disimpulkan bahwa subjek dalam penelitian ini memiliki Adversity Quotient yang cenderung tinggi.
E. Kategorisasi
Kategorisasi dilakukan untuk mengelompokkan subjek ke dalam tingkatan kategori tertentu. Skor yang diperoleh dalam penelitian ini
dikelompokkan ke dalam 3 kategori, yaitu tinggi, sedang, dan rendah.
Tabel 7 Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Skala Frekuensi Berdoa
Norma Rentang Nilai
Kategori Frekuensi Persentase X 139.5 + 17.9
X 157.4 Tinggi
2 3.5
139.5 – 17.9 ≤ X
≤ 139.5 + 17.9 121.6
≤ X ≤ 157.4
Sedang 47
82.5
X 139.5 – 17.9
X 121.6 Rendah
8 14
Jumlah 57
100
Tabel 8 Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Skala
Adversity Quotient
Norma Rentang Nilai
Kategori Frekuensi Persentase X 143.4 + 23.6
X 167 Tinggi
7 12
143.4 – 23.6 ≤ X
≤ 143.4 + 23.6 119.8
≤ X ≤ 167 Sedang 42
74
X 143.4 – 23.6
X 119.8 Rendah
8 14
Jumlah 57
100
Dari hasil penghitungan data diketahui bahwa dalam variabel frekuensi berdoa subjek yang termasuk dalam kelompok kategori tinggi
sebanyak 4 , kategori sedang sebanyak 82 , dan kategori rendah sebanyak 14 . Dalam variabel Adversity Quotient subjek yang termasuk dalam
kelompok kategori tinggi sebanyak 12 , kategori sedang sebanyak 74 , dan kategori rendah sebanyak 14 .
F. Analisis Data Penelitian
1. Uji Normalitas
Dari hasil penghitungan data, dapat disimpulkan bahwa sebaran data yang diperoleh dari masing-masing variabel berdistribusi normal. Hal
ini dibuktikan dengan signifikansi sebaran data masing-masing variabel berada diatas 0,05, yaitu 0.642 untuk data variabel frekuensi berdoa dan
0.899 untuk data variabel Adversity Quotient.
2. Uji Linearitas
Dari hasil penghitungan data, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara kedua variabel tidak linear. Hal ini dibuktikan dengan
signifikansi linearitas kedua variabel berada diatas 0.05, yaitu 0.218.
3. Uji Hipotesis
Dari hasil penghitungan data, diketahui bahwa koefisien korelasi variabel frekuensi berdoa dan Adversity Quotient adalah 0.122 dengan
signifikansi 0.366. Arikunto 2006 mengatakan bahwa koefisien korelasi yang berada pada rentang 0.000
– 0.200 menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki korelasi yang sangat rendah, angka koefisien korelasi
yang positif menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki hubungan yang searah. Taraf signifikansi yang berada diatas 0.05 menunjukkan bahwa
kedua variabel memiliki hubungan yang tidak signifikan.
G. Pembahasan
Pada penjabaran data sebelumnya, diperoleh kesimpulan bahwa kedua variabel dalam penelitian ini memiliki korelasi yang sangat rendah dan
tidak signifikan. Kesimpulan ini menunjukkan bahwa hipotesis awal penelitian ini, yaitu ada hubungan positif dan signifikan antara frekuensi
berdoa dan Adversity Quotient ditolak. Ditolaknya hipotesis dalam penelitian ini mendorong peneliti untuk melakukan evaluasi dalam beberapa hal.
Dilihat dari kajian teori, Stoltz 2000 mengatakan bahwa Adversity Quotient seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor keyakinan dan sisi
keimanan seseorang, tetapi dipengaruhi juga oleh faktor genetika dan pendidikan. Stoltz 2000 menjelaskan bahwa meskipun warisan genetis tidak
akan menentukan nasib seseorang, namun faktor ini pasti ada pengaruhnya. Hal ini didasari oleh banyaknya hasil penelitian yang membuktikan bahwa
genetika sangat
mendasari perilaku
seseorang. Penelitian
lainnya memperlihatkan bahwa suasana hati dan tingkat kecemasan juga memiliki
kaitan genetis. Faktor lain yang dapat mempengaruhi Adversity Quotient seseorang adalah pendidikan. Stoltz 2000 mengatakan bahwa pendidikan
seseorang bisa mempengaruhi kecerdasan, pembentukan kebiasaan yang sehat, perkembangan watak, keterampilan, hasrat, dan kenerja yang dihasilkan.
Dalam penelitian ini, tingkat Adversity Quotient yang dimiliki oleh para subjek besar kemungkinannya dipengaruhi secara lebih kuat oleh dua faktor
lain selain keimanan, yaitu faktor genetika dan pendidikan. Selain itu, teori lain menurut Bartakova 2008 mengatakan bahwa
ternyata berdoa juga dapat membawa dampak negatif dalam kehidupan individu yang berdoa. Berdoa dapat menjadi menjadi sumber bantuan yang
keliru ketika doa semata-mata dilakukan untuk tujuan pemenuhan gagasan pribadi. Misalnya ketika individu yang berdoa mengatakan, “Tuhan berikanlah
apa yang saya inginkan”, bukannya “Tuhan, apa yang kau berikan adalah yang terbaik untukku.”, atau “Tuhan, aku percaya Engkau akan memberikan apa
yang aku butuhkan”.
Dampak negatif lain dari berdoa adalah ketika berdoa menjadi suatu bentuk pelarian pada saat individu menghadapi kegagalan atau kekhawatiran.
Individu yang seharusnya meminta kekuatan kepada Tuhan untuk menghadapi kesulitan, tetapi justru meminta Tuhan untuk mengubah suatu situasi sulit.
Dalam doa, seseorang juga mungkin mencoba melarikan diri dari tanggungjawabnya. Misalnya ketika seseorang dihadapkan pada tantangan,
ujian yang sulit, atau situasi yang tidak nyaman, doa akan berbunyi, “ Tuhan, hilangkan masalah ini, bia
rkan masalah ini lalu dariku”, bukannya “Tuhan, biarlah kehendakmu yang jadi.” Dalam doa yang pertama, dapat terlihat
ketidakmampuan dalam dalam menghadapi masalah dan keengganan untuk menerima apa yang sedang terjadi Bartakova, 2008.
Tuhan dalam interpretasi yang salah dimaknai sebagai mesin pemenuhan kebutuhan manusia. Tuhan hanya ditempatkan sebagai seseorang
dimana manusia bisa meminta segala sesuatu. Manusia seringkali memperlakukan Tuhan seperti robot, tanpa mengingat kebebasan dan kuasa-
Nya. Individu dengan pemahaman seperti ini gagal untuk memaknai peristiwa dalam hidupnya sebagai suatu tantangan yang harus dijawab. Pemahaman
seperti ini semakin menjauhkan individu yang berdoa dari usaha untuk bertanggungjawab atas kehidupannya sendiri. Ketika pemahaman tentang doa
menjadi bergeser seperti ini, sesungguhnya individu yang berdoa gagal mencapai pertumbuhan diri, tidak ada perubahan postitif dari kepribadiannya
ataupun peningkatan hubungan sosial dalam kehidupannya Bartakova, 2008. Dalam penelitian ini, pemahaman subjek yang keliru tentang makna doa dapat
menjawab pertanyaan mengapa frekuensi berdoa yang dimiliki subjek tidak berhubungan dengan kemampuan subjek dalam mengatasi kesulitan hidup.
Dilihat dari kondisi subjek saat mengisi skala, staff personalia CV. Andi Offset pernah mengatakan kepada peneliti bahwa berdasarkan
pengalaman sebelumnya para karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut seringkali enggan bila dimintai kesediaannya untuk mengisi skala penelitian.
Hal tersebut juga yang menyebabkan dari 80 skala yang dibagikan, hanya 57 skala yang dikembalikan. Keengganan subjek dalam mengisi skala dapat
mengakibatkan subjek menjadi asal-asalan dalam memberikan jawaban, ditambah lagi jumlah aitem yang terlalu banyak dapat menimbulkan
kebosanan dalam menjawab seluruh aitem. Hal tersebut mengakibatkan jawaban yang diberikan subjek tidak sesuai dengan keadaan yang
sesungguhnya pada diri mereka. Terlebih lagi subjek membutuhkan kesungguhan ketika mengisi skala Adversity Quotient. Dalam mengisi skala
ini subjek dituntut untuk mampu membayangkan suatu peristiwa seolah-olah terjadi dalam kehidupan mereka beserta akibat yang mengikutinya. Kurangnya
kesungguhan dalam menjawab dapat mengakibatkan subjek sulit untuk berkonsentrasi dalam menjawab setiap aitemnya.
Pada penjabaran data sebelumnya, diperoleh kesimpulan bahwa subjek dalam penelitian ini memiliki frekuensi berdoa yang cenderung tinggi.
Hal ini mungkin dikarenakan subjek dalam penelitian ini setiap harinya banyak menghabiskan waktu bersama dengan rekan-rekan kerja yang
memiliki keyakinan yang sama. Levine 2008 mengatakan bahwa keberadaan
seseorang di tengah-tengah kelompok yang memiliki keyakinan yang sama akan memperkuat kepercayaannya bahwa berdoa adalah perilaku yang baik
untuk dilakukan dan memiliki kekuatan besar. Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Levenson, Aldwin, dan D’Mello 2005 yang mengatakan
bahwa pengaruh teman sebaya memiliki peranan penting dalam proses penerimaan dan pemeliharaan keyakinan dan perilaku beragama seseorang.
Pada penjabaran data sebelumnya, diperoleh kesimpulan bahwa subjek dalam penelitian ini memiliki Adversity Quotient yang cenderung
tinggi. Komposisi demografi karyawan yang menjadi subjek dalam penelitian ini bisa dikatakan beragam. Namun Lazarro dalam, Phoolka Kaur, 2012
mengatakan bahwa orang dengan Adversity Quotient yang tinggi tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, kecacatan fisik atau mental, dan
kesulitan lainnya untuk datang menghalangi mereka. Pernyataan tersebut dibuktikan oleh penelitiannya yang mempelajari Adversity Quotient dalam
kaitannya dengan profil demografis para subjek. Lazarro dalam, Phoolka Kaur, 2012 menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
usia, gender, dan skor Adversity Quotient.
60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi positif yang tidak signifikan antara variabel frekuensi berdoa dengan
Adversity Quotient. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi atau rendahnya frekuensi berdoa subjek tidak akan berpengaruh secara signifikan pada
Adversity Quotient yang dimilikinya. Selain itu, diperoleh kesimpulan bahwa subjek dalam penelitian ini memiliki frekuensi berdoa yang cenderung tinggi
dan Adversity Quotient yang cenderung tinggi.
B. SARAN
1. Bagi Perusahaan dan Subjek Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, perusahaan disarankan untuk tidak hanya memperhatikan faktor iman atau keyakinan
saja dalam upaya meningkatkan Adversity Quotient karyawan. Perusahaan dan karyawan disarankan untuk lebih mengembangkan sikap-sikap yang
secara langsung menjadi dasar dalam Adversity Quotient, seperti: daya saing, kreativitas, motivasi, keberanian mengambil resiko, ketekunan, dan
kemauan untuk belajar.