19
19
BAB II KONDISI WILAYAH YOGYAKARTA PADA MASA
HAMENGKUBUWANA VII YANG MELATARBELAKANGI PEMBANGUNAN STASIUN KERETA API TUGU YOGYAKARTA
A. Kondisi  Kesultanan  Yogyakarta  Dan  Persawaan  Tanah  Pada  Masa
Hamengkubuwana VII
Sejarah  terbentuk  dan  berkembangnya  kota-kota  di  Nusantara  dibagi menjadi dua bagian, yaitu kota tradisional dan kota kolonial. Kota-kota tradisional
di  Nusantara,  terutama  di  Jawa,  berkembang  dengan  memperhatikan  konsep kosmologis  serta  kearifan  lokal  yang  didapat  dari  bentuk  hubungan  timbal  balik
antara lingkungan dengan manusia serta tidak melupakan unsur-unsur religi yang terkandung di dalamnya. Hal ini bisa kita lihat dengan munculnya elemen-elemen
seperti  adanya  keraton,  alun-alun,  masjid,  pasar,  dan  tembok  maupun  benteng yang  melindunginya.
1
Tanggal  dari  kelahiran  sebuah  kota  tradisional  biasanya terpapar dalam bentuk historiografi tradisional, seperti dalam prasasti, serat, babad,
maupun  rontal.  Walaupun  tidak  jarang  tanggal  keberadaan  kota  tersebut  tidak jelas karena berbagai mitos yang melekat.
Perkembangan  kota-kota  Kolonial  di  Nusantara  bermula  searah  dengan interaksi  penduduk  Pribumi  dengan  pendatang  Eropa.  Kota-kota  ini  terbentuk
untuk  memfasilitasi  pendatang  Eropa  yang  datang  ke  wilayah  koloninya  yang berada  di  Asia  maupun  Eropa.  Kondisi  ini  sering  menyebabkan  munculnya
ketidakseimbangan  antara  penduduk  Pribumi  dan  Barat  yang  tinggal  dan
1
Basundoro, Purnawan, Pengantar Sejarah Kota, Yogyakarta:2012 Hal. 45
20
20
menyebabkan  berbagai  macam  bentuk  perlawanan  untuk  mengusir  pendatang Eropa  yang  menjajah.  Berdirinya  kota-kota  kolonial  menandakan  sudah  semakin
kondusifnya  kondisi  daerah  koloni.  ada  beberapa  ciri  dari  kota-kota  kolonial, seperti  adanya  pemukiman  masyarakat  kolonial.  adanya  garnisun  pemukiman
tentara  untuk  tujuan  keamanan,  gudang  untuk  menyimpan  barang  hasil  bumi yang  diperdagangkan  di  dunia  internasional,  serta  terdapat  tempat  dimana  para
penguasa  kolonial  dapat  mengadakan  perjanjian  dagang  dengan  penguasa pribumi.
2
Wilayah  Yogyakarta  merupakan  sebuah  wilayah  yang  terbentuk  dengan mengikuti  prinsip  perkembangan  kota-kota  tradisional  di  Nusantara.  Dalam
sejarahnya, wilayah Yogyakarta terbentuk  dari Perjanjian Giyanti  yang membagi Kesultanan Mataram Islam menjadi dua bagian, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan
Kesunanan Surakarta. Perjanjian yang diprakarsai oleh Gubernur Jendral Hartingh ini ditandatangani oleh Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwono III pada tanggal
13 Februari 1755.
3
2
Ibid., hal. 84
3
Sri  Mulyati,  1996,  Perkembangan  Kota  Yogyakarta  Tahun  1756-1824 Tinjauan  Tata  Kota,  Skripsi,  Universitas  Indonesia,  unpublished,  Hal.  29.
Perjanjian  Gianti  lahir  sebagai  buah  perseteruan  Antara  R.  M.  Said  yang  tidak puas  dengan  semakin  gencarnya  pengaruh  VOC  dalam  keraton  hingga
Pakubuwana  II  mengikat  perjanjian  dengan  VOC  dalam  hal  monopoli perdagangan  dan  pegangkutan  di  Mataram  Lih.  Darmosugito,  Kota  Jogjakarta
200  tahun,
Yogyakarta:1956  Hal.  8  tentang  “Perjanjian  Ponorogo”  yang dimaksud  dengan    Pangeran  Mangkubumi  yang  sebelumnya  dijanjikan  daerah
Martapura bila berhasil memadamkan pemberontakan R. M. Said namun janjinya tidak pernah ditepati sehingga timbul kekecewaan dan berbalik bersekutu dengan
R. M. Said. Perjanjian ini sendiri dibuat setelah Pakubuwono II meninggal dunia dan  kekuasaan  Kesultanan  Mataram  Islam  diserahkan  kepada  penerusnya,
Pakubuwono III.
21
21
Wilayah Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwono III terdiri dari daerah Pajang,  Sukowati,  Jogorogo,  Ponorogo,  sebagan  Pacitan,  Kediri,  Blitar  dengan
Srengat  termasuk  Lodoyo,  Pace  Nganjuk-Berbek,  Wirosobo  Mojoagung, Blora,  Banyumas,  Banyumas  termasuk  Pamerden  atau  Banyumas  Timur  dan
Dayeuhluhur,  Keduwang  di  sebelah  tenggara  Surakarta,  serta  sebagian  Kedu yang dibagi dua.
4
Sedangkan  wilayah  Kesultanan  Yogyakarta  hasil  Perjanjian  Giyanti  yang dipimpin  oleh  Pangeran  Mangkubumi  dengan  gelar  Hamengku  Buwono  I
diantaranya  adalah  Madiun,  Magetan,  Caruban,  sebagian  Pacitan,  Kertosono, Kalangbret dan Ngrowo Tulungagung, Japan Mojokerto, Jipang Bojonegoro,
Teras  Karas  Ngawen,  Selo  daerah  Grobogan,  Warung  di  Blora,  Bagelen, Rema Karanganyar, serta sebagian wilayah Kedu.
5
Berdirinya Kesultanan
Yogyakarta tidak
hanya menjadikan
Hamengkubuwana I menjadi raja di wilayah tersebut, tetapi juga mengakomodasi Belanda  yang ingin  menyewa tanah lungguh  di  Yogyakarta.
6
Dengan munculnya persewaan  tanah  ini,  secara  perlahan  namun  pasti  warna-warna  kota  kolonial
4
Juwono,  Harto,  2011, “Persewaan  Tanah  Di  Kesunanan  Surakarta  Dan
Kesultanan  Yogyakarta  1818-1912:  Penerapan  Prinsip  Konkordari  Di  Wilayah Projo Kejawen
”, Disertasi Universitas Indonesia. unpublished, hal. 125
5
Ibid.
6
Tanah  lungguh  adalah  tanah  yang  diberikan  kepada  kerabat  Sultan  atau pegawai  Keraton  sebagai  kompensasi  atas  jabatan  yang  mereka  miliki.  Biasanya
dalam  tanah  lungguh  tersebut  sudah  termasuk  dengan  rakyat  yang  berada  di dalamnya.  Setiap  pejabat  maupun  kerabat  yang  memiliki  tanah  lungguh  tidak
diperbolehkan  untuk  menjual  tanah  tersebut  karena  secara  legal  formal  tanah  itu merupakan milik Sultan, dan mereka tetap harus membayar pajak dari hasil bumi
yang dikelola kepada Keraton yang diserahkan setiap perayaan Gerebek.
22
22
mulai  nampak  dengan  jelas,  seperti  munculnya  wilayah  perkantoran  dan  tangsi militer  orang  Belanda,  kehadiran  gereja  katolik  Kota  Baru  maupun  protestan  di
sebelah  utara  rumah  Residen  Yogyakarta,  serta  adanya  daerah  perumahan  untuk orang-orang Belanda di daerah Bintaran dan Kota Baru.
Persewaan  Tanah  di  Kesultanan  Yogyakarta  semakin  meningkat  jumlah dan luasnya  pada masa  pemerintahan Hamengkubuwana VII. Hal  ini disebabkan
keadaan  Hindia  Belanda  pada  masa  sebelumnya  mengalami  masa-masa  sulit, seperti  terjadinya  Perang  Jawa  pada  tahun  1825-1830,  hingga  selesainya  Perang
Jawa  dan  dimulainya  masa  Tanam  Paksa  Cultuurstelsel  tahun  1830
7
hingga dikeluarkannya UU Agraria tahun 1870.
7
Haryono,  Anton,  2009, “Industri  Pribumi  Yogyakarta  Masa  Kolonial,
1830-an – 1930-an”, Disertasi, Universitas Gajah Mada, unpublished, Hal. 337-
340  Meskipun  wilayah  Yogyakarta  yang  termasuk  dalam  Vorstenlanden  tidak mengalami  kebijakan  tanam  paksa  cultuurstelsel,  wilayah  ini  mengalami
persewaan  tanah  yang  diatur  dalam  perjanjian  sewa  tanah  antara  penyewa  tanah dengan  Kesultanan  Yogyakarta  dan  Gubernur  Jendral  Hindia  Belanda.  Tercatat
setidaknya pada tahun 1839 di Yogyakara terdapat 20 perkebunan swasta dengan luas 5.210 bau, sepuluh  tahun kemudian meningkat 12.836 bau. Tahun 1851 ada
43  perkebunan  dengan  luas  13.023  bau,  tahun  1861  meningkat  51  perkebunan dengan luas 56.000 bau, lalu tahun 1864 ada 53 perkebunan. Pada tahun 1865 ada
57  perkebunan  dan  tahun  1869  bertambah  satu  lagi.  Bertambahnya  persewaan tanah di Yogyakarta yang memasok barang kebutuhan di pasar Eropa seperti gula,
kopi,  dan  indigo  disebabkan  oleh  tingkat  kesuburan  tanahnya  yang  lebih  tinggi dari daerah lain serta tersedianya tenaga kerja yang berlimpah. Selain itu, wilayah
Vorstenlanden  merupakan  wilayah  dimana  eksploitasi  oleh  perusahaan  swasta diperbolehkan dengan aturan yang ketat. Hal ini sungguh berbeda dengan wilayah
Jawa lainnya yang mengalami masa Tanam Paksa dan berada di bawah eksploitasi pemerintah  Belanda.  Hal  ini  disebabkan  karena  persewaan  tanah  lungguh  yang
dimiliki  oleh  para  pegawai  Keraton  dan  kerabat  Sultan  kepada  perusahaan perkebunan  swasta.  Kepemilikan  tanah  lungguh  biasanya  disertai  dengan  rakyat
yang  berada  di  dalamnya,  sehingga  selain  mendapatkan  tanah,  perusahaan  yang menyewa  tanah  tersebut  juga  mendapat  tenaga  kerja  untuk  mengolah  lahannya.
Bdk.  Vincent  J.  H.  Houben,  Economic  Policy  In  The  Principalities  Of  Central Java In The Nineteenth Century, dalam Maddison, Angus et.al. Economic Growth
In Indonesia 1820-1940 Leiden:1989 Hal. 197.
23
23
Ada beberapa
peristiwa yang
menjadikan masa
pemerintahan Hamengkubuwana VII 1877-1921 menjadi masa yang penting dalam penyewaan
tanah di Yogyakarta, yaitu penandatanganan perjanjian dengan pemerintah Hindia Belanda  yang  diwakili  oleh  residen  Belanda  B.  Van  Baak  untuk  melakukan
reorganisasi  kebijakan agraris, perbaikan lembaga peradilan dan keamanan, serta pemeliharaan sarana transportasi.
8
Ketiga  buah  perjanjian  diatas  menjadi  pemicu  terjadinya  peningkatan aktifitas
persewaan tanah
di Yogyakarta
pada masa
pemerintahan
Hamengkubuwana  VII.  Pertama,  reorganisasi  kebijakan  agraris  menciptakan
sistem pengaturan dan pemilikan tanah  yang baru dengan dasar persewaan tanah yang kembali. Kebijakan reorganisasi agraria yang dilakukan di Yogyakarta tahun
1912-1918 dilakukan untuk memperbaharui sistem tanah lungguhnya yang dinilai ketinggalan  zaman  oleh  pejabat  residen  Belanda.
9
Kebijakan  reorganisasi  agraria
8
Poerwokusumo, Soedarisman,
Kasultanan Yogyakarta,
Yogyakarta:1985  Hal. 38.
9
Sesana, Riya, 2011,  Intrik Politik Dan Pergantian Tahta Di Kesultanan Yogyakarta  1877-1921,  Tesis,  Universitas  Indonesia.  unpublished,  hal.  30.
kebijakan dihilangkannya sistem lungguh di Yogyakarta diusulkan Belanda untuk mengakomodasi  kebutuhan  penyewa  tanah  akan  tanah  pertanian  yang  dapat
disewa.  Bila  sebelumnya  untuk  menyewa  tanah  diharuskan  meminta  izin kepada Keraton  Yogyakarta  dan  Gubernur  Hindia  Belanda,  dengan  diterapkannya
peraturan  ini  hanya  diperlukan  izin  dari  Gubernur  saja.  Meskipun  begitu,  tidak semua tanah lungguh benar-benar menghilang di Yogyakarta. Hal ini dikarenakan
keputusan sultan untuk tetap mempertahankan tanah lungguh di kalangan kerabat keraton  karena  banyak  anggota  keluarganya  yang  memiliki  tanah  dengan  status
milik  pribadi.Ibid.,  Hal.  59  Kebijakan  reorganisasi  agraria  tahun  1912  sendiri merupakan pengembangan daru UU Agraria 1870 bdk. Kartodirjo, Sartono, et. al.
Sejarah  Perkebunan  Di  Indonesia  Kajian  Sosial  Ekonomi  Yogyakarta:  1991 Hal.  80  dan  Sievers,  Allen  M,.  The  Mystical  World  Of  Indonesia:Culture  And
Economic Development In Conflict Baltimore:1974 Hal. 122-125
24
24
ini  memberi  kebebasan  bagi  perusahaan  swasta  untuk  menanamkan  modal termasuk  di  daerah  Vorstenlanden  sehingga  menyebabkan  berkembangnya
perusahaan perkebunan swasta onderneming.
Kedua, kebijakan  untuk  memperbaiki  lembaga  peradilan
10
dan  institusi keamanan.  Perlunya  perbaikan  institusi  keamanan  guna  menjaga  perkebunan
swasta  dari  tindakan  kriminalitas  seperti  perampokan  atau  pembakar  ladang perkebunan.
11
Untuk mengatasinya, dibentuklah Bupati Gunung atau Bupati Polisi yang  bertugas  menjaga  keamanan  di  wilayah  yang  diampunya.
12
Munculnya
10
Widiyastuti, 1999,  Aspek Legal Formal Tanah Lungguh Di Kasultanan Yogyakarta  1831-1918,  Tesis,  Universitas  Gajah  Mada.  unpublished,  hal.  151-
161.  Sebelum  reorganisasi  lembaga  peradilan  dilaksanakan,  Kesultanan Yogyakarta  memiliki  empat  lembaga  peradilan,  yaitu  Pengadilan  Pradata  yang
menangani  perkara  pidana  begal,  kecu,  penjarahan,  pembunuhan,  perang  desa, dll  dan  perdata  jual  beli,  pergadaian,  pinjaman,  dll  yang  tidak  berhubungan
dengan  tanah,  Pengadilan  Surambi  yang  mengurusi  masalah  pidana  dan  perdata, dengan  berasaskan  kitab  fiqih  dalam  agama  Islam,  Pengadilan  Balemangu  yang
mengurusi segala macam persoalan mengenai tanah dengan bersumber pada kitab Angger-Angger,  terlebih  bagian  Angger  Sadasa  yang  mengurusi  masalah
pertanahan,  dan  Pengadilan  Darah  Dalem  yang  mengurusi  permasalahan  intern Keraton dan persoalan Putra Sentana Dalem.
11
W.  Pranoto,  Suhartono,  Jawa  Bandit-Bandit  Pedesaan  Studi  Historis 1850-1942, Yogyakarta:2010  Hal. 157-160 Aktifitas  kecu pencurian di  malam
hari  di  Yogyakarta  masuk  pada  tahap  yang  mencemaskan  pada  tahun  1850 seiring  dengan  munculnya  perkebunanswasta  di  Yogyakarta.  Karena  tekanan
hidup  yang  sulit  mulai  dari  sawah  yang  menjadi  daerah  perkebunan,  adanya musim  panceklik  dan  gagal  panen  banyak  orang  yang  menjadi  kecu  dan
menjadikan daerah perkebunan swasta sebagai sasaran operasinya. Biasanya yang dirampok  adalah  hewan  ternak  maupun    uang  milik  pengusaha  perkebunan.
Aktifitas pembakaran daerah perkebunan sendiri dilakukan oleh para petani yang merasa  dirugikan  oleh  merebaknya  daerah  perkebunan  swasta  yang  menggusur
lahan  pertanian  rakyat,  sehingga  pembakaran  ladang  perkebunan  dan  bangunan pendukungnya  dilakukan  guna  memuaskan  rasa  kesal  mereka.  Aktifitas
pembakaran lahan semakin meluas sejak tahun 1860.
12
Sesana, Riya, op.cit., Hal. 4-5
25
25
Bupati  Gunung  menjadi  tanda  dari  keinginan  serius  Residen  Yogyakarta  dan Kesultanan  Yogyakarta  untuk  menjaga  keamanan  dan  ketertiban  di  wilayah
Yogyakarta, terlebih di daerah perkebunan swasta.
Ketiga, perbaikan  sarana  transportasi  seperti  jalan  raya  dan  jembatan.
guna  mengangkut  hasil  bumi  yang  diproduksi  dari  perkebunan  swasta  sebelum dikirim  menuju  pasar  Eropa  lewat  pelabuhan  terdekat.  Dengan  diperbaikinya
jaringan jalan raya dan jembatan yang sebelumnya sempat rusak maupun terlantar akibat  Perang  Jawa,  menjadikan  daerah  perkebunan  swasta  tidak  mengalami
kesulitan dalam mendistribusikan hasil produksinya menuju daerah pelabuhan. Ketika  masa  Hamengkubuwana  VI,  pada  tahun  1869  terdapat  58
perkebunan swasta di Yogyakarta, maka pada masa Hamengkubuwana VII jumlah persewaan  tanah  terjadi  peningkatan  sejalan  dengan  munculnya  peraturan  yang
mengatur  persewaan  tanah.  Terdapat  61  perusahaan  perkebunan  swasta  yang beroperasi mulai dari tahun 1890 hingga tahun 1921.
13
Untuk  lebih  jelas,  di  bawah  ini  terdapat  daftar  perusahaan  perkebunan swasta  yang  melakukan  aktifitas  perkebunan  pada  tahun  189  dan  daftar
perkebunan  swasta  yang  membuat  kontrak  persewaan  tanah  di  yogyakarta  tahun 1920-1925. Perusahaan perkebunan tersebut bergerak di bidang usaha perkebunan
kopi,  gula,  dan  indigo,  karena  ketiga  komoditas  tersebut  merupakan  komoditas yang laku di pasaran Eropa.
13
Pada  tahun  1890,  terdapat  42  perusahaan  perkebunan  swasta  yang bergerak  di  bidang  perkebunan  gula,  tembakau,  dan  indigo  nila.  Lalu,  pada
tahun  1921,  terdapat  19  perusahaan  yang  mengajukan  izin  perkebunan  swasta. Lihat Lampiran Hal. 98-99.
26
26
Semakin  maraknya  perjanjian  sewa  tanah  antara  perusahaan  perkebunan swasta  dengan  kerabat  maupun  pegawai  Keraton  tentu  saja  menimbulkan
beberapa masalah tersendiri bagi Keraton Yogyakarta, terlebih setelah selesainya Perang  Jawa,  Keraton  Yogyakarta  harus  menanggung  biaya  perang  yang
dikeluarkan  oleh  Belanda.  Seperti  diserahkannya  daerah  Mancanegara  Bagelen, Banyumas,  Kediri  kepada  Belanda.
14
Hal  ini  tentu  saja  memberatkan  proses pembagian tanah lungguh bagi pegawai dan kerabat Keraton. Untuk mengatasi hal
tersebut,  Keraton  Yogyakarta  memberlakukan  penggajian  dengan  menggunakan uang, selain menggunakan tanah.
15
Proses  pembagian  tanah  lungguh  mulai  lebih  selektif  untuk  menentukan siapa  saja  yang  benar-benar  membutuhkan.  Daerah  yang  masih  bisa  dikelola
sebagai  tanah  lungguh  adalah  daerah  Mataram  Bantul,  Sleman,  Kalasan  dan sebagian Kulonprogo.
16
Wilayah tersebut dibagi dengan ketentuan 120 jung untuk putra  mahkota,  dan  96  jung  untuk  patih.
17
Setelah  munculnya  pemberian  gaji berupa uang, mulai banyak pejabat-pejabat keraton yang mendapatkan gaji berupa
14
Widiyastuti, op.cit., Hal. 106
15
Ibid.,  Hal.  138  Penggunaan  uang  untuk  memberi  gaji  bagi  pejabat Keraton  dimulai  tahun  1812,  setelah  Keraton  Yogyakarta  kehilangan  wilayah
Kedu.  Sejak  saat  itu,  pada  tahun  1850-an,  sistem  pemberian  gaji  bagi  pejabat keraton tidak hanya bertumpu pada tanah lungguh saja.Penerapan pemberian gaji
berupa  uang.  Penggunaan  uang  yang  semakin  meluas  di  masa  ini  membuat pemanfaatan  uang  oleh  para  pejabat  kesultanan  digunakan  untuk  pemenuhan
kebutuhan sosial dan politiknya. Ibid., Hal. 139
16
Ibid., Hal. 119
17
Ibid., Hal. 120 1 jung = 28.386 m
2
27
27
uang  dan  tidak  lagi  mendapat  tanah  sebagai  pendapatannya.  Hal  ini  menandai masuknya ekonomi moneter di Yogyakarta.
Munculnya  ekonomi  moneter  tidak  serta  merta  membuat  pejabat  keraton menggantungkan  hidupnya  hanya  dari  uang  gaji.  Tanah-tanah  lungguh  yang
dimiliki  banyak  disewakan  kepada  perusahaan  perkebunan  swasta.    Hal  ini dilakukan  karena  lebih  menguntungkan  bagi  kas  Keraton  dan  sebagai  tambahan
penghasilan  bagi  pemilik  tanah  lungguh,  selain  gaji  berupa  uang  yang  diterima dari keraton
Keuntungan yang didapat bagi keraton adalah biaya sewa yang ditanggung para  penyewa  Eropa  kepada  para  Patuh
18
lebih  banyak  dibanding  jumlah  pajak yang  ditarik  oleh  para  Bekel
19
kepada  Patuh,  belum  lagi  jumlah  persenan  yang didapat  dari  penyewa  Eropa  bila  para  Patuh  bisa  menyewakan  wilayah  strategis
kepada  mereka.  Selain  itu,  kewajiban  para  penyewa  Eropa  masih  tetap  melekat
18
Orang  yang  mendapatkan  tanah  lungguh    dan  dipercaya  oleh  Sultan untuk  mengelolanya.  Umumnya  tinggal  di  wilayah  Keraton  Kuthagara  atau
Negaragung  yang  jauh  dari  tanah  lungguhnya  agar  dapat  dengan  mudah  diawasi oleh  Sultan.  Dalam  Suhartono,  Apanage  dan  Bekel,  Perubahan  Sosial  di
Pedesaan  Surakarta  1830-1920.  Yogyakarta:1991  Hal.  2,  patuh  berarti pekerjaan  yang  sudah  ditetapkan.  Bila  dilihat  kembali  dalam  pengertian  patuh
pada  paragraph  ini,  patuh  merupakan  orang  yang  telah  ditetapkan  status  dan pekerjaannya oleh raja.
19
Petugas  yang  diserahi  kewenangan  oleh  Patuh  untuk  memungut sebagian hasil tanah yang menjadi hak penguasa dari rakyat yang berada di tanah
lungguh  patuh  tersebut.  Karena  kemampuannya,  Patuh  mempercayakan  Bekel untuk  menghimpun  dan  mengorganisir  tenaga  kerja  guna  menghasilkan  produk
agraris dengan kualitas dan kuantitas yang baik. lih. Suhartono, op.cit., Hal. 3
28
28
dalam sistem persewaan.
20
Sultan melihat keuntungan  yang didapatkan oleh para patuh  dari  hasil  menyewakan  tanah  cukup  signifikan.  Karena  pertimbangan
tersebut akhirnya pesewaan tanah dibolehkan oleh Sultan.
21
Hal  ini  tentu  saja  berbeda  pada  sisi  si  penyewa  tanah.  Bagi  pemilik perkebunan  swasta,  munculnya  persewaan  tanah  di  wilayah  Kesultanan
Yogyakarta  menjadikan  berkembangnya  wilayah  onderneming  yang  membuat pemilik  perkebunan  swasta  selalu  mencari  cara  untuk  memperluas  tanah
perkebunan mereka. Hal ini yang menyebabkan tanah lungguh milik pejabat dan kerabat Keraton Yogyakarta makin banyak disewa.
Persewaan  tanah  lungguh  dinilai  lebih  menguntungkan  karena  berbagai sebab, diantaranya:
1. Perkebunan Swasta bisa mengandalkan tenaga kerja rakyat yang ada di
wilayah yang disewanya.
22
20
BPAD  DIY,  Praktek  Persewaan  Tanah  Lungguh  Di  Kesultanan Yogyakarta  Pada  Masa  Sultan  Hamengkubuwana  VII  Tahun  1877-1921.
Yogyakarta: 2009 Hal. 7-8
21
Untuk  mengetahui  persebaran  perkebunan  kopi,  indigo,  dan  tebu  serta pabrik  gula  yang  berdiri  diatas  tanah-tanah  lungguh  di  Yogyakarta  dapat  dilihat
pada peta di lampiran atau pada link http:kaarten.abc.ub.rug.nlrootafzindokrt- 1890-indo-djok-1 diakses pada tanggal 28 Oktober 2013
22
Dalam  sistem  tanah  lungguh,  raja  tidak  hanya  menyerahkan  tanah  saja kepada  pejabat  atau  kerabat  keraton,  melainkan  disertai  dengan  rakyat  yang
tinggal di dalamnya. Rakyat tersebut diharuskan untuk memberikan pajak kepada para patuh maupun bekel, baik dengan hasil bumi maupun dengan kerja bakti. Hal
ini  bisa  dibuktikan  dari  satuan  ukuran  pada  tanah  di  masa  ini,  yaitu  dengan menggunakan bahu atau karya atau cacah, yang menerangkan jumlah tanah yang
dapat  dikerjakan  seseorang  dalam  waktu  sehari.  Dengan  cara  ini,  perusahaan perkebunan  tidak  harus  mencari  tenaga  kerja  dari  tempat  karena  para  penduduk
dapat  diperintahkan  untuk  bekerja  di  daerah  perkebunan  dengan  komando  para patuh  maupun  bekel.  Lih.  Suhartono,  Agroindustri  dan  Petani:  Multi  Pajak  di
29
29
2. Perkebunan  Swasta  bisa  bekerja  sama  dengan  para  patuh  untuk
mendapatkan tanah yang baik kualitasnya dengan sistem persenan.
23
Karena  sebab  diataslah,  perusahaan  perkebunan  swasta  banyak  menyewa  tanah sebagai  lokasi  perkebunan  mereka  di  daerah  Vorstenlanden,  khususnya  di
Kesultanan Yogyakarta.
B. Munculnya  Kebutuhan  Akan  Sarana  Transportasi  Kereta  Api  Di