lingkungan yang semakin parah, krisis moral yang melanda generasi muda, perubahan pandangan terhadap kehidupan rumah tangga, dan
hilangnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga pemerintah. Stoltz 2000 menyebut perubahan tersebut sebagai kesulitan masyarakat.
b. Kesulitan di Tempat Kerja. Stoltz 2000 mengatakan bahwa situasi sulit di tempat kerja
semakin meningkat, hal ini menyebabkan frustrasi yang dialami kaum pekerja semakin menumpuk. Mengerjakan banyak hal dengan upah
yang sedikit merupakan salah satu dari sekian banyak kesulitan yang dapat ditemukan di tempat kerja. Tuntutan-tuntutan dan ketidakpastian
yang harus dihadapi seringkali membuat kaum pekerja berangkat ke tempat kerja dengan perasaan cemas setiap harinya.
c. Kesulitan Individu. Phoolka dan Kaur 2012 menyebutkan beberapa contoh
kesulitan yang terjadi pada tingkat individu, diantaranya adalah rasa kesepian, kurang percaya diri, kehilangan semangat, kelelahan, dan
kesehatan yang buruk. Namun, sesuai dengan penjelasan sebelumnya mengenai model “Tiga Tingkat Kesulitan”, pada tingkat inilah
individu dapat memulai perubahan.
3. Tiga Tipe Individu dalam Menghadapi Kesulitan
Setiap orang memiliki respon yang berbeda-beda ketika dihadapkan pada kesulitan, dan sebagai akibatnya, mereka juga menikmati
tingkat keberhasilan
yang berbeda-beda
pula. Stoltz
2000 mengumpamakan usaha untuk mengatasi kesulitan dalam meraih
kesuksesan sebagai sebuah pendakian, berikut tiga tipe individu dalam menghadapi kesulitan:
a. Mereka yang berhenti quitters Mereka yang berhenti terlihat seperti menolak banyak
kesempatan yang ditawarkan oleh kehidupan. Quitters bahkan meninggalkan impian-impian yang pernah mereka miliki sebelumnya.
Sebagai akibatnya, mereka seringkali menjadi sinis, frustrasi, dan membenci orang-orang yang terus mendaki. Quitters mencari pelarian
untuk menenangkan hati dan pikiran mereka dengan melakukan hal- hal yang tidak produktif.
Di tempat kerjanya, Quitters bekerja sekadar cukup untuk hidup. Quitters juga cenderung menolak perubahan. Hal ini yang
membuat mereka dapat dengan cepat menemukan cara untuk menyatakan bahwa sesuatu tidak dapat dilaksanakan. Quitters
memberikan kontribusi yang sangat sedikit bagi tempat kerjanya. b. Mereka yang berkemah campers
Berbeda dengan Quitters. Campers setidaknya telah menanggapi tantangan pendakian itu. Namun, Campers memiliki
ambang kemampuan yang terbatas dalam menghadapi kesulitan, dan menemukan alasan-alasan yang kuat untuk berhenti mendaki. Mereka
telah sampai di satu titik dimana mereka merasa nyaman dan
menghentikan pendakian mereka. Kenyamanan yang mereka dapatkan di tempat berkemah telah dianggap sebagai tujuan akhir mereka.
Campers hidup dengan keyakinan bahwa setelah melakukan sejumlah usaha, hidup seharusnya bebas dari kesulitan. Campers merasa cukup
diri dengan apa yang sudah mereka peroleh, dan mengorbankan kemungkinan untuk melihat atau mengalami apa yang masih mungkin
mereka dapatkan. Di tempat kerjanya, Campers masih belum menggunakan
seluruh kemampuannya, tetapi apa yang dilakukannya cukup untuk membuat dia tetap dipekerjakan. Campers bersedia melakukan
pekerjaan yang penuh resiko, namun mereka memilih yang ancamannya paling kecil. Motivasi mereka adalah rasa takut dan
kenyamanan, sehingga mereka mengindarkan diri dari sesuatu yang bisa membawa perubahan besar dalam hidupnya. Mereka mungkin saja
menerima perubahan, sepanjang perubahan tersebut dapat dipastikan tidak akan menggoyahkan landasan tempat mereka berdiri. Jika
Campers terlalu lama berdiam diri dalam kenyamanan, maka mereka akan kehilangan keunggulannya dan kinerjanya semakin merosot.
c. Mereka yang mendaki climbers Para Climbers tidak pernah membiarkan hambatan apapun
menghalangi pendakiannya. Mereka benar-benar memahami tujuan mereka dan bisa merasakan semangat dalam diri mereka. Mereka
merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya sebagai imbalan dari
pendakian yang telah mereka lakukan. Mereka memiliki keyakinan bahwa suatu hal bisa dan akan terlaksana, meskipun orang lain
bersikap negatif dan beranggapan bahwa hal tersebut mustahil. Climbers juga manusia biasa, terkadang mereka merasa bosan, ragu-
ragu, ataupun kesepian saat melakukan pendakian. Namun mereka memiliki kematangan dan kebijaksanaan bahwa terkadang mereka
perlu berhenti sejenak agar bisa maju lagi. Berbeda dengan Campers yang berhenti untuk menetap, Climbers berhenti sejenak untuk
memulihkan kekuatan dan mengumpulkan tenaga baru untuk pendakian selanjutnya.
Di tempat kerjanya, Climbers terus mencari cara untuk melakukan perbaikan diri dan berkontribusi. Mereka memanfaatkan
hampir seluruh potensi mereka, sehingga mereka memberikan kontribusi paling banyak jika dibandingkan dengan Quitters dan
Campers. Climbers menyambut baik dan mendorong terjadinya perubahan-perubahan yang positif. Tantangan yang ditawarkan oleh
perubahan justru mereka jadikan kesempatan untuk berkembang. Climbers bersedia melakukan pekerjaan yang penuh resiko dan
mengatasi rasa takut.
4. Faktor yang Mempengaruhi Advesity Quotient