49
49
rencana  untuk  menambah  jalur  kereta  api.
18
Padahal,  masih  banyak  sekali  badan usaha  yang  membutuhkan  jasa  kereta  api  untuk  menghubungkan  wilayah
pedalaman  yang  penuh  dengan  daerah  perkebunan  serta  pabrik-pabrik  pengolah bahan  baku  menuju  daerah  pelabuhan  untuk  dikirim  ke  pasar  luar  negeri.  Selain
itu, bagi pemerintah, fungsi jalur kereta api yang menghubungkan seluruh bagian di  Pulau  Jawa  juga  memiliki  arti  penting  dalam  hal  pertahanan  dan  keamanan,
serta dalam menjalankan fungsi pemerintahan dengan efisien. Atas  dasar  itulah,  pemerintah  Belanda  membentuk  SS,  perusahaan  kereta
api  milik  Belanda  guna  menghubungkan  seluruh  bagian  pulau  Jawa  dengan jaringan  kereta  api  sebagai  fungsi  pertahanan  dan  keamanan,  serta  fungsi
pemerintahan
19
.  Yogyakarta  yang  merupakan  bagian  dari  wilayah  Vorstenlanden tidak terkecuali juga menjadi bagian dari rancangan jalur rel kereta api yang akan
dilaluinya. Jalur kereta api  yang menghubungkan Yogyakarta merupakan terusan dari jalur Bandung-Tjilatjap.
C. Berdirinya Stasiun Tugu Di Yogyakarta
SS ikut serta dalam pembangunan stasiun kereta api di daerah Yogyakarta. Seperti di bab-bab sebelumnya yang menerangkan bagaimana stasiun kereta api di
Asia  Tenggara  menghubungkan  wilayah  hulu  dengan  wilayah  hilir,  pada  tahun
18
Kartodirdjo,  Sartono,  Pengantar  Sejarah  Indonesia  Baru,  1500-1900: Dari Emporium Sampai Imperium, Jakarta:1991 Hal. 364
19
REITSMA,  S.  A.,  op.cit.,  ______:1940  Hal.  10.  Pada  tanggal  18 Agustus  1860,  pemerintah  Belanda  mengeluarkan  Staatsblad  nomer  45  yang
menjadi landasan hukum berdirinya perusahaan kereta api negara milik Belanda, De Staatsspor en Tramwegen SS. Perusahaan SS sendiri akhirnya benar-benar
50
50
1887  berdiri  Stasiun  Tugu  di  Yogyakarta  yang  menghubungkannya  dengan Pelabuhan  Cilacap.
20
Pembangunan  stasiun  ini  menjadikannya  sebagai  stasiun pertama  dan  satu-satunya  yang  menghubungkan  akses  Yogyakarta  dengan
wilayah pelabuhan di selatan Jawa. Pada  masa  pembangunannya,  Stasiun  Tugu  memiliki  berbagai  macam
persoalan  yang  harus  dihadapi,  seperti  permasalahan  tentang  bagaimana memecahkan  permasalahan  dari  rencana  penghentian  proyek  pembangunan  jalur
kereta api milik Pemerintah Belanda di Jawa sebagai langkah penghematan biaya guna membiayai Perang Aceh, kesulitan mencari letak, dimana stasiun tugu akan
dibangun, penentuan daerah mana saja yang akan dilalui jalur rel, pembagian jalur dengan NISM, serta mencari tenaga kerja untuk pembangunan stasiun kereta api.
Pada  awal  masa  pembangunannya,  jalur  kereta  api  milik  pemerintah Belanda  yang  menghuungkan  Yogyakarta  merupakan  bagian  yang  tidak
terpisahkan  dari  upaya  menghubungkan  seluruh  bagian  pulau  Jawa  dengan jaringan  kereta  api  yang  bisa  diakses  oleh  pemerintah  sepanjang  waktu  demi
berjalannya  tugas  pertahanan,  keamanan,  dan  pemerintahan  dengan  lancer.  Jalur yang menghubungkan daerah Cilacap dengan Yogyakarta merupakan terusan dari
jalur Bandung-Cilacap yang pernah diusulkan oleh Pieter Philip van Bosse tahun 1871.
Pembangunan jalur yang diteruskan menuju Yogyakarta terancam berhenti sekitar tahun 1884. Hal ini dikarenakan terbatasnya anggaran Pemerintah Belanda
20
Zuhdi,  Susanto,  CILACAP  1830-1942:  Bangkit  dan  Runtuhnya  Suatu Pelabuhan di Jawa, Jakarta:2002 Hal. 43
51
51
untuk membiayai pembangunan jalur kereta api SS yang sebagian besar dialihkan untuk membiayai Perang Aceh, dimana biaya perang Aceh pada tahun 1883 saja
sudah  mencapai  200  juta  Gulden.
21
Hal  ini  masih  diperparah  dengan  jatuhnya harga  kopi  di  pasaran  internasional.  Kopi  yang  merupakan  salah  satu  komoditas
ekspor  andalan  Hindia  Belanda  akhirnya  tidak  bisa  diharapkan  banyak  untuk mendongkrak  pemasukan  Belanda  guna  membangun  fasilitas  pendukung  di
Hindia Belanda.
22
Karena  kesulitan  dalam  hal  keuangan,  Pemerintah  Belanda  memiliki rencana  untuk  menghentikan  pembangunan  jalur  kereta  api  SS  di  Pulau  Jawa,
seperti  di  jalur Cicalengka-Cilacap,  Cilacap-Yogyakarta,  dan  Yogyakarta-
Magelang.  Penghentian  pembangunan  ini  tidak  berlaku  untuk  jalur  yang  menuju pelabuhan Oedjoeng di Surabaya.
21
Ibid.,  Hal. 74
22
Memburuknya  harga  jual  kopi  dan  juga  tanaman  lainnya  disebabkan oleh  letusan  gunung  Krakatau  yang  terjadi  tahun  1883.  Ledakan  ini
mengakibatkan 18Km
3
debu vulkanik menutupi langit selama dua tahun. Akibat dari ledakan ini, tanaman kopi yang ditanam di dataran tinggi tidak dapat tumbuh
dengan baik karena suhu yang terlalu dingin serta tidak cukupnya sinar matahari untuk peroses perkembangannyamengakibatkan tanaman kopi tidak dapat tumbuh
dengan  baik,  serta  terjadi  penurunan  kualitas  yang  mengakibatkan  menurunnya harga  kopi  Lih.  Crib,  Robert,  dkk.,  Historical  Dictionary  of  Indonesia,
Maryland:2002.  Hal.224.  Menurunnya  harga  kopi  juga  berdampak  pada pelabuhan  Cilacap  yang  dikhususkan  untuk  mengangkut  kopi  dari  daerah
Priangan,  Kedu,  Pasuruan,  Banyumas,  Bagelen.  Lih.  Zuhdi,  Susanto,  CILACAP 1830-1942, Jakarta:2002. Hal. 20. Bila kopi yang dikirim tidak sesuai kuantitas
dan  kualitasnya  dengan  biaya  pengiriman,  pelabuhan  Cilacap  akan  mengalami kerugian,  dan  pembangunan  jaringan  kereta  api  untuk  tujuan  mengangkut  kopi
dari daerah akan ditangguhkan untuk sementara.
52
52
Hal  tersebut  tentu  saja  tidak  bisa  diterima  oleh  berberapa  kalangan, terutama untuk jalur Cilacap-Yogyakarta, dimana perjanjian konsesi sudah berada
dalam  tahap  yang  serius.
23
Untuk  menengahi  permasalahan  tersebut,  Menteri urusan  daerah  jajahan  Franciscus  Gerard  van  Bloemen  Waanders  menegaskan
pentingnya  penggabungan  sistem  kereta  api  milik  pemerintah  dengan  swasta, dimana  Pemerintah  berperan  untuk  melaksanakan  pembangunan  jalur  kereta  api,
dan  setelah  jalur  tersebut  selesai  nantinya  akan  dijual  kepada  perusahaan  swasta untuk dikelola.
24
Keputusan  Van  Bloemen  Waanders  akhirnya  diwujudnyatakan  dengan dibuatnya  proposal  oleh  Marschalk  dan  Grooll  yang  berisikan  permintaan  untuk
meneruskan jalur-jalur yang belum selesai dan nantinya akan dijual kepada pihak swasta setelah semuanya selesai dibangun, serta akan dilakukan pembelian ulang
jika  memungkinkan.  Selain  itu,  untuk  jalur  eksploitasi  yang  menuju  ke  arah Yogyakarta  kecuali  Yogyakarta-Magelang,  bila  ternyata  keuntungan  yang
diperoleh  kurang  dari  4  persen  per  tahun,  pemerintah  akan  menetapkan  aturan
23
_______, Statistiek Van Het Vervoer Op De Spoorwegen En Tramwegen In  Nederlandsch-Indie  Over  Het  Jaar  1890,  Batavia:1892  Hal.  12  Perjanjian
konsesi untuk jalur kereta api Yogyakarta-Cilacap ditandatangani pada perjanjian pada tanggal 20 Juli 1884 dalam Staatblad Lembar Pemerintahan 111.
24
Ibid.,    Hal.  75.  Selain  itu,  Van  Bloemen  Waanders  juga  keberatan  bila hasil  kerja  keras  yang  dilakukan  oleh  J.  A.  Kool  dan  N.  A.  Henket  pada  tahun
1869  untuk  mengetahui  lebar  rel  yang  cocok  dengan  kondisi  Pulau  Jawa  serta memudahkan dalam  pengoperasian dan perawatannya terbuang percuma.  Karena
itu,  untuk  mencari  jalan  tengah  dari  permasalahan  ini,  Van  Bloemen  Waanders menggabungkan  pola  manajemen  dan  operasional  milik  perusahaan  pemerintah
dan swasta.
53
53
khusus  untuk  menanggulanginya.
25
Proposal  yang  diajukan  oleh  Marschalk  dan Groll  akhirnya  disetujui  oleh  pemerintah  sehingga  jalur  kereta  api  SS  dapat
diselesaikan. Dengan selesainya pembangunan jalur tersebut, perusahaan SS dapat mengembalikan modal pembangunan lewat biaya pengangkutan kereta api.
Selain  dari  kesulitan  keuangan  yang  dihadapi,  pada  masa  pembangunan jalur Cilacap-Yogyakarta, SS sibuk mencari lokasi untuk dijadikan pembangunan
stasiun.  Kesulitan  ini  sangat  dirasakan  karena  stasiun  yang  akan  dibangun  bisa menjangkau wilayah kota Yogyakarta dan wilayah perkebunan di di sebelah barat
Yogyakarta. Untuk menyelesaikan hal tersebut, pemerintah Belanda merasa perlu berdiskusi dengan Sultan Yogyakarta saat itu, Hamengku Buwana VII. Dari hasil
diskusi  tersebut  Sultan  memberikan  lahan  untuk  stasiun  berikut  jalur-jalurnya secara gratis.
26
Diberikannya  tanah  tersebut  secara  gratis  cukup  beralasan.  Pada  masa Hamengkubuwana  VII,  di  Yogyakarta  terdapat  banyak  sekali  lahan-lahan  yang
disewakan untuk perkebunan swasta maupun pabrik pengolahan hasil bumi seperti nila  dan  gula.  Kehadiran  persewaan  tanah  ini  tentu  saja  menambah  pemasukan
bagi  kas  keraton.  Dengan  munculnya  stasiun  kereta  api,  banyak  perusahaan perkebunan  dan  pabrik-pabrik  yang  terbantu  yang  nantinya  akan  mengundang
penanam modal untuk datang ke Yogyakarta.
25
Ibid.
26
Ballegoijen  de  Jong,  Michiel  van,  Spoorwegstations  Op  Java, Amsterdam:1997 Hal. 146
54
54
Selain itu, letak pembangunan Stasiun Tugu yang berada di pusat kota dan di  sebelah  utara  Keraton  mengindikasikan  penempatannya  yang  memiliki  alasan
berdasarkan  letak  kosmologis  masyarakat  Yogyakarta.  Seperti  yang  sudah  kita ketahui,  pada  masa  kerajaan  Islam  terjadi  perubahan  dalam  konsep  kosmologis,
dimana  kerajaan  Hindu-Buddha  pada  masa  lampau  menganut  konsep desentralisasi mulai menganut konsep sentralisasi, dimana Keraton menjadi pusat
dari pemerintahan. Tetapi, pada Kraton Yogyakarta, beberapa konsep kosmologis Hindu-Buddha masih dipakai dan disesuaikan dalam perkembangannya.
Pemberian  tanah  secara  gratis  oleh  Sultan  Hamengku  Buwana  VII  di daerah  tersebut  bukan  tanpa  alasan.  Letaknya  yang  berada  di  sebelah  utara
merupakan perwujudan  dari empat arah mata  angin  yang dijaga oleh Sang Catur Lokapala,  empat  dewa  dalam  mitologi  Hindu.  Arah  utara  dijaga  oleh  Dewa
Kuwera yang merupakan lambang dari Dewa  Wisnu. Dewa ini dipercaya sebagai sebagai  penjaga  wilayah  kemakmuran.  Selain  itu,  letaknya  yang  berada  di  dekat
Keraton masih termasuk dalam wilayah Nagara yang merupakan wilayah ibukota dan  tempat  kedudukan  pemerintah  luar.  Dengan  diletakannya  Stasiun  Tugu  di
wilayah  ini  membuat  Keraton  menganggap  pentingnya  peran  serta  fasilitas tersebut  bagi  kemakmuran  Keraton  sendiri,  selain  juga  memudahkan  dalam  hal
pengawasannya. Dalam  penentuan  daerah  yang  akan  dibangun  jalur-jalur  kereta  api,  ada
kalanya  jalur  tersebut  memotong  daerah  konsesi  pertanian  atau  pertambangan  di Yogyakarta.  Seperti  yang  terjadi  pada  saat  pembangunan  stasiun  Tugu  di
55
55
Yogyakarta,  saat
H.W.  Dalfsen  memiliki  rencana  untuk  menambang  batu  yang dalam bahasa Melayu disebut Batu Hitam
27
di daerah Kulonprogo.
28
Pada saat pembangunan jalur SS tersebut, jalur yang akan dipakai menembus dari Cilacap lewat Sentolo sebelum akhirnya ke Yogyakarta. Mengingat kedua badan
usaha tersebut sama-sama memiliki hak konsesi, secara otomatis pemerintah Belanda dan  Keraton  merasa  perlu  untuk  mencari  solusi  yang  bisa  menyelesaikan
permasalahan tersebut secara baik-baik. Dari  penetapan  jalur  ini  bisa  dilihat  arah  konsentrasi  Stasiun  Tugu  yang
menghubungkan  wilayah  Yogyakarta  dengan  Pelabuhan  Cilacap.  Jalur  ini  memiliki panjang  187.283  Km  dan  dibuat  dalam  waktu  delapan  tahun,  dari  tahun  1879-1887.
Tujuan  dari  pembangunannya  untuk  mengakomodasi  pabrik-pabrik  gula  di  wilayah barat  Yogyakarta  agar  produk-produk  mereka  lebih  cepat  menuju  daerah  pelabuhan
dibandingkan dengan menuju wilayah pelabuhan Semarang.
29
Akhirnya,  di  bulan  Juli  1894,  Dalfsen  sepakat  dengan  SS  untuk  tetap meneruskan  pembangunan  yang  melewati  daerah  pertambangannya.  Hanya  saja,  SS
wajib  membangun  rel  lori  khusus  yang  tersambung  dengan  stasiun  wates;  serta kemudahan  dalam  pengangkutan  hasil  tambang  tersebut  menuju  Pelabuhan  Cilacap
dengan harga khusus.
30
27
Ada kemungkinan batu hitam yang dimaksud mengandung bijih besi.
28
Juwono,  Harto,  op.cit.,  Hal.  275.  Konsesi  pertambangan  ini  juga dinamai sebagai Mijnconcessie Kliripan Konsesi Pertambangan Kliripan.
29
Zuhdi, Susanto, op.cit., Hal. 43-45
30
Juwono, Harto, op.cit., Hal.278-279
56
56
Walaupun  sudah  ditetapkan  daerah  mana  saja  yang  akan  ditetapkan sebagai tempat dibangunnya jalur tersebut, SS masih harus berkompromi dengan
NISM. Alasannya dikarenakan NISM sudah lebih dulu  membuat  jalur kereta api di  Yogyakarta.  Bila  muncul  sebuah  badan  usaha  yang  bergerak  di  bidang  yang
sama  pastinya  akan  muncul  persaingan  dagang.  Apalagi  kehadiran  Stasiun  Tugu yang cukup dekat jaraknya dengan Stasiun Lempuyangan.
Persaingan  dagang  antara  SS  dan  NISM  ini  dimulai  dari  perbedaan  lebar rel yang dipakai oleh kedua perusahaan tersebut. NISM menggunakan rel dengan
lebar  1.435  mm.  rel  ini  termasuk  rel  besar  breedspoor.  Rel  yang  besar  ini dimaksudkan  agar  pengangkutan  hasil  bumi  menjadi  monopoli  NISM  tanpa
campur  tangan  perusahaan  kereta  api  lainnya  di  masa  mendatang.
31
Rel  yang digunakan  SS  merupakan  rel  normal  normaalspoor  dengan  lebar  yang  hanya
1.067  mm.  pembangunan  rel  ini  dimaksudkan  untuk  memperkecil  biaya
31
Tri  Utomo,  Suryo  Hapsoro,  Jalan  Rel,  Yogyakarta:2009  Hal.  20 Penggunaan  rel  besar  dinilai  memakan  biaya  perawatan  yang  cukup  besar  bagi
pemerintah  Hindia  Belanda.  Bahkan,  sebelum  NISM  membangunnya  sudah ditegur  oleh  pemerintah  untuk  mengganti  rel  tersebut  dengan  rel  normal
normaalspoor  yang  hanya  sebesar  1.067  mm.  Akhirnya  setelah  perdebatan sengit  pihak  pemerintah  Belanda  pada  masa  itu  setuju  dengan  pembangunan  rel
besar dengan syarat NISM lah yang menanggung biaya perawatannya. Alasan lain kenapa NISM tetap menggunakan lebar rel 1.435 mm dikarenakan sebelum jalur
Semarang-Tanggung  diresmikan  pada  tahun  1867,  NISM  sudah  membeli lokomotif  pada  tahun  1863  dari  pabrik  Borsch  di  Jerman.  Lebar  rel  ini  sampai
sekarang masih dipakai di negara Amerika, Jepang, beberapa negara Eropa, Turki, dan Iran.
57
57
perawatan.  Perbedaan  lebar  rel  ini  membuat  kedua  stasiun  tidak  dapat  saling berhubungan.
32
Pada  saat  mencari  tenaga  kerja  untuk  membangun  stasiun  Tugu,  Belanda mengalami  kesulitan  untuk  mendatangkan  tenaga  kerja  yang  bisa  terus  bekerja
agar target  pembangunan bisa selesai  dengan  cepat.  Kesulitan ini dialami karena penggunaan  tenaga  kerja  dari  Jawa  yang  bukan  benar-benar  spesialis  dalam
bidang itu.
33
Untuk mengatasi masalah tersebut para mandor lebih memilih tenaga dari  etnis  Tionghoa  yang  walaupun  bayarannya  mahal  tetapi  dapat  dipekerjakan
secara  terus  menerus.  Dalam  hal  pemberian  upah,  diberlakukan  upah  borongan,
32
Tri Utomo, Suryo Hapsoro, op.cit. Hal. 20 Perbedaan penggunaan lebar rel  ini  awalnya  dikarenakan  NISM  yang  mengadopsi  secara  langsung  teknologi
kereta api dari negara-negara Eropa yang memakai lebar rel sepanjang 1.435 mm. Lebar rel tersebut kebanyakan dipakai di negara Eropa Barat dan Tengah. Melihat
lebar  rel  yang  dinilai  terlalu  boros  untuk  perawatannya,  anggota  kementerian urusan  daerah  jajahan,  De  Waal  menugaskan  J.  A.  Kool  Ketua  Insinyur  SS  di
Belanda  dan  N.  A.  Henket  Profesor  Universitas  Delft  pada  tanggal  24  Maret 1869  untuk  mengetahui  lebar  rel  yang  cocok  dengan  kondisi  Pulau  Jawa  bagi
pembangunan  jaringan  kereta  api  SS  di  Hindia  Belanda.  Dari  hasil  penelitian mereka diputuskan lebar rel 1.067 mm lebih cocok untuk dipakai karena lebar rel
ini dapat menanggung beban secara maksimal sertabiaya yang dikeluarkan untuk pengerjaan  dan  pemeliharaannya  lebih  murah  dibandingkan  lebar  rel  1.435  mm.
Bdk. Jan De Bruin, op.cit., Hal. 16.
33
Hal  ini  dikarenakan  kebanyakan  dari  para  tenaga  kerja  tersebut sebenarnya  masih  merupakan  petani  yang  memiliki  ladang  garapan.  Mereka
menjadi  tukang  bangunan  untuk  mencari  pendapatan  setelah  musim  tanam  dan musim panen selesai, dimana lahan tidak membutuhkan perawatan secara intensif.
Bila musim hujan dimulai mereka akan kembali  untuk mengurus ladang garapan tersebut.  Hal  ini  sering  disalah  artikan  oleh  mandor  Belanda  yang  menganggap
mereka malas dan tidak suka bekerja keras. Lih. J. H. Houben, Vincent, Keraton dan  Kompeni:  Surakarta  dan  Yogyakarta,  1830-1870,  Yogyakarta:2002  Hal.
673
58
58
bukan upah harian. Hal ini untuk mewaspadai para pekerja yang sengaja berlama- lama dalam pekerjaannya agar upah yang mereka dapat lebih banyak.
Stasiun  Tugu  dimulai  bersamaan  dengan  dibangunnya  jalur  kereta  api antara  Yogyakarta-Cilacap  pada  tahun  1879  dengan  panjang  jalur  187,283  Km
dengan biaya sebesar 14.709.074,75 Gulden.
34
Pembangunan Stasiun Tugu selesai pada tahun 1887, bersamaan dengan selesainya  jalur rel  yang menuju Pelabuhan
Cilacap tanggal 20 Juli 1887.
35
Dengan selesainya pembangunan ini, Stasiun Tugu bisa  bersaing  dalam  bidang  pengangkutan  barang  seperti  yang  dilakukan  oleh
Stasiun  Lempuyangan  dibawah  manajemen  NISM.
36
Bangunan  Stasiun  Tugu bergaya  Art-Deco  yang  ditandai  dengan  penggunaan  sudut  yang  kokoh.
Stasiunnya  sendiri  terdiri  dari  sebuah  bangunan  stasiun  besar  dengan  atap  dari besi bengkok dan dua sisi atap berbentuk sadel di kedua sisinya.
37
Pembangunan  Stasiun  Tugu,  selain  sebagai  bagian  dari  usaha  pemerintah menghubungkan  seluruh  pulau  Jawa  dengan  jalur  kereta  api  untuk  kepentingan
pertahanan dan keamanan serta menjalankan fungsi pemerintahan, juga digunakan untuk  memudahkan  transportasi  gula  dari  pabrik-pabrik  di  daerah  Yogyakarta,
34
Zuhdi,  Susanto,  op.cit.,  Hal.  43.  Untuk  seterusnya,  jarak  dari  jalur Yogyakarta-Cilacap bisa dibulatkan menjadi 187,5 Km.
35
Putra, Tiyas Adi, 2012, “Latar Belakang Pemilihan Lokasi Stasiun Tugu
dan  Stasiun  Lempuyangan  Yogyakarta”,  Skripsi,  Universitas  Gajah  Mada, unpublished.  Hal. 28-29
36
Zuhdi,  Susanto,  op.cit.,  Hal.  66.  Selesainya  jalur  ini  merupakan  wujud dari  persaingan  dagang  dengan  NISM  yang  memiliki  jalur  menuju  Pelabuhan
Semarang.
37
Ballegoijen de Jong, Michiel van, op.cit., Hal. 145.
59
59
terutama  pabrik  gula  di  wilayah  Barat  Yogyakarta,  seperti  di  Rewulu,  Klaci, Sedayu,  dan  Sewugalur  Kulon  Progo,  seperti  tampak  pada  potongan  peta  di
halaman berikutnya: Gambar 3.1, Peta Jalur Kereta Api Yogyakarta Yang Melewati Sebelah Barat
Yogyakarta.
38
Sumber: http:media-kitlv.nlall- mediaindelingdetail?q_searchfield=ppn:85073701X diakses tanggal 28 Oktober
2013 Meskipun SS sempat rugi pada masa awal pendirian Stasiun Tugu, karena
pabrik-pabrik  gula  di  sebelah  barat  Yogyakarta  masih  mengikat  kontrak  dengan Pelabuhan  Semarang,  pada  tahun  1888  mulai  nampak  keuntungan  yang  didapat
karena  biaya  pengangkutan  dengan  jalur  kereta  api  menuju  Pelabuhan  Cilacap lebih murah dibandingkan dengan menuju Pelabuhan Semarang. Sebagai  contoh,
Pabrik Gula Sewugalur di Kulonprogo harus menghabiskan biaya f 70.200 dengan rincian  f  8.040  untuk  pengangkutan  dari  Wates  ke  Yogyakarta,  f  44.160  untuk
pengangkutan dari Yogyakarta ke Semarang, serta 18.000 untuk biaya pengapalan. Bandingkan  dengan  pengangkutan  ke  Pelabuhan  Cilacap  yang  hanya
38
Perhatikan  objek  merah  berbentuk  rumah  dengan  kepulan  asap  yang menandakan pabrik gula. Stasiun Tugu sendiri terletak di pusat Kota Yogyakarta,
perhatikan garis hitam yang menandakan rel kereta api.
60
60
menghabiskan  biaya  f  53.100  dengan  rincian  f  41.100  untuk  biaya  angkut  dari Wates ke Pelabuhan Cilacap dan f 12.000 untuk biaya pengapalan.
39
Selisih yang ada sebesar f 17.100 cukup membuktikan bagaimana jarak antara perusahaan gula
di  sebelah  barat  Yogyakarta  lebih  menguntungkan  untuk  mengirim  barang produksinya lewat Pelabuhan Cilacap dengan menggunakan jasa kereta api SS.
Untuk melihat kerugian dan keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan kereta  api  SS  di  Jalur  Yogyakarta-Cilacap,  bisa  dilihat  pada  tabel  di  halaman
berikutnya: Tabel 3.2 Jumlah Keuntungan Dan Kerugian Perusahaan SS Di Jalur Yogyakarta-
Cilacap. Tahun
Kerugian Keuntungan
1887 F 13.060
- 1888
- F 35.185
1889 -
F 26.935 1890
- F 156.762
1891 -
F 215.217 1892
- F 152.320
1893 -
F 284.876 1894
- F 243.095
Jumlah F 1.123.412
Sumber: Susanto Zuhdi, CILACAP 1830-1942: Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa, Jakarta:2002 Hal. 46
Ternyata  muncul  kebutuhan  untuk  menghubungkan  Stasiun  Tugu  dan Stasiun  Lempuyangan.  Pada  Tahun  1887  Stasiun  Tugu  melayani  kereta  SS  dan
NIS walaupun bangunan stasiun tersebut dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda. Akhirnya,  agar  dapat  terhubung  pada  tanggal  14  Juni  1895  dibuat  kesepakatan
antara SS dengan NISM agar dibangun rel ketiga yang dapat melewati jalur timur
39
Zuhdi, Susanto, op.cit. Hal. 44
61
61
dan  barat  Stasiun  Tugu  dengan  beberapa  peryaratan,  diantaranya  biaya pemasangan rel  yang ditanggung pemerintah Hindia Belanda, batang rel tersebut
menjadi  milik  NISM,  dan  angkutan  lokal  Yogyakarta-Solo  sampai  Srandakan, Bantul dimonopoli oleh NISM.
40
Besoknya,  tanggal  15  Juni  1895,  jalur  tersebut  dapat  dipakai  untuk pengangkutan barang baik bagi kereta api yang transit maupun kereta api ekspres
milik  negara.  Stasiun  Tugu  akhirnya  mempunyai  dua  macam  jalur,  yaitu  jalur utara yang dilalui oleh trem NISM dengan jurusan Magelang dan Ambarawa dan
kereta  SS  dengan  jurusan  Bandung-Batavia-Surabaya.  Sedangkan  pada  jalur selatan  dipergunakan  oleh  kereta  NISM  dengan  jurusan  Solo,  Kota  Gede  dan
Brosot.
41
Sejak tahun 1929 terdapat dua jalur yang saling berdekatan, dimana jalur besar yang menyimpang menuju Solo dan jalur kecil yang menuju Surabaya.
Perkembangan Stasiun Tugu terus terjadi di tahun-tahun berikutnya, Salah satunya  adalah  penambahan  jalur  pada  tahun  1894,  dimana  dibuka  jalur  antara
Batavia-Buitenzorg-Yogyakarta-Surabaya.  Dibukanya  jalur  barat  westerlijnen dan  jalur  timur  oosterlijnen  pada  tahun  1894  itu,  maka  jarak  antara  Batavia-
Surabaya  via  Yogyakarta  yang  sepanjang  800  km  dapat  ditempuh  hanya  dalam waktu 13,5 jam saja.
42
40
Widi Wardojo, Waskito, 2012, “Jalur Kereta Api Semarang-Surakarta
Perubahan  Sosial  Ekonomi  Di  Karesidenan  Surakarta ”, Tesis, Universitas Gajah
Mada, unpublished Hal. 88
41
Ibid.
42
Riyanto, Bedjo, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial 1870-1915, Yogyakarta:2000  Hal 34
62
62
Pada tahun 1906 dibuka lagi jalur Batavia-Krawang-Bandung-Yogyakarta- Surakarta-Surabaya.  Tahun  1912,  dibuka  jalur  melalui  Cirebon  dengan  jurusan
Batavia-Cirebon-Semarang-Surabaya  yang disambung ke Yogyakarta pada tahun 1917  dengan  jalur  Batavia-Cirebon-Kroya-Yogyakarta-Surabaya.  Dengan
pembangunan  jalur-jalur  tersebut,  terbukalah  akses  di  Pulau  Jawa  yang menghubungkan  pintu  masuk  di  utara  Semarang,  barat  Batavia,  Timur
Surabaya dan Selatan Cilacap. Perkembangan Stasiun Tugu tidak hanya dalam penambahan jalur-jalurnya
saja, tetapi juga dalam muatan yang diangkutnya. Bila semula tujuan dibentuknya Stasiun  Tugu  adalah  untuk  mengangkut  hasil  bumi  dari  perkebunan  maupun
pabrik-pabrik  di  Yogyakarta,  dengan  terbukanya  akses  menuju  berbagai  wilayah di Jawa serta lokasi dari stasiun yang strategis membuat SS mulai berpikir untuk
mengangkut  penumpang.  Pertimbangan  ini  dikarenakan  pemerintah  Hindia Belanda  membutuhkan  sarana  kereta  api  untuk  mengangkut  penumpang  dari
Batavia  menuju  Surabaya,  karenanya  dibutuhkan  stasiun  yang  bisa  mengangkut penumpang  di  Vorstenlanden.  Pada  tahun  1905,  Stasiun  Tugu    mulai  melayani
kereta penumpang.
43
Untuk mengakomodasi penumpang kereta api, Stasiun Tugu mengadakan renovasi  pada  struktur  bangunannya.  Pada  tahun  1906,  Stasiun  Tugu  mulai
mendapatkan  sambungan  listrik.  Hal  ini  penting  untuk  mengakomodasi penerangan  bagi  penumpang  di  malam  hari.  Pada  tahun  1927  stasiun  tersebut
43
Sulistyani,  Harmilyanti,  2010, “Tata  Ruang  Dalam  Bangunan  Stasiun
KA  di  Jalur  Semarang-Vorstenlanden  Periode  1864- 1930”,  Tesis,  Universitas
Gajah Mada, unpublished Hal. 78
63
63
direnovasi dan diperbesar untuk memfasilitasi kereta barang dan penumpang agar tidak  mengganggu  kegiatan  operasionalnya  serta  menambah  keamanan  dan
kenyamanan dalam pelayanan jasa kereta api.
D. Perbandingan Stasiun Tugu dan Lempuyangan dalam data stasitik