Profil Pola Usahatani Lap KebijakanHR Jawa

35 Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II dalam Tabel 2.13. Meskipun petani hanya menanam sebanyak 140 pohon per hektar, petani tetap bisa memperoleh keuntungan yang cukup tinggi, sehingga usaha tersebut layak untuk dipertahankan. • Pola II Jumlah tegakan sengon pada pola II, rata‐rata adalah 243 pohonha. Pada pola II kelihatan bahwa tanaman kayu yang salah satunya adalah sengon ternyata mendominasi jenis tanaman lain yang diusahakan petani. Tanaman pengisi pada pola II ini lebih banyak jenisnya dari pada jenis‐jenis tanaman yang diusahakan pada pola I. Dengan demikian nilai rentabilitas usahatani pada pola II ini adalah lebih baik dari pada pola I, sehingga apabila petani mampu mempertahankan jenis dimaksud sampai akhir daur, maka dari aspek finansial pola II dianggap layak diteruskan . • Pola III Dari data yang ada pada tabel‐tabel di atas ternyata pola III juga layak usaha, karena nilai rentabilitasnya yang ditunjukkan oleh besarnya angka NPV dan BCR adalah cukup tinggi. Oleh karena itu, pola tersebut juga perlu dipertahankan petani. • Pola IV Jumlah pohon sengon rata‐rata per hektar pada pola IV adalah paling banyak. Disini petani memang memprioritaskan pada jenis dimaksud. Selain karena adanya faktor pembatas biaya, maka faktor kondisi teknis lahan usaha juga menjadi pertimbangan petani untuk bisa menanam dengan komoditi lain non kayu yang memerlukan persyaratan tertentu, misalnya faktor kesuburan. Pada pola IV, nilai rentabilitasnya adalah yang tertinggi dibandingkan tiga pola terdahulu. Pola Iini perlu dipertahankan oleh petani. 36 Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II Dari empat pola yang ada dapat dikemukakan bahwa nilai rentabilitas usahatani sengon menunjukkan variasi yang cukup besar. Pada dasarnya dilihat dari Tabel 2.13 dapat dinyatakan bahwa penanaman sengon ternyata mampu memberikan keuntungan finansial bagi pemilik lahan untuk semua pola yang dilakukan. Hal tersebut bisa diperiksa dari parameter rentabilitas yang diajukan yaitu, pendapatan, keuntungan bersih, ratio keuntungan dan kemampuan investasi usaha dari aspek finansial yang dikaji yaitu internal rate of return IRR. Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya petani sengon dalam pengelolaanya adalah cukup fisibel sehingga kegiatannya layak untuk diteruskan dan bahkan bisa dikembangkan pada skala yang lebih besar meskipun untuk mencapainya diperlukan intervensi dari banyak pihak. Pada kondisi dimana petani pada umumnya menjual dalam bentuk tegakan ternyata nilai ekonominya mampu menutup biaya produksi yang dikeluarkannya selama daur. Beberapa hal yang menjadi alasan petani mengapa yang bersangkutan memperdagangkan dalam bentuk tegakan adalah karena faktor resiko dan ketidakpastian. 2 Desa Jonggolsari Profil finansial usahatani sengon yang diusahakan dengan pola hutan rakyat campuran di desa Jonggolsari, daur 10 tahun disajikan dalam Tabel 2.14. Tabel 2.14 Nilai Finansial Pembangunan Tanaman Sengon Di Desa Jonggolsari No Uraian Pola I II III IV 1. Jumlah pohonha 147 256 277 276 2. Pendapatan terdiskon Rphadaur 6,267,129.49 10,841,341.77 11,727,412.97 11,727,412.97 3. Biaya terdiskon Rp.hadaur 6,062,659.96 2,561,067.58 5,720,715.63 4,244,447.92 4. NPV Rp.hadaur 204,469.53 8,280,274.19 6,006,697.34 7,482,965.05 5. BCR 1.03 4.23 2.05 2.76 6. IRR 9.53 33.54 21.48 25.73 37 Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II Dari tabel di atas bisa dinyatakan bahwa untuk semua pola pengusahaan yang ada di desa Jonggolsari, ternyata usahatani sengon mampu menghasilkan nilai finansial yang menguntungkan bagi petani, meskipun desa tersebut tingkat usahataninya masih dalam tahap pertumbuhan. Nilai kelayakan finansial tertinggi ternyata terdapat pada pola II, meskipun jumlah pohon per hektar lebih sedikit daripada pola III dan IV. Net Present Value NPV pada tingkat bunga riil per hektar bervariasi dari Rp.204.469,53 sd Rp.8.280.274,19. Dilihat dari hasil analisis finansial seperti disajikan dalam Tabel 2.14, dapat disimpulkan bahwa pola II adalah paling menguntungkan sehingga pola tersebut bisa merupakan pilihan terbaik saat ini, apabila faktor yang lain konstan ceteris paribus. 3 Desa Ngaliyan Dibandingkan dengan dua desa terdahulu, desa Ngaliyan merupakan desa yang dinyatakan baru dalam hal mengembangkan budidaya tanaman sengon. Tegakan sengon yang ada di desa Ngaliyan sebagian besar belum mencapai masak tebang. Oleh karena itu, analisisi finansialnya ini menggunakan beberapa estimasi maupun asumsi dasar untuk bisa menemukan nilai finansial selama pengusahaan. Estimasi dan asumsi dimaksud adalah yang terkait dengan komponen input maupun komponen output baik yang bersifat fisik maupun non fisik nilaivalue. Dengan berpedoman pada jumlah pohon per hektar di masing‐masing pola akan bisa dihitung perkiraan biaya dan pendapatan menurut tingkat teknologi budidaya yang dilakukan. Hasil kajian finansial pembangunan tegakan sengon di desa Ngaliyan, secara singkat disajikan dalam Tabel 2.15. 38 Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II Tabel 2.15. Nilai Finansial Pembangunan Tanaman Sengon Di Desa Ngaliyan Daur 5 tahun No . Uraian Pola I II III IV 1. Jumlah pohonha 340 335 633 471 2. Pendapatan terdiskon Rphadaur 5,506,984.40 5,431,014.08 10,260,296.49 7,632,220.55 3. Biaya terdiskon Rphadaur 5,499,957.67 3,364,926.93 2,142,647.13 6,132,108.05 4. NPV Rphadaur 7,026.73 2,066,087.15 8,117,649.36 1,500,112.50 5. BCR 1.00 1.61 4.79 1.25 6. IRR 9.05 30.81 77.94 16.94 Jumlah pohon per hektar di masing‐masing pola di desa ini adalah yang terbanyak dibandingkan dengan jumlah pohon yang ada di dua desa terdahulu. Dengan menggunakan daur pendek yaitu 5 tahun berdasarkan pendapat responden diperkirakan pendapatan finansial akan bisa segera diperoleh. Sehingga biaya ‐biaya rutin yang harus dikeluarkan selama periode pertumbuhan dibandingkan dengan dua desa terdahulu yang daurnya adalah 8 dan 10 tahun tentu yang paling rendah. Sementara itu, perbedaan nilai jual antara daur pendek dengan daur menengah tersebut adalah tidak terlalu signifikan. Sehingga petani diramalkan akan bisa memperoleh pendapatan bersih keuntungan yang cukup besar, terutama pada pola III yang memiliki jumlah pohon 633 per hektar. Nilai keuntungan bersih untuk masing‐masing pola pengusahaan adalah : 1 NPV pola I, sebesar Rp.7.026,73ha5 tahun, 2 NPV pola II, sebesar Rp.2.066.087,15ha, 3 NPV pola III, sebesar Rp. 8.117.649,36, dan 4 NPV pola IV, sebesar Rp.1.500.112,50. Dari hasil analisis finansial seperti disajikan dalam Tabel 2.15 bisa dinyatakan bahwa, pola III ternyata mampu memberikan keuntungan bersih tertinggi dari tiga pola yang lain. Hal tersebut bisa dimengerti karena jumlah tegakan sengon penyusun pola III adalah terbanyak yaitu sebanyak 633 pohonhadaur. 39 Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II

b. Prospek Usahatani

Berdasarkan informasi yang dijelaskan di atas dapat dikemukakan bahwa prospek pembangunan hutan rakyat khususnya jenis sengon ternyata mampu memberikan pendapatan finansial bagi petani pemilik lahan yang cukup signifikan. Meskipun demikian, petani tidak melaksanakan pembangunan tegakan sengon tersebut secara monokultur. Hal tersebut disebabkan karena alasan teknis, sosial dan ekonomi yang sudah membudaya di masyarakat Kabupaten Wonosobo. Secara teknis, budidaya sengon dianggap tidak terlalu memerlukan pengelolaan yang intensif seperti komoditi lain yang ditanam secara bersama‐sama mixed cropping, yaitu kopi, cokelat, dan hortikultura maupun jenis cashcrop yang lain. Oleh karena itu, pembia yaan yang berupa kapital maupun tenaga kerja bagi komoditi kayu termasuk sengon bisa diintegrasikan dengan jenis lain yang lebih memerlukan perhatian khusus untuk bisa berproduksi secara maksimal. Beberapa faktor yang membedakan hasil nilai kelayakan finansial sengon pada pola yang sama adalah : 1 faktor teknis : seperti tingkat kesuburan tanah, daurrotasi, tujuan pemanfaatan, teknologi usahataniproses produksi, penggunaan input fisik masing‐masing pola, komposisi jeniskomoditi dan kultur teknis, strategitingkat pengelolaan, misalnya : intensifikasi dan non intensifikasi, luas dan penyebaran lahan garapan pemilikan, jenis dan sifat tanaman pencampur dalam pola agroforestry, kerapatan tanaman, pemanfaatan ruangiefisiensi pemanfaatan ruang untuk setiap komoditi, produktivitas; dan 2 Faktor non teknis, yaitu justifikasi analisis joint cost dan joint income, produktivitas tenaga kerja, nilai ekonomi tenaga kerja, dan penetapan nilai input, distribusi dan analisis nilai dampaknya terhadap komoditi tertentu. Uraian analisis usahatani di atas memberikan dasar argumentasi ilmiah mengapa rakyat menanam sengon dan mengapa sengon berkembang pesat di Jawa dan Madura. Dengan demikian sangat pula beralasan jika pihak pengusaha industry perkayuan sangat tertarik untuk ikut secara aktif menebar bibit sengot secara gratis kepada masyarakat. Semakin tinggi produksi kayu hutan rakyat dan hasil hutan 40 Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II ikutan lainnya maka secara otomatis pemerintah daerah akan menerima dampak ekonomi untu pendapatan asli daerah PAD. Pola usahatani huan rakyat di Pulau Jawa dimulai dari hutan rakyat monokultur sampai pola campuran. Beberapa pola usahatani hutan rakyat yang di jumpai di Pulau Jawa secara garis besar tersusun dalam sistem campuran sebagai berikut: 1 Pola 1 : Tanaman kayu‐kayuan yang didominasi oleh jenis jati 2 Pola 2 : Tanaman kayu‐kayuan yang didominasi jenis Mahoni 3 Pola 3 : Tanaman kayu‐kayuan yang didominasi oleh sengon 4 Pola 4 : Tanaman kayu‐kayuan dan tanaman semusim 5 Pola 5 : Tanaman kayu‐kayuan, tanaman semusim dan buah‐buahan 6 Pola 6 :Tanaman kayu‐kayuan,, tanaman semusim, buah, dan perkebunan 7 Pola 7 : Tanaman kayu‐kayuan dan tanaman perkebunan 8 Pola 8 : Tanaman kayua‐kayuan dan tanaman buah‐buahan 9 Pola 9 : Tanaman kayu‐kayuan, buah‐buah, perkebunan dan pakan ternak

2.4.2. Produksi Kayu Hutan Rakyat

Peranan hutan rakyat terhadap pembangunan wilayah dan lingkungan dapat diukur dari produksi yang dihasilkan dari hutan rakyat di masing‐masing wilayah. Namun demikian data tentang produksi kayu bulat dari hutan rakyat cukup sulit mencarinya. Data produksi dari Propinsi Jawa Timur sulit diperoleh, data produksi dari Jawa Tengah dan DIY tidak terinci per wilayah kabupaten, dan hanya Propinsi Jawa Barat yang relative memiliki data lengkap dibandingkan dengan propinsi lainnya. Propinsi Jawa Timur belum diperoleh data produksi kayu bulat dari hutan rakyat. Sebagai gambaran saja di Kabupaten Lumajang Propinsi Jawa Timur pada tahun 2008 memproduksi kayu bulat dari hutan rakyat sebesar 640.000 m3 yang sebagian besar adalah kayu sengon.