1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kata kebudayaan berasal dari kata budh dalam bahasa Sanskerta yang berarti akal, kemudian menjadi kata budhi tunggal atau budhaya majemuk,
sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan adalah culture, berasal dari kata culere bahasa
Yunani yang berarti mengerjakan tanah. Dengan mengerjakan tanah, manusia mulai hidup sebagai penghasil makanan food producing. Hal ini berarti manusia
telah berbudi daya mengerjakan tanah karena telah meninggalkan kehidupan yang hanya memungut hasil alam saja food gathering Supartono, 2001:34.
Menurut Koentjaraningrat dalam Supartono 2001:35 kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar
serta keseluruhan dari budi pekertinya. Menurut Malinowski dalam Supartono 2001:35 kebudayaan pada prinsipnya berdasarkan atas berbagai sistem
kebutuhan manusia. Tiap tingkatan kebutuhan itu menghadirkan corak budaya yang khas. Misalnya, guna memenuhi kebutuhan manusia akan keselamatannya
maka timbul kebudayaan yang berupa perlindungan, yakni seperangkat budaya dalam bentuk tertentu.
Kebudayaan selalu dibedakan dengan budaya. Jikalau ditanya apa contoh kebudayaan Jepang, maka mungkin akan dijawab dengan Chanoyu, ikebana,
Universitas Sumatera Utara
2
masakan sukiyaki atau pakaian kimono. Tetapi kalau ditanya apa contoh budaya Jepang, maka akan dijawab dengan budaya rasa malu, budaya kelompok atau
budaya menkoujoretsu senioritas dan sebagainya. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa kebudayaan adalah suatu yang konkrit. Sedangkan budaya
adalah suatu yang semiotik, tidak nampak atau bersifat laten Situmorang, 2009:2. Ienaga Saburo dalam Situmorang 2009:2 membedakan pengertian
kebudayaan bunka dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas kebudayaan adalah seluruh cara hidup manusia. Dia juga menjelaskan bahwa kebudayaan ialah
keseluruhan hal yang bukan alamiah. Misalnya ikan adalah suatu benda alamiah, tetapi dalam suatu masyarakat ikan tersebut dibakar atau dipepes atau shashimi
tersebut adalah kebudayaan. Sedangkan pengertian kebudayaan dalam arti sempit menurut Ienaga
adalah terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni. Oleh karena itu Ienaga mengatakan kebudayaan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang
bersifat konkrit yang diolah manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah sama dengan pengertian budaya yang
diuraikan di atas. Yaitu kebudayaan dalam arti sempit menurut Ienaga Saburo adalah sama dengan budaya yang berisikan sesuatu yang tidak nampak atau yang
bersifat semiotik. Kemudian hubungan dari kebudayaan yang bersifat semiotikabstrak atau
yang bersifat ideologi dengan kebudayaan yang bersifat konkrit adalah berada dalam satu lapisan struktur. Kebudayaan dalam arti konkrit berada dalam struktur
luar dan budaya, yang bersifat semiotik berada dalam struktur dalam.
Universitas Sumatera Utara
3
Dalam mempelajari kebudayaan, ada tiga poin yang menjadi pusat perhatian kita, yaitu masyarakat penghasil kebudayaan tersebut sejarah lahirnya
kebudayaan tersebut, objek kebudayaan itu sendiri dan masyarakat pengguna kebudayaan atau fungsi kebudayaan tersebut dalam masyarakat pengguna.
Matsuri festivalperayaan adalah salah satu dari kebudayaan Jepang. Menurut Danandjaja 1997:300 matsuri merupakan foklor Jepang asli yang
berhubungan dengan agama Shinto, yang dilakukan setiap tahun pada tanggal- tanggal tertentu. Matsuri pada dasarnya adalah festival suci. Istilah matsuri
mencakup pesta rakyat dan ritus-ritus yang dipraktekkan dalam agama Shinto. Matsuri adalah suatu perbuatan simbolik, dimana pesertanya memasuki
komunikasi aktif dengan para dewa Kami. Upacara ini juga disertai dengan komunikasi di antara para peserta sendiri, dalam betuk pesta feast dan pesta
rakyat festival. Matsuri merupakan upacara yang dilakukan berangkat dari kenyataan
logis dengan memanfaatkan wahyu-wahyu yang bertentangan dengan yang sekuler dan diilhami oleh kompleks simbol-simbol khusus dari metafisika yang
dirumuskan dan gaya hidup yang disarankan dengan otoritas persuasif sebagaimana diungkapkan oleh Geertz dalam Lawanda 2004:16. Dengan
menerapkan teori Malinowski Lessa dalam Lawanda 2004:17, matsuri dapat dimasukkan kedalam magi dan mengandung sifat artistik berdasar tampilannya.
Salah satu matsuri yang akan dianalisis oleh penulis adalah hinamatsuri. Hinamatsuri adalah sebuah festival atau perayaan yang ditujukan bagi anak
perempuan yang diadakan setiap tanggal 3 maret. Penulis ingin menganalisis
Universitas Sumatera Utara
4
fungsi dan nilai moral dari perayaan hinamatsuri bagi masayarakat Jepang dewasa ini.
Penulis memilih menganalisis fungsi dan nilai moral dari perayaan hinamatsuri bagi masayarakat Jepang dewasa ini karena penulis tertarik dengan
perayaan bagi anak perempuan dengan boneka yang unik. Boneka diletakkan di atas
panggung bertingkat yang disebut
dankazari tangga untuk memajang.
Jumlah anak tangga pada dankazari ditentukan berdasarkan jumlah boneka yang ada. Masing-masing boneka diletakkan pada posisi yang sudah ditentukan
berdasarkan tradisi turun temurun. Dankazari diberi alas selimut tebal atatu karpet berwarna merah yang disebut hi-m
ōsen. Keunikan festival ini memiliki fungsi pendidikan dan nilai moral bagi keluarga yang merayakannya. Hal inilah yang
membuat penulis tertarik untuk mengambil judul “Fungsi Dan Nilai Moral Perayaan Hinamatsuri Bagi Masyarakat Jepang Modern”
.
1.2 Perumusan Masalah