PENDAHULUAN Psychological Well-Being Pada Individu Dewasa Awal Yang Mengalami Kecacatan Akibat Kecelakaan

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah Kecacatan merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan oleh setiap individu karena dengan kondisi cacat individu mempunyai keterbatasan atau hambatan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Akan tetapi, siapa yang dapat menolak kehendak Sang Pencipta terhadap umatNya? Apabila Sang Pencipta menghendakinya, apapun bisa terjadi dalam kehidupan manusia, termasuk kecelakaan. Siapa yang menyangka akan mendapat kecelakaan? Kecelakaan bisa saja terjadi pada siapa saja dan kapan saja karena kecelakaan merupakan suatu peristiwa spesifik yang terjadi secara tidak sengaja, tidak biasa, dan tidak diharapkan yang terjadi pada tempat dan waktu yang tidak ditentukan tanpa penyebab yang disengaja tetapi ditandai dengan suatu efek http:en.wikipedia.orgwikiAccident . Kecacatan yang terjadi secara tiba-tiba karena kecelakaan akan menyebabkan perubahan besar bagi individu apalagi sebelum mengalami kecacatan individu memiliki kelengkapan fisik yang membuat individu tersebut mampu melakukan banyak kegiatan dan memiliki kehidupan yang lebih baik dengan kelengkapan fisiknya serta mampu melakukan tugas-tugas perkembangannya dengan optimal sebagaimana mestinya tanpa ada hambatan fisik. Terutama ketika individu memasuki masa dewasa awal dengan berbagai tugas perkembangannya, seperti mulai bekerja, memilih pasangan, membina keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab sebagai warga negara serta mencari kelompok sosial yang menyenangkan Hurlock, 2004. Individu pada awalnya dapat memenuhi tugas-tugas perkembangannya ini namun karena adanya suatu kecelakaan membuat individu tidak lagi mampu memenuhi tugas perkembangannya dengan maksimal. Perubahan drastis tersebut, seperti kecelakaan yang mengakibatkan kecacatan, terutama pada fisiknya, memberi tekanan psikologis yang sangat besar bagi individu yang mengalaminya. Hal ini dikarenakan pada awalnya ia memiliki fisik yang normal, mampu beraktivitas dengan baik, tidak ada hambatan fisik untuk melakukan sesuatu, bekerja, berolah raga, berlari, dan lain-lain tiba-tiba dihadapkan pada kondisi cacat yang membuat individu menjadi terbatas untuk melakukan aktivitas sehari-hari, mengurus diri sendiri, bekerja, dan lain-lain Burns, 2010. Reaksi yang banyak timbul terhadap perubahan drastis yang dialami individu karena kecelakaan yang mengakibatkan kecacatan cenderung negatif. Radler 2000 menyebutkan ada beberapa tahapan yang dialami individu ketika ia mengalami kejadian traumatik yang menyebabkannya mengalami hambatan fisik, yaitu: 1 shock, yang merupakan suatu keadaan mati rasa terhadap kejadian; 2 cemas dan panik terhadap apa yang terjadi dalam hidupnya; 3 menyangkal denial pengalaman trauma yang dialaminya; 4 depresi karena saat ini ia dihadapkan pada suatu kejadian yang segala implikasinya; 5 marah dengan apa yang terjadi; 6 perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri dan bahkan mencoba menyerang orang-orang yang berusaha untuk menolongnya; 7 rekognisi intelektual dan berupaya untuk menerima situasi yang sedang dihadapinya saat ini dan belajar strategi yang dapat dilakukan dengan perubahan yang dialaminya; 8 tidak hanya menyadari strategi yang baik tetapi juga memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari. UU No. 41997 tentang Penyandang Cacat, Pasal. 1 menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental ganda http:www.bpkp.go.idunithukumuu199704-97.pdf . Sementara itu, Organisasi Kesehatan Sedunia WHO memberikan definisi kecacatan ke dalam 3 kategori, yaitu: impairment, disability, dan handicap. Impairment disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur atau fungsi psikologis atau anatomis, contohnya kelumpuhan dibagian bawah tubuh yang disertai ketidakmampuan untuk berjalan dengan kedua kaki, sedangkan disability adalah ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat adanya impairment untuk melakukan aktivitas dengan cara yang dianggap normal bagi manusia, dan dikatakan handicap merupakan keadaan yang merugikan bagi seseorang akibat adanya impairment, disability yang mencegahnya dari pemenuhan peranan yang normal dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya bagi orang yang bersangkutan http:evakasim.multiply.comjournalitem 12tinjauan_terhadap_kebijakan_integrasi_sosial_penyandang_cacat_ke_dalam_ mainstream_masyarakat_ Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam berbagai makna, seperti: 1 Kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak; 2 Lecet kerusakan, noda yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik kurang sempurna; 3 Cela; aib; 4 Tidak kurang sempurna Alwi, 2005. Dari beberapa pengertian tersebut di atas, cacat seringkali dikonotasikan dengan kemalangan, penderitaan atau hal yang patut disesalidikasihani sehingga seringnya orang-orang yang mengalami kecacatan dianggap sebagai orang yang lemah, tidak berdaya, dan membutuhkan pertolongan orang lain. Hal ini dialami oleh Rizky, 25 tahun, yang mengalami kecacatan akibat penyakit kelainan darah yang dideritanya: “Yah...ada perasaan gak mampu dan gak bisa ngerjain apa-apa lah dengan kondisi ku yang kayak gini ini. Aku kan bisanya di kursi roda aja, gak bisa kemana-mana, gak bisa ngapa-ngapain...orang-orang itu lah menunjuk ibu dan saudara sepupunya yang ngurus-ngurusin aku semuanya, kayak mandi, makan, minum obat...semua-semuanya lah...buang air aja aku diurusin karna aku pun pake kateter ini kan...” Komunikasi Personal, 5 Maret 2011 Kondisi individu yang merasa tidak berdaya seperti itu seringkali mempengaruhi psikologis para penyandang cacat dan membuat seseorang merasa rendah diri dan tidak mampu lagi melakukan tugas atau aktivitas mereka seperti dulu sebelum mereka mengalami kecacatan, merasa tertolak oleh lingkungan karena keterbatasannya untuk melakukan aktivitas seperti orang yang normal. Hal ini dialami oleh Tony, 53 tahun yang mengalami kecacatan akibat tergilas dua set roda kereta yang sedang membawa buldozer: “Sebenarnya, selalu ada orang lain yang biasanya meragukan kehadiran saya. Sebelum meninggalkan Selandia Baru untuk melakukan pendakian, banyak orang yang mengatakan saya tidak waras bahkan untuk memikirkannya saja. Orang lain mengatakan saya tidak mungkin berhasil melakukannya dan bahkan menyarankan agar saya tidak usah mencoba. Para sahabat mengatakan saya “sangat gila.”” Dikutip dari Attitude Plus Hal ini juga terlihat dari pernyataan yang diungkapkan oleh Desy bukan nama sebenarnya, 27 tahun yang mengalami kecacatan akibat terjatuh pada waktu balita yang membuatnya harus duduk diatas kursi roda hingga saat ini: ”Sebenarnya aku malu sama kawan-kawanku karena aku kayak gini. Orang itu kan bisa jalan, padahal aku...aku di kursi roda. Ada pun yang ngejek karena aku kayak gini dan ’ga bisa kayak kawan-kawanku. Pertamanya aku malu.., minder lah....” Komunikasi Personal, 8 Maret 2010 Keadaan rendah diri dan merasa tertolak oleh lingkungan yang dirasakan seseorang yang mengalami kecacatan apalagi setelah usianya beranjak dewasa menyebabkan ia sulit menerima kondisi yang dialaminya. Sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Rizky, yang berkaitan dengan kondisinya: “Yah, lagian siapa jugak yang mau kerja sama dengan orang yang lumpuh kayak aku ini?” Komunikasi Personal, 12 Maret 2011 Selain adanya perasaan rendah diri, hubungan dengan orang lain seringnya tidak baik dikarenakan ia merasa kecewa dengan dirinya dan merasa tidak puas dengan keadaannya; ia juga menjadi orang yang sangat sensitif terhadap evaluasi ataupun harapan dari luar, tidak mampu membuat keputusan sendiri dan cenderung konform terhadap orang laingrup karena adanya tekanan grup yang akhirnya membuatnya tidak percaya diri. Karena keterbatasannya melakukan aktivitas, ia seringkali tidak mampu mengatur kegiatan sehari-hari, mengabaikan kesempatan yang hadir, dan tidak mampu mengontrol pengaruh dari luar; kurang memiliki keberartian hidup, sedikit memiliki tujuan hidup, tidak menganggap tujuan hidupnya di masa lalu, dan tidak memiliki keyakinan dalam hidup; mengalami personal stagnation, tidak dapat meningkatkan dan mengembangkan diri, merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru Ryff Singer, 2008. Masyarakat memandang kecacatan disability sebagai penghalang handicap untuk seseorang melakukan sesuatu, bukan sebagai pemacu untuk lebih kecil Nurkolis, 2002. Individu yang mengalami kecacatan, apapun faktor-faktor penyebabnya, baik faktor dari dalam bawaancongenital maupun faktor dari luar lingkungan setelah individu lahir, mempunyai pandangan negatif terhadap kondisi cacatnya, dan menjadi subjek stereotype prejudice serta limitation baik dari masyarakat yang memandangnya maupun dirinya sendiri karena merasa tidak mampu Lahey, 2004. Walaupun orang yang mengalami cacat bawaan mengalami perasaan tertolak oleh lingkungan, rendah diri, dan mendapatkan stereotype negatif dari masyarakat tetapi mereka sudah dapat menerima keadaankondisi fisik mereka yang cacat karena mereka memang terlahir cacat dan tidak pernah memiliki fisik yang normal. Adanya dukungan keluarga, saudara, dan teman-teman sebaya membuat mereka lebih dapat menerima kondisi fisiknya, lebih tabah, lebih siap menghadapi lingkungan bahkan mereka sudah mempersiapkan cita-cita dari awal, sedangkan individu yang mengalami kecacatan setelah lahir apalagi setelah individu memasuki masa dewasa ketika ia sudah membangun cita-cita dari awal, mempunyai tujuan hidup, hubungan positif dengan orang lain, bekerja dan lain- lain, maka ia akan mengalami tekanan psikologis yang berat karena setelah terjadi kecelakaan dan divonis cacat mereka seperti tidak memiliki tujuan hidup lagi, diskriminasi oleh lingkungan, alienasi dan helpless Radler, 1999, perasaan rendah diri, stereotype negatif seperti helpless, dependent dan merepotkan orang lain, orang yang malang dan perlu dikasihani, worthless. Setiap individu selalu ingin mencapai apa yang diinginkannya dalam hidupnya, tidak perduli ia normal secara fisik, orang yang tidak normal cacat pun tetap memiliki keinginan untuk bisa mencapai sesuatu yang didambakan dalam hidupnya. Keterbatasan fisik yang dialami oleh seseorang harusnya tidak menjadi penghalang bagi individu untuk dapat merealisasikan seluruh potensi yang dimilikinya. Untuk mencapai potensinya tersebut diperlukan psychological well-being agar individu merasa puas dalam hidupnya, bisa mengembangkan dan merealisasikan dirinya Ryff, 1989a. Psychological well-being merupakan dorongan untuk menyempurnakan dan merealisasikan potensi diri yang sesungguhnya. Dorongan ini akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well-beingnya menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-beingnya meningkat Ryff dan Singer dalam Halim dan Atmoko, 2005. Pada intinya, psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan, dan sebagainya sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri Bradburn, dalam Ryff dan Keyes, 1995. Berdasarkan pemaparan di atas, penulis melihat bahwa individu yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan selain mendapat stigma negatif dari orang-orang disekitarnya yang membuat mereka dikucilkan seperti dianggap tidak mampu melakukan sesuatu pekerjaan dengan baik, orang yang sulitdingin, mereka juga tidak bisa menerima diri mereka sepenuhnya karena kondisi cacatnya tersebut yang mengakibatkan mereka tidak percaya diri karena sebelum mengalami kecacatan mereka memiliki fisik yang normal dan tidak memiliki hambatan, hubungan dengan orang lain pun terganggu karena menganggap orang lain selalu memandang negatif terhadap mereka, membatasi diri dari lingkungannya, dan tidak ada keyakinan akan dapat mencapai tujuan hidup mereka. Hal-hal tersebut membuat individu tidak bisa mengoptimalkan segala potensi yang dimilikinya sehingga ia mempunyai psychological well-being yang negatif dan kondisi tidak terealisasinya seluruh potensi atau tidak teraktualisasinya dirinya secara keseluruhan membuat ia tidakn mencapai kebahagiaan dalam hidupnya. Oleh karena itu, penulis tertarik melihat gambaran psychological well- being pada individu yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan. I.B. Rumusan Masalah Perumusan masalah pada proposal penelitian ini adalah bagaimana gambaran psychological well-being pada individu dewasa awal berdasarkan dimensi-dimensi psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff? I.C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada individu dewasa awal yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan. I.D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menemukan paradigma baru di bidang psikologi khususnya psikologi klinis, terutama yang berkaitan dengan psychological well-being pada individu yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi korban kecelakaan yang mengalami kecacatan fisik untuk terus mengembangkan potensi yang dimilikinya dan tidak menjadikan kecacatan sebagai suatu penghalang individu merealisasikan potensi yang sesungguhnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para ahli seperti psikolog untuk dapat lebih peka melihat dinamika dimensi-dimensi psychological well being pada individu yang cacat akibat kecelakaan. I.E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan pada proposal penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I : Latar Belakang Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teori Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian. Bab III : Metode Penelitian Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif dan responden penelitian. Bab IV : Analisa dan Pembahasan Bab ini menguraikan mengenai latar belakang responden, data observasi, data wawancara yang berupa analisa data per responden dan pembahasannya menurut teori-teori yang ada. Bab V : Kesimpulan dan Saran Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan dan saran mengenai psychological well-being pada individu dewasa awal yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan, dan saran berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil penelitian dan masalah- masalah penelitian serta saran metodologis untuk penyempurnaan penelitan lanjutan.

BAB II LANDASAN TEORI