Faktor yang Mempengaruhi Advesity Quotient Dimensi Adversity Quotient

4. Faktor yang Mempengaruhi Advesity Quotient

Stoltz 2000 mengatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi tingkat Adversity Quotient seseorang, yaitu keyakinan, genetika, dan pendidikan. a. Genetika Stoltz 2000 menjelaskan bahwa meskipun warisan genetis tidak akan menentukan nasib seseorang, namun faktor ini pasti ada pengaruhnya. Hal ini didasari oleh banyaknya hasil penelitian yang membuktikan bahwa genetika sangat mendasari perilaku seseorang. Penelitian lainnya memperlihatkan bahwa suasana hati dan tingkat kecemasan juga memiliki kaitan genetis. b. Pendidikan Faktor lain yang dapat mempengaruhi Adversity Quotient seseorang adalah pendidikan. Stoltz 2000 mengatakan bahwa pendidikan seseorang bisa mempengaruhi kecerdasan, pembentukan kebiasaan yang sehat, perkembangan watak, keterampilan, hasrat, dan kenerja yang dihasilkan. c. Keyakinan Stoltz 2000 mengatakan bahwa sebagian besar orang yang berhasil meraih kesuksesan memiliki faktor ini. Pemimpin-pemimpin besar dunia seperti Vaclav Havel dan Nelson Mandela mengatakan bahwa keyakinan atau iman merupakan unsur yang sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat. Saat ini, buku-buku yang membahas mengenai peran keyakinan dalam dunia kerja telah banyak beredar. Iman merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan harapan, tindakan, moralitas, kontribusi, dan bagaimana individu memperlakukan sesamanya.

5. Dimensi Adversity Quotient

Stoltz 2000 mengatakan bahwa Adversity Quotient terdiri atas empat dimensi, yaitu Control, Origin-Ownership, Reach, dan Endurance. a. C = Control Kendali Dimensi control ingin mengukur dua hal, yang pertama sejauh mana seseorang merasa mampu mengendalikan dan mempengaruhi sebuah situasi sulit secara positif, yang kedua sejauh mana seseorang mampu mengendalikan tanggapannya sendiri terhadap sebuah situasi sulit. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi control merasakan kendali yang kuat atas peristiwa-peristiwa yang buruk. Besarnya pengendalian yang dirasakan akan membawa individu pada usaha penyelesaian masalah dengan mengambil sebuah tindakan. Selain itu, individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi control memiliki kemampuan untuk mengelola dan mempertimbangkan tanggapan yang akan muncul pada saat kesulitan melanda. Sebaliknya, individu yang memiliki skor rendah pada dimensi control memiliki keyakinan bahwa apapun yang mereka kerjakan tidak akan merubah keadaan. Individu yang kemampuan pengendaliannya rendah sering merasa tidak berdaya dan berhenti berusaha saat dihadapkan pada kesulitan. Mereka juga akan cenderung bereaksi dengan cara yang negatif pada saat kesulitan melanda, seperti mengumpat, menghina, bahkan mengucapkan kata-kata yang kemudian mereka sesali. Hal tersebut dapat terjadi karena individu yang memiliki skor rendah pada dimensi control tidak mampu mengendalikan ataupun merubah reaksi internal yang ada dalam pikiran mereka sehingga terlepas begitu saja dalam wujud kata-kata dan tindakan. b. O2 = Origin-Ownership Asal-usul dan Pengakuan Dimensi origin-ownership ingin mengukur dua hal, yang pertama sejauh mana seseorang menemukan penyebab dari suatu kesulitan dengan tepat, yang kedua sejauh mana seseorang mengakui dan bertanggung jawab atas suatu kesulitan tanpa mempedulikan penyebabnya. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi origin- ownership mampu memandang perasaan bersalah sebagai sebuah umpan balik untuk melakukan perbaikan. Rasa bersalah yang sewajarnya akan menggugah mereka untuk belajar dari kesalahan untuk menghindari kesalahan yang sama terulang lagi. Selain itu, individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi origin-ownership akan menghindarkan diri dari sikap menyalahkan orang lain dan mengambil tindakan bertanggung jawab tanpa mempedulikan penyebabnya. Individu yang memiliki skor rendah pada dimensi origin- ownership cenderung tidak mampu menimpakan suatu kesalahan pada tempat yang semestinya. Terkadang mereka melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab terjadinya peristiwa-peristiwa yang buruk. Hal ini yang membuat mereka mudah sekali dilanda perasaan bersalah yang terlampau besar. Rasa bersalah memang tidak selamanya berdampak negatif, namun rasa bersalah yang terlampau besar akan menjadi destruktif dan menempatkan individu pada penyesalan yang tidak sewajarnya. Di sisi lain, seringkali mereka sibuk untuk mencari- cari sumber permasalahan dan menimpakan kesalahan kepada orang lain. Hal ini yang membuat individu dengan skor rendah pada dimensi origin-ownership menghindarkan diri dari pengakuan dan tindakan bertanggung jawab atas sebuah situasi sulit. c. R = Reach Jangkauan Dimensi reach mengukur sejauh mana seseorang mampu membatasi kesulitan agar tidak menjangkau bidang kehidupanya yang lain. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi reach akan merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Sebagai contoh, kesalahpahaman dengan orang yang dikasihi adalah sebatas kesalahpahaman, bukan pertanda bahwa suatu hubungan akan berakhir. Membatasi jangkauan kesulitan memungkinkan individu untuk berpikir jernih dalam mengambil tindakan. Sebaliknya, individu yang memiliki skor rendah pada dimensi reach akan menganggap suatu kesulitan sebagai bencana. Sebagai contoh, hasil penilaian kinerja yang buruk dianggap sebagai sesuatu yang menghambat karir dan pada akhirnya melemahkan motivasi kerja. Membiarkan kesulitan menjangkau bidang-bidang kehidupan yang lain hanya akan menguras tenaga dan membuat seseorang menjadi semakin tidak berdaya untuk mengambil sebuah tindakan penyelesaian. d. E = Endurance Daya Tahan Dimensi endurance mengukur seberapa lama seseorang menganggap sebuah kesulitan dan penyebab kesulitan akan berlangsung. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi endurance akan menganggap kesulitan dan penyebab-penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara, cepat berlalu, dan kecil kemungkinannya akan terjadi lagi. Anggapan seperti ini akan meningkatkan optimisme dan dorongan untuk bertindak. Sebaliknya, individu yang memiliki skor rendah pada dimensi endurance akan menganggap kesulitan dan penyebab-penyebabnya sebagai sesuatu yang sifatnya permanen dan berlangsung lama. Anggapan seperti ini kan menyebabkan hilangnya harapan dan dorongan untuk bertindak.

B. Frekuensi Berdoa