seseorang. Berdoa dalam kelompok juga dapat meningkatkan rasa kebersamaan melalui berpartisipasi dalam sebuah ritual bersama.
Keterlibatan bersama orang lain menjauhkan individu dari perasaan terisolasi dan kesendirian Sarason, dalam Levine 2008. Selain itu,
dalam sebuah kelompok doa, biasanya para anggota dapat menyediakan pemenuhan kebutuhan emosional dan bantuan yang lebih
kongkrit untuk satu sama lain. Oleh karena itu, berdoa dalam kelompok juga dianggap sebagai bagian dari upaya pencarian
dukungan sosial.
C. Hubungan antara Frekuensi Berdoa dengan Adversity Quotient
Individu yang berdoa membentuk gambaran-gambaran tertentu mengenai Tuhan Stolz, dalam Levine 2008. Faktanya adalah orang-orang
yang berdoa percaya bahwa mereka sedang berinteraksi, berbicara, dan memiliki hubungan dengan aktor lain yang benar-benar mendengar,
memahami, dan bereaksi terhadap mereka Sharp, 2010. Selama interaksi berlangsung, individu yang berdoa percaya bahwa Tuhan mampu memberikan
bantuan apapun. Doa memunculkan pemikiran bahwa betapapun sulitnya masa sekarang, Tuhan dapat membuatnya berbeda di masa depan. Lowenthal
2000 berpendapat bahwa individu yang berdoa memiliki keyakinan bahwa “Tuhan akan membuat semua indah pada waktunya”. Dengan demikian,
tindakan berdoa menghasilkan optimisme dan orientasi ke masa depan Ai et al., dalam Levine 2008. Menurut Stoltz 2000 sikap optimis dan orientasi ke
masa menggambarkan skor yang tinggi pada salah satu dimensi Adversity Quotient, yaitu dimensi Endurance. Individu dengan Endurance yang tinggi
akan memandang permasalahan sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, akan segera berlalu, dan kecil kemungkinannya akan terjadi lagi di masa depan.
Pandangan seperti ini akan meningkatkan optimisme dan dorongan untuk bertindak.
Sumber daya kognitif lain yang dapat diperoleh individu melalui berdoa adalah bahwa berdoa dapat membantu mengklarifikasi pikiran dan
perasaan seseorang yang berbicara pada diri sendiri ketika berbicara dalam hati Ho, Chan, Peng Ng, dalam Levine 2008. Johnson dalam Lowenthal,
2000 secara khusus mengatakan bahwa doa dapat digunakan sebagai alat untuk mengklarifikasi tujuan hidup dimana seseorang dapat mendedikasikan
dirinya. Selain itu, doa juga dapat meningkatkan fokus hidup dan membantu individu untuk melepaskan kekuatan laten untuk mencapai tujuan hidupnya.
Kemampuan untuk mengingat kembali tujuan yang menyebabkan individu terlibat dalam suatu situasi sulit dapat membantu individu untuk membatasi
suatu permasalahan agar tidak terlihat semakin membesar Stoltz, 2000. Selain itu, Johnson dalam Lowenthal, 2000 juga mengatakan bahwa berdoa
untuk orang lain dapat menjadi salah satu cara untuk menolong orang lain yang sedang berada dalam kesulitan. Stoltz 2000 mengatakan bahwa
menolong orang lain yang memiliki masalah yang lebih besar dapat membantu individu untuk menghargai nasibnya dan melihat betapa kecilnya
permasalahan yang sedang dihadapinya. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa meningkatkan fokus pada tujuan dan membantu orang lain yang berada dalam kesulitan akan membantu individu untuk mengembalikan suatu
permasalahan pada tempat yang semestinya agar tidak menjangkau bidang kehidupan yang lain. Kemampuan tersebut terkait dengan dimensi reach yang
ada pada Adversity Quotient Stoltz, 2000. Johnson dalam Lowenthal, 2000 mengatakan bahwa dalam situasi
yang penuh permasalahan, doa memungkinkan munculnya pengakuan dari dalam diri manusia atas kesalahan yang telah dilakukan. Namun Levine
2008 mengatakan bahwa ketika dihadapkan pada suatu permasalahan individu yang berdoa mampu memandang asal-usul dari sebuah kesulitan
dengan lebih positif, yaitu sebagai cobaan dari Tuhan. Individu yang berdoa meyakini bahwa Tuhan yang maha bijaksana selalu melakukan sesuatu untuk
kebaikan manusia, bahkan walaupun manusia tidak bisa melihatnya pada saat itu. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk khawatir tentang perkara sulit
karena mereka meyakini bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi kekuatan manusia. Keyakinan tersebut menyebabkan mereka
menganggap kesulitan sebagai sebuah kesempatan untuk belajar menjadi individu yang lebih baik lagi dan pada akhirnya doa mendorong mereka untuk
mengambil tindakan penyelesaian masalah. Stoltz 2000 mengatakan bahwa individu dengan skor yang tinggi pada dimensi origin-ownership mengakui
kesalahan yang telah diperbuatnya sebagai bentuk dari rasa tanggung jawab, namun tidak melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab dari
permasalahan yang sedang terjadi. Mereka memiliki kemampuan untuk
menempatkan asal usul dari suatu permasalahan dengan lebih positif. Rasa bersalah yang sewajarnya akan membantu individu untuk belajar menjadi
lebih baik lagi, namun rasa bersalah yang berlebihan akan melemahkan. Taylor et al. dalam
Miller et al., 2011 mengatakan bahwa individu
lebih cenderung untuk berdoa ketika situasi semakin sulit dan tidak dapat dikendalikan. Hubungan dengan sesuatu yang tansenden dapat berfungsi
sebagai kerangka dimana seseorang dapat memperkuat pengendalian diri Gall et al., dalam Miller et al. 2011. Berdoa dapat memperkuat pengendalian diri
seseorang karena melalui berdoa individu mendapatkan sumber daya pengalihan emosi yang dapat digunakan dengan segera ketika berhadapan
dengan kesulitan. Dengan berdoa individu dapat mencegah rangsangan emosi negatif masuk ke kesadaran kognitif. Dengan demikian, berdoa dapat
membantu individu untuk mengendalikan diri dan tidak bereaksi dengan emosi negatif yang dapat memperburuk situasi Sharp, 2010. Selain itu,
Sharp 2010 mengatakan bahwa individu yang meminta pertolongan kepada Tuhan melalui doa merasakan karakteristik Tuhan sebagai figur yang memiliki
kemampuan untuk membuat segala sesuatu terjadi dalam kehidupan individu Cerulo Barra, dalam Sharp 2010. Gambaran tentang Tuhan sebagai sosok
yang maha kuasa, maha tahu, dan selalu hadir menumbuhkan keyakinan bahwa “Bersama Tuhan tidak ada yang mustahil” Thoits, dalam Levine
2008. Tuhan juga dipersepsikan sebagai figur yang penuh kasih, kuat, dan peduli. Lowenthal 2000 berpendapat bahwa individu yang berdoa memiliki
keyakinan bahwa Tuhan akan menuntunnya untuk melewati masa-masa sulit.
Persepsi ini memberi individu rasa perlindungan yang pada akhirnya memberi mereka kekuatan dan keberanian dalam mengandalikan situasi sulit Sharp,
2010. Keberanian dan kekuatan untuk mengandalikan situasi sulit, serta kemampuan untuk mengendalikan emosi negatif ketika dihadapkan pada suatu
permasalahan dimiliki oleh individu dengan skor yang tinggi pada dimensi control Stoltz, 2000.
Gambar 1 Hubungan antara Frekuensi Berdoa dengan
Adversity Quotient
BERDOA
Sumber daya reinterpretasi
kognitif
“Semua akan indah pada waktunya”
Optimisme dan orientasi ke masa depan
Klarifikasi tujuan Menolong orang lain yang
sedang kesulitan Membatasi suatu
permasalahan agar tidak terlihat semakin membesar
Pengakuan atas suatu kesalahan
“Masalah adalah cobaan dari Tuhan” dan merupakan
kesempatan untuk belajar Tanggung jawab
Menempatkan asal usul permasalahan dengan lebih
positif Doa sebagai sumber daya
pengalihan emosi negatif “Bersama Tuhan tidak ada
yang mustahil”
“ “Tuhan menuntun dalam
setiap kesulitan ”
Kemampuan mengendalikan emosi
Keberanian dan kekuatan mengendalikan situasi sulit.
Endurance
Reach
Origin - Ownership
Control
ADVERSITY
QUOTIENT
D. Hipotesis