Munculnya Kebutuhan Akan Sarana Transportasi Kereta Api Di

29 29 2. Perkebunan Swasta bisa bekerja sama dengan para patuh untuk mendapatkan tanah yang baik kualitasnya dengan sistem persenan. 23 Karena sebab diataslah, perusahaan perkebunan swasta banyak menyewa tanah sebagai lokasi perkebunan mereka di daerah Vorstenlanden, khususnya di Kesultanan Yogyakarta.

B. Munculnya Kebutuhan Akan Sarana Transportasi Kereta Api Di

Yogyakarta Meningkatnya persewaan tanah yang dipakai untuk perkebunan swasta membuat semakin mendorong meningkatnya arus transportasi untuk mengangkut barang hasil perkebunan dari perkebunan tersebut menuju daerah pelabuhan. Sebagai perbandingan, sebelum Perang Jawa, Residen Yogyakarta, Mayor Hubert Gerard Nahuys van Burgst 1818-1823 membuat kesepakatan kepada Keraton Surakarta dan Yogyakarta agar bertanggung jawab atas keselamatan barang- barang hasil perkebunan yang diangkut hingga sampai batas wilayah kedua kerajaan tadi. 24 Nahuys menyadari pentingnya sarana transportasi untuk mengirim barang hasil perkebunan di Yogyakarta dan Surakarta menuju pelabuhan-pelabuhan Vorstenlanden 1850-1900, dalam Harahap, Arselan. Prisma, Industri Perkebunan: Kemakmuran Untuk Siapa? Jakarta:1991 Hal. 16-17. 23 BPAD DIY, op.cit., Hal. 7 24 Harto Juwono, op.cit., Hal. 145 30 30 ekspor yang berada di utara Jawa harus melalui jalan yang panjang. Kondisi ini merupakan perjalanan yang beresiko, terutama pada keamanan barang tersebut. Selesainya Perang Jawa menyebabkan permasalahan di bidang transportasi. Akses jalan dari dan menuju Yogyakarta mengalami kerusakan. Jalan raya dan jalan militer yang dibuat guna memadamkan Perang Jawa banyak mengalami kerusakan. terlebih setelah perang selesai kondisi jalan tersebut menjadi tidak terurus. 25 Perbaikan jalan mulai dilakukan pada jalur yang menuju Semarang serta yang mengarah ke timur menuju Surakarta dengan melewati Klaten. Perbaikan jalan juga dilakukan di daerah selatan Yogyakarta, tepatnya di daerah pegunungan selatan menuju Pacitan untuk memperlancar akses perdangangan sarang burung di Rongkop, Gunung Kidul. Selain itu, dibangun juga jalan yang menuju Bagelen melewati Brosot dan Semangi menuju Purworejo pada tahun 1832. 26 Membaiknya kondisi ekonomi Belanda makin mendorong pembangunan di Hindia Belanda, antara lain pembangunan fasilitas transportasi darat yang terus dilakukan oleh Belanda. Hingga akhir abad 19 di Hindia Belanda sudah terbangun jaringan jalan sepanjang 20.000 Km, 250 jembatan batu dengan panjang lebih dari 10 meter, 1500 jembatan kecil, serta sekitar 10.000 jembatan besi. 27 Pembangunan fasilitas transportasi bertujuan untuk mendukung kemampuan bersaing Belanda di 25 Surjomihardjo, Abdurahman, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe, Sejarah Sosial 1880-1930, Jakarta:2008. Hal. 25 26 Ibid. 27 Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 1500-1900: Dari Emporium Sampai Imperium, Jakarta:1991. Hal. 362 31 31 tengah-tengah persaingan perdagangan hasil bumi di wilayah Asia, khususnya Asia Tenggara. Karena bagi Belanda, dengan lancarnya arus transportasi dari daerah hulu 28 yang merupakan daerah penghasil komoditas hasil bumi, semakin cepat komoditas tersebut dapat dikapalkan dan semakin cepat pula tersedia di pasaran dunia. Pembangunan fasilitas tersebut memang bertujuan mempercepat laju transportasi komoditas ekspor. Hanya saja, ada empat faktor yang masih memperlambat arus transportasi komoditas ekspor tersebut, yaitu faktor cuaca, faktor keamanan, faktor alat transportasi yang dipakai, dan faktor harga. Faktor pertama adalah alat transportasi yang dipakai. Pada masa itu, untuk mengangkut hasil bumi dipakai gerobak yang masih ditarik sapi atau kerbau. Ketersediaan sapi dan kerbau yang terbatas serta masih diharuskannya pengusaha perkebunan untuk mengusahakan alat transportasinya sendiri membuat pihak pengusaha harus membuat perjanjian kerja dengan para petani yang memiliki gerobak untuk disewa baik selama proses pengangkutan dari ladang menuju pabrik maupun dari pabrik menuju daerah pelabuhan. 29 Faktor kedua adalah faktor cuaca. Cuaca menyebabkan pengiriman komoditas menjadi tidak tepat waktu yang menyebabkan kapal-kapal di pelabuhan 28 Wolfe, Roy L., Transportation and Politics Kanada: 1963 Hal. 52. Wilayah ini juga disebut core area, wilayah inti yang menjadi penentu dari jalannya kegiatan perekonomian suatu wilayah, misalnya daerah pertanian atau pertambangan. Karenanya lalu lintas barang dan manusia serta arus komunikasi di wilayah ini lebih ramai dari daerah lainnya. 29 Widi Wardojo, Waskito, 2012, “Jalur Kereta Api Semarang-Surakarta dan Pengaruh Sosial Ekonomi di Karesidenan Surakarta ”, Tesis, Universitas Gadjah Mada, unpublished, Hal. 65 32 32 hilir harus menunggu lama karena barang muatan yang tak kunjung datang. Terlambatnya pengiriman komoditas ekspor tersebut dikarenakan kondisi jalan yang berupa tanah sehingga bila hujan turun dapat berubah menjadi genangan lumpur. Tentu saja ini menyulitkan gerobak yang ditarik oleh sapi atau kerbau untuk melewatinya. Faktor ketiga adalah faktor keamanan yang sangat rawan karena pengiriman lewat darat dalam jumlah besar menarik perhatian banyak orang dan tak jarang menarik perhatian banyak orang. Tidak hanya barang bawaannya saja yang memiliki resiko dicuri, resiko sapi atau kerbau yang menarik gerobak untuk dicuri atau mati dalam perjalanan juga sangat tinggi. Faktor keempat adalah faktor harga. Walaupun dengan banyaknya permintaan akan gerobak mengakibatkan keberadaan gerobak menjadi sangat banyak, bahkan pemilik gerobak boleh dikatakan menjadi pekerjaan semi professional, harga yang ditawarkan selalu naik karena persaingan antara perusahaan satu dan yang lainnya yang berani menyewa dengan harga tinggi. Sebagai gambaran, harga biaya angkut gerobak dengan muatan satu pikul kopi dari Kedu Magelang menuju Semarang saja pada tahun 1840 seharga f 3.30. Harga itu naik dari harga tahun 1833 yang sekitar f 1, 36. 30 Sebagai gambaran tentang penggunaan gerobak sebagai sarana pengangkutan di Yogyakarta pada masa ini, daya jelajal gerobak tidak hanya terbatas di lingkungan Yogyakarta saja Wates, Gondomanan, Ngabean, 30 Zuhdi, Susanto, Cilacap 1830-1942, Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa, Jakarta: 2002 Hal. 42 33 33 Lempuyangan, Utara Tugu, Utara Pasar Beringharjo, Kaliurang, tetapi sampai wilayah Magelang, Temaggung, Wonosobo, Solo, Sragen, dan Purworejo. 31 Biasanya gerobak tersebut dikontrak oleh pabrik gula guna mengangkut barang pada masa penanaman dan pemeliharaan tebu untuk mengangkut bibit tebu, pupuk dan obat tanaman dari pabrik ke lahan penanaman, hingga pada masa panen tebu untuk mengangkut hasil panen ke pabrik. 32 Untuk menjaga efektifitas pengiriman barang komoditas ekspor tersebut, Belanda mulai memikirkan skenario-skenario yang cocok untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Berawal dari artikel majalah Kopiist, tahun 1842 dengan judul “Jalur-Jalur Kereta Uap dan Gerbong-Gerbongnya”, impian masyarakat dan pemerintah akan kehadiran sebuah alat transportasi yang aman, cepat, dan tepat waktu semakin nyata. 33 Setelah perdebatan yang berlangsung cukup lama tentang pengelolaan jaringan kereta api uap di Hindia Belanda, akhirnya pemerintah Belanda berhasil membuat aturan seputar penyelenggaraan jaringan kereta api uap yang dipegang oleh perusahaan swasta NISM. Kereta api pertama di Hindia Belanda dapat beroperasi melintasi jalur Semarang-Tanggung Grobogan, Jawa Tengah pada tanggal 10 Februari 1870 31 Wikanto, Edi, 1986, “Gerobak Sebagai Sarana Transportasi Di Yogyakarta Antara Tahun 1942-1972: Kaitannya Dengan Kondisi Sosial Ekonomi”, Skripsi, Universitas Gadjah Mada, unpublished, Hal. 14-15 32 Ibid.,. Hal. 19 33 Mrazek, Rudolf, Engginers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni, Jakarta:2006 Hal. 9 34 34 dan menghubungkan Surakarta. Pada tanggal 10 Juni 1872, jalur yang tersambung menuju Yogyakarta berhasil diselesaikan. Keunikan jalur kereta api di Jawa, yang langsung terhubung dengan kota- kota pelabuhan serta penggunaannya yang pada awalnya untuk mengangkut hasil perkebunan membuat usaha kereta api memiliki kedekatan dengan industri pelayaran dan pelabuhan. Seperti jalur kereta NISM yang memiliki hubungan baik dengan pelabuhan di Semarang. Meskipun pada masa ini era Liberalisme sedang berlangsung, ternyata Pemerintah Belanda juga memiliki kepentingan untuk membangun jaringan kereta api milik perusahaan pemerintah Belanda. Melihat peluang dari dibukanya jalur kereta api oleh NISM, segera dibentuk badan usaha milik pemerintah Belanda yang bergerak di bidang transportasi, De Staatsspoor en Tramwegen SS di Hindia Belanda berdiri tahun 1878. 34 Pada gilirannya, SS dapat berperan menjadi pesaing yang baik bagi NISM maupun perusahaan swasta lainnya yang mulai bermunculan dan menanam rel di pulau Jawa. Jumlah jalur yang dimiliki SS sepanjang 187.283 Km 35 . Untuk jalur kereta milik swasta NISM, dan perusahaan swasta lainnya di Jawa Tengah 34 Dasrin Zen dan PT. Kereta Api Persero, Tanah Kereta Api :Suatu Tinjauan Historis, Hukum AgrariaPertanahan dan Hukum Pembendaharaan Negara, Bandung: 2000 Hal. 1 35 Zuhdi, Susanto, CILACAP 1830-1942: Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa, Jakarta:2002 Hal. 43 35 35 berjumlah 1665 Km. 36 Status Yogyakarta dan Surakarta yang merupakan wilayah hulu dan maraknya kegiatan sewa menyewa tanah menjadikan daerah tersebut sebagai target utama dalam jalur transportasi kereta api. Jalur kereta api SS yang ada di Yogyakarta berawal dari Stasiun Tugu yang berdiri tanggal 12 Mei 1887 37 dan terhubung dengan pelabuhan Cilacap di sebelah barat Yogyakarta. Munculnya SS membawa pengaruh bagi persewaan tanah di Yogyakarta, yaitu tumbuhnya perkebunan swasta di sebelah barat Yogyakarta yang makin tumbuh seiring dengan terbentuknya jalur kereta api milik SS yang menuju Pelabuhan Cilacap. Diantaranya Cultuur Maatschappij der Vorstenlanden Sewoegaloer, NV. Cultuur Maatschappij Padokan en Barongan Padokan, Cultuur Maatschappij der Vorstenlanden Rewoeloe, N.V. Maatschappij tot Exploitatie der Suiker Fabriek Tjebongan, dan Indigo Onderneming Soember Nilo. 38 36 Putra, Tiyas Adi, 2012, “Latar Belakang Pemilihan Lokasi Stasiun Tugu dan Stasiun Lempuyangan Yogyakarta ”, Skripsi, Universitas Gajah Mada, unpublished. Hal. 28. 37 Ballegoijen de Jong, Michiel van, Spoorwegstations Op Java, Amsterdam:1997 Hal 146 38 Data diolah dari http:kaarten.abc.ub.rug.nlrootafzindokrt-1890-indo- djok-1 diakses pada tanggal 28 Oktober 2013 dan BPAD DIY, Ibid., Hal. 5-6 36 36

BAB III PEMBANGUNAN DAN PERKEMBANGAN STASIUN TUGU DI