BAB II LANDASAN TEORI
II.A. Psychological Well-Being II.A.1. Definisi Psychological Well-Being
Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff dalam Strauser, Lustig, dan Ciftcy, 2008 mendefinisikan psychological well-
being sebagai suatu dorongan untuk menyempurnakan dan merealisasikan potensi diri yang sesungguhnya. Dorongan ini akan dapat menyebabkan seseorang
menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well-beingnya menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki keadaan hidupnya yang akan
membuat psychological well-beingnya meningkat Ryff dan Singer dalam Halim dan Atmoko, 2005. Pada intinya, psychological well-being merujuk pada
perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan,
dan sebagainya sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri Bradburn, dalam Ryff dan Keyes, 1995.
Ryff 1989 mengoperasionalkan definisi psychological well-being menjadi enam dimensi yaitu dimensi penerimaan diri dapat mengaktualisasikan
diri, berfungsi optimal dan dapat menerima segi positif dan negatif diri, dimensi hubungan positif dengan orang lain memiliki hubungan yang hangat, intim dan
terpercaya dengan orang lain, dimensi otonomi bebas, mampu untuk menentukan nasib dan mengontrol perilaku sendiri, dimensi penguasaan
lingkungan mampu memilih, menciptakan, dan mengelola lingkungan agar sesuai dengan kondisi psikologis dalam rangka mengembangkan diri, dimensi tujuan
hidup memiliki arah, tujuan, dan makna hidup, dan dimensi pertumbuhan diri mampu dan memiliki keinginan untuk terus berkembang dan mengembangkan
potensi.
II.A.2. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being
Ryff dalam buku Human Development 2000 mengemukakan enam dimensi psychological well-being, yaitu:
1. Penerimaan diri self acceptance
Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri baik segi positif maupun negatif. Menurut Maslow dalam Calhoun dan
Accocela, 1990, penerimaan diri merupakan salah satu karakter dari individu yang mengaktualisasikan dirinya dimana mereka dapat menerima
dirinya apa adanya, memberikan penilaian yang tinggi pada individualitas dan keunikan diri sendiri.
2. Hubungan positif dengan orang lain positive relations with others
Individu yang matang digambarkan sebagai individu yang mampu untuk mencintai dan membina hubungan interpersonal yang dibangun atas dasar
saling percaya. Individu juga memiliki perasaan simpati dan kasih sayang yang kuat terhadap sesama manusia dan mampu memberikan cinta,
memiliki persahabatan yang mendalam, dan mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi orang lain dengan baik.
3. Otonomi autonomy
Dimensi otonomi menyangkut kemampuan untuk menentukan nasib sendiri self-determination, bebas dan memiliki kemampuan untuk
mengatur perilaku sendiri. 4.
Penguasaan lingkungan environmental mastery Kemampuan individu untuk memilih, menciptakan, dan mengelola
lingkungan agar sesuai dengan kondisi psikologisnya dalam rangka mengembangkan diri.
5. Tujuan hidup purpose of life
Individu yang berada dalam kondisi ini diasumsikan memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna dan arah bagi kehidupannya. Individu
yang memiliki psychological well-being perlu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidup yang dijalaninya, misalnya individu dapat
mengabdikan dirinya pada masyarakat. 6.
Pertumbuhan pribadi personal growth Mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan potensinya, tumbuh
sebagai individu dan dapat berfungsi secara penuh fully functioning. Individu yang dapat berfungsi secara penuh adalah individu yang dapat
terbuka terhadap pengalaman sehingga akan lebih menyadari lingkungan sekitarnya.
II.A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada diri seseorang, yaitu:
a. Usia
Dari penelitian yang dilakukan oleh Ryff 1989 ditemukan adanya perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai
kelompok usia. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat profil meningkat seiring dengan pertumbuhan usia. Semakin bertambah usia
seseorang maka ia semakin mengetahui kondisi yang terbaik bag i dirinya. Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur
lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya. b.
Jenis Kelamin Menurut Ryff 1989, satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan
signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotype gender telah tertanam
dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif
dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain Papalia Feldman, 2001. Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor
yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain.
c. Status Sosial Ekonomi
Ryff, dkk dalam Ryan Deci, 2001 mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup,
penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya
dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya. Menurut Davis dalam Robinson Andrews, 1991, individu
dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki psychological well-being yang lebih
tinggi. d.
Budaya Ryff 1995 mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme
memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi
penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme memiliki skor yang tinggi pada
dimensi hubungan positif dengan orang lain. e. Faktor Dukungan Sosial
Hasil penelitian menemukan bahwa dukungan sosial dari lingkungan sekitar individu akan sangat mempengaruhi psychological well-being yang
dirasakan oleh individu tersebut.
II.B. Dewasa Awal
Istilah adult berasal dari kata kerja Latin. adultus yang berarti “tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna”, atau “telah dewasa.’ Oleh karena
itu, individu dewasa awal adalah individu yang telah menyelesaikan menjadi pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama
dengan individu dewasa lainnya Hurlock, 2004. Masa dewasa awal pada umumnya dimulai pada umur 18 sampai 40 tahun
saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif Hurlock, 2004. Individu dewasa awal dituntut memulai
kehidupannya memerankan peran ganda seperti suamiistri, orang tua dan peran dalam dunia kerja berkarir, dan mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-
keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru ini. Levinson dalam Monks, 1999 kemudian menspesifikkan masa dewasa
awal ini dalam tiga periode. Periode pertama, yang berada pada rentang usia 22 hingga 28 tahun, adalah periode pengenalan dengan dunia orang dewasa. Dalam
periode ini, orang mengakui dirinya sendiri serta dunia yang ia masuki dan berusaha untuk membentuk struktur kehidupan yang stabil. Pada akhir usia 20
tahun maka pemilihan struktur hidup ini makin menjadi penting. Pada usia antara 28 hingga 33 tahun, yaitu memasuki periode kedua, pilihan struktur kehidupan ini
menjadi lebih tetap dan stabil. Memasuki periode ketiga, dalam fase kemantapan, yang berada pada rentang usia 33 hingga 40 tahun, individu dengan keyakinan
yang mantap menemukan tempatnya dalam masyarakat dan berusaha untuk
memajukan karir sebaik-baiknya. Pada periode ketiga inilah tercapai puncak masa dewasa.
Menurut Hurlock 2004 ada beberapa ciri-ciri masa dewasa awal, antara lain:
a. Masa Usia Reproduktif
Dinamakan sebagai masa produktif karena pada rentang usia ini adalah masa-masa yang cocok untuk menentukan pasangan hidup, menikah, dan
berproduksimenghasilkan anak. Pada masa ini organ reproduksi sangat produktif dalam menghasilkan individu baru anak.
b. Masa Bermasalah
Masa dewasa dini dikatakan sebagai masa yang sulit dan bermasalah. Hal ini dikarenakan seseorang harus mengadakan penyesuaian dengan peran
barunya perkawinan VS pekerjaan. Jika ia tidak bisa mengatasinya maka akan menimbulkan masalah. Ada 3 faktor yang membuat masa ini begitu
rumit yaitu; Pertama, individu tersebut kurang siap dalam menghadapi babak baru bagi dirinya dan tidak bisa menyesuaikan dengan babakperan
baru tersebut. Kedua, karena kurang persiapan maka ia kaget dengan 2 peranlebih yang harus diembannya secara serempak. Ketiga, ia tidak
memperoleh bantuan dari orang tua atau siapapun dalam menyelesaikan masalah.
c. Masa Keterasingan Sosial
Masa dewasa dini adalah masa dimana seseorang mengalami “krisis isolasi”, ia terisolasi atau terasingkan dari kelompok sosial. Kegiatan sosial
dibatasi karena berbagai tekanan pekerjaan dan keluarga. Hubungan dengan teman-teman sebaya juga menjadi renggang. Keterasingan
diintensifkan dengan adanya semangat bersaing dan hasrat untuk maju dalam berkarir.
d. Masa Komitmen
Pada masa ini juga setiap individu mulai sadar akan pentingnya sebuah komitmen. Ia mulai membentuk pola hidup, tanggungjawab, dan komitmen
baru.
e. Masa Perubahan Nilai
Nilai yang dimiliki seseorang ketika ia berada pada masa dewasa dini berubah karena pengalaman dan hubungan sosialnya semakin meluas. Nilai
sudah mulai dipandang dengan kaca mata orang dewasa. Nilai-nilai yang berubah ini dapat meningkatkan kesadaran positif. Alasan kenapa
seseorang berubah nilia-nilainya dalam kehidupan karena agar dapat diterima oleh kelompoknya yaitu dengan cara mengikuti aturan-aturan
yang telah disepakati. Pada masa ini juga seseorang akan lebih menerimaberpedoman pada nilai konvensional dalam hal keyakinan.
Egosentrisme akan berubah menjadi sosial ketika ia sudah menikah.
f. Masa Penyesuaian Diri dengan Hidup Baru
Ketika seseorang sudah mencapai masa dewasa berarti ia harus lebih bertanggungjawab karena pada masa ini ia sudah mempunyai peran ganda
peran sebagai orang tua dan sebagai pekerja.
II.B.2.Tugas Perkembangan Dewasa Awal
Hurlock 2004 membagi tugas perkembangan pada individu dewasa awal, antara lain:
g. Mulai bekerja
h. Memilih pasangan
i. Mulai membina keluarga
j. Mengasuh anak
k. Mengelola rumah tangga
l. Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara
m. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan
II.C. Cacat II.C.1. Definisi Cacat
UU No. 41997 tentang Penyandang Cacat, Psl. 1 menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau
mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik,
penyandang cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental ganda http:www.bpkp.go.idunithukumuu199704-97.pdf.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Sedunia WHO memberikan definisi kecacatan ke dalam 3 kategori, yaitu: impairment, disability, dan handicap.
Impairment disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur atau fungsi psikologis atau anatomis. Sedangkan disability
adalah ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat adanya impairment untuk
melakukan aktivitas dengan cara yang dianggap normal bagi manusia. Adapun handicap, merupakan keadaan yang merugikan bagi seseorang akibat adanya
impairment, disability yang mencegahnya dari pemenuhan peranan yang normal dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya bagi orang yang
bersangkutan http:evakasim.multiply.comjournalitem12tinjauan_terhadap_
kebijakan_integrasi_sosial_penyandang_cacat_ke_dalam_mainstream_masyaraka t_.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam berbagai makna, seperti: 1 Kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik
atau kurang sempurna yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak; 2 Lecet kerusakan, noda yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik
kurang sempurna; 3 Cela atau aib; 4 Tidak kurang sempurna Alwi, 2005. ADA atau Americans of Disabilities Act 1990, yaitu sebuah lembaga
yang memperhatikan mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan cacat tubuh, menjelaskan definisi mengenai cacat tubuh atas tiga hal, yaitu: 1 memiliki
kelemahan fis ik ataupun mental yang pada dasarnya membatasi satu atau lebih
aktivitas kehidupan sehari-hari; 2 memiliki catatan mengenai kelemahan tersebut; atau 3 dipandang memiliki kelemahan. Kelemahan fisik yang dimaksud disini
merupakan segala gangguan atau kondisi fisiologis, kerusakan akibat kosmetik, atau kehilangan anggota tubuh yang mempengaruhi satu atau lebih sistem tubuh
berikut: neurologis, musculoskeletal, organ panca indera khusus, pernapasan termasuk alat berbicara, cardiovascular, reproduktif, digestif, genitourinary,
hemic dan lymphatic, kulit dan endokrin http:www.access-board.gov aboutlawsada.htm.
II.C.2. Jenis-jenis Cacat
Ada beberapa jenis kecacatan fisik yang dibagi kedalam beberapa kategori, yaitu:
1 tuna netra, dimana indra penglihatannya tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas;
2 tuna rungu, dimana individu kehilangan daya dengarnya sedemikian rupa, dan ;
3 tuna daksa, yaitu individu yang mengalami kelainan anggota tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk sehingga
mengakibatkan turunnya kemampuan normal untuk melakukan gerakan- gerakan tubuh tertentu, misalnya kelainan pada bagian tulang-tulang, otot-
otot tubuh maupun daerah persendian dan kelainan yang disebabkan oleh gangguan pada urat syaraf.
II.C.3. Faktor-faktor Penyebab Kecacatan
Kecacatan yang dialami oleh seseorang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor dari dalam ataupun faktor dari luar individu.
Cacat genetik bawaan adalah suatu kelainancacat yang dibawa sejak lahir baik fisik maupun mental. Cacat bawaan dapat disebabkan akibat kejadian
sebelum kehamilan, selama kehamilan dan saat melahirkan atau masa prenatal. Cacat ini dapat disebabkan oleh penyakit genetik, pengaruh lingkungan baik
sebelum pembuahan bahan mutagenik maupun setelah terjadi pembuahan bahan teratogenik Faradz, 2001. Sedangkan cacat akibat kecelakaan
merupakan kelainancacat yang terjadi pada individu akibat kecelakaan yang dapat berupa kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kebakaran, tersiram air
keras, jatuh, tertimpa benda-benda berat, dan lain-lain.
II.C.4. Bentuk-bentuk Kecelakaan yang Mengakibatkan Kecacatan
Ada beberapa jenis kecelakaan yang dapat menyebabkan kecacatan pada individu, yaitu: cacat akibat kecelakaan lalu lintas seperti tertera dalam UU Pasal
93 tahun 1992, yaitu suatu keadaan dimana korban yang karena luka-lukanya menderita cacat tetap atau harus dirawat dalam jangka waktu lebih dari 30 tiga
puluh hari sejak terjadi kecelakaan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, 1992; kecelakaan kerja, yaitu kecelakaan yang terjadi ketika individu
sedang melakukan tugas pekerjaannya dan mengalami kecacatan akibat kecelakaan kerja dan mengakibatkan berkurangnya dan terputusnya penghasilan
tenaga kerja danatau membutuhkan perawatan medis. Selain yang tertera diatas,
ada juga beberapa bentuk kecelakaan lainnya, seperti kecacatan akibat tersiram air keras, kebakaran, dan jatuh.
II.C.5. Hambatan-hambatan
Hambatan-hambatan yang dialami oleh orang yang mengalami kecacatan antara lain:
a. Sosialisasi
Dalam aspek sosialisasi terdapat dua faktor yang menjadi penghambat bagi orang cacat, yaitu faktor dari dalam diri internal dan dari luar eksternal.
Faktor internal meliputi rasa rendah diri, tidak percaya diri, merasa berbeda dari orang lain yang kondisi fisiknya normal dan sering kali merasa takut
dirinya akan menjadi beban bagi orang lain. Perasaan-perasaan tersebut yang sering kali menjadi penghambat seorang yang cacat untuk
bersosialisasi dengan orang lain. Selain itu, lingkungan yang tidak aksesibel juga menjadi penghambat utama bagi penyandang cacat untuk
dapat melakukan mobilitas sosial. b. Pekerjaan
Tantangan lainnya yang dirasa berat bagi penyandang cacat adalah masalah pekerjaan. Kondisi mereka yang cacat kurang memungkinkan mereka
untuk bergerak dengan bebas seperti orang normal. Ini membuat kebanyakan orang beranggapan bahwa orang cacat kurang berkompeten
untuk melakukan pekerjaan dan hanya akan memberikan kesulitan bagi orang lain karena kecacatan yang dimilikinya. Padahal orang cacat juga
perlu untuk memiliki pekerjaan sebagai bentuk penyaluran hobi dan pengetahuan yang dimilikinya.
c. Mencari pasangan
Setiap individu memiliki hasrat untuk memiliki pasangan, menikah dan berkeluarga apalagi ketika individu memasuki tahap dewasa awal karena
hal tersebut merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dilewatinya. Akan tetapi kondisi fisik yang cacat membuat individu
membatasi diri dari lingkungan sosial dan memiliki sedikit teman. Hal itu dikarenakan mereka merasa rendah diri dan malu dengan kondisi fisiknya
apalagi sebelumnya mereka memiliki fisik yang normal. Mereka juga beranggapan apabila mereka kelak menikah, mereka hanya akan
mempersulit hidup pasangannya kelak. Selain itu, masyarakat juga beranggapan bahwa memiliki menantu yang cacat merupakan suatu hal
yang memalukan. d.
Emosi Secara umum, kekurangan fisik yang dimiliki individu akan membuat
individu tersebut memiliki perasaan yang sensitif. Perasaan tidak mampu dan rendah diri yang berlebihan sering menjadikan mereka mudah
tersinggung oleh kata-kata dan segala sesuatu yang dianggap menyepelekan dan menyinggung kekurangan mereka. Mereka juga sering
berprasangka dan mudah curiga terhadap orang lain.
II.D. Kondisi Psikologis Orang yang Mengalami Kecacatan Akibat Kecelakaan
Individu yang memiliki cacat fisik seringnya mendapat stigma negatif dari orang-orang lain disekitarnya bila dibandingkan dengan orang yang memiliki fisik
yang normal karena mereka memiliki banyak hambatan untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari, seperti bekerja, mengurus diri sendiri juga lingkungan,
dan lain-lain, apalagi ketika mereka mengalami kecacatan setelah kelahiran bukan cacat bawaan dan akan semakin memburuk kondisi psikologisnya ketika
individu memasuki masa dewasa awal dimana individu dituntut untuk bekerja, memiliki pasangan, menikah dan mempunyai anak, dan masuk dalam suatu
kelompok sosial. Tuntutan-tuntutan memasuki tahap perkembangan dewasa awal itu membuat individu mengalami tekanan besar apalagi ketika individu menyadari
kondisi fisiknya yang cacat, yang membuat hubungannya dengan orang lain terganggu.
Stigma negatif yang dialami individu tersebut, seperti teralienasi karena tidak normalnya kondisi mereka sering membuat individu merasa rendah diri
karena kurang bisa menerima kondisinya sehingga mengalami ketidakpuasan dalam hidupnya, hubungan dengan orang lain pun terganggu, tidak berdaya,
cemas, merasa didiskriminasi, dan sebagainya. Kondisi psikologis tersebut membuat individu tidak mampu merealisasikan seluruh potensi diri yang
dimilikinya walaupun sebenarnya ia mampu dan itu berdampak pada kehidupannya dan akan membuat ia tidak bahagia. Ketika ia memiliki
psychological well-being yang positif dan memiliki gambaran yang positif tentang
diri, orang lain, lingkungan dan mengenai hidupnya sendiri pada saat itulah individu mencapai kebahagiaan.
PARADIGMA BERPIKIR
Keterangan : Dewasa Awal
Kecelakaan
Perubahan Kehidupan KecacatanTidak Lengkap
fisik
Psychological Well-Being? Penerimaan Diri
Pertumbuhan Pribadi
Hubungan Positif dengan Orang Lain
Otonomi
Tujuan Hidup Penguasaan
Lingkungan
Tujuan hidup
Stres
Aktivitas Hubungan dengan
orang lain Perhatian
: berakibat pada : dimensi-dimensi
Tugas-tugas Perkembangan
Memilih pasangan
Mengasuh anak Bekerja
Mengelola rumah tangga Membina keluarga
Mengambil tanggung jawab
b i
Mencari kelompok sosial
BAB III METODE PENELITIAN