Permasalahan dan kendala pengembangan hutan rakyat
11
Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II
kering, panas dan gersang menjadi kawasan yang hijau, subur, dan sejuk. Hutan
rakyat di kawasan Pegunungan Menoreh juga cukup berdampak pada penurunan
jumlah bencana alam tanah longsor. Bahkan di beberapa kawasan lain di
Wonosobo, Temanggung, Magelang, Sukabumi, Garut, Kediri, Nganjuk, dan
Lumajang menjadi bergantung pada keberadaan hutan rakyat untuk tangkapan air,
sebab tidak lagi dapat mengandalkan peranan hutan negara yang selalu mengalami
degradasi dari waktu ke waktu.
Bagi pemiliknya hutan rakyat merupakan bagian penting dan tak terpisahkan
dalam kehidupan mereka. Pola pemanfaatan dan interaksi masyarakat desa dengan
hutan rakyat cukup beragam dan berbeda‐beda satu sama lain, tergantung dari
kesuburan tanah, kultur masyarakat secara umum, dan kebijakan lokal kabupaten
yang terkait dengan pengembangan hutan rakyat. Namun demikian secara umum
teridentifikasi bahwa hutan rakyat memegang peranan penting dalam kehidupan
ekonomi dan sosial masyarakat desa. Sebagai contoh di Wonosobo, merupakan
daerah yang kondisi tanahnya subur, sebagian masyarakat desa daerah tersebut
menggantungkan hidupnya pada hutan rakyat. Hutan rakyat dapat memenuhi
kebutuhan harian, kebutuhan jangka menengah, dan kebutuhan jangka panjang
masyarakat desa. Kebutuhan jangka pendek terpenuhi dari panenan tanaman
jangka pendek seperti cabe, kapulaga, dll. Kebutuhan jangka menengah terpenuhi
dari hasil panen tahunan seperti ketela, kemukus, dll; sedangkan kebutuhan jangka
panjang terpenuhi dari panenan jangka panjang dari tanaman kayu‐kayuan.
Pada umumnya konsep pengelolaan hutan rakyat sangat sederhana yaitu
hanya menanami tanah milik dengan tanaman berkayu dan membiarkannya
tumbuh tanpa pengelolaan intensif. Kemudian dalam perkembangannya
masyarakat mulai akrab dengan tehnik‐tehnik budidaya hutan, seperti perbanyakan
tanaman metode stek, sambung, dan cangkok. Berkembang juga model penanaman
beragam beragam jenis dan beragam lapisan tanaman multi layer, serta cara
pemanenan kayu yang tidak merusak tanaman lain. Namun perkembangan tehnis
ini tidak bersamaan dengan peningkatan kapasitas manajerial yang memadai. Hal ini
12
Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II
berpengaruh terhadap proses pengaturan hasil yang hampir dikatakan tidak ada
karena keberadaan hutan rakyat di masyarakat selalu berkaitan pada pemenuhan
kebutuhan mendadak. Pemenuhan kebutuhan ini membuat petani hutan rakyat
sebagai produsen kayu selalu menjadi pihak lemah dalam proses tawar‐menawar
harga produk.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka berikut ini dapat diuraikan tentang
beberapa karakteristik hutan rakyat bila ditinjau dari aspek manajemen
hutanAwang, 2007 yaitu :
1. Hutan rakyat berada di tanah milik, dijadikan hutan dengan alasan tertentu,
seperti lahan kurang subur, kondisi topografi sulit, tenaga kerja terbatas,
kemudahan pemeliharaan dan faktor resiko kegagalan yang kecil.
2. Hutan rakyat tidak mengelompok, tetapi tersebar berdasarkan letak dan luas
kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani pada berbagai to[ografi
lahan. 3.
Pengelolaan hutan rakyat berbasis pada tingkat keluarga, setiap keluarga melakukan
pengembangan dan pengaturan secara terpisah. 4.
Pemanenan hasil hutan rakyat berdasarkan sistem tebang butuh, sehingga konsep
kelestarian hasil belum berdasarkan kontinuitas hasil yang dapat diperoleh
dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan
riap tanaman. 5.
Belum terbentuk organisasi yang profesional untuk melakukan pengelolaan hutan
rakyat. 6.
Belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga belum ada jaminan
dari petani hutan rakyat terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi industri.
7. Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani hutan rakyat
sebagai produsen, sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan
tidak dirasakan petani hutan rakyat.
13
Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II
Karakter ‐karakter tersebut mengisyaratkan rentannya kelestarian hutan
rakyat akibat adanya peningkatan kebutuhan industri berbasis kehutanan, terutama
bahan baku kayu. Hal ini diperparah dengan menurunnya produktivitas kayu dari
hutan negara yang disebabkan oleh penebangan liar dan kegagalan pembuatan
tanaman. Secara lebih jelas permasalahan yang mengancam kelestarian hutan
rakyat digambarkan pada bagan alir sebagai berikut Awang, 2007.
Gambar 1. Pohon Permasalahan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Terancamnya kelestarian
hutan rakyat
Tidak adanya rekognisi formal
kebijakan terhadap pengelolaan
hutan rakyat
Lemahnya posisi produk hutan
rakyat dalam mekanisme harga
pasar
Pengelolaan hutan rakyat belum
memperhatikan aspek manajemen
Belum ada penataan
k Belum
ada organisasi pengelolaan
hutan rakyat
Belum ada perencanaan
Belum ada deliniasi unit
Belum ada inventarisasi hutan
Kelompok tidak solid dan efektif
Kapasitas manajemen
rendah
Tekanan industri
yang semakin
intensif
14
Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II
Beberapa hal yang menjadi kendala dalam pengembangan hutan rakyat
yang berkelanjutan dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Pemenuhan Kebutuhan Dasar
Masyarakat desa sebagian terbesar tingkat hidupnya subsisten, yaitu
memproduksi untuk keperluan sendiri terutama pangan . Luas kepemilikan
lahan setiap keluarga umumnya sempit, kurang dari 1,0 ha dan bahkan di
beberapa desa kurang dari 0,25 ha. Sudah barang tentu dengan luas lahan milik
sekecil itu tidak cukup untuk menghidupi keluarga, apalagi kalau akan ditanami
pohon yang hasilnya harus menunggu sampai umur tertentu. Menurut
Soedarwono 1976 sebuah keluarga tani akan hidup berkecukupan kalau
memiliki lahan sawah tadah hujan seluas minimal 1 bahu 0,64 ha dan
pekarangan 0,3 ha. Kenyataan di lapangan petani yang memiliki lahan sawah
untuk tadah hujan satu bahu ke atas sudah amat langka. Oleh karena itu
apabila petani tidak memiliki mata pencaharian lain selain bertani, maka mereka
akan menanaminya dengan tanaman pangan misalnya ketela pohon atau jagung
dan bukan tanaman pohon‐pohonan.
2. Hak Kepemilikan Lahan Land Tenure Problem
Biasanya mereka yang mengerjakan lahan belum tentu yang memiliki secara
hukum, mungkin pemiliknya orang kota yang telah membeli sebelumnya, atau
masih status warisan orang tua, atau tanah “gadai”, tanah sewa atau istilah
setempat adalah tanah “senden” atau di Yogyakarta ada tanah milik Sultan atau
Paku Alam, atau bahkan tanah desa, dan lain lain. Sudah tentu mereka yang
hanya mengelola bukan menguasai tidak bisa memutuskan apakah bisaboleh
ditanami pohon atau tidak kecuali atas ijin pemilik atau inisiatif dari pemilik.
Barangkali di hati kecil petani pengelola ini tidak rela kalau ditanami pohon,
lebih banyak mudharatnya daripada menguntungkan baginya.
15
Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II
3. Antipati terhadap Pohon Tertentu
Masyarakat Jawa umumnya tidak senang terhadap jenis pohon tertentu yang
tumbuh secara alam di lahan mereka karena masalah “magis”, misalnya
terhadap jenis‐jenis beringin Preh: Jawa, Randu Alas, Cangkring dan masih
banyak lagi, apabila jenis ini tumbuh di pekarangan atau tegal mereka sebelum
sempat besar akan dicabutnya. Mereka takut kalau sudah besar nantinya akan
dihuni oleh makhuk halus. Di Sulawesi Selatan beberapa orang petani menolak
apabila lahannya ditanamami dengan jenis Acacia auriculiformis, karena bunga
buahpohon ini yang begitu lembut akan tersebar oleh angin akan
mengakibatkan sakit napas bila terhirup oleh paru‐paru anak‐anaknya. Di
Negara lain ada alasan tertentu mengapa masyarakat tidak menanam pohon di
pinggir lahan pertanian mereka, seperti di beberapa negara Afrika biasanya
masyarakat mengontrol secara ketat tanaman pohon di dekat lahan pertanian
atau sekitar rumah mereka karena ketakutan bahwa pohon tersebut akan
menjadi sarang lalat “tse‐tse” penyebab penyakit tidur dan juga sebagai sarang
burung ‐burung pemakan biji G Barnard,1984. Lain lagi di India, di sekitar
pohon asem Tamarind trees yang besar dan rimbun atau mengelompok
biasanya dicurigai sebagai tempat bertemunya para perampok dan penjahat
Samantha,et al,1982, dalam G Barnard 1984.
4. Lahan yang Amat Kritis
Memang di beberapa kawasan seperti di Gunung Kidul secara faktual terdapat
lahan kritis yang secara fisik berupa batuanpadas, yang tidak memiliki lapisan
tanah. Biasanya yang tumbuh hanya rumput jenis tertentu seperti mimosa, atau
rumput alang‐alang kerdil, tembelakan dan lain lain. Karena secara teknis sulit
untuk dikerjakan diolah maka oleh masyarakat lahan ini diliarkan atau
diserahkan kepada alam. Biasanya digunakan sebagai tempatpadang
gembalaan yang sering kali justru membuat lahan menjadi kritis.
16
Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II
5. Keterbatasan Dana atau Modal dan Tenaga
Lahan lahan kritis secara fisik yang dibarengi dengan kondisi sosial ekonomi juga
kritis akan memberi dampak yang semakin parah terhadap lahan tersebut.
Lahan tidak terurus dengan tidak dimilikinya input dari masyarakat, semakin
lama lahan kritis menjadi luas karena pengaruh luar yang merusak seperti erosi,
penggembalaan dan lain‐lain.
Terdapat kasus di Wonosari DAS Solo Hulu, lahan kritis bisa menjadi hutan
rakyat Acacia dan juga Jati yang cukup baik, karena semangat masyarakat yang
tinggi dan dukungan dari berbagai “fasilitator”.
6. Konversi Dari Hutan ke Pertanian
Sebenarnya alasan ini berkaitan erat dengan alasan pertama yaitu keterbatasan
lahan untuk tanaman pangan. Sering kali alasan ini tidak selalu tepat. Menurut
sejarah pada awal‐awal peradaban seluruh dunia ini tertutup oleh hutan sesuai
dengan keadaan iklim dan edaphis. Termasuk hutan‐hutan di Eropa yang di abad
pertengahan telah dieksploitir besar‐besaran dalam kurun waktu yang panjang.
Demikian juga negara‐negara berkembang yang eksploitasi hutannya baru
berlangsung sekitar 50 tahun terakhir ini. Di Indonesia terdapat program
transmigrasi dengan memindahkan penduduk padat di Jawa ke daerah yang
relatif jarang di Sumatra dan Kalimantan. Pada tahap Pelita III, periode Orde
Baru, telah dipindahkan 500.000 kk selama waktu lima tahun. Kalau setiap kk
dibutuhkan lahan untuk hidup 1 ha berarti dibutuhkan hutan yang dikonversi
500.000 ha. Di Srilangka terdapat proyek “Mahaweli Irrigation Project” yang
akan mengkonversi hutan seluas 260.000 ha. Di Amerika Latin pemerintah
memberi insentif dan legalitas untuk mengkonversi hutan menjadi kawasan
peternakan G Barnard 1984, D Kaimowitz, 1996.
17
Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II
7. Persepsi yang Keliru
Persepsi yang tidak sesuai dengan keinginan dari yang memberi motivasimotivator
sering sekali terjadi. Sebenarnya hutan rakyat sudah dikelola,
dikuasai dan dimanfaatkan hasilnya oleh rakyat itu sendiri Webster, 1976,
oleh karena itu keputusan akhir di pihak rakyat. Seperti misalnya jarak tanam
5 X 5 m harus merata di kawasan yang ada, jenis yang ada hanya terbatas satu
pilihan atau dua dan lain‐lain aturan yang sepihak. Ada persepsi lain yang sudah
diterima oleh masyarakat petani hutan rakyat di daerah Ambarawa tahun 1989,
mereka tidak mau masuk kelompok petani hutan rakyat karena penilaian terhadap
pejabat pemerintah yang tidak jujur. Pada tahun 1999 ada proyek dari pemerintah yang namanya padat karya,
dilakukan di lahan hutan rakyat. Telah berkumpul sebanyak 80 petani calon
petani hutan rakyat yang memiliki lahan tegal atau pekarangan dalam satu
hamparan seluas 20 ha. Petani telah sepakat bergabung didalam kelompok
hutan rakyat yang akan difasilitasi oleh pemerintah Dinas PKT Ungaran dan
beberapa LSM untuk membangun lahannya menjadi hutan rakyat yang baik.
Pemerintah memberikan bantuan dana pengolahan lahan bibit buah‐buahan
termasuk menanamnya, pupuk kandang Bokasi pemeliharaan sampai kurun
tertentu 3 tahun. Semua dana adalah gratis tidak ada sistem kredit atau
apapun dan hasilnya semuanya untuk masyarakat. Sampai tiba pelaksanaan
terdapat tiga 3 petani yang tidak mau bergabung, lahan tidak boleh
dimasukkan ke dalam kesatuan hutan rakyat, tidak mau menerima bantuan
apapun dari pemerintah. Pada saat itu beberapa petugas pemerintah juga
anggota DPRD kabupaten merasa kebingungan, mengapa sampai terjadi
demikian. Pada saat lain, di sore atau malam hari beberapa fasilitator dari
perguruan tinggi dan LSM datang ke rumah bapak‐bapak petani ini, di temui oleh
pak Kartokemul si pemilik lahan. Setelah diawali dengan silaturakhim dan
diterangkan duduk persoalannya pak Karto menjelaskan sebagai berikut ;
“Pemerintah niku kok loma banget, nopo‐nopo diparingi mboten mbayar gratis,
18
Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II
mangke gek siti kula disuwun, kula lajeng maem nopo?, rumiyen sampun nate
diparingi mendo saking pemerintah IDT, lajeng diputusake sebagian diijolke
sapi supados gampil pados rumput, sak menika sapine di “sambut” pak lurah
kangge mantu,empun setahun mboten wonten kabare.” Pemerintah itu kok baik
banget, apa‐apa diberi tidak bayar atau gratis, nanti jangan‐jangan tanah saya
diminta, saya mau makan apa? Dulu pernah diberi kambing dari Pemerintah
IDT, terus diputuskan sebagian diganti sapi supaya gampang cari rumput,
sekarang sapinya dipinjam Pak Lurah buat biaya menikahkan anaknya, sudah
setahun tidak ada kabarnya”.
8. Kelangkaan Informasi
Kelangkaan informasi khususnya pemasaran juga membuat keraguan untuk menanam
jenis pohon tertentu yang dianjurkan. Program sengonisasi pada awalnya
tidak populer di masyarakat. Penggunaan sengon waktu itu masih sangat
terbatas. Kecuali kotak sabun, keperluan kayu perkakas lokal yang tidak terlalu
banyak. Sekarang setelah tahu bahwa pemasaran sengon memberikan keuntungan
yang tidak kecil bagi masyarakat maka tidak perlu dikejar kejar masyarakat
akan menanamnya bahkan bersedia membeli harga bibit ini. Sekarang
ini perhatian pemerintah sudah lebih berkembang lagi yaitu memberikan
kredit kepada petani hutan rakyat lewat investor koperasi yang ditunjuk
oleh pemerintah. Terlepas dari masalah sharing antara petani dan investor
yang ditunjuk dan kemungkinan masalah lainnya, usaha pemerintah ini cukup
memberi harapan bagi petani hutan rakyat. 9.
Rotasi atau Daur Tanaman Usaha pembuatan hutan rakyat baca; penghijauan memang lemah dari segi
rotasi tanaman pohon yang lama terbilang lebih dari 20 tahun. Terlalu lama
bagi petani hutan rakyat yang harus mendapatkan hasil pangan tiap tahun atau
bahkan setiap hari. Oleh karena itu jenis tanaman tidak hanya menghasilkan
kayu saja akan tetapi lebih bersifat multiguna atau MPTS Multi Purpose of Tree
19
Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II
Species. Kearifan manajemen lokal bagi petani di pedesaan di Jawa amat nyata
dengan rencana tradisional memilih tanaman yang banyak manfaat, panen tidak
kenal musim, rotasi pendek dan kelebihan lainnya. Contoh jenis kelapa
coconut, bambu bamboo dan pisang bananas atau untuk mempermudah
disebut BBC trees species. Pohon kelapa berbuah tidak kenal musim berbuah
sepanjang tahun, batangnya digunakan untuk kayu perkakas rumah tiang,
blandar, usuk dan lain lain, daun muda dan tua bermanfaat janur, kupat, juga
tikarwidig, lembut untuk sayur dulu pernah populer dengan gudeg manggar
dari Yogya, bahkan karena manfaatnya buah kelapa memiliki lima nama mulai
dari manggar bunga, bluluk obat sakit diare, cengkir untuk adatbudaya,
degan saat bulan puasa harganya tiga kali lipat dibandingkan hari lain, kelapa
tua. Kalau bunga kelapa di sadap akan menghasilkan gula kelapa yang
periodisitas panennya dua kali perhari, sepertidi daerah Kulon Progo, Magelang,
Purwokerto dan daerah Pulau Jawa lainnya. Demikian juga pisang, berbuah tidak
kenal musim, jenis dikenal puluhan bahkan lebih dari seratus karena variasi
manfaat, daunnya untuk pembungkus kue, bunga tuntut untuk sayur,
batangnya untuk berbagai kerajinan dan juga pembungkus tembakau, belum
pernah tergantikan batang pisang untuk menancapkan wayang kulit, rimpangnya
untuk kosmetik dan masih banyak lagi. Yang terakhir bambu, kelebihannya daur
2 tahun dua tahun, tidak ada pohon apapun yang daurnya sependek ini,
pemanfaatannya amat luas sesuai dengan jenis bambu dan karenanya dikenal
puluhan jenis bambu, baik juga rumpun bambu untuk penahan erosi masih
dipermasalahkan dan yang terakhir “rebung” bambu muda enak disayur, sudah
bisa masuk menu hotel berbintang, bahkan diekspor ke luar daerah informasi
dari kabupaten Rejang Lebong Begkulu, rimpangnya untuk bahan kerajinan dan
lain ‐lain. Sudah barang tentu ketiga jenis di atas adalah sekedar contoh, tidak
harus setiap program hutan rakyat dengan jenis itu, akan tetapi filosofinya bisa
digunakan terhadap jenis lain,contoh MPTS yang selain menghasilkan kayu, juga
20
Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II
daun untuk hijauan makanan ternak atau sayur, buah bermanfat, juga bunga
adalah melinjo Gnetum gnemon.
Hal yang mendukung berkembangnya hutan rakyat bisa diamati dari sisi lain
dari kendala di atas walaupun beberapa kasus tidak demikian. Pak Kayat, seorang
penjual bakso keliling di Yogyakarta bercerita; “ Siti kula teng Semin dekat
Wonosari di Gunung Kidul kulo tanemi kayon; lho, menopo sitinipun njenengan
wiyar pak?; ah, mboten namung kedik sekesuk kalau diluku setengah hari selesai
atau sekitar 1500 meter persegi, amergi mboten kober mawon”. Banyak anak‐anak
muda dari daerah kritis yang merantau keluar daerah seperti daerah Gunung Kidul
misalnya ke Jakarta, Malaysia menjadi TKW, atau ke Arab Saudi dan lain lain,
sementara tanahnya tidak begitu luas ditinggalkan menjadi hutan rakyat. Setelah
sebagian hidupnya cukup berhasil, pulang ke kampung halaman sudah tidak mau
mencangkul lagi dan jumlahnya hutan rakyat justru semakin luas atau semakin baik
kwalitasnya. Beberapa faktor lain yang mempercepat perluasan dan perbaikan
kwalitas hutan rakyat adalah faktor exsternal seperti perkembangan pasar,
pesatnya informasi pengelolaan dan tehnologi yang di fasilitasi oleh pemerintah dan
LSM, juga aksesibilitas dekat jauhnya dari pasar, dan faktor internal yang dimiliki
masyarakat seperti semangat hidup berdaya, kecemburuan sosial yang positif,
kepemilikan modal kerja dan kesibukanpekerjaan di luar pertanian, juga pengaruh
pengalaman pendidikan, keunggulan lokal, umur petani, jumlah keluarga dan lain‐
lain. Sering dilakukan penelitian dari faktor internal ini terutama juga skripsi
mahasiswa akan tetapi hasilnya merupakan studi kasus per daerah dan sering tidak
valid. Tantangan
yang relative paling baru bagi terwujudnya keberlanjutan hutan rakyat
di Jawa dan Madura adalah antara lain: 1.
Sertifikasi dan “mafia perdagangan” 2.
Usaha Perhutani di Trading House Hutan Rakyat 3.
Memastikan Hutan Rakyat dilindungi oleh Pemda Tata ruang
21
Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II
1 Sertifikasi dan “Mafia Perdagangan”
Leglitas penting dalam perdagangan kayu internasional adalah
diberlakukannya peraturan sertifikasi eko label pada system pengelolaan dimana
kayu berasal. Sifat eko label ini bukan mandatory tetapi voluntary sukarela. Salah
satu sasaran sertifikasi adalah manajemen hutan rakyat lestari. Sistem sertifikasi
utan rakyat yang digunakan di Indonesia adalah yang berasal dari LEI Lembaga
Ekolabel Indonesia dan FSC internasional. Sampai tahun 2009 tidak lebih dari 20
unit manajemen hutan rakyat berbasis desa yang sudah mendapat sertifikat lestari.
Dengan rendahnya suplai kayu bulat dari hutan Negara di Jawa, maka para
pelaku industry kayu mencari alternative bahan baku yang berasal dari hutan
rakyat. Jejaring perdagangan internasional membentuk lembaga dan dibiayai oleh
mereka untuk beroperasi di Indonesia guna memperoleh bahan baku untuk industry
“trans ‐nasional” mereka. Industri Furniture dan plywood merupakan jejaring
perusahaan trans nasional tersebut. Lembaga‐lembaga asing ini berkolaborasi
dengan “pedagang‐pedangan kayu lokal” dalam mencari bahan baku kayu. Rakyat
yang butuh pasar bertemu dengan pedagang yang punya modal, terjadilah transaksi
yang sering tidak memperhatikan kaidah‐kaidah kelestarian hutan rakyatnya. Proses
seperti ini mulai terlihat di daerah Gunung Kidul, Wonogir, Pacitan, Purworejo, dan
beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dengan dalih melakukan
sertifikasi ekolabel, pedagang lokal yang pro industry trans‐nasional tersebut
membeli kayu rakyat. Pedangan lokal seperti harus segera dikendalikan, kalau tidak
hutan rakyat akan mengalami tantangan keberlanjutannya.
Data penurunan luas hutan rakyat pada 5 tahun terakhir ini seperti yang ditunjukkan
pada table 2.1 dapat disebabkan oleh terjadinya penebangan hutan rakyat
yang berlebihan tanpa memperhatikan keberlanjutan hutan rakyatnya. Suasana
seperti ni seperti tindakan “kapal keruk” dari pihak industry kayu berbasis ekspor
yang ada di sentra‐sentra industry kayu seperti Jepara. Sikap ini harus diwaspadai
oleh masyarakat dan pemerintah serta pemerintah daerah.
22
Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II
2 Usaha Perhutani dalam Trading House Kayu Hutan Rakyat
Menarik disimak pula informasi yang terkait dengan perluasan usaha Perum
Perhutani dalam pengembangan hutan rakyat di Pulau Jawa. Telah terbentuk satu
Deputi khusus di Perhutani yang akan membeli kayu‐kayu jati dari hutan rakyat.
Ada banyak orang mengatakan apakah pengembangan hutan rakyat menjadi
domain Perum Perhutani? Sebab hutan Negara yang menjadi tanggung jawab
Perhutani di Jawa dalam kondisi tidak lestari, produktivitas rendah, tanah kosong
banyak, dan itu semua memerlukan perhatian secara serius dari Perhutani.
Mengapa harus merambah pada hutan rakyat? Apakah karena produksi kayu jati
dari Perhutani sangat rendah lalu kemudian ingin berbisnis kayu jati di hutan
rakyat? Jika hanya memperkuat trading hause saja, maka tidanakan Perhuatani ini
hanya akan mempercepat kerusakan hutan rakyat saja. Perhutani harus kembali ke
khittahnya yaitu membangun hutan Negara yang menjadai tanggung jawabnya saja.
3 Hutan Rakyat dimasukkan dalam Tata Ruang Daerah
Tantangan lain yang penting diperhatikan terkait dengan pengembangan
hutan rakyat adalah bagaimana caranya pemerintah daerah memberikan
perlindungan kepada hutan rakyat di daerahnya masing‐masing di Pulau Jawa.
Peran hutan rakyat sudah nyata pada ekonomi rakyat, lingkungan, dan ekonomi
daerah. Hutan rakyat berada di kawasan budi daya dalam tata ruang, dan 5 tahun
terakhir menunjukkan gejala penurunan luas hutan rakyat. Gejala ini cukup
mengkhawatirkan bagi kepentingan ekologi, dan stabilitas pengawetan tanah, dan
penyimpanan cadangan sumber mata air dan air tanah di Pulau Jawa.
Belum banyak birokrat daerah dan nasional yang berfikir pentingnya
memberikan perlindungan kepada eksistensi hutan rakyat, memberikan pengakuan
pada satuan unit manajemen hutan rakyat lestari, dan memberikan insentif yang
layak bagi pelaku‐pelaku dan pemilik hutan rakyat di Jawa dan Madura. Seharusnya
setiap pemerintah daerah yang sudah merasakan manfaat hutan rakyat bagi rakyat
23
Strategi Pengembangan Pengelolaan dan Arahan Kebijakan Hutan Rakyat di Pulau Jawa Hasil Kerjasama BPKH XI dengan MFP II
dan daerahnya memberikan perlakuan khusus pada kawasan hutan rakyat ini. Saran
konkrit yang perlu dilakukan adalah memasukkan kawasan unit manajemen hutan
rakyat ke dalam peta tata ruang daerah kabupaten. Dengan demikian tindakan alih
fungsi tidak dapat dilakukan sewenang‐wenang. Hal ini sangat dimungkinkan karena
dalam UU Tata Ruang dan PP 262009 hutan produksi dimasukkan ke dalam
kawasan budi daya. Logikanya bahwa hutan rakyat yang sebagian besar merupakan
arena produksi rakyat, maka hutan rakyat dapat disejajarkan dengan kawasan budi
daya hutan produksi.