9
BAB II LANDASAN TEORI
A. Adversity Quotient
1. Definisi Adversity Quotient
Stoltz 2000 mengatakan bahwa Adversity Quotient adalah suatu bentuk kecerdasan yang mengukur kemampuan seseorang untuk bertahan
dalam kesulitan dan mengatasinya. Adversity Quotient dapat menjelaskan bagaimana seseorang berperilaku dalam situasi sulit, apakah ia dapat
mengendalikan situasi, menemukan sumber permasalahan, mempunyai rasa memiliki dalam situasi tersebut, membatasi efek dari kesulitan, dan
bagaimana seseorang tersebut optimis bahwa kesulitan akan segera berakhir Phoolka Kaur, 2012. Adversity Quotient dapat memprediksi
siapa yang akan berhasil mengatasi kesulitan, dan siapa yang akan gagal dan menyerah. Adversity Quotient menggabungkan teori ilmiah dan
penerapan di dunia nyata dalam setiap konsepnya, sehingga Adversity Quotient tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga peralatan yang
secara praktis dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas pribadi demi tercapainya kesuksesan di berbagai bidang kehidupan Stoltz, 2000.
Adversity Quotient didasarkan pada tiga cabang ilmu pengetahuan, yang pertama adalah psikologi kognitif. Psikologi kognitif
adalah cabang dari psikologi yang mempelajari proses mental seperti
bagaimana orang berpikir, mengingat, dan belajar. Psikologi kognitif menjadi dasar pertama dari Adversity Quotient karena dalam psikologi
konitif terdapat sebuah teori tentang ‘ketidakberdayaan yang dipelajari’ learned helplessness. Belajar ketidakberdayaan adalah internalisasi
keyakinan bahwa apapun yang dilakukan tidak akan merubah keadaan. Hal ini terkait dengan dimensi kendali control yang merupakan dimensi
pertama dalam Adversity Quotient. Kedua, ilmu yang mendasari Adversity Quotient adalah
psikoneuroimunologi. Psikoneuroimunologi
mempelajari tentang
hubungan antara jiwa psyche, otak neuro, dan sistem kekebalan tubuh immune. Para peneliti menemukan bahwa kesehatan emosional
membawa dampak besar pada sistem kekebalan tubuh manusia. Misalnya, rasa benci, marah, dan frustrasi dalam jangka panjang dapat menyebabkan
perubahan biokimia yang berbahaya dalam tubuh. Sebaliknya, perasaan cinta, tawa, dan ketenangan dapat membawa kesembuhan. Demikian pula
Adversity Quotient dapat berpengaruh pada kesehatan karena ada keterkaitan langsung antara bagaimana seseorang menanggapi kesulitan
dengan kesehatan mental dan fisik orang tersebut. Ilmu terakhir yang mendasari Adversity Quotient adalah
neurofisiologi. Neurofisiologi mempelajari hubungan antara otak dengan sistem syaraf. Penelitian di bidang neurofisiologi menunjukkan bahwa
otak memliki kemampuan untuk membentuk kebiasaan-kebiasaan yang semakin kuat di area bawah sadar otak manusia. Hal ini menunjukkan
bahwa kebiasaan-kebiasaan yang diperlukan untuk meningkatkan Adversity Quotient dapat dibentuk dan diperkuat dalam diri manusia.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Adversity Quotient adalah suatu bentuk kecerdasan yang mengukur kemampuan
seseorang dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan untuk mencapai kesuksesan di berbagai bidang kehidupan.
2. Tiga Tingkat Kesulitan