lain Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwarz Criterion (SC). Model yang baik adalah model yang mampu memberikan tingkat residual atau error yang paling kecil.

Perhitungan dari AIC dan SIC adalah sebagai berikut (Enders, 2004).

... (9)

... (10) dimana:

T = Jumlah observasi yang digunakan k = panjang lag

SSR = the Residual Sum of Squares n = jumlah parameter yang diestimasi

2.4.3. Uji Kausalitas Granger

Uji kausalitas Granger pada dasarnya adalah untuk mengetahui apakah suatu variabel mempunyai hubungan baik itu hubungan satu arah ataukah hubungan dua arah. Pada uji Granger yang dilihat adalah pengaruh masa lalu terhadap kondisi sekarang, sehingga data yang digunakan adalah data deret waktu (Nachrowi dan Usman 2006). Jika ada dua variabel y dan z, maka apakah y menyebabkan z atau z menyebabkan y atau berlaku keduanya atau tidak ada hubungan keduanya.


(56)

Kausalitas Granger dilakukan untuk mengetahui pengaruh antara variabel satu dengan variabel yang lain. Misalkan ada dua variabel X dan Y, maka terdapat beberapa kemungkinan :

1. X menyebabkan Y 2. Y menyebabkan X

3. X menyebabkan Y dan Y menyebabkan X 4. X dan Y tidak saling menyebabkan

Jika variabel X menyebabkan variabel Y yang berarti nilai Y pada periode sekarang dapat dijelaskan oleh nilai Y pada periode sebelumnya dan nilai X pada periode sebelumnya. Kausalitas Granger hanya menguji hubungan antar variabel dan tidak melakukan estimasi terhadap model.

Model kausalitas Granger untuk 2 variabel :

Yt= α0+ α1Yt-1+ … +αnYt-n+ 1Xt-1+…+ nXt-n+ε1 ...(11) Xt= α0 + α1Xt-1+ …+αnXt-n+ 1Yt-1+…+ nYt-n+u1 ... (12)

dengan hipotesis untuk masing-masing persamaan : H0: 1 = 2 =… … = n = 0

Dimana H0 adalah X bukan penyebab Granger Y untuk regresi pertama dan Y bukan penyebab Granger X untuk regresi kedua. Jika menerima hipotesis bahwa X bukan penyebab Granger Y tetapi menolak hipotesis bahwa Y bukan penyebab Granger X maka kausalitas Granger menyimpulkan bahwa Y menyebabkan X. Dengan demikian terdapat empat kemungkinan :

1. Jika ∋ n ≠ 0 untuk ersamaan 1 dan 1 = β = … = n = 0 untuk persamaan 2 yang berarti X penyebab Granger Y dan Y bukan penyebab Granger X.


(57)

33

2. Jika 1 = β = … = n = 0 untuk persamaan 1 dan ∋ n ≠ 0 untuk persamaan 2 yang berarti Y penyebab granger X dan X bukan penyebab Granger Y.

3. Jika ∋ n ≠ 0 untuk ersamaan 1 dan ∋ n ≠ 0 untuk persamaan 2, berarti X penyebab Granger Y dan Y penyebab Granger X.

4. Jika 1 = β = … = n = 0 untuk ersamaan 1 dan 1= β = … = n = 0 untuk persamaan 2, berarti X dan Y tidak saling menyebabkan.

(Luky Alfirman dan Edy Sutriono 2009).

Jika Y adalah penyebab Granger (Granger cause) dari X yang dinyatakan sebagai Y  X, apabila nilai sekarang dari Y dapat diprediksi dengan keakuratan yang lebih baik menggunakan nilai masa lalu dari X daripada tanpa menggunakannya, diasumsikan semua yang lain tetap (Charemza dan Deadman 1992).

2.4.4. Uji Kointegrasi

Suatu data deret waktu dikatakan terintegrasi pada tingkat ke-d atau sering disingkat dengan l(d) jika data tersebut bersifat stasioner setelah penurunan sebanyak d kali. Peubah-peubah yang tidak stasioner yang terintegrasi pada tingkat yang sama dapat membentuk kombinasi linear yang bersifat stasioner (SAS Institute 2005).

Dua variabel atau peubah yang tidak stasioner sebelum diturunkan namun stasioner pada tingkat turunan pertama, besar kemungkinan akan terjadi kointegrasi. Ada tiga cara untuk menguji kointegrasi yaitu uji kointegrasi Engle-Granger (EG), uji Cointegrating Regression Durbin Watson (CRDW), dan uji Johansen. Kointegrasi terjadi apabila variabel independen dan variabel dependen sama-sama merupakan suatu tren deret waktu, sehingga masing-masing tidak stasioner. Akan tetapi bila keduanya


(58)

diregresi kombinasi linearnya menjadi stasioner. Kointegrasi juga dapat menyebabkan terjadinya regresi lancung (Winarno 2007).

Menurut Engle dan Granger, 1987, regresi dari dua variabel yang tidak stasioner akan menyebabkan terjadinya regresi lancung sehingga proses penurunan harus terlebih dahulu dilakukan. Namun, proses ini justru akan menghilangkan hubungan jangka panjang yang mungkin terdapat di dalam variabel-variabel data deret waktu yang diteliti dan hanya memberikan hubungan jangka pendek. Maka disini pentingnya proses kointegrasi dimana konsep ini membantu memberikan informasi mengenai hubungan jangka panjang yang ada dengan menggunakan deret waktu non-stasioner. Jadi, dengan kata lain konsep ini menyatakan bahwa apabila terdapat dua atau lebih deret waktu yang tidak stasioner (memiliki akar unit) dan terintegrasi pada order yang sama serta residunya bersifat stasioner sehingga tidak ada korelasi seri didalamnya yaitu white nose, maka data deret waktu tersebut adalah terkointegrasi.

Menurut Enders (2004), dalam konsep kointegrasi ini terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu:

a. Kointegrasi merupakan kombinasi linear dari dua atau lebih data deret waktu yang tidak stasioner. Vektor kointegrasi dari kombinasi linier tersebut tidak unik karena dengan suatu konstanta yang tidak nol (λ), maka λ juga benar sebagai vektor kointegrasi. Oleh karena itu, biasanya salah satu besaran digunakan untuk normalisasi vektor kointegrasi dengan menetapkan koefisiennya menjadi satu.

b. Semua variabel harus terintegrasi pada orde yang sama. Tetapi tidak semua variabel yang terintegrasi pada orde yang sama terkointegrasi.

c. Bila vektor xt mempunyai n komponen, maka akan ada n-1 vektor kointegrasi linear yang tidak tergantung satu dengan yang lainnya. Jumlah vektor kointegrasi ini dinamakan peringkat


(59)

35

kointegrasi atau cointegration rank, biasanya dilambangkan dengan r.

Sifat penting yang terdapat dalam variabel-variabel atau peubah yang terkointegrasi adalah perjalanan waktu variabel-variabel atau peubah tersebut dipengaruhi oleh perubahan atas hubungan keseimbangan jangka panjangnya. Dengan kata lain, variabel-variabel atau peubah non stasioner yang terintegrasi pada orde yang sama dan terkointegrasi akan menjadi stasioner dalam jangka panjang (Enders 2004). Sebagai tambahan Adkins (2012) menyatakan bahwa dua data deret waktu terkointegrasi jika mereka cenderung untuk bergerak bersama seiring dengan waktu.


(60)

(61)

35

2.5. Penelitian Terdahulu

Tabel 2.6 Tinjauan penelitian terdahulu

Penulis dan Tahun Judul Alat Analisis

Abustan, Wahyudin (2009) Analisis Vector Auto Regressive (Var) Terhadap Korelasi Antara Belanja Publik Dan Pertumbuhan

Ekonomi Di Sulawesi Selatan, Tahun 1985-2005

Vektor autoregresi

Lestari, E. P. (2008) Dampak Ketidakstabilan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Permintaan Uang M2 Di Indonesia

Vektor autoregresi Endri (2008) Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia Kointegrasi, Error Correction Model Andi Irawan, Dewi

Rosmayanti (2007)

Analisis Integrasi Pasar Beras Di Bengkulu Kointegrasi, VECM,

Granger causality Rafian Joni, E.

Gumbira-Sa’id, Harianto, Nunung Kusnadi (2010)

Dampak Pengembangan Industri Biodiesel Dari Kelapa Sawit Terhadap Perkebunan Kelapa Sawit Dan Industri Minyak Kelapa Sawit Di Indonesia

Ekonometrika (model persamaan simultan) Wayan R. Susila, Ernawati

Munadi (2008)

Dampak Pengembangan Biodiesel Berbasis CPO Terhadap Kemiskinan Di Indonesia

Ekonometrika (model persamaan simultan) Roni Dwi Susanto (2000) Analisis Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit Indonesia:

Dampaknya Terhadap Industri Minyak Goreng

Ekonometrika (model persamaan simultan) Meirisa Rezeki Hafizah

(2009)

Analisis Penawaran Crude Palm Oil (CPO) Indonesia: Pendekatan Error Correction Model


(62)

(63)

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Pengembangan bahan bakar alternatif untuk menjawab isu berkurangnya bahan bakar fosil akan meningkatkan permintaan terhadap bahan bakar alternatif, dimana salah satunya adalah biodiesel. Peningkatan permintaan akan biodiesel menyebabkan peningkatan pula pada permintaan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku pembuatan biodiesel tersebut.

Walaupun Indonesia sebagai penghasil minyak kelapa sawit terbesar dunia tetapi peningkatan permintaan biodiesel ini sedikit banyak tetap akan mempengaruhi harga minyak sawit di Indonesia. Apalagi jika dikaitkan dengan isu pangan atau energi, apakah mementingkan minyak sawit sebagai bahan pangan ataukah sebagai bahan energi.

Tujuan dari penelitian ini salah satunya adalah untuk mengetahui pengaruh produksi biodiesel terhadap harga minyak sawit. Penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan data yang terkait dan relevan mengenai produksi biodiesel dan harga minyak sawit di Indonesia.

Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis dengan analisis deret waktu. Pertama data akan diperiksa kestasionerannya, kemudian ditentukan panjang lag atau jeda optimumnya. Langkah berikutnya adalah melakukan uji kointegrasi. Jika data tidak terkointegrasi maka analisis akan menggunakan model VAR difference sedangkan jika data terkointegrasi maka bisa analisis akan menggunakan model VEC (Vector Error Correction Model). Bagan alir dan uji statistik pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1.


(64)

Uji Stasioneritas Data

Penentuan Panjang Lag

Uji Kointegrasi

Estimasi Model VEC (Restricted VAR)

Uji dan Analisis Kausalitas

Granger

Analisis IRF (Impulse Response Function)

Augmented Dickey Fuller Test

Johansens’

Cointegration Data

Terkointegrasi Estimasi Model

VAR Difference

Kesimpulan Analisis VD (Variance Decomposition)

Tidak

Ya

Gambar 3.1 Bagan alir teknik dan uji statistik

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data sekunder di instansi-instansi dan departemen-departemen terkait di Jakarta. Data diambil untuk


(65)

39

level nasional (Indonesia). Pelaksanaan penelitian dilakukan selama empat bulan dari bulan Maret 2012 sampai dengan bulan Juni 2012.

3.3. Metode

Umumnya data ekonomi deret waktu tidak stasioner, agar data deret waktu menjadi stasioner maka dapat dilakukan diferensiasi/pembedaan. Jika data telah stasioner pada level series, maka data tersebut dikatakan integrated of order zero atau I(0). Apabila data stasioner pada first-difference level maka data tersebut adalah integrated of order one atau I(1). Teknik analisis regresi linier biasa hanya dapat dipakai jika semua datanya stasioner, baik variable dependent maupun independent-nya.

3.3.1. Uji Stasioneritas Data

Umumnya data deret waktu bersifat stokastik atau memiliki tren yang tidak stasioner yang artinya data tersebut mengandung akar unit. Supaya dapat mengestimasi model menggunakan data tersebut, maka yang harus dilakukan pada langkah pertama yaitu uji stasioneritas data atau dikenal dengan unit root test. Bila data yang digunakan mengandung akar unit maka akan sulit untuk mengestimasi suatu model dengan menggunakan data tersebut sebab tren datanya cenderung berfluktuasi tidak disekitar nilai rata-ratanya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa data yang stasioner akan cenderung untuk mendekati nilai rata-ratanya dan berfluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya (Gujarati 2003). Uji akar unit dalam penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan uji Augmented Dickey Fuller (ADF).

Pengujian ADF ini memodelkan pengaruh otokorelasi pada disturbance (memasukkan lag X yang menyebabkan otokorelasi ke dalam model pengujian ADF) sehingga uji hipotesa pada parameter yang diestimasi akan lebih akurat. Bentuk umum persamaan uji stasioneritas tersebut dapat dituliskan sebagai berikut (Enders 2004):


(66)

Dimana:

Xt = bentuk dari pembedaan pertama

Α = intersep

X = variabel yang diuji stasioneritasnya P = panjang lag yang digunakan dalam model Ut = residual atau error

Hipotesisnya adalah H0 mengandung hipotesis bahwa terdapat

akar-akar unit, H1 mengandung hipotesis bahwa tidak terdapat

akar-akar unit. Pengujian hipotesis statistik tersebut dilakukan dengan membandingkan ADF tes statistik hasil regresi dengan t-statistik MacKinnon Critical Value 1 persen, 5 persen atau 10 persen. Bila ADF tes statistik hitung lebih kecil dari MacKinnon Critical Value, maka H0 diterima dan H1 ditolak, tidak cukup bukti untuk menolak

hipotesis bahwa di dalam persamaan mengandung akar-akar unit, artinya data tersebut tidak stasioner. Tetapi sebaliknya, jika ADF tes statistik hitung lebih besar dari MacKinnon Critical Value, maka H0

ditolak dan H1 diterima, karena cukup bukti untuk menolak hipotesis

nol bahwa di dalam persamaan mengandung akar-akar unit yang artinya bersifat stasioner.

Jika hasil dari uji stasioner menunjukkan bahwa data belum stasioner pada level atau integrasi derajat nol I(0), maka untuk memperoleh data yang stasioner dilakukan dengan cara pembedaan data yaitu dengan mengurangi data tersebut pada data periode sebelumnya. Data melalui pembedaan pertama atau first difference akan diperoleh selisih, prosedur ADF dilakukan untuk menguji data sudah stasioner pada pembedaan pertama. Apabila pada pembedaan pertama menghasilkan data yang stasioner, maka data deret waktu tersebut terintegrasi pada derajat pertama I(1) untuk seluruh variabel. Tetapi bila pada pembedaan pertama data belum stasioner maka dilakukan pembedaan kedua untuk menghasilkan data yang


(1)

Lanjutan lampiran 14.

Impulse Response Function dari HMGO

Period HCPO PBIO HTBS HMGO

1 -11.22507 69.75682 60.91571 197.4432

2 63.35485 40.53139 24.92884 46.05410

3 159.3758 69.47445 26.47835 4.058966

4 236.8984 53.34502 16.23084 -86.02093

5 286.3124 61.29267 42.83650 -68.92476

6 281.2295 82.17963 67.88183 -39.45090

7 243.5297 61.71553 62.80166 -49.47376

8 196.3598 77.95430 63.99102 -52.52789

9 211.6020 64.11616 50.80133 -54.93955

10 204.9150 102.9499 28.12578 -53.10972

11 199.4837 106.9743 35.96533 -54.22598

12 186.4971 111.6436 65.42877 -56.53311

13 166.8014 97.72547 91.90515 -63.56868

14 157.1018 128.4106 104.5165 -42.28662

15 160.0378 121.6044 119.9737 -2.702737

16 161.0744 135.7192 122.4055 6.238406

17 193.1177 128.7434 115.0996 -19.59538

18 261.4865 128.3184 77.76025 -59.28161

19 294.3421 110.2609 60.87044 -81.40641

20 301.7774 108.5523 61.63991 -86.12792

21 280.1819 89.69671 69.03124 -89.06705

22 256.7370 92.00653 57.63578 -90.38052

23 217.0266 95.38715 66.85306 -67.89950

24 194.5291 106.2315 73.70884 -47.44340

Cholesky Ordering: HCPO PBIO HTBS HMGO


(2)

Lampiran 15. Variance Decomposition dari HCPO

Period S.E. HCPO PBIO HTBS HMGO

1 380.8497 100.0000 0.000000 0.000000 0.000000

2 565.0588 95.80222 2.965061 0.616448 0.616271

3 676.9467 88.36324 3.472714 1.087084 7.076961

4 783.0377 81.69108 3.906673 4.399291 10.00296

5 892.1793 83.38388 3.009909 4.422271 9.183937

6 920.5039 80.75749 6.014367 4.295791 8.932357

7 933.0329 80.21589 6.574178 4.512082 8.697845

8 940.2223 79.82257 6.811531 4.622217 8.743685

9 954.2664 78.32608 6.799816 4.548358 10.32575

10 974.5889 75.98739 9.315542 4.371869 10.32520

11 981.5985 75.76763 9.253635 4.781106 10.19763

12 1001.781 72.97162 10.50328 6.699420 9.825675

13 1018.968 70.57495 10.80948 9.093184 9.522384

14 1036.820 69.20141 12.03808 9.505245 9.255259

15 1053.479 68.34975 12.27830 10.23491 9.137035

16 1085.729 67.73333 13.19341 10.46193 8.611334

17 1129.279 69.22281 12.28704 9.742429 8.747721

18 1190.083 69.98008 11.49841 8.923229 9.598281

19 1226.883 71.08689 10.81982 8.408631 9.684656

20 1247.237 71.52855 10.52432 8.142044 9.805086

21 1253.641 71.39041 10.45573 8.093077 10.06079

22 1260.237 71.30591 10.63131 8.008909 10.05387

23 1262.888 71.01351 10.77518 8.198957 10.01235

24 1270.466 70.18827 11.47499 8.443266 9.893478


(3)

Lampiran 16. Variance Decomposition dari PBIO

Period S.E. HCPO PBIO HTBS HMGO

1 380.8497 0.081014 99.91899 0.000000 0.000000

2 565.0588 12.16714 87.79935 1.01E-08 0.033513

3 676.9467 19.95751 71.79719 7.965416 0.279891

4 783.0377 16.31155 52.50135 29.36661 1.820486

5 892.1793 14.30303 53.78681 26.81067 5.099485

6 920.5039 14.56426 50.44977 25.75542 9.230549

7 933.0329 18.54624 48.60217 23.06943 9.782159

8 940.2223 33.53822 38.14877 18.07307 10.23994

9 954.2664 44.72327 26.33710 13.85068 15.08895

10 974.5889 53.44258 21.37449 11.22602 13.95692

11 981.5985 56.05597 20.03159 10.51930 13.39313

12 1001.781 55.22114 19.75872 11.36052 13.65962

13 1018.968 55.13723 20.14950 11.10507 13.60820

14 1036.820 54.97578 20.17525 11.19624 13.65274

15 1053.479 53.43797 21.86498 11.23843 13.45862

16 1085.729 51.68977 22.42264 12.84982 13.03777

17 1129.279 52.15698 22.62767 12.31442 12.90093

18 1190.083 50.94222 23.16794 13.38822 12.50163

19 1226.883 51.12307 22.61547 14.30068 11.96078

20 1247.237 50.35217 22.57310 15.46263 11.61209

21 1253.641 52.73110 21.57640 14.55045 11.14205

22 1260.237 54.06683 21.14433 13.99637 10.79246

23 1262.888 56.64805 19.65458 13.04500 10.65238

24 1270.466 56.91181 19.35112 12.51724 11.21983


(4)

Lampiran 17. Variance Decomposition dari HTBS

Period S.E. HCPO PBIO HTBS HMGO

1 380.8497 81.77558 3.314058 14.91036 0.000000

2 565.0588 82.37563 7.668553 9.823585 0.132236

3 676.9467 75.90984 10.54941 7.719425 5.821316

4 783.0377 73.06473 9.957415 9.721239 7.256613

5 892.1793 74.81294 7.811391 10.59015 6.785516

6 920.5039 74.17602 8.464300 9.771789 7.587892

7 933.0329 74.08986 9.197266 9.262108 7.450762

8 940.2223 74.71039 8.891678 8.989095 7.408834

9 954.2664 73.44510 8.837757 8.906856 8.810290

10 974.5889 71.95962 9.565068 8.726112 9.749201

11 981.5985 71.84141 9.736529 8.685735 9.736325

12 1001.781 70.14905 10.24575 10.05374 9.551454

13 1018.968 66.14623 11.07361 13.38169 9.398467

14 1036.820 64.00894 11.87677 14.75865 9.355637

15 1053.479 62.40832 13.04489 15.29447 9.252313

16 1085.729 61.79588 13.64096 15.66056 8.902596

17 1129.279 63.55508 13.05624 14.82226 8.566428

18 1190.083 65.28813 11.91373 13.39234 9.405798

19 1226.883 67.09915 10.88454 12.28560 9.730702

20 1247.237 67.92732 10.41451 11.74210 9.916069

21 1253.641 67.89217 10.26803 11.57429 10.26550

22 1260.237 67.87615 10.22862 11.49690 10.39833

23 1262.888 67.78224 10.33413 11.48000 10.40364

24 1270.466 67.32532 10.70872 11.64194 10.32402


(5)

Lampiran 18. Variance Decomposition dari HMGO

Period S.E. HCPO PBIO HTBS HMGO

1 380.8497 0.264230 10.20416 7.781488 81.75012

2 565.0588 7.381286 11.60513 7.724210 73.28938

3 676.9467 33.94266 13.02475 5.783343 47.24925

4 783.0377 55.74728 9.228938 3.447033 31.57675

5 892.1793 68.15105 7.292539 2.899325 21.65708

6 920.5039 72.99911 7.305494 3.473414 16.22198

7 933.0329 75.10150 6.994067 3.848826 14.05561

8 940.2223 75.07728 7.533471 4.309230 13.08001

9 954.2664 75.83084 7.534686 4.354583 12.27989

10 974.5889 75.72074 8.651857 4.063844 11.56356

11 981.5985 75.36731 9.714696 3.910157 11.00784

12 1001.781 74.41688 10.76611 4.225103 10.59191

13 1018.968 73.14489 11.33924 5.093915 10.42195

14 1036.820 71.26498 12.66382 6.137682 9.933515

15 1053.479 69.66174 13.59986 7.453300 9.285100

16 1085.729 67.94365 14.75193 8.629169 8.675247

17 1129.279 67.05601 15.43744 9.398172 8.108380

18 1190.083 67.53475 15.61602 9.131550 7.717688

19 1226.883 68.64173 15.19818 8.595986 7.564107

20 1247.237 69.63710 14.76532 8.127823 7.469757

21 1253.641 70.31649 14.28719 7.888975 7.507346

22 1260.237 70.69342 14.02812 7.653802 7.624655

23 1262.888 70.75555 14.02429 7.619433 7.600723

24 1270.466 70.60745 14.23295 7.688884 7.470722


(6)

SUMMARY

DHANI SATRIA WIBAWA. Vector Autoregressive (VAR) Analysis on Relation

between Biodiesel Production and Palm Oil Price in Indonesia. Under direction of

MUHAMAD SYAMSUN and YANDRA ARKEMAN.

Indonesian palm oil industry continues to grow and develop rapidly.

Indonesia, which was originally a manufacturer of the world's number two oil

palm since 2006 has become the world's largest palm oil producer. According to

the Indonesian Palm Oil Board (IPOB) production of Crude Palm Oil (CPO) and

Crude Palm Kernel Oil (CPKO) Indonesia in 2010 reached 24.459 million tons or

47.9% of the total production of world

’s

CPO and CPKO, and in 2011 increased

to 26.485 million tons.

Bright prospects for oil industry making it one of Indonesia's main

industry. For this bright prospects reason which prompted the government of

Indonesia to develop oil palm plantations.

For the last few years oil prices soar and affect the price of fossil fuels.

This makes a lot of countries are seeking alternative sources of energy that is

renewable bioenergy, including the government of Indonesia. Bioenergy

feedstock for biodiesel, which is one of renewable bioenergy, could use palm oil

which is produced in Indonesia.

Utilization of palm oil as biodiesel feedstock will lead to increased

demand for CPO. Thus the demand for palm oil will increase not only from the

demand from the food sector but also from non-food sector. Production of

biodiesel tend to respond positively to the CPO price shocks. Response of cooking

oil for biodiesel production is positive and tends to increase steadily.

Fluctuations in the price of cooking oil in the long run is more affected by

the price of CPO than biodiesel production, but CPO is the main raw material of

biodiesel so that when there is an increase in the demand for palm oil, biodiesel

production will also increase. Increased demand for palm oil could trigger an

increase in CPO prices so that the price of cooking oil will rise. It shows that the

price of cooking oil will indirectly influenced by the production of biodiesel.

The increase in cooking oil prices caused by the increase in crude palm oil

prices due to the production of biodiesel can be reduced by increasing the supply

of CPO either by reduction of exports and the increase in CPO production.