19
19
BAB II KONDISI WILAYAH YOGYAKARTA PADA MASA
HAMENGKUBUWANA VII YANG MELATARBELAKANGI PEMBANGUNAN STASIUN KERETA API TUGU YOGYAKARTA
A. Kondisi Kesultanan Yogyakarta Dan Persawaan Tanah Pada Masa
Hamengkubuwana VII
Sejarah terbentuk dan berkembangnya kota-kota di Nusantara dibagi menjadi dua bagian, yaitu kota tradisional dan kota kolonial. Kota-kota tradisional
di Nusantara, terutama di Jawa, berkembang dengan memperhatikan konsep kosmologis serta kearifan lokal yang didapat dari bentuk hubungan timbal balik
antara lingkungan dengan manusia serta tidak melupakan unsur-unsur religi yang terkandung di dalamnya. Hal ini bisa kita lihat dengan munculnya elemen-elemen
seperti adanya keraton, alun-alun, masjid, pasar, dan tembok maupun benteng yang melindunginya.
1
Tanggal dari kelahiran sebuah kota tradisional biasanya terpapar dalam bentuk historiografi tradisional, seperti dalam prasasti, serat, babad,
maupun rontal. Walaupun tidak jarang tanggal keberadaan kota tersebut tidak jelas karena berbagai mitos yang melekat.
Perkembangan kota-kota Kolonial di Nusantara bermula searah dengan interaksi penduduk Pribumi dengan pendatang Eropa. Kota-kota ini terbentuk
untuk memfasilitasi pendatang Eropa yang datang ke wilayah koloninya yang berada di Asia maupun Eropa. Kondisi ini sering menyebabkan munculnya
ketidakseimbangan antara penduduk Pribumi dan Barat yang tinggal dan
1
Basundoro, Purnawan, Pengantar Sejarah Kota, Yogyakarta:2012 Hal. 45
20
20
menyebabkan berbagai macam bentuk perlawanan untuk mengusir pendatang Eropa yang menjajah. Berdirinya kota-kota kolonial menandakan sudah semakin
kondusifnya kondisi daerah koloni. ada beberapa ciri dari kota-kota kolonial, seperti adanya pemukiman masyarakat kolonial. adanya garnisun pemukiman
tentara untuk tujuan keamanan, gudang untuk menyimpan barang hasil bumi yang diperdagangkan di dunia internasional, serta terdapat tempat dimana para
penguasa kolonial dapat mengadakan perjanjian dagang dengan penguasa pribumi.
2
Wilayah Yogyakarta merupakan sebuah wilayah yang terbentuk dengan mengikuti prinsip perkembangan kota-kota tradisional di Nusantara. Dalam
sejarahnya, wilayah Yogyakarta terbentuk dari Perjanjian Giyanti yang membagi Kesultanan Mataram Islam menjadi dua bagian, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan
Kesunanan Surakarta. Perjanjian yang diprakarsai oleh Gubernur Jendral Hartingh ini ditandatangani oleh Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwono III pada tanggal
13 Februari 1755.
3
2
Ibid., hal. 84
3
Sri Mulyati, 1996, Perkembangan Kota Yogyakarta Tahun 1756-1824 Tinjauan Tata Kota, Skripsi, Universitas Indonesia, unpublished, Hal. 29.
Perjanjian Gianti lahir sebagai buah perseteruan Antara R. M. Said yang tidak puas dengan semakin gencarnya pengaruh VOC dalam keraton hingga
Pakubuwana II mengikat perjanjian dengan VOC dalam hal monopoli perdagangan dan pegangkutan di Mataram Lih. Darmosugito, Kota Jogjakarta
200 tahun,
Yogyakarta:1956 Hal. 8 tentang “Perjanjian Ponorogo” yang dimaksud dengan Pangeran Mangkubumi yang sebelumnya dijanjikan daerah
Martapura bila berhasil memadamkan pemberontakan R. M. Said namun janjinya tidak pernah ditepati sehingga timbul kekecewaan dan berbalik bersekutu dengan
R. M. Said. Perjanjian ini sendiri dibuat setelah Pakubuwono II meninggal dunia dan kekuasaan Kesultanan Mataram Islam diserahkan kepada penerusnya,
Pakubuwono III.
21
21
Wilayah Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwono III terdiri dari daerah Pajang, Sukowati, Jogorogo, Ponorogo, sebagan Pacitan, Kediri, Blitar dengan
Srengat termasuk Lodoyo, Pace Nganjuk-Berbek, Wirosobo Mojoagung, Blora, Banyumas, Banyumas termasuk Pamerden atau Banyumas Timur dan
Dayeuhluhur, Keduwang di sebelah tenggara Surakarta, serta sebagian Kedu yang dibagi dua.
4
Sedangkan wilayah Kesultanan Yogyakarta hasil Perjanjian Giyanti yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Hamengku Buwono I
diantaranya adalah Madiun, Magetan, Caruban, sebagian Pacitan, Kertosono, Kalangbret dan Ngrowo Tulungagung, Japan Mojokerto, Jipang Bojonegoro,
Teras Karas Ngawen, Selo daerah Grobogan, Warung di Blora, Bagelen, Rema Karanganyar, serta sebagian wilayah Kedu.
5
Berdirinya Kesultanan
Yogyakarta tidak
hanya menjadikan
Hamengkubuwana I menjadi raja di wilayah tersebut, tetapi juga mengakomodasi Belanda yang ingin menyewa tanah lungguh di Yogyakarta.
6
Dengan munculnya persewaan tanah ini, secara perlahan namun pasti warna-warna kota kolonial
4
Juwono, Harto, 2011, “Persewaan Tanah Di Kesunanan Surakarta Dan
Kesultanan Yogyakarta 1818-1912: Penerapan Prinsip Konkordari Di Wilayah Projo Kejawen
”, Disertasi Universitas Indonesia. unpublished, hal. 125
5
Ibid.
6
Tanah lungguh adalah tanah yang diberikan kepada kerabat Sultan atau pegawai Keraton sebagai kompensasi atas jabatan yang mereka miliki. Biasanya
dalam tanah lungguh tersebut sudah termasuk dengan rakyat yang berada di dalamnya. Setiap pejabat maupun kerabat yang memiliki tanah lungguh tidak
diperbolehkan untuk menjual tanah tersebut karena secara legal formal tanah itu merupakan milik Sultan, dan mereka tetap harus membayar pajak dari hasil bumi
yang dikelola kepada Keraton yang diserahkan setiap perayaan Gerebek.
22
22
mulai nampak dengan jelas, seperti munculnya wilayah perkantoran dan tangsi militer orang Belanda, kehadiran gereja katolik Kota Baru maupun protestan di
sebelah utara rumah Residen Yogyakarta, serta adanya daerah perumahan untuk orang-orang Belanda di daerah Bintaran dan Kota Baru.
Persewaan Tanah di Kesultanan Yogyakarta semakin meningkat jumlah dan luasnya pada masa pemerintahan Hamengkubuwana VII. Hal ini disebabkan
keadaan Hindia Belanda pada masa sebelumnya mengalami masa-masa sulit, seperti terjadinya Perang Jawa pada tahun 1825-1830, hingga selesainya Perang
Jawa dan dimulainya masa Tanam Paksa Cultuurstelsel tahun 1830
7
hingga dikeluarkannya UU Agraria tahun 1870.
7
Haryono, Anton, 2009, “Industri Pribumi Yogyakarta Masa Kolonial,
1830-an – 1930-an”, Disertasi, Universitas Gajah Mada, unpublished, Hal. 337-
340 Meskipun wilayah Yogyakarta yang termasuk dalam Vorstenlanden tidak mengalami kebijakan tanam paksa cultuurstelsel, wilayah ini mengalami
persewaan tanah yang diatur dalam perjanjian sewa tanah antara penyewa tanah dengan Kesultanan Yogyakarta dan Gubernur Jendral Hindia Belanda. Tercatat
setidaknya pada tahun 1839 di Yogyakara terdapat 20 perkebunan swasta dengan luas 5.210 bau, sepuluh tahun kemudian meningkat 12.836 bau. Tahun 1851 ada
43 perkebunan dengan luas 13.023 bau, tahun 1861 meningkat 51 perkebunan dengan luas 56.000 bau, lalu tahun 1864 ada 53 perkebunan. Pada tahun 1865 ada
57 perkebunan dan tahun 1869 bertambah satu lagi. Bertambahnya persewaan tanah di Yogyakarta yang memasok barang kebutuhan di pasar Eropa seperti gula,
kopi, dan indigo disebabkan oleh tingkat kesuburan tanahnya yang lebih tinggi dari daerah lain serta tersedianya tenaga kerja yang berlimpah. Selain itu, wilayah
Vorstenlanden merupakan wilayah dimana eksploitasi oleh perusahaan swasta diperbolehkan dengan aturan yang ketat. Hal ini sungguh berbeda dengan wilayah
Jawa lainnya yang mengalami masa Tanam Paksa dan berada di bawah eksploitasi pemerintah Belanda. Hal ini disebabkan karena persewaan tanah lungguh yang
dimiliki oleh para pegawai Keraton dan kerabat Sultan kepada perusahaan perkebunan swasta. Kepemilikan tanah lungguh biasanya disertai dengan rakyat
yang berada di dalamnya, sehingga selain mendapatkan tanah, perusahaan yang menyewa tanah tersebut juga mendapat tenaga kerja untuk mengolah lahannya.
Bdk. Vincent J. H. Houben, Economic Policy In The Principalities Of Central Java In The Nineteenth Century, dalam Maddison, Angus et.al. Economic Growth
In Indonesia 1820-1940 Leiden:1989 Hal. 197.
23
23
Ada beberapa
peristiwa yang
menjadikan masa
pemerintahan Hamengkubuwana VII 1877-1921 menjadi masa yang penting dalam penyewaan
tanah di Yogyakarta, yaitu penandatanganan perjanjian dengan pemerintah Hindia Belanda yang diwakili oleh residen Belanda B. Van Baak untuk melakukan
reorganisasi kebijakan agraris, perbaikan lembaga peradilan dan keamanan, serta pemeliharaan sarana transportasi.
8
Ketiga buah perjanjian diatas menjadi pemicu terjadinya peningkatan aktifitas
persewaan tanah
di Yogyakarta
pada masa
pemerintahan
Hamengkubuwana VII. Pertama, reorganisasi kebijakan agraris menciptakan
sistem pengaturan dan pemilikan tanah yang baru dengan dasar persewaan tanah yang kembali. Kebijakan reorganisasi agraria yang dilakukan di Yogyakarta tahun
1912-1918 dilakukan untuk memperbaharui sistem tanah lungguhnya yang dinilai ketinggalan zaman oleh pejabat residen Belanda.
9
Kebijakan reorganisasi agraria
8
Poerwokusumo, Soedarisman,
Kasultanan Yogyakarta,
Yogyakarta:1985 Hal. 38.
9
Sesana, Riya, 2011, Intrik Politik Dan Pergantian Tahta Di Kesultanan Yogyakarta 1877-1921, Tesis, Universitas Indonesia. unpublished, hal. 30.
kebijakan dihilangkannya sistem lungguh di Yogyakarta diusulkan Belanda untuk mengakomodasi kebutuhan penyewa tanah akan tanah pertanian yang dapat
disewa. Bila sebelumnya untuk menyewa tanah diharuskan meminta izin kepada Keraton Yogyakarta dan Gubernur Hindia Belanda, dengan diterapkannya
peraturan ini hanya diperlukan izin dari Gubernur saja. Meskipun begitu, tidak semua tanah lungguh benar-benar menghilang di Yogyakarta. Hal ini dikarenakan
keputusan sultan untuk tetap mempertahankan tanah lungguh di kalangan kerabat keraton karena banyak anggota keluarganya yang memiliki tanah dengan status
milik pribadi.Ibid., Hal. 59 Kebijakan reorganisasi agraria tahun 1912 sendiri merupakan pengembangan daru UU Agraria 1870 bdk. Kartodirjo, Sartono, et. al.
Sejarah Perkebunan Di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi Yogyakarta: 1991 Hal. 80 dan Sievers, Allen M,. The Mystical World Of Indonesia:Culture And
Economic Development In Conflict Baltimore:1974 Hal. 122-125
24
24
ini memberi kebebasan bagi perusahaan swasta untuk menanamkan modal termasuk di daerah Vorstenlanden sehingga menyebabkan berkembangnya
perusahaan perkebunan swasta onderneming.
Kedua, kebijakan untuk memperbaiki lembaga peradilan
10
dan institusi keamanan. Perlunya perbaikan institusi keamanan guna menjaga perkebunan
swasta dari tindakan kriminalitas seperti perampokan atau pembakar ladang perkebunan.
11
Untuk mengatasinya, dibentuklah Bupati Gunung atau Bupati Polisi yang bertugas menjaga keamanan di wilayah yang diampunya.
12
Munculnya
10
Widiyastuti, 1999, Aspek Legal Formal Tanah Lungguh Di Kasultanan Yogyakarta 1831-1918, Tesis, Universitas Gajah Mada. unpublished, hal. 151-
161. Sebelum reorganisasi lembaga peradilan dilaksanakan, Kesultanan Yogyakarta memiliki empat lembaga peradilan, yaitu Pengadilan Pradata yang
menangani perkara pidana begal, kecu, penjarahan, pembunuhan, perang desa, dll dan perdata jual beli, pergadaian, pinjaman, dll yang tidak berhubungan
dengan tanah, Pengadilan Surambi yang mengurusi masalah pidana dan perdata, dengan berasaskan kitab fiqih dalam agama Islam, Pengadilan Balemangu yang
mengurusi segala macam persoalan mengenai tanah dengan bersumber pada kitab Angger-Angger, terlebih bagian Angger Sadasa yang mengurusi masalah
pertanahan, dan Pengadilan Darah Dalem yang mengurusi permasalahan intern Keraton dan persoalan Putra Sentana Dalem.
11
W. Pranoto, Suhartono, Jawa Bandit-Bandit Pedesaan Studi Historis 1850-1942, Yogyakarta:2010 Hal. 157-160 Aktifitas kecu pencurian di malam
hari di Yogyakarta masuk pada tahap yang mencemaskan pada tahun 1850 seiring dengan munculnya perkebunanswasta di Yogyakarta. Karena tekanan
hidup yang sulit mulai dari sawah yang menjadi daerah perkebunan, adanya musim panceklik dan gagal panen banyak orang yang menjadi kecu dan
menjadikan daerah perkebunan swasta sebagai sasaran operasinya. Biasanya yang dirampok adalah hewan ternak maupun uang milik pengusaha perkebunan.
Aktifitas pembakaran daerah perkebunan sendiri dilakukan oleh para petani yang merasa dirugikan oleh merebaknya daerah perkebunan swasta yang menggusur
lahan pertanian rakyat, sehingga pembakaran ladang perkebunan dan bangunan pendukungnya dilakukan guna memuaskan rasa kesal mereka. Aktifitas
pembakaran lahan semakin meluas sejak tahun 1860.
12
Sesana, Riya, op.cit., Hal. 4-5
25
25
Bupati Gunung menjadi tanda dari keinginan serius Residen Yogyakarta dan Kesultanan Yogyakarta untuk menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah
Yogyakarta, terlebih di daerah perkebunan swasta.
Ketiga, perbaikan sarana transportasi seperti jalan raya dan jembatan.
guna mengangkut hasil bumi yang diproduksi dari perkebunan swasta sebelum dikirim menuju pasar Eropa lewat pelabuhan terdekat. Dengan diperbaikinya
jaringan jalan raya dan jembatan yang sebelumnya sempat rusak maupun terlantar akibat Perang Jawa, menjadikan daerah perkebunan swasta tidak mengalami
kesulitan dalam mendistribusikan hasil produksinya menuju daerah pelabuhan. Ketika masa Hamengkubuwana VI, pada tahun 1869 terdapat 58
perkebunan swasta di Yogyakarta, maka pada masa Hamengkubuwana VII jumlah persewaan tanah terjadi peningkatan sejalan dengan munculnya peraturan yang
mengatur persewaan tanah. Terdapat 61 perusahaan perkebunan swasta yang beroperasi mulai dari tahun 1890 hingga tahun 1921.
13
Untuk lebih jelas, di bawah ini terdapat daftar perusahaan perkebunan swasta yang melakukan aktifitas perkebunan pada tahun 189 dan daftar
perkebunan swasta yang membuat kontrak persewaan tanah di yogyakarta tahun 1920-1925. Perusahaan perkebunan tersebut bergerak di bidang usaha perkebunan
kopi, gula, dan indigo, karena ketiga komoditas tersebut merupakan komoditas yang laku di pasaran Eropa.
13
Pada tahun 1890, terdapat 42 perusahaan perkebunan swasta yang bergerak di bidang perkebunan gula, tembakau, dan indigo nila. Lalu, pada
tahun 1921, terdapat 19 perusahaan yang mengajukan izin perkebunan swasta. Lihat Lampiran Hal. 98-99.
26
26
Semakin maraknya perjanjian sewa tanah antara perusahaan perkebunan swasta dengan kerabat maupun pegawai Keraton tentu saja menimbulkan
beberapa masalah tersendiri bagi Keraton Yogyakarta, terlebih setelah selesainya Perang Jawa, Keraton Yogyakarta harus menanggung biaya perang yang
dikeluarkan oleh Belanda. Seperti diserahkannya daerah Mancanegara Bagelen, Banyumas, Kediri kepada Belanda.
14
Hal ini tentu saja memberatkan proses pembagian tanah lungguh bagi pegawai dan kerabat Keraton. Untuk mengatasi hal
tersebut, Keraton Yogyakarta memberlakukan penggajian dengan menggunakan uang, selain menggunakan tanah.
15
Proses pembagian tanah lungguh mulai lebih selektif untuk menentukan siapa saja yang benar-benar membutuhkan. Daerah yang masih bisa dikelola
sebagai tanah lungguh adalah daerah Mataram Bantul, Sleman, Kalasan dan sebagian Kulonprogo.
16
Wilayah tersebut dibagi dengan ketentuan 120 jung untuk putra mahkota, dan 96 jung untuk patih.
17
Setelah munculnya pemberian gaji berupa uang, mulai banyak pejabat-pejabat keraton yang mendapatkan gaji berupa
14
Widiyastuti, op.cit., Hal. 106
15
Ibid., Hal. 138 Penggunaan uang untuk memberi gaji bagi pejabat Keraton dimulai tahun 1812, setelah Keraton Yogyakarta kehilangan wilayah
Kedu. Sejak saat itu, pada tahun 1850-an, sistem pemberian gaji bagi pejabat keraton tidak hanya bertumpu pada tanah lungguh saja.Penerapan pemberian gaji
berupa uang. Penggunaan uang yang semakin meluas di masa ini membuat pemanfaatan uang oleh para pejabat kesultanan digunakan untuk pemenuhan
kebutuhan sosial dan politiknya. Ibid., Hal. 139
16
Ibid., Hal. 119
17
Ibid., Hal. 120 1 jung = 28.386 m
2
27
27
uang dan tidak lagi mendapat tanah sebagai pendapatannya. Hal ini menandai masuknya ekonomi moneter di Yogyakarta.
Munculnya ekonomi moneter tidak serta merta membuat pejabat keraton menggantungkan hidupnya hanya dari uang gaji. Tanah-tanah lungguh yang
dimiliki banyak disewakan kepada perusahaan perkebunan swasta. Hal ini dilakukan karena lebih menguntungkan bagi kas Keraton dan sebagai tambahan
penghasilan bagi pemilik tanah lungguh, selain gaji berupa uang yang diterima dari keraton
Keuntungan yang didapat bagi keraton adalah biaya sewa yang ditanggung para penyewa Eropa kepada para Patuh
18
lebih banyak dibanding jumlah pajak yang ditarik oleh para Bekel
19
kepada Patuh, belum lagi jumlah persenan yang didapat dari penyewa Eropa bila para Patuh bisa menyewakan wilayah strategis
kepada mereka. Selain itu, kewajiban para penyewa Eropa masih tetap melekat
18
Orang yang mendapatkan tanah lungguh dan dipercaya oleh Sultan untuk mengelolanya. Umumnya tinggal di wilayah Keraton Kuthagara atau
Negaragung yang jauh dari tanah lungguhnya agar dapat dengan mudah diawasi oleh Sultan. Dalam Suhartono, Apanage dan Bekel, Perubahan Sosial di
Pedesaan Surakarta 1830-1920. Yogyakarta:1991 Hal. 2, patuh berarti pekerjaan yang sudah ditetapkan. Bila dilihat kembali dalam pengertian patuh
pada paragraph ini, patuh merupakan orang yang telah ditetapkan status dan pekerjaannya oleh raja.
19
Petugas yang diserahi kewenangan oleh Patuh untuk memungut sebagian hasil tanah yang menjadi hak penguasa dari rakyat yang berada di tanah
lungguh patuh tersebut. Karena kemampuannya, Patuh mempercayakan Bekel untuk menghimpun dan mengorganisir tenaga kerja guna menghasilkan produk
agraris dengan kualitas dan kuantitas yang baik. lih. Suhartono, op.cit., Hal. 3
28
28
dalam sistem persewaan.
20
Sultan melihat keuntungan yang didapatkan oleh para patuh dari hasil menyewakan tanah cukup signifikan. Karena pertimbangan
tersebut akhirnya pesewaan tanah dibolehkan oleh Sultan.
21
Hal ini tentu saja berbeda pada sisi si penyewa tanah. Bagi pemilik perkebunan swasta, munculnya persewaan tanah di wilayah Kesultanan
Yogyakarta menjadikan berkembangnya wilayah onderneming yang membuat pemilik perkebunan swasta selalu mencari cara untuk memperluas tanah
perkebunan mereka. Hal ini yang menyebabkan tanah lungguh milik pejabat dan kerabat Keraton Yogyakarta makin banyak disewa.
Persewaan tanah lungguh dinilai lebih menguntungkan karena berbagai sebab, diantaranya:
1. Perkebunan Swasta bisa mengandalkan tenaga kerja rakyat yang ada di
wilayah yang disewanya.
22
20
BPAD DIY, Praktek Persewaan Tanah Lungguh Di Kesultanan Yogyakarta Pada Masa Sultan Hamengkubuwana VII Tahun 1877-1921.
Yogyakarta: 2009 Hal. 7-8
21
Untuk mengetahui persebaran perkebunan kopi, indigo, dan tebu serta pabrik gula yang berdiri diatas tanah-tanah lungguh di Yogyakarta dapat dilihat
pada peta di lampiran atau pada link http:kaarten.abc.ub.rug.nlrootafzindokrt- 1890-indo-djok-1 diakses pada tanggal 28 Oktober 2013
22
Dalam sistem tanah lungguh, raja tidak hanya menyerahkan tanah saja kepada pejabat atau kerabat keraton, melainkan disertai dengan rakyat yang
tinggal di dalamnya. Rakyat tersebut diharuskan untuk memberikan pajak kepada para patuh maupun bekel, baik dengan hasil bumi maupun dengan kerja bakti. Hal
ini bisa dibuktikan dari satuan ukuran pada tanah di masa ini, yaitu dengan menggunakan bahu atau karya atau cacah, yang menerangkan jumlah tanah yang
dapat dikerjakan seseorang dalam waktu sehari. Dengan cara ini, perusahaan perkebunan tidak harus mencari tenaga kerja dari tempat karena para penduduk
dapat diperintahkan untuk bekerja di daerah perkebunan dengan komando para patuh maupun bekel. Lih. Suhartono, Agroindustri dan Petani: Multi Pajak di
29
29
2. Perkebunan Swasta bisa bekerja sama dengan para patuh untuk
mendapatkan tanah yang baik kualitasnya dengan sistem persenan.
23
Karena sebab diataslah, perusahaan perkebunan swasta banyak menyewa tanah sebagai lokasi perkebunan mereka di daerah Vorstenlanden, khususnya di
Kesultanan Yogyakarta.
B. Munculnya Kebutuhan Akan Sarana Transportasi Kereta Api Di