Estimasi Vector Error Correction Model VECM

10,50, variabel HTBS memberikan kontribusi sebesar 6,69, dan variabel HMGO memberikan kontribusi sebesar 9,82. Hingga periode ke-24 variabel HCPO dapat dijelaskan dari variabel HCPO itu sendiri sebesar 70,18. Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi variabel HCPO lebih banyak dipengaruhi oleh variabel HCPO itu sendiri daripada variabel lainnya. Tabel 4.7 Dekomposisi varian untuk variabel PBIO Variabel Dependen Periode Dijelaskan oleh Guncangan HCPO PBIO HTBS HMGO PBIO 1 0.081014 99.91899 0.000000 0.000000 4 16.31155 52.50135 29.36661 1.820486 8 33.53822 38.14877 18.07307 10.23994 12 55.22114 19.75872 11.36052 13.65962 16 51.68977 22.42264 12.84982 13.03777 20 50.35217 22.57310 15.46263 11.61209 24 56.91181 19.35112 12.51724 11.21983 Tabel 4.7 ini menyajikan dekomposisi varian untuk variabel produksi biodiesel PBIO. Forecast error variance dari PBIO pada periode pertama ditentukan oleh variabel PBIO itu sendiri sebesar 99,91 dan juga dijelaskan oleh variabel HCPO sebesar 0,08, sedangkan variabel HTBS dan HMGO pada periode pertama ini tidak menjelaskan variabel PBIO. Pada periode berikutnya kontribusi PBIO dalam menjelaskan variabel PBIO itu sendiri menurun dan variabel lainnya meningkat. Pada periode ke-12 kontribusi variabel PBIO dalam menjelaskan variabel PBIO itu sendiri turun menjadi 19,75. Kontribusi variabel HCPO dalam menjelaskan variabel PBIO meningkat cukup drastis, dari 0,08 pada periode pertama menjadi 55,22 pada periode ke-12. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang harga CPO akan mempengaruhi produksi biodiesel karena bahan baku utama biodiesel saat ini memang hanya CPO yang paling potensial. Variabel HTBS dan HMGO juga memberi kontribusi yang cukup besar yaitu masing-masing sebesar 11,36 dan 13,65. Pada periode ke-24 kontribusi variabel PBIO terhadap variabel PBIO itu sendiri tidak berubah banyak yaitu sebesar 19,35 dan kontribusi variabel lainnya yaitu HCPO, HTBS, dan HMGO masing-masing sebesar 56,91, 12,51, dan 11,21. Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi PBIO dalam jangka panjang lebih dipengaruhi oleh variabel HCPO daripada variabel PBIO itu sendiri, sedangkan variabel PBIO, HTBS, dan HMGO mempu menjelaskan variabel PBIO dengan kontribusi kurang dari 20. Tabel 4.8 Dekomposisi varian untuk variabel HTBS Variabel Dependen Periode Dijelaskan oleh Guncangan HCPO PBIO HTBS HMGO HTBS 1 81.77558 3.314058 14.91036 0.000000 4 73.06473 9.957415 9.721239 7.256613 8 74.71039 8.891678 8.989095 7.408834 12 70.14905 10.24575 10.05374 9.551454 16 61.79588 13.64096 15.66056 8.902596 20 67.92732 10.41451 11.74210 9.916069 24 67.32532 10.70872 11.64194 10.32402 Analisis dekomposisi varian pada Tabel 4.8 menunjukkan bahwa forecast error variance dari HTBS pada periode pertama banyak dijelaskan oleh variabel HCPO dengan kontribusi sebesar 81,77 baru kemudian dijelaskan oleh variabel HTBS dengan kontribusi sebesar 14,91. Pada periode berikutnya kontribusi variabel HCPO dalam menjelaskan variabel HTBS cenderung menurun, begitu pula dengan kontribusi variabel HTBS. Dilain pihak, kontribusi variabel PBIO dan variabel HMGO dalam menjelaskan variabel HTBS semakin meningkat. Pada periode ke-24 kontribusi variabel HCPO turun hingga mencapai 67,32 sedangkan variabel lainnya mampu menjelaskan variabel HTBS dengan kontribusi berkisar di angka 10. Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi HTBS ternyata banyak dipengaruhi oleh variabel HCPO daripada variabel HTBS itu sendiri. Tabel 4.9 Dekomposisi varian untuk variabel HMGO Variabel Dependen Periode Dijelaskan oleh Guncangan HCPO PBIO HTBS HMGO HMGO 1 0.264230 10.20416 7.781488 81.75012 4 55.74728 9.228938 3.447033 31.57675 8 75.07728 7.533471 4.309230 13.08001 12 74.41688 10.76611 4.225103 10.59191 16 67.94365 14.75193 8.629169 8.675247 20 69.63710 14.76532 8.127823 7.469757 24 70.60745 14.23295 7.688884 7.470722 Analisis dekomposisi varian pada Tabel 4.9 menunjukkan bahwa forecast error variance dari HMGO pada periode pertama banyak dijelaskan oleh variabel HMGO itu sendiri dengan kontribusi sebesar 81,75 sedangkan kontribusi variabel HCPO, PBIO, dan HTBS mampu menjelaskan variabel HMGO sebesar 0,26; 10,20 dan 7,78. Pada periode ke-12 kontribusi variabel HMGO dalam menjelaskan variabel HMGO itu sendiri turun menjadi 10,59 sedangkan variabel HCPO memberikan kontribusi yang semakin tinggi yaitu sebesar 74,41. Pada periode ke-24 kontribusi variabel HMGO dalam menjelaskan variabel HMGO itu sendiri kembali turun menjadi 7,47 begitu pula dengan variabel HCPO kontribusinya turun menjadi 70,60. Pada periode ini variabel PBIO dan HTBS memiliki kontribusi masing-masing sebesar 14,23 dan 7,68 dalam menjelaskan variabel HMGO. Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi HMGO dalam jangka panjang lebih banyak dipengaruhi oleh variabel HCPO daripada oleh variabel HMGO itu sendiri.

4.2. IMPLIKASI MANAJERIAL

Fluktuasi harga minyak goreng dalam jangka panjang ternyata lebih dipengaruhi oleh harga CPO daripada produksi biodiesel. Namun perlu diingat bahwa CPO selain merupakan bahan baku dari minyak goreng juga saat ini merupakan bahan baku utama dari biodiesel. Sehingga ketika terjadi peningkatan produksi biodiesel maka permintaan CPO juga akan meningkat. Peningkatan permintaan CPO ini bisa memicu kenaikan harga CPO. Ketika harga bahan bakunya naik maka harga minyak goreng akan ikut naik juga. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun harga minyak goreng lebih dipengaruhi oleh harga CPO namun secara tidak langsung akan dipengaruhi juga oleh produksi biodiesel. Kekhawatiran banyak pihak akan adanya persaingan bahan baku antara minyak goreng dan biodiesel memang cukup beralasan. Kenaikan permintaan memang akan memicu kenaikan harga tetapi kenaikan harga ini bisa ditekan dengan peningkatan penawaran akan CPO. Data statistik menunjukkan bahwa produksi CPO Indonesia mencapai diatas 21 juta ton dan ekspor CPO Indonesia mencapai diatas 16 juta ton. Sedangkan menurut Dewan Minyak Sawit Indonesia DMSI konsumsi CPO domestik hanya sebesar 5,5 juta ton. Hal ini menunjukkan persediaan CPO dalam negeri masih bisa ditingkatkan untuk menekan kenaikan harga. Produksi biodiesel kedepannya diprediksi akan terus meningkat. Prediksi peningkatan produksi biodiesel ini tidak terlepas dari produksi biodiesel yang masih dibawah kapasitas terpasangnya. Utilisasi aktual sampai tahun 2011 masih sekitar 40 maka jika kapasitas produksi dioptimalkan atau dimaksimalkan maka dengan demikian kebutuhan akan bahan baku yaitu CPO juga akan meningkat. Belum lagi jika kita melihat kepada rencana kebijakan bauran energi pemerintah yang menargetkan porsi 5 pada tahun 2025. Jika melihat data dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral maka proporsi biodiesel saat ini baru sekitar 0,1 dari total energy nasional seperti terlihat pada Tabel 4.10 dan Gambar 4.7 berikut. Tabel 4.10. Bauran energi Indonesia Energi Ribu BSM Minyak Mentah dan Turunannya 549,028 37.46 Biomasa 288,502 19.69 Gas Alam Turunannya 285,887 19.51 Batu bara 281,400 19.20 Tenaga Air 44,559 3.04 Panas bumi 14,682 1.00 Biodiesel B100 1,428 0.10 Total 1,465,486 100.00 Sumber: Neraca energi Indonesia 2006-2010 Gambar 4.7. Bauran energi Indonesia Sumber: Neraca energi Indonesia 2006-2010 Minyak sawit masih menjadi andalan utama Indonesia sebagai bahan baku biodiesel karena bahan baku non-edible seperti jarak pagar masih dalam tahap pengembangan. Penggunaan CPO sebagai bahan baku biodiesel ini memang memiliki trade-off sendiri. Peningkatkan persediaan CPO dalam negeri bisa dilakukan dengan mengambil bagian CPO untuk ekspor tetapi konsekuensinya ekspor CPO Indonesia akan menurun. Peningkatan persediaan CPO ini bisa juga dilakukan dengan peningkatan produksi CPO sehingga tidak mengganggu persediaan CPO ekspor maupun persediaan CPO domestik. 37,46 19,69 19,51 19,20 3,04 1,00 0,10 4,14 Minyak Mentah dan Turunannya Biomasa Gas Alam dan Turunannya Batu Bara Tenaga Air Panas Bumi Biodiesel B100