1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah bagian dari dunia yang tidak bisa menutup dirinya dari pengaruh global. Pengaruh global yang sangat menonjol dapat terlihat di
bidang ekonomi, teknologi, dan budaya. Pengaruh global dalam bidang ekonomi telah membuka lebar peluang bagi pihak asing untuk berdagang di
Indonesia. Dalam menghadapi persaingan bisnis yang semakin ketat organisasi dituntut untuk memiliki sumber daya manusia yang berkualitas
tinggi agar mampu bersaing dan memiliki keunggulan kompetitif. Sumber daya manusia dapat menentukan apakah suatu organisasi dapat bertahan di era
yang ditandai dengan kompetisi yang sangat ketat. Sumber daya manusia dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam merespon lingkungan yang
berubah Ancok, 2002. Stoltz 2000 mengatakan bahwa sumber terbesar dari kesulitan
untuk kebanyakan organisasi adalah perubahan yang terjadi terus-menerus. Perubahan yang terjadi terus-menerus membuat karyawan hidup dalam
lingkungan yang tidak nyaman. Perubahan membawa dampak pada meningkatnya kesulitan yang harus dihadapi oleh para pekerja, mulai dari
pemotongan gaji, perampingan perusahaan, restrukturisasi, merger, persaingan yang semakin ketat, hingga perubahan teknologi. Hilangnya keamanan kerja
telah menimbulkan rasa takut yang meluas bagi banyak orang. Banyak pekerja yang mencemaskan posisi mereka dalam perekonomian di era global ini.
Perubahan yang terjadi terus menerus membuat kaum pekerja harus terus bersusah-payah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka untuk
dapat bertahan dalam sebuah organisasi. Hood, Hill, dan Spilka 2009 memberikan sorotan secara khusus
kepada umat Kristiani yang memaknai pekerjaan bukan hanya sebagai sumber mata pencaharian, tetapi juga sebagai sebuah „panggilan‟. Hal ini dibuktikan
melalui sebuah penelitian terhadap 1.869 responden beragama Kristen dan Katholik yang hasilnya menunjukkan bahwa 15 sampel penelitian
memaknai pekerjaan sebagai sebuah „panggilan‟. Pada tingkatan yang paling umum, umat Kristian diajarkan untuk tidak mementingkan diri sendiri, untuk
memaknai hidup sebagai upaya aktif yang menuntut pengorbanan misalnya; dalam melayani orang lain, dan untuk memerangi kemalasan. Pada tingkatan
yang lebih luas, Alkitab menceritakan bahwa sejak semula Allah menciptakan manusia sebagai subjek yang bekerja, seperti pada saat Allah memberikan
Taman Eden kepada manusia “untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” Kejadian 2:15. Setelah manusia tidak menaati Allah, Allah menghukum
Adam dan Hawa untuk mencari ma kanan “dengan berpeluh” Kejadian 3:19.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa di tengah kesulitan yang semakin besar, umat Kristiani cenderung berusaha untuk mempertahankan pekerjaan
sebagai bagian penting dalam kehidupan mereka Geser, 2009.
Stoltz 2000 mengemukakan bahwa saat dihadapkan pada kesulitan hidup, sebagian individu bertahan dan terus berjuang sementara yang lain
gagal dan menyerah. Adversity Quotient adalah suatu bentuk kecerdasan baru yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan seseorang dalam
merespon kesulitan. Adversity Quotient adalah prediktor keberhasilan seseorang dalam menghadapi kesulitan, bagaimana ia berperilaku dalam
situasi sulit, bagaimana ia mengendalikan situasi, apakah ia dapat menemukan sumber permasalahan, apakah ia mempunyai rasa memiliki dalam situasi
tersebut, apakah ia mencoba untuk membatasi efek dari kesulitan, dan bagaimana ia optimis bahwa kesulitan itu akan berakhir Phoolka Kaur,
2012. Pada fase perubahan yang terjadi dalam suatu organisasi, para pekerja dengan Adversity Quotient rendah cenderung kehilangan harapan, menjadi
tidak termotivasi,
dan mengalami
kebingungan, beberapa
bahkan menyangsikan hasil dari proses perubahan itu sendiri. Sebaliknya, para pekerja
dengan Adversity Quotient tinggi cenderung mau memeluk perubahan, mendorong terjadinya perubahan, dan bertahan dalam menjalani proses
perubahan Stoltz, 2000. Stoltz 2000 mengatakan bahwa Adversity Quotient dapat
membantu individu untuk memandang sebuah kesulitan dengan lebih konstruktif. Seligman dalam Stoltz, 2000 mengatakan bahwa orang yang
memiliki Adversity Quotient tinggi akan merespon kesulitan dengan gaya yang lebih optimis dan meyakini bahwa permasalahan mereka akan segera
berlalu. Seligman lebih lanjut menjelaskan bahwa orang dengan Adversity
Quotient tinggi memiliki kekebalan terhadap rasa tidak berdaya dan putus asa. Mereka memiliki pengendalian diri dan sifat tahan banting dalam menghadapi
situasi kehidupan yang keras. Individu dengan Adversity Quotient yang tinggi membaktikan dirinya pada perbaikan diri seumur hidup. Hal ini yang
menyebabkan mereka memiliki ketekunan untuk terus menerus berusaha, bahkan ketika dihadapkan pada kegagalan Stoltz, 2000
Stoltz 2000 menjelaskan bahwa salah satu ilmu yang mendasari terbentuknya teori mengenai Adversity Quotient adalah Psikologi Kognitif.
Psikologi kognitif merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang memperoleh, mentransformasi, merepresentasi, menyimpan, dan menggali
kembali pengetahuan, serta bagaimana pengetahuan tersebut dapat digunakan untuk merespon atau memecahkan masalah, berpikir, dan berbahasa
Lasmono, 2001. Dalam Psikologi Kognitif terdapat sebuah teori yang disebut dengan Learned Helplessnes atau ketidakberdayaan yang dipelajari.
Teori Learned Helplessness menjelaskan mengapa banyak orang menyerah atau
gagal ketika
dihadapkan pada
tantangan-tantangan hidup.
Ketidakberdayaan yang dipelajari menggambarkan keyakinan bahwa apapun yang dilakukan oleh seseorang tidak akan ada gunanya. Keyakinan seperti itu
praktis menghancurkan dorongan seseorang untuk mengambil tindakan dalam usaha untuk mengatasi kesulitan. Stoltz 2000 lebih lanjut menjelaskan
bahwa suatu keadaan yang bertolak belakang dengan keadaan tidak berdaya disebut dengan pemberdayaan. Manusia harus diberdayakan agar bisa
mengatasi kesulitan yang harus mereka hadapi dalam setiap bidang kehidupan.
Stoltz 2000 mengatakan bahwa keyakinan atau iman merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya tingkat
Adversity Quotient yang dimiliki oleh seseorang. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui pendapat Sharp 2010 yang mengatakan bahwa berdoa sebagai inti
dari iman Bade Cook 2008 dapat memberikan beragam sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh individu dalam menghadapi berbagai situasi sulit
dalam kehidupan. Salah satu sumber daya yang diperoleh individu melalui berdoa adalah sumber daya reinterpretasi kognitif.
Kesulitan hidup seringkali membawa manusia pada batas-batas kemampuannya dalam mengatasi kesulitan tersebut. Ini adalah saat-saat ketika
manusia beralih pada sesuatu yang transenden dalam upaya untuk mengatasi masalah dan menemukan pemaknaan baru Harrison et al. dalam
Miller, Gall Corbeil, 2011. Hal tersebut sesuai dengan pendapat McIntosh dalam
Lowenthal, 2000 yang mengatakan bahwa keadaan stres dapat membawa
individu pada skema berbasis agama yang dapat digunakan untuk menginterpretasi peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan.
Park dan Silberman dalam Whittington Scher, 2010 mengatakan bahwa doa adalah usaha untuk menciptakan hubungan dengan Tuhan. Dengan
demikian, doa memainkan peran penting dalam sistem pemaknaan religius. Doa dapat berisi pengakuan bahwa individu membutuhkan dukungan Tuhan,
baik untuk berhadapan dengan permasalahan kehidupan, ataupun untuk menyelesaikan sebuah tugas yang harus dikerjakan. Persepsi bahwa Tuhan
dapat memberi dukungan mungkin dapat membantu meringankan kesulitan Levine, 2008.
Beberapa keyakinan yang sering digunakan oleh orang yang aktif secara religius dalam menghadapi permasalahan
adalah bahwa “semua akan indah pada waktunya”, “bersama Tuhan tidak ada yang mustahil”,
“permasalahan adalah cobaan dari Tuhan”, dan lain sebagainya. Melalui interpretasi-interpretasi tersebut individu menjadi mampu untuk memahami
dunia dan menghadapi permasalahan sehari-hari dengan cara yang lebih efektif Monk-Turner, dalam Maltby, Lewis Day 2008. Dengan demikian,
Thoits dalam Levine, 2008 mengatakan bahwa berdoa dapat mengubah konsep seseorang tentang situasi.
Sharp 2010 mengatakan banyak orang mengelola emosi negatif melalui berdoa. Beberapa individu menggunakan doa untuk mengelola emosi
negatif yang disebabkan oleh penyakit, peristiwa traumatis, atau peritiwa hidup yang negatif. Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan
perilaku berdoa. Levine 2008 mengatakan bahwa melibatkan diri dalam doa dan memegang sikap positif terhadap agama secara empiris berhubungan
dengan kesejahteraan pribadi, kesehatan, dan penurunan stress. Johnson dalam Lowenthal, 2000 lebih lanjut menjelaskan bahwa berdoa dapat
menumbuhkan harapan, kepercayaan diri, dan ketenangan pikiran. Selain itu, doa juga dapat berfungsi sebagai sumber pembaharuan energi emosional dan
membantu mempersiapkan individu untuk menerima apapun yang terjadi. Banyak penelitian membuktikan dampak positif dari berdoa, namun belum
ada penelitian yang secara khusus mengaitkan frekuensi berdoa dengan kemampuan individu dalam mengatasi masalah. Oleh karena itu, peneliti
tertarik untuk meneliti hubungan antara frekuensi berdoa dengan Adversity Quotient.
B. Rumusan Masalah