Perbedaan psychologycal well-being pada individu dewasa awal yang berpacaran dan tidak berpacaran.
PERBEDAAN PSYCHOLOGYCAL WELL-BEING PADA INDIVIDU DEWASA AWAL YANG BERPACARAN DAN TIDAK BERPACARAN
Nikodemus Wisnu Pradana
ABSTRAK
Penelitian deskriptif komparatif kuantitatif ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan
psychological well-being antara individu yang berpacaran dan tidak berpacaran pada usia dewasa
awal berdasarkan dimensi Ryff. Hipotesis menyatakan bahwa individu dewasa awal yang berpacaran mempunyai psychological well-being lebih tinggi dibanding dengan yang tidak berpacaran. Desain penelitian menggunakan Independent Sample t-test. Subjek penelitian adalah kelompok berpacaran dan tidak berpacaran masing-masing 100 responden. Analisis data menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kesejahteraan psikologis antara dewasa awal kelompok yang berpacaran dan tidak berpacaran pada dimensi penerimaan diri, otonomi dan pertumbuhan pribadi. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kesejahteraan psikologis antara dewasa awal kelompok yang berpacaran dan tidak berpacaran pada dimensi relasi positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan tujuan hidup.
(2)
DIFFERENCES IN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING AT THE BEGINNING OF THE INDIVIDUAL ADULT DATING AND DATING
Nikodemus Wisnu Pradana
ABSTRACT
This deskriptif comparative quantitative study aimed to determine differences in psychological well-being among individuals who are dating and not dating at early adulthood based on the dimensions of Ryff. The hypothesis states that adult individuals start dating has psychological well-being higher than those who did not dating. The study design using independent sample t-test. The subjects were a group of dating and not dating each 100 respondents. Analysis of the data shows that there are differences in psychological well-being among young adult group dating and not dating the dimensions of self-acceptance, autonomy and personal growth. The analysis also showed that there was no difference in psychological well-being among young adult group dating and not dating on the dimensions of positive relationships with others, environmental mastery, and purpose in life.
(3)
PERBEDAAN PSYCHOLOGYCAL WELL-BEING PADA INDIVIDU DEWASA AWAL YANG BERPACARAN DAN TIDAK BERPACARAN
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh : Nikodemus Wisnu Pradana
109114093
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(4)
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
SKRIPSI
PERBEDAAN PSYCHOLOGYCAL WELL-BEING PADA INDIVIDU DEWASA AWAL YANG BERPACARAN DAN TIDAK BERPACARAN
Disusun oleh:
Nikodemus Wisnu Pradana
109114093
Telah disetujui oleh:
Dosen Pembimbing Skripsi,
(5)
HALAMAN PENGESAHAN
SKRIPSI
PERBEDAAN PSYCHOLOGYCAL WELL-BEING PADA INDIVIDU DEWASA AWAL YANG BERPACARAN DAN TIDAK BERPACARAN
Dipersiapkan dan ditulis oleh: Nikodemus Wisnu Pradana
NIM: 109114093
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji:
Nama Lengkap Tanda Tangan
Penguji 1 Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. ...
Penguji 2 ...
Penguji 3 ...
Yogyakarta, Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Dekan,
(6)
HALAMAN MOTTO
Segalanya itu relatif maka jadilah diri sendiri
(7)
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan untuk
Tuhan Yang Maha Esa
Kelarga besar Paapa dan Mama
Semua orang yang mencintaiku
(8)
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 6 Desember 2015
Penulis,
(9)
PERBEDAAN PSYCHOLOGYCAL WELL-BEING PADA INDIVIDU DEWASA AWAL YANG BERPACARAN DAN TIDAK BERPACARAN
Nikodemus Wisnu Pradana
ABSTRAK
Penelitian deskriptif komparatif kuantitatif ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan
psychological well-being antara individu yang berpacaran dan tidak berpacaran pada usia dewasa
awal berdasarkan dimensi Ryff. Hipotesis menyatakan bahwa individu dewasa awal yang berpacaran mempunyai psychological well-being lebih tinggi dibanding dengan yang tidak berpacaran. Desain penelitian menggunakan Independent Sample t-test. Subjek penelitian adalah kelompok berpacaran dan tidak berpacaran masing-masing 100 responden. Analisis data menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kesejahteraan psikologis antara dewasa awal kelompok yang berpacaran dan tidak berpacaran pada dimensi penerimaan diri, otonomi dan pertumbuhan pribadi. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kesejahteraan psikologis antara dewasa awal kelompok yang berpacaran dan tidak berpacaran pada dimensi relasi positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan tujuan hidup.
(10)
DIFFERENCES IN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING AT THE BEGINNING OF THE INDIVIDUAL ADULT DATING AND DATING
Nikodemus Wisnu Pradana
ABSTRACT
This deskriptif comparative quantitative study aimed to determine differences in psychological well-being among individuals who are dating and not dating at early adulthood based on the dimensions of Ryff. The hypothesis states that adult individuals start dating has psychological well-being higher than those who did not dating. The study design using independent sample t-test. The subjects were a group of dating and not dating each 100 respondents. Analysis of the data shows that there are differences in psychological well-being among young adult group dating and not dating the dimensions of self-acceptance, autonomy and personal growth. The analysis also showed that there was no difference in psychological well-being among young adult group dating and not dating on the dimensions of positive relationships with others, environmental mastery, and purpose in life.
(11)
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Nikodemus Wisnu Pradana
Nomor Mahasiswa : 109114093
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Perbedaan Psychological Well-Being Pada Individu Dewasa Awal yang Berpacaran dan Tidak Berpacaran
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 6 Desember 2015 Yang menyatakan,
(12)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat dan kebaikan-Nya sehingga skripsi ini terselesaikan dengan baik. Skripsi
ini selesai berkat dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si, Dekan Fakultas Psikologi sekaligus
pembimbing skripsi. atas waktu, perhatian, motivasi, bimbingan dan
kesabaran.
2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M, Si, Kepala Program Studi Psikologi.
3. Ibu Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi, dosen pembimbing akademik.
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma ilmu dan
wawasan psikologis.
5. Seluruh staf Fakultas Psikologi, atas keramahan dan kesabaran dalam
pelayanannya.
6. Papa dan Mama, orang tua yang selalu kucintai, Nenekku dan Adikku Dessy.
Terimakasih atas segalanya.
7. Keluarga besar Papa dan Mama yang senantiasa menunggu dan mendukung
segala upaya saya hingga karya ini terselesaikan.
8. Keluarga “trah” yang menjadi keluarga kecil di kampus. Sita, Tari, Ella, Yuti, Vita, Vincent, dan Brandan. Kalian semua luar biasa.
(13)
9. Semua sahabat terdekat yang tak pernah berhenti dan menyerah untuk
mengingatkan hingga karya ini dapat terselesaikan. Chusnul, Ciputra, Enda,
Yohan, Jeruk, Nindi, Delly, dan Nurul.
10.Semua orang yang mencintaiku.
11.Semua rekan yang telah membantu dalam penyebaran skala dan semua
responden yang telah meluangkan waktunya, terimakasih atas bantuannya.
12.Semua sahabat dan teman-teman seperjuangan di Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Angkatan 2010 yang tidak dapat disebutkan satu
persatu.
Penulis,
(14)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... HALAMAN PENGESAHAN ... HALAMAN MOTTO ... HALAMAN PERSEMBAHAN ... HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ABSTRAK ... ABSTRACT ... HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR LAMPIRAN ...
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...
B. Rumusan Masalah ...
C. Tujuan Penelitian ...
D. Manfaat Penelitian ...
1. Manfaat Praktis ...
2. Manfaat Teoritis ... I ii iii iv v vi vii viii ix x xii xiv xv 1 6 6 6 6 7
(15)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Psychological Well-Being (Kesejahteraan Psikologis) ...
1. Definisi Psychological Well-Being ...
2. Dimensi Psychological Well-Being ...
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological
Well-Being ...
B. Dewasa Awal ...
1. Definisi Dewasa Awal ...
2. Perkembangan Masa Dewasa Awal ...
C. Pacaran ...
D. Kerangka Pemikiran ...
E. Hipotesis Penelitian ...
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ...
B. Identifikasi Variabel Penelitian ...
C. Definisi Operasional ...
D. Subjek Penelitian ...
E. Teknik Pengumpulan Data ...
1. Metode dan Alat Pengumpulan Data ...
2. Alat Ukur ...
F. Validitas dan Reliabilitas ... 8 8 10 14 17 17 18 20 22 23 24 24 24 26 27 27 28 30
(16)
G. Metode Analisis Data ...
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian ...
B. Hasil Penelitian ...
1. Uji Asumsi ...
2. Uji Hipotesis ...
C. Pembahasan ...
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ...
B. Saran ...
DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...
30
34
34
35
38
40
44
44
46
(17)
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Skor Skala Likert Alat Ukur……….. Tabel 3.2 Blue Print Alat Ukur (Sebelum Try Out)……….. Table 3.3 Alat Ukur Dimensi Psychological Well Being ...
Table 3.4 Blue Print Alat Ukur (Sesudah Try Out)……… Tabel 4.1 Subjek penelitian pada kelompok berpacaran……… Table 4.2 Subjek penelitian pada kelompok tidak berpacaran………….. Table 4.3 Hasil Uji Normalitas ...
Tabel 4.4 Hasil Uji Homogenitas ...
Tabel 4.5 Ringkasan Hasil Uji Hipotesis ...
27
28
29
32
34
35
36
37
(18)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Kelompok Berpacaran...
Lampiran 2. Data Kelompok Tidak Berpacaran ...
Lampiran 3. Hasil Uji Normalitas ...
Lampiran 4. Hasil Uji Homogenitas (Levene Test) ...
Lampiran 5. Hasil Uji Independent Sampel T-Test ...
43
55
67
69
(19)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada usia 20-an seorang individu mulai dituntut untuk memiliki
pasangan oleh lingkungan sosial dan keluarganya. Usia ini dianggap sebagai
usia matang menuju jenjang pernikahan sehingga pacaran dianggap sebagai
hubungan yang penting dan serius. Pacaran adalah satu tugas perkembangan
yang perlu dilalui oleh seseorang (Hardjana, 2002). Beberapa individu yang
telah memasuki periode perkembangan dewasa awal namun belum
berpacaran merasa mendapat tekanan dari lingkungan di sekitarnya karena
banyak yang menanyakan tentang pacar atau pasangannya. Menurut Santrock
(2002) masa dewasa awal merupakan masa pembentukan kemandirian
pribadi dan ekonomi, masa perkembangan karir, dan bagi banyak orang masa
ini merupakan masa pemilihan pasangan, belajar hidup secara akrab,
memulai keluarga dan mengasuh anak-anak.
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial dan dalam
kehidupannya membutuhkan orang lain. Manusia juga senantiasa memiliki
kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Lindsklod (dalam
Reardon, 1987) mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk sosial
membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup. Orang lain yang hadir dalam
kehidupan seseorang berfungsi untuk memenuhi salah satu kebutuhan
(20)
melalui suatu hubungan dengan orang lain yang disebut pacaran (Rice &
DeGenova, 2005).
Sebuah artikel yang dikutip dari www.vemale.com menyebutkan
bahwa pacaran dianggap penting dan bahkan berdampak besar bagi masa
depan pernikahan pelakunya. Salah satu alasan kegagalan pernikahan adalah
tidak mengenal secara mendalam calon mempelai. Proses pemilihan calon
pasangan hidup dapat disebut dengan proses penjajakan untuk saling
mengenal satu sama lain. Kurangnya penjajakan sebelum menikah dianggap
sebagai penyebab pasangan belum siap menerima kekurangan dan kelebihan
pasangannya sehingga menimbulkan tekanan batin ketika sudah menikah. Hal
ini dialami salah satu individu yang tidak berpacaran sebelum menikah, “Y”. Dari hasil wawancara dengan “Y”,
“Saya dulu ga pacaran. Kenalnya sama suami ya pas dekat dengan waktu pernikahan, dikenalin temen jadi ga kenal sendiri. Saya bener-bener tahu baik buruknya ya setelah nikah. Kadang kecewa karena perbedaan antara kami sangat jauh. Banyak sifatnya yang tidak saya suka. Tapi mau ga mau ya saya terima kekurangan meskipun kadang
menyakitkan. Ya karena saya tidak mengenalnya terlebih dahulu.”
Kekecewaan dalam pernikahan tanpa mengenal calon pasangan
terlebih dahulu dapat menimbulkan ketidakharmonisan hubungan rumah
tangga. Mengatasi hal tersebut, banyak orang tua yang memperbolehkan
pacaran dengan atau tanpa pengawasan orang tua.
Dalam sebuah artikel yang dikutip dari www.lifestyle.okezone.com,
pacaran memang merupakan tugas perkembangan yang perlu dilalui oleh
(21)
merasa memiliki dukungan yang lebih kuat dalam berbagai hal dari
pasangannya sehingga lebih sehat dan terhindar dari berbagai resiko buruk.
Dilansir dari www.solopos.com, seorang siswa menuturkan bahwa dirinya
merasa sepi apabila tidak berpacaran, dan seorang siswi menganggap bahwa
pasangannya dapat dijadikan sarana mencurahkan isi hati dan sebagai teman
dekat dalam melakukan hal-hal yang positif sehingga memperoleh kelegaan.
Adapun hasil wawancara yang dilakukan dengan salah satu responden
dewasa awal yang berpacaran. Hasil wawancara dengan seorang mahasiswa,
“D” yang telah berpacaran selama hampir 9 tahun memperlihatkan bahwa
dalam berpacaran seseorang akan banyak mengalami masalah, tetapi di saat
yang sama berpacaran dapat menjadi sarana untuk belajar lebih memahami
diri sendiri dan orang lain. Berikut hasil wawancaranya,
“Saya sudah pacaran hampir 9 tahun dan memang banyak pengalaman
baik dan buruk yang terjadi. Tidak hanya sekali kami memutuskan hubungan namun menjalin hubungan kembali. Saya banyak belajar dari pacar saya dan dari berbagai pengalaman baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Saya belajar untuk lebih memahami orang lain karena kami sering berbeda pendapat, belajar menyelesaikan masalah, saya juga menjadi lebih mengenal diri saya sendiri dan bahkan memperoleh banyak bantuan baik moril maupun
material dari pacar saya”.
Ada beberapa anggapan yang dituturkan oleh “D” selaku responden.
“D” menganggap bahwa pacaran tidak hanya penting sebagai sarana untuk mengenal lebih dalam pasangan dalam rangka menuju hubungan yang lebih
serius saja, tetapi juga merupakan proses belajar yang penting serta membuat
(22)
pasangannya. Hal yang sama mungkin juga dialami oleh individu-individu
lainnya yang sedang berpacaran.
Pacaran tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga dapat
memberikan dampak negatif. Hasil wawancara dengan salah satu individu,
“A” yang pernah mengalami masa pacaran dan sekarang sudah putus,
mengemukakan bahwa,
“Dulu pacaran sih enak pada awal-awalnya, tapi seiring waktu bosen juga karena pasanganku gak suka aku berkumpul dengan teman-temanku jadi sosialku juga terbatas. Selain itu aku banyak dikekang dan harus selalu mendampinginya kalau dia mau pergi kemana gitu, aku kan juga banyak kegiatan yang harus kuselesaikan. Kalau ga dituruti ngambek, tapi kalau dituruti kerjaanku banyak terbengkelai.
Jadinya yang harusnya support malah bisa bikin stres”
Ada beberapa hal positif yang dirasakan oleh “A”. “A” mengatakan bahwa setelah putus justru kehidupannya bisa lebih stabil. “A” bisa fokus bekerja dan berkumpul bersama teman-temannya tanpa ada yang mengekang.
Menurutnya pacaran memang tidak terlalu penting karena jika memang
berniat untuk komitmen dan melanjutkan ke jenjang pernikahan, memilih
calon pasangan bisa dilihat dan menanyakan kepada orang-orang yang
mengenalnya dengan baik misalnya teman-temannya, lingkungan sosialnya
dan masukan dari sahabat.
Berdasarkan hasil wawancara, masing-masing individu yang
berpacaran atau tidak berpacaran dapat mengalami kesejahteraan psikologis
pada usia dewasa awal. Menurut (Ryff, 1995), kesehatan psikologis ditandai
dengan pemenuhan fungsi kriteria kesehatan mental positif yang
(23)
Kesehatan psikologis merupakan gambaran kesejahteraan psikologis
individu. Ryff menjelaskan bahwa secara teoritis, kesejahteraan psikologis
meliputi aspek multidimensional yang terdiri dari 6 aspek yaitu penerimaan
diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi diri, penguasaan
lingkungan, memiliki tujuan hidup dan pengembangan diri. Di sisi lain,
beberapa peneliti menemukan bahwa kesejahteraan psikologis berkaitan
dengan kepuasan hidup seseorang (Neugarten, Havinghurst, & Tobin dalam
Ryff, 1989).
Setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial selalu
terdapat otoritas (Soekanto, 2007). Hubungan berpacaran tidak hanya belajar
untuk memahami pasangannya tetapi juga belajar untuk memahami dirinya
sendiri melalu otoritasnya dalam proses berpacaran. Menurut Dahrendorf
(dalam Dwi, 2008), otoritas adalah pengaruh atau kekuasaan yang dimiliki
individu untuk mempengaruhi pikiran, gagasan, pendapat, maupun perilaku
seseorang atau suatu kelompok. Otoritas ini merupakan kesempatan yang
dimiliki seseorang atau kelompok orang untuk menyadarkan orang lain akan
kemampuannya sendiri dan menerapkannya terhadap tindakan atau
perlawanan dari orang atau golongan yang lain menurut Weber (dalam
Soekanto, 2007). Otoritas ini berkaitan dengan kepuasan yang disampaikan
Ryff mengenai kesejahteraan psikologis.
Berdasarkan uraian di atas, berpacaran dianggap sesuatu yang sangat
penting. Fenomena berpacaran dan tidak berpacaran juga berdampak pada
(24)
pelakunya. Melihat hal ini, peneliti menganggap bahwa penting untuk diteliti
lebih mendalam apakah pacaran atau tidak pacaran memang ada
hubungannya dengan kesejahteraan psikologis seseorang. Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk melihat apakah terdapat perbedaan kesejahteraan
psikologis antara individu dewasa awal yang berpacaran dan tidak berpacaran
berdasarkan dimensi yang dikemukakan Ryff.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah “Apakah terdapat perbedaan psychological well-being antara individu yang berpacaran dan tidak berpacaran pada usia dewasa awal berdasarkan
dimensi Ryff?” C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya
perbedaan psychological well-being antara individu yang berpacaran dan
tidak berpacaran pada dewasa usia awal berdasarkan dimensi Ryff.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian terbagi menjadi dua macam, yaitu manfaat praktis
dan manfaat teoretis.
1. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan
dan memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai
(25)
b. Sebagai pertimbangan bagi individu dewasa awal yang ingin
berpacaran.
c. Memberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa pacaran tidak
selalu negatif.
d. Bagi subjek penelitian, selama pengisian kuisioner subjek
berefleksi mengenai 6 dimensi psychologycal well-being sehingga
sadar dan menjaga seimbangnya dimensi psychologycal well-being
dalam dirinya.
e. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi untuk
penelitian selanjutnya yang mengambil topik yang sama yaitu
mengenai psychological well being individu yang menjalin
hubungan dan yang tidak menjalin hubungan.
2. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu
pengetahuan mengenai psikologi perkembangan khususnya pada masa usia
(26)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Psyhological Well Being (Kesejahteraan Psikologis)
1. Definisi Psyhological Well Being
Konsep kesejahteraan psikologis berkembang dari tulisan Aristoteles
dalam Etika Nichomacea. Aristoteles menjelaskan bahwa terdapat dua
macam pandangan untuk menjalani hidup, yaitu pandangan hedonis dan
pandangan eudemonia (Magnus-Suseno, 2009). Pandangan hedonis menjadi
dasar bagi konsep subjective well-being dalam psikologi dan menekankan
dengan menghindari rasa sakit dan dengan mengusahakan rasa nikmat maka
kepuasan dapat tercapai, sedangkan pandangan eudemonia menjadi dasar
bagi konsep psychological well-being atau kesejahteraan psikologis dengan
menekankan pemaksimalan potensi yang dimiliki maka seseorang dapat
menjadi unggul.
Menurut Ryff (1989), psychological well-being adalah suatu variabel
psikologis yang mengukur tentang kondisi sejahtera (well-being) seorang
individu dalam hidupnya. Ryff juga menambahkan bahwa kesejahteraan
psikologis merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang
dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta
bagaimana individu melihat dan mengevaluasi dirinya juga kualitas
mengenai hidupnya. Ini juga mengarah pada pengungkapan perasaan pribadi
(27)
hidupnya. Hal ini didasarkan pada salah satu perspektif yakni perspektif
eudamonik yang memandang bahwa well-being merupakan hal yang tidak
dapat disamakan dengan kebahagiaan. Meskipun suatu kepuasan dan hasil
dapat diperoleh, namun hal tersebut belum tentu akan mendatangkan
well-being. Psychological well-being bukan hanya tentang kepuasan hidup dan
keseimbangan antara afek positif dan afek negatif, namun juga melibatkan
persepsi dari dalam menghadapi tantangan-tantangan selama hidup.
Ada beberapa pendapat ahli dalam menjelaskan pengertian
psychological well-being. Psychological well-being merupakan keadaan
ketika seseorang menjadi pribadi yang utuh dengan mengembangkan
potensi dan mengatasi tantangan dalam hidupnya (Ryff, 2013). Nathawat
(dalam Phronesis, 2008) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis
merupakan reaksi evaluatif seseorang mengenai kenyamanan hidupnya.
Snyder dan Lopea (dalam Phronesis, 2008) mengutarakan bahwa
kesejahteraan psikologis bukan hanya sekedar ketiadaan penderitaan namun
juga meliputi keterikatan aktif di dalam dunia, memahami arti dan tujuan
hidup serta hubungan seseorang pada objek ataupun orang lain.
Berdasarkan beberapa teori di atas, dapat disimpulkan bahwa
psychological well-being adalah kesejahteraan psikologis seseorang sebagai
bentuk evaluasi terhadap segala sesuatu yang dihadapi dalam kehidupan
sehari-hari dan mengembangkan potensi yang dimiliki untuk menjadi
(28)
2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis
Ryff (1989) mengemukakan bahwa konsep well-being terbagi dalam
enam dimensi. Enam dimensi tersebut yaitu penerimaan diri, hubungan yang
positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup
dan pertumbuhan pribadi. Konsep well-being bersifat multidimensional
menurut Ryff (2013). Hal ini berarti terdapat tingkatan dalam
dimensi-dimensi tersebut dan dimiliki setiap individu.
a. Penerimaan diri
Dimensi ini merupakan bagian sentral dari kesehatan mental. Ryff
menyimpulkan bahwa penerimaan diri mengandung arti sebagai sikap
yang positif terhadap diri sendiri. Sikap positif ini adalah mengenali dan
menerima berbagai aspek dalam dirinya, baik yang positif maupun
negatif serta memiliki perasaan positif terhadap kehidupan masa lalu.
Individu yang memiliki sikap positif, dimana individu ini dapat
mengatur dan menerima beberapa aspek yang baik dan buruk dalam
dirinya, serta dapat melihat masa lalu dengan perasaan yang positif
merupakan individu yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri (Ryff
dan Keyes, 1995), sedangkan individu yang memiliki ketidakpuasan
yang besar pada dirinya, individu tidak merasa nyaman dengan keadaan
yang telah terjadi di masa lalunya dan fokus pada beberapa kualitas
hidupnya dan ingin mengubahnya merupakan individu yang rendah
(29)
b. Hubungan positif dengan orang lain
Ryff mendefinisikan hubungan positif dengan orang lain sebagai
dimensi yang mencerminkan kemampuan seseorang untuk menjalin
hubungan yang hangat, saling percaya dan saling mempedulikan
kebutuhan serta kesejahteraan pihak lain. Menurut Ryff, kemampuan
seseorang untuk menjalin hubungan yang positif dicirikan dengan adanya
empati, afeksi dan keakraban, serta adanya pemahaman untuk saling
memberi dan menerima.
Individu yang memiliki kehangatan, puas akan dirinya sendiri,
jujur dalam menjalin hubungan, individu yang memikirkan well-being
orang lain, memiliki kemampuan untuk berempati, afeksi dan keakraban,
serta adanya pemahaman untuk saling memberi dan menerima
merupakan individu yang tinggi dalam dimensi ini (Ryff dan Keyes,
1995), sedangkan individu individu yang tertutup, tidak jujur dalam
menjalin hubungan dengan orang lain, sulit merasa hangat, sulit terbuka
dan tidak memikirkan well-being orang lain. Lalu individu merasa
terisolasi dan frustrasi dengan hubungan sosialnya. Individu yang seperti
ini tidak ingin menjalin komitmen penting dengan orang lain merupakan
individu yang rendah dalam dimensi ini (Ryff dan Keyes, 1995).
c. Otonomi diri
Menurut Ryff, pribadi yang otonom adalah pribadi yang mandiri
dan yang dapat menentukan yang terbaik bagi dirinya sendiri. Individu
(30)
dengan standar personal. Oleh karena itu individu tidak memiliki
harapan-harapan dan penilaian orang lain terhadap dirinya. Individu yang
otonom juga tidak menggantungkan diri pada penilaian orang lain untuk
membuat keputusan penting.
Individu yang mampu mengambil keputusan sendiri, tidak
tergantung dan mampu mengevaluasi diri dengan standar personal
merupakan individu yang tinggi dalam dimensi ini (Ryff dan Keyes,
1995), sedangkan individu yang fokus pada harapan orang lain,
ketergantungan pada orang lain dan memberikan penilaian sebelum
memutuskan hal penting merupakan individu yang rendah dalam dimensi
ini (Ryff dan Keyes, 1995).
d. Penguasaan lingkungan
Dimensi ini menjelaskan tentang adanya suatu perasaan kompeten
dan penguasaan dalam mengatur lingkungan, memiliki minat yang kuat
terhadap hal-hal di luar diri dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas
serta mampu mengendalikannya. Menurut Ryff, seseorang dikatakan
memiliki penguasaan lingkungan adalah orang yang memiliki
kemampuan dan kompetensi untuk mengatur lingkungannya. Individu
yang seperti ini mampu mengendalikan kegiatan-kegiatan yang
kompleks. Individu ini juga menggunakan kesempatan-kesempatan yang
ada secara efektif dan mampu memilih bahkan menciptakan lingkungan
(31)
Individu berkompeten dan memiliki penguasaan yang baik dalam
mengontrol lingkungan dan aktivitas di luar diri serta mampu memilih
dan menciptakan lingkungan yang selaras dengan kondisi jiwanya
merupakan individu yang tinggi dalam dimensi ini (Ryff dan Keyes,
1995), sedangkan individu yang merasa sulit untuk mengatur hidupnya
sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan
situasi di sekelilingnya, tidak peduli pada sekitar dan kehilangan kontrol
diri merupakan individu yang rendah dalam dimensi ini (Ryff dan Keyes,
1995).
e. Tujuan hidup
Menurut Ryff, individu yang memiliki tujuan hidup adalah
individu yang memiliki keterarahan dan tujuan-tujuan yang hendak
dicapai dalam hidupnya. Individu memiliki keyakinan dan pandangan
tertentu yang dapat memberikan arah dalam hidupnya. Individu juga
menganggap bahwa hidupnya itu bermakna baik di masa lalu, kini
maupun yang akan datang. Selain itu individu juga memiliki perasaan
menyatu, seimbang dan terintegrasi.
Individu yang memiliki tujuan dan arah dalam hidupnya, mampu
memberikan makna pada hidupnya baik masa lalu, kini dan yang akan
datang serta mempunyai perasaan menyatu, seimbang dan terintegrasi
merupakan individu yang tinggi dalam dimensi ini (Ryff dan Keyes,
1995), sedangkan individu yang tidak mempunyai tujuan, arah dan
(32)
masa lalu, kini dan yang akan datang serta mempunyai perasaan
menyatu, seimbang dan terintegrasi merupakan individu yang rendah
dalam dimensi ini (Ryff dan Keyes, 1995).
f. Pertumbuhan pribadi
Pertumbuhan menjadi optimal bukan hanya individu dapat
mencapai kualitas-kualitas yang telah disebutkan sebelumnnya, tetapi
juga membutuhkan perkembangan potensi-potensi yang
berkesinambungan. Pertumbuhan pribadi merupakan kemampuan untuk
beradaptasi terhadap perubahan-perubahan dalam hidup yang
berlangsung dalam dirinya dan mampu mengembangkan potensi.
Individu yang memiliki pandangan bahwa dirinya selalu
berkembang, beradaptasi pada pengalaman baru, memiliki kemampuan
untuk mengembangkan potensi diri merupakan individu yang tinggi
dalam dimensi ini (Ryff dan Keyes, 1995), sedangkan individu yang
merasa hidupnya berhenti (stagnation), tidak mampu berkembang, tidak
mampu beradaptasi pada pengalaman baru dan tidak memiliki
kemampuan untuk mengembangkan potensi diri merupakan individu
yang rendah dalam dimensi ini (Ryff dan Keyes, 1995).
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis
Dalam kesejahteraan psikologis terdapat berbagai faktor yang
mempengaruhi. Ryff (1995) mengatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kesejahteraan psikologis ini perlu untuk diperhatikan.
(33)
a. Usia
Individu yang berada pada kelompok usia muda dan tua
diperkirakan memliki skor kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi
dibandingkan dengan individu yang berada pada usia tengah (e.g.
Blanchflower & Oswald, 2008; Clark & Oswald, 1994). Individu pada
kelompok usia dewasa awal, menunjukkan skor yang lebih tinggi pada
dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi jika dibandingkan dengan
subjek kelompok usia dewasa akhir (Ryff, 1989; Clarke, 2001). Selain
itu, individu pada kelompok usia dewasa awal juga memandang diri
mereka mengalami peningkatan dalam hidup (Ryff, 1989).
b. Genetik
Dimungkinkan tidak ada lagi keraguan bahwa genotip individu
juga berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan psikologis dan
kekuatan individu untuk menghadapi stress. Sebuah peneltian
mengungkapkan bahwa long and short allele variant of the serotonin
transporter (gen 5-HTT) ditemukan berdampak pada aktivitas otak yang
berkaitan pada pemprosesan emosi. Selain itu, sebuah observasi
mengemukakan bahwa kelemahan genetic akan mempengaruhi fungsi
otak sehingga juga akan mengakibatkan kekacauan suasana hati (Rao et
al., 2007).
c. Status sosial ekonomi
Banyak penelitian menemukan bahwa tingkat pendapatan yang
(34)
kesejahteraan psikologis dan lebih rendah dalam pengalaman kekacauan
mental (e.g. Dolan et al., 2008; Ryff & Singer, 1998b). Ryff, Magee, dkk
(1999) menemukan pengaruh status sosial ekonomi terhadap pencapaian
kesejahteraan pikologis. Status sosial ekonomi yang rendah atau
kemiskinan berpengaruh pada dimensi penerimaan diri, tujuan hidup,
penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi.
d. Dukungan sosial
Davis (dalam Robinson & Andrew, 1991) menemukan bahwa
orang-orang yang memperoleh dukungan sosial memiliki kesejahteraan
psikologis yang lebih tinggi. Bahwa dukungan sosial dari lingkungan
sekitar individu akan sangat mempengaruhi psychological well-being
yang dirasakan oleh individu tersebut. Dukungan sosial dapat membantu
perkembangan pribadi yang lebih positif maupun memberikan dukungan
pada individu dalam berhadapan dengan masalah-masalah di
kehidupannya.
e. Sikap penuh kesadaran
Sikap penuh kesadaran merupakan faktor lain dari peningkatan
kesejahteraan psikologis. Sikap penuh kesadaran ditandai dengan adanya
perhatian yang berkualitas dari individual dalam mengelola dan
meningkatkan kesejahteraannya. Makna dari sikap penuh perhatian
digambarkan dengan ciri kondisi yang terbuka dan menerima sebuah
kesadaran dan perhatian (Brown, dkk, 2003). Kondisis individu yang
(35)
perhatian penuh terhadap sesuatu dan sadar akan apa yang sedang terjadi
pada saat situasi yang sedang berlangsung.
f. Sikap konsistensi
Cross, dkk (2003) faktor pendukung lain dalam pencapaian
kesejahteraan psikologis adalah sikap konsistensi yang terdapat dalam
diri individu. Individu yang mampu menunjukan kekonsistensian dalam
situasi dan kondisi peraturan yang berbeda memiliki kesejahteraan
psikologis yang lebih tinggi dari pada individu yang kurang konsisten
atau memiliki konsep diri yang cenderung kurang jelas. Konsistensi
individu ditandai dengan adanya kematangan, integritas kepribadian dan
kesatuan yang berarti pula berasosiasi dengan dimensi positif dari
kesejahteraan psikologis.
B. Dewasa Awal
1. Definisi Dewasa Awal
Menurut Santrock (2002) masa dewasa awal (early adulthood)
merupakan salah satu tahap dalam perkembangan yang bermula pada
akhir usia belasan tahun atau usia 20-an dan berakhir pada usia 30-an.
Pada masa awal ini, individu akan mengalami pembentukan
kemandirian pribadi dan ekonomi, perkembangan karir, masa pemilihan
pasangan, belajar hidup dengan seseorang secara akrab, memulai
keluarga, dan mengasuh anak-anak.
Hurlock (dalam Mappiare, 1997) memberi batasan usia dewasa
(36)
empat puluh tahun. Masa tersebut dialami individu sekitar dua puluh
tahun dan dapat dikatakan dimulai pada usia 20 tahunan.
Seseorang yang memasuki usia dewasa awal akan menemui
tugas penemuan intimasi atau akan menghadapi isolasi (Erikson dalam
Monks, Knoers dan Haditono, 2002). Tugas perkembangan dewasa
awal adalah pembentukan relasi intim dengan orang lain. Keintiman
digambarkan sebagai penemuan diri sendiri dalam diri orang lain. Saat
seorang dewasa awal mampu membentuk relasi akrab yang intim
dengan orang lain, ia akan mencapai keintiman. Disisi lain, apabila
tidak terjadi keintiman maka seseorang akan mengalami isolasi
(Erikson dalam Santrocks, 2002).
2. Perkembangan Masa Dewasa Awal
Dalam perkembangan fisik, masa dewasa awal usia 20-30 tahun
merupakan masa puncaknya. Ketangkasan jari tangan dan pergerakan
tangan mulai menurun setelah usia pertengahan 30 tahun (Troll dalam
Papalia, 1995). Kekuatan, koordinasi, kecerdasan, kecekatan dan
ketangkasan tangan, kecepatan merespon, ketajaman pandangan dan
indera perasa semuanya berada di puncaknya sebelum usia 30 tahun dan
mulai menurun sekitar usia 40 tahun saat kecenderungan menuju
penurunan jarak pandang jauh yang membuat usia 40 tahun
mengenakan kacamata untuk membantu ketajaman penglihatannya.
(37)
dan jelas setelahnya, khususnya tahap suara yang melengking (Papalia,
1995).
Masa dewasa awal juga mengalami perkembangan kognitif.
Piaget (dalam Papalia, 1995) menyatakan bahwa perkembangan
kognitif dari bayi sampai pubertas menghasilkan kombinasi
kematangan dan pengalaman. Dalam masa dewasa awal, pengalaman
memainkan peranan penting dalam fungsi intelektual.
Pengalaman dengan orang dewasa menjadikan mereka untuk
mengevaluasi ulang kriteria mereka dalam menentukan apa yang benar
dan adil. Pengalaman pula yang memiliki peranan penting seorang
dewasa dalam memecahkan masalahnya. Karena pengalaman setiap
orang dewasa berbeda-beda, maka efek yang ditimbulkan dalam
perkembangan kognitifnya pun berbeda. Dalam masa perkembangan
kognitif usia 20 samapi pertengahan 30 tahun, kebanyakan orang
dewasa akan berubah peran dan tanggung jawab menunju kematangan,
belajar berbisnis, memilih pekerjaan atau memiliki tujuan karir,
mengejar pendidikan yang lebih tinggi dan menikah (Havighurst dalam
Wrightsman, 1994).
Individu dewasa awal (Mappiare, 1997) memiliki ciri-ciri
berada pada usia reproduktif, sehingga peran sebagai orang tua adalah
sesuatu yang penting. Usia dewasa awal merupakan usia memantapkan
letak kedudukan dan mulai menetapkan perannya sebagai orang dewasa
(38)
tersebut menyebabkan individu dewasa awal memperoleh kepuasan
dalam sebuah kedudukan yang pantas, merupakan usia banyak masalah
dikarenakan makin besarnya tanggung jawab dan persoalan yang
diterima, usia dewasa awal ini juga merupakan usia tegang dalam hal
emosi yang sering ditampakkan pada kekhawatiran dalam pekerjaan
maupun yang berhubungan dengan pemilihan teman hidup.
C. Pacaran
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2015) pacar adalah teman
lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih.
Allen (2003) mengartikan pacar sebagai fiance yang merupakan laki-laki
atau perempuan yang kepadanya kita akan menikah sedangkan boyfriend
atau girlfriend merupakan teman dalam hubungan romantis yang memiliki
komitmen (kesepakatan) jangka panjang yang mengarah pada pernikahan.
Ikhsan (2003) membedakan pengertian pacaran kedalam tiga
pandangan, yaitu (a) pacaran adalah rasa cinta yang menggebu-gebu pada
seseorang; (b) pacaran adalah identic dengan kegiatan seks sehingga
kegiatan berpacaran biasanya akan berakhir dengan kegiatan seks yag
berlandaskan rasa suka sama suka dan tanpa adanya unsur pemaksaan; (c)
pacaran adalah ikatan perjanjian untuk saling mencintai, percaya
mempercayai, saling setia dan hormat menghormati sebagai jalan menuju
pernikahan yang sah. Padangan ketiga merupakan pandangan yang paling
(39)
Landis dan Landis (1963) menyebutkan fungsi pacaran adalah
sarana belajar kemampuan sosial, pengembangan pemahaman diri dan
pengertian terhadap orang lain, kesempatan untuk mencari dan mencoba
pengertian tentang peran jenis serta untuk melihat cara-cara yang biasa
dilakukan untuk mengatasi permasalahan. Di dalam berpacaran, individu
belajar berkomunikasi secara heteroseksual, membangun kedekatan emosi,
kedekatan fisik, dan mengalami proses pendewasaan kepribadian (Gambit,
2000).
Pacaran merupakan tahap dimana pasangan mencoba untuk
memadukan dua pribadi yang berbeda dengan tujuan agar terjadi
kesesuaian, kecocokan, kepaduan hati, pikiran, kehendak, cita-cita dan
perilaku. Dengan hal tersebut diharapkan pasangan yang berpacaran dapat
saling memahami, menerima, mendukung, membantu dalam mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan bersama, serta mengatasi kesulitan dan
masalah yang mereka jumpai saat berpacaran (Hardjana, 2002). Pacaran
merupakan salah satu tugas perkembangan yang memang perlu dilalui oleh
seseorang. Melalui pacaran seseorang diharapkan dapat mengenal lawan
jenisnya agar dapat memperluas pergaulan, sebagai masa persiapan untuk
mendapatkan pasangan hidup, membentuk komitmen, serta membangun
tanggung jawab pribadi (Hurlock, 1999).
Dapat disimpulkan bahwa berpacaran adalah hubugan intim jangka
panjang yang dapat berlanjut hingga pernikahan. Selain itu, dengan
(40)
D.Kerangka Pemikiran
Berpacaran Tidak Berpacaran
1. Mendapat dukungan sosial dari pasangan
2. Memiliki motivasi untuk mengembangkan diri
3. Refleksi dan evaluasi pengalaman dan konflik bersama pasangan 4. Belajar penguasaan lingkungan
melalui otoritasnya dalam berpacaran
5. Belajar membangun hubungan yang berkualitas bersama pasangan
6. Mencari dan mencoba pengertian peran jenis
1. Hanya mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan sekitar
2. Belum mendapatkan motivasi dari pasangan
3. Belum ada pengalaman dan konflik dalam membina hubungan dengan pasangan
4. Belum belajar penguasaan lingkungan dalam hubungan bersama pasangan 5. Belum belajar membangun hubungan
yang berkualitas bersama pasangan 6. Belum mencoba pengertian peran
jenis Usia dewasa Awal
psychological well-being
tinggi
psychological well-being
rendah
Dimensi psychological well-being
1. Penerimaan diri 2. Tujuan Hidup
3. Relasi positif dengan orang lain 4. Penguasaan lingkungan 5. Otonomi diri
6. Pertumbuhan pribadi
Faktor psychological well-being
1. Dukungan sosial dan status sosial ekonomi
2. Sikap penuh kesadaran, sikap konsistensi dan status sosial ekonomi
3. Sikap konsistensi
4. Usia dan ststus sosial ekonomi 5. Status sosial ekonomi dan sikap
konsistensi
(41)
E.Hipotesis Penelitian
Dari uraian di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah
ada perbedaan psychological well-being pada individu dewasa awal yang
(42)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif komparatif
kuantitatif. Penelitian deskriptif komparatif kuantitatif digunakan untuk
membandingkan dua kelompok atau lebih. Karakteristik penelitian deskriptif
komparatif kuantitatif adalah peneliti melakukan identifikasi dan deskripsi
mengenai suatu fenomena tanpa berusaha menggambarkan hubungan sebab
akibat. Penelitian kuantitatif adalah metode dengan data penelitian berupa
angka-angka dan analisis yang menggunakan statistik. Metode ini disebut
sebagai metode ilmiah/scientific karena telah memenuhi kaidah-kaidah ilmiah
yaitu konkrit/empiris, obyektif, terukur, rasional, dan sistematis (Sugiyono,
2013).
B.Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Variabel independen (variabel bebas) yaitu status berpacaran pada individu
dewasa awal
2. Variabel dependen (variabel terikat) yaitu Psychological Well-Being.
C.Definisi Operasional
1. Status Berpacaran
Status berpacaran individu digolongkan menjadi dua yaitu
(43)
seorang individu dengan lawan jenisnya berdasarkan cinta kasih. Pacaran
merupakan tahap dimana pasangan mencoba untuk memadukan dua pribadi
yang berbeda dengan tujuan agar terjadi kesesuaian, kecocokan, kepaduan
hati, pikiran, kehendak, cita-cita dan perilaku (Hardjana, 2002). Pacaran
pada usia dewasa awal yaitu pacaran yang dijalani pada usia 20-an dan
berakhir pada usia 30-an. Pada masa awal ini, individu akan mengalami
pembentukan kemandirian pribadi dan ekonomi, perkembangan karir, masa
pemilihan pasangan, belajar hidup dengan seseorang secara akrab, memulai
keluarga, dan mengasuh anak-anak (Santrock, 2002). Individu yang
berpacaran pada usia dewasa awal yaitu individu yang menjalin hubungan
jangka panjang dengan lawan jenisnya pada usia 20-an hingga 30-an tahun,
sedangkan individu dewasa awal yang tidak berpacaran yaitu individu yang
tidak menjalin hubungan jangka panjang dengan lawan jenisnya pada usia
20-an hingga 30-an tahun.
2. Psychological Well Being
Psychological Well Being adalah kesejahteraan psikologis seseorang
sebagai bentuk evaluasi terhadap segala sesuatu yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-hari. Aspek yang digunakan untuk mengukur
Psychological Well Being berasal dari 6 dimensi Psychological Well Being
yang telah disusun oleh Ryff (1989) yang kemudian disusun peneliti dengan
(44)
D.Subjek Penelitian
Peneliti menggunakan subjek penelitian ini dilakukan dengan metode
sampling purposive yaitu pengambilan subjek dengan pertimbangan tertentu.
Pertimbangan yang diambil berdasarkan karakteristik subjek dalam penelitian
ini yaitu:
1. Subjek berusia dewasa awal antara 20-30 tahun
2. Subjek sedang menjalin hubungan (berpacaran)
3. Subjek sedang tidak menjalin hubungan (tidak berpacaran)
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2010).
Populasi antara individu yang berpacaran dan tidak berpacaran diperkirakan
masing-masing lebih dari 100 orang. Banyaknya individu dalam populasi
sehingga diperlukan sampel. Sampel merupakan wakil dari populasi yang
diteliti (Arikunto, 2010). Dalam pengambilan sampel peneliti berpedoman pada
Arikunto (2006) yang menyatakan bahwa apabila subyeknya kurang dari 100,
lebih baik diambil semua, sehingga penelitiannya merupakan penelitian
populasi. Selanjutnya jika subyeknya besar (lebih dari 100 orang) dapat
menggunakan sampel. Menurutnya sampel diambil antara 10% - 15% hingga
20 % - 25% atau bahkan boleh lebih dari 25% dari jumlah populasi yang ada.
Berdasarkan penentuan pengambilan sampel di atas, sampel yang akan diambil
diambil dalam penelitian ini yaitu sebanyak 100 orang untuk masing-masing
(45)
E.Teknik Pengumpulan Data
1. Metode dan Alat Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan
angket/kuesioner. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan
tertulis kepada responden untuk dijawabnya (Sugiyono, 2013). Kuesioner
cocok digunakan bila jumlah responden cukup besar dan tersebar luas.
Kuesioner berisi daftar pertanyaan dengan skala Likert. Skala Likert
digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau
sekelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiyono, 2012). Skala Likert
dalam penelitian ini menggunakan 6 skala yaitu :
Tabel 3.1 Skor Skala Likert Alat Ukur
Respon Skor Favorable Skor Unfavorable
SS = Sangat Setuju 6 1
S = Setuju 5 2
CS = Cukup Setuju 4 3
KS = Kurang Setuju 3 4
TS = Tidak Setuju 2 5
(46)
2. Alat Ukur
Alat ukur ini disusun dalam bentuk kuesioner yang berisikan 54
pernyataan, responden diminta untuk memilih salah satu dari enam
kemungkinan jawaban yakni sangat setuju (SS), setuju (S), Cukup Setuju
(CS), Kurang Setuju (KS), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).
Setiap pernyataan dalam kuesioner ini diberi penilaian untuk positif
bergerak dari enam sampai dengan satu sedangkan negatif bergerak dari satu
sampai dengan enam. Kemudian akan diperoleh nilai total yang
menggambarkan derajat dimensi Psychological Well Being. Kuesioner ini
terdiri dari enam dimensi yakni: Self Acceptance, Positive Relation with
Others, Autonomy, Environmental mastery, Purpose In Life dan Personal
Growth (Ryff, 1989).
Tabel 3.2 Blue Print Alat Ukur (sebelum try out)
Aspek kesejahteraan psikologis
Nomor item
Jumlah item
Bobot (%)
Favorable Unfavorable
Self Acceptance 1, 15, 29, 34,
42, 51
2, 14, 17
9 16,67
Positive Relation with Others 3, 16, 31, 44 18, 30, 32, 33, 45 9 16,67
Autonomy 4, 19, 37, 46, 52 5, 20, 35, 47 9 16,67
Environmental mastery
6, 7, 22, 36, 54 8, 9, 23, 53 9 16,67
Purpose In Life 10, 24, 38 11, 25, 26, 39, 43, 48
9 16,67
Personal Growth 12, 27, 40 13, 21, 28, 41, 49, 50
9 16,67
(47)
Tabel 3.3 Kisi-kisi Alat Ukur Dimensi Psychological Well Being
Dimensi Indikator
Penerimaan diri
a. Memiliki sikap yang positif terhadap dirinya
b. Mengakui dan menerima aspek-aspek diri termasuk hal-hal yang baik dan buruk dalam dirinya
c. Memandang positif pengalaman di masa lalunya Hubungan
positif dengan orang lain
a. Adanya sikap hangat, puas, dan percaya terhadap hubungannya dengan orang lain
b. Mempunyai sikap empati, afeksi dan keakraban terhadap orang lain
c. Memahami akan arti memberi dan menerima dalam hubungannya dengan orang lain
Otonomi a. Mampu dalam mengatur perilakunya sendiri b. Mandiri
c. Mampu melawan tekanan sosial yang diterima dan bertindak dengan cara-cara tertentu
d. Memiliki prinsip diri e. Mampu mengevaluasi diri Penguasaan
lingkungan
a. Mampu mengelola lingkungan
b. Mampu mengontrol susunan yang kompleks yang ada diluar
diri
c. Mampu memanfaatkan segala kemungkinan yang ada
dilingkungan sekitar secara efektif
d. Mampu untuk menciptakan dan mengelola keadaan yang
cocok bagi kebutuhan dan nilai-nilai pribadi Tujuan
hidup
a. Memiliki tujuan hidup yang terarah
b. Merasa bahwa segala kejadian baik yang akan datang maupun
yang telah terjadi memiliki makna penting dalam dirinya
c. Memegang keyakinan yang memberikan tujuan hidup d. Memiliki tujuan dan sasaran untuk hidup
Pertumbuhan pribadi
a. Adanya keinginan untuk terus berkembang
b. Melihat dirinya sebagai pribadi yang sedang bertumbuh dan
berkembang
c. Terbuka terhadap pengalaman-pengalaman yang baru d. Melihat peningkatan dalam diri dan perilakunya setiap saat e. Mengubah sikap-sikap dengan cara berefleksi dari
(48)
F. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas
Menurut Mustafidah dan Taniredja (2011), sebuah alat ukur dalam
penelitian perlu memiliki validitas. Validitas adalah ketepatan atau
kesesuaian alat ukur untuk mengukur sebuah variabel penelitian. Validitas
yang dipakai dalam penelitian ini adalah validitas isi, yaitu validitas alat
ukur yang ditentukan oleh orang-orang yang memiliki kompetensi keilmuan
yang berkaitan dengan variabel yang hendak diteliti (Profesional Judgment).
2. Reliabilitas
Menurut Supratiknya (1998), reliabilitas adalah konsistensi dan
stabilitas. Suatu tes disebut reliabel atau konsisten bila sejumlah orang
memperoleh skor yang sama manakala mereka dites pada dua kesempatan
berbeda dengan tes yang sama, dites dengan dua versi berbeda dari tes yang
sama, serta dites dengan kelompok-kelompok item berlainan dari tes yang
sama. Secara statistik reliabilitas ditunjukkan dengan korelasi. Angka atau
koefisien korelasi yang menunjukkan reliabilitas disebut koefisien
reliabilitas. Menurut Sekaran (2006), reliabilitas atau keandalan suatu
pengukuran menunjukkan sejauh mana pengukuran tersebut tanpa bias
(bebas dari kesalahan) dan karena itu menjamin pengukuran yang konsisten
lintas waktu dan lintas beragam item dalam instrument. Dengan kata lain,
keandalan suatu pengukuran merupakan indikasi mengenai stabilitas dan
konsistensi di mana instrument mengukur konsep dan membantu menilai
(49)
Dalam penelitian ini, reliabilitas diukur dengan seleksi aitem
berdasarkan try out untuk menentukan aitem yang benar-benar tepat untuk
mengukur variabel penelitian ini. Metode analisis dalam penelitian ini
menggunakan Reliability Statistics Cronbach’s Alpha. Penggunaan metode analisis tersebut untuk melihat reliabilitas konsistensi internal, dimana
dihitung berdasarkan varians masing-masing item tes dan pada dasarnya
merupakan estimasi dari rata-rata koefisien belah dua (Azwar dalam
Supratiknya, 1998).
Menurut Azwar (2009), reliabilitas dinyatakan oleh koefisien
reliabilitas (rxx’) yang angkanya berada dalam rentang 0 sampai dengan 1,00.
Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin
tinggi reliabilitas. Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati 0
berarti semakin rendah reliabilitas.
3. Seleksi Aitem
Sebelum sampai pada prosedur seleksi atau pemilihan aitem, uji
coba alat ukur dilakukan. Hal ini untuk memastikan bahwa alat ukur yang
akan digunakan dalam penelitian terbukti memiliki validitas dan reliabilitas
yang baik. Uji coba dilakukan dengan metode seleksi aitem yang dilakukan
untuk mengetahui mana aitem yang benar-benar tepat untuk mengukur
variabel penelitian. Seleksi aitem dilakukan dengan menggunakan parameter
daya diskriminasi aitem, yaitu kemampuan aitem untuk membedakan antara
individu atau kelompok lain yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang
(50)
melakukan uji coba (try out) skala yang telah dibuat kemudian menghitung
korelasi antara distribusi skor aitem dengan distribusi skor skala itu sendiri
(rix). Setelah uji coba alat ukur dilaksanakan, peneliti melakukan perubahan
blue print skala kesejahteraan psikologis. Hal ini disebabkan beberapa aitem
dalam skala tersebut kurang memenuhi syarat reliabilitas sehingga perlu
digugurkan. Begitu selanjutnya hingga terbebas dari aitem dengan korelasi
atotal (r-it) yang rendah. Analisis tersebut dinamakan corrected
item-total correlation (Azwar, 1997). Sebuah item dikatakan memiliki
konsistensi internal yang baik apabila memiliki koefisien alpha cronbach
yang berada diatas batas minimal yaitu 0,60 (Aron, Coups & Aron, 2013).
Selain itu, item yang memiliki korelasi aitem-total (r-it) lebih kecil dari 0,30
juga harus digugurkan karena dikhawatirkan dapat merusak konsistensi
internal dari skala yang telah dibuat.
Tabel 3.4 Blue Print (setelah try out)
Aspek kesejahteraan psikologis
Nomor item
Jumlah item
Bobot (%)
Favorable Unfavorable
Self Acceptance 1, 15, 29, 42, 51 2, 14, 17 9 16,67
Positive Relation with Others 3, 16, 31, 44 18, 30, 32, 45 9 16,67
Autonomy
4, 19, 37, 46, 52 5, 20, 35 9 16,67
Environmental mastery
6, 7, 22, 36, 54 8, 9, 23, 53 9 16,67
Purpose In Life 10, 24, 38 11, 25, 26, 39, 43, 48
9 16,67
Personal Growth 12, 27, 40 13, 21, 28, 41, 49, 50
9 16,67
(51)
G.Metode Analisis Data
1. Uji Asumsi
a. Uji Normalitas
Uji normalitas adalah uji yang dilakukan untuk mengecek data penelitian
berasal dari populasi yang seharusnya (Santoso, 2013). Uji normalitas
dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 18.0.
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas menunjukkan bahwa dua atau lebih kelompok data
sampel berasal dari populasi yang memiliki varians yang sama (Santoso,
2013). Uji homogenitas dilakukan untuk menguji perbedaan varian antara
dua kelompok
2. Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis penelitian akan dilakukan menggunakan teknik uji
Independent sampel t-tes dengan menggunakan program SPSS versi 18.0.
Uji Independent sampel t-tes untuk melihat perbedaan mean pada hasil
analisis faktor diantara kelompok individu yang berpacaran dan tidak
(52)
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode uji coba tidak terpakai yang
dilaksanakan pada 28 Agustus 2015 sampai dengan 28 September 2015.
Subjek penelitian berjumlah 200 responden dewasa awal yang terdiri dari dua
kelompok yaitu kelompok berpacaran dan kelompok tidak berpacaran. Jumlah
responden dalam kelompok berpacaran sebanyak 100 orang yang terdiri dari
laki-laki sebanyak 50 orang dan perempuan sebaanyak 50 orang. Kelompok
yang berpacaran pun berjumlah 100 orang yang terdiri dari 50 orang laki-laki
dan 50 orang perempuan.
B.Hasil Penelitian
1. Deskripsi Subjek Penelitian a. Kelompok Berpacaran
Tabel 4.1 Subjek penelitian pada kelompok berpacaran
Jenis Kelamin
Usia (tahun) Total
20 21 22 23 24 25 26 27 28 30
L 8 15 5 6 3 5 1 4 1 2 50
P 15 9 8 13 4 1 0 0 0 0 50
Total 23 24 13 19 7 6 1 4 1 2 100
Tabel di atas menunjukkan karakter subjek penelitian pada
kelompok berpacaram berdasarkan usia. Pada usia dewasa awal, subjek
(53)
yang paling banyak berpacaran yaitu subjek dengan usia 20 tahun yaitu
laki-laki sebanyak 8 orang dan perempuan sebanyak 15 orang.
Sedangkan subjek yang paling sedikit yaitu pada usia 26, 28 dan 30
tahun.
b. Kelompok Tidak Berpacaran
Tabel 4.2 Subjek penelitian pada kelompok tidak berpacaran
Jenis Kelamin
Usia (tahun) Total
20 21 22 23 24 25 26 29
L 23 9 10 3 3 1 0 1 50 P 19 6 10 8 3 1 3 0 50 Total 42 15 20 11 6 2 3 1 100
Tabel di atas menunjukkan karakter subjek penelitian pada
kelompok tidak berpacaram berdasarkan usia. Pada usia dewasa awal,
subjek yang berpacaran pada penelitian ini berusia antara 20-29 tahun.
Subjek yang paling banyak berpacaran yaitu subjek dengan usia 20 tahun
yaitu laki-laki sebanyak 18 orang dan perempuan sebanyak 19 orang.
Sedangkan subjek yang paling sedikit yaitu pada usia 20 dan 29 tahun.
2. Uji Asumsi
Asumsi yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan uji beda dengan
independent sampel t-test adalah uji normalitas dan uji homogenitas varian.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui sebaran skor pada
kedua sampel mengikuti distribusi normal (Santoso, 2013). Cara untuk
mengujinya adalah dengan melihat nilai probabilitas (sig.) pada
(54)
Uji normalitas dengan menggunakan Kolmogrov-Smirnov Test memiliki
kriteria pengujian yaitu, nilai probabilitas (sig.) lebih besar dari 0,05
maka sebaran skor dinyatakan mengikuti distribusi normal, sedangkan
jika nilai probabilitas (sig.) lebih kecil dari 0,05 maka sebaran skor
dinyatakan tidak mengikuti distribusi normal.
Tabel 4.3 Hasil Uji Normalitas
No Dimensi Kelompok Sig.
Kolmogorov-Smirnov Keterangan
1
Self Acceptance Tidak berpacaran 0,195 Normal Berpacaran 0,673 Normal 2 Positive
Relations with Other
Tidak berpacaran 0,089 Normal Berpacaran 0,592 Normal
3
Autonomy Tidak berpacaran 0,120 Normal Berpacaran 0,487 Normal 4 Environmental
Mastery
Tidak berpacaran 0,370 Normal Berpacaran 0,481 Normal 5
Purpose in Life Tidak berpacaran 0,541 Normal Berpacaran 0,637 Normal 6 Personal
Growth
Tidak berpacaran 0,470 Normal Berpacaran 0,475 Normal
Berdasarkan tabel 4.1 di atas, semua dimensi Personal
Well-Being yang meliputi self acceptance (penerimaan diri), positive relations
with others (hubungan/ baik dengan orang lain), autonomy (otonomi),
environmental mastery (penguasaan lingkungan), purpose in life (tujuan
hidup) dan personal growth (pertumbuhan pribadi) pada kelompok
berpacaran dan kelompok tidak berpacaran mempunyai nilai probabilitas
(Sig.) lebih besar dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa sebaran skor
(55)
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas menunjukkan bahwa dua atau lebih kelompok
data sampel berasal dari populasi yang memiliki varians yang sama
(Santoso, 2013). Cara untuk mengujinya adalah dengan melihat nilai
probabilitas (sig.) pada Levene Test. Uji homogenitas dengan
menggunakan Levene Test memiliki kriteria pengujian yaitu, nilai
probabilitas (sig.) lebih besar dari 0,05 maka data berasal dari populasi
yang mempunyai varian sama, sedangkan jika nilai probabilitas (sig.)
lebih kecil dari 0,05 maka data berasal dari populasi yang mempunyai
varian tidak sama.
Tabel 4.4 Hasil Uji Homogenitas
No Dimensi Kelompok Levene Test Sig.
1
Self Acceptance Tidak berpacaran 2,305 0,006 Berpacaran 1,730 0,061 2 Positive Relations
with Other
Tidak berpacaran 0,633 0,847 Berpacaran 0,953 0,508 3
Autonomy Tidak berpacaran 1,583 0,090 Berpacaran 3,005 0,000 4 Environmental
Mastery
Tidak berpacaran 1,162 0,322 Berpacaran 1,286 0,227 5
Purpose in Life Tidak berpacaran 0,692 0,785 Berpacaran 1,253 0,256 6
Personal Growth Tidak berpacaran 1,492 0,115 Berpacaran 2,095 0,026
Berdasarkan Tabel 4.2 di atas, nilai probabilitas (sig.) pada
keenam dimensi hampir semuanya lebih besar dari 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa data berasal dari populasi yang mempunyai varian
(56)
berpacaran dalam penelitian ini diambil dari populasi yang memiliki
varian tingkat enam dimensi yang sama.
3. Uji Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan
psychological well-being pada individu dewasa awal yang berpacaran dan
yang tidak berpacaran. Uji hipotesis dilakukan pada total skor seluruh
dimensi psychological well-being yang telah didapatkan dan juga skor pada
masing-masing dimensi psychological well-being yang telah didapatkan.
Penelitian ini membandingkan sampel 100 dewasa awal berpacaran
dan 100 dewasa awal tidak berpacaran. Hasil uji independent sample t-test
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
kelompok dewasa awal yang berpacaran dan tidak berpacaran berdasarkan
total skor yang telah didapatkan dengan (t (10)=0,353; p > 0,05). Disisi lain,
berdasarkan total skor masing-masing dimensi hasilnya adalah terdapat
perbedaan yang signifikan antara kelompok dewasa awal yang berpacaran
dan tidak berpacaran pada dimensi penerimaan diri dengan (t (198)=2,285; p
< 0,05), otonomi dengan (t (198)= - 2,036; p < 0,05) dan pertumbuhan
pribadi dengan (t (198) = 2,558; p < 0,05), sedangkan pada dimensi relasi
positif dengan orang lain (t (198) = 1,699; p > 0,05), tujuan hidup (t (198) =
1,48; p > 0,05), dan penguasaan lingkungan (t (198) = 0,911; p > 0,05) tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok dewasa awal yang
(57)
Tabel. 4.5 Ringkasan hasil uji hipotesis
BERDASARKAN TOTAL SKOR 6 DIMENSI PSYCHOLOGYCAL WELL-BEING Rerata
Signifikansi Keterangan
Berpacaran Tidak Berpacaran
36,50 35,78 0,731 > 0,05 (tidak signifikan)
BERDASARKAN MASING-MASING DIMENSI PSYCHOLOGYCAL WELL-BEING
Dimensi
Rerata
Signifikansi Keterangan Berpacaran Tidak Berpacaran
Self
Acceptance 31,86 30,57 0,023
< 0,05 (signifikan)
Positive Relations with Other
37,27 36,21 0,091 > 0,05 (tidak signifikan)
Autonomy 31,82 33,05 0,043 < 0,05 (signifikan)
Environment
al Mastery 39,73 39,05 0,363
> 0,05 (tidak signifikan)
Purpose in
Life 39,65 38,72 0,141
> 0,05 (tidak signifikan)
Personal
Growth 38,72 37,12 0,011
< 0,05 (signifikan)
(58)
C.Pembahasan
Hasil analisis menunjukkan bahwa rerata psychological well-being
individu dewasa awal yang berpacaran adalah 35,78 sedangkan individu
dewasa awal yang tidak berpacaran adalah 36,50. Hasil ini menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan psychological well-being yang signifikan antara
individu dewasa awal yang berpacaran dan tidak berpacaran berdasarkan total
skor 6 dimensi psychological well-being. Hipotetsis dalam penelitian ini yang
menyatakan bahwa terdapat perbedaan psychological well-being antara
individu dewasa awal yang berpacaran dan tidak berpacaran tidak terbukti.
Psychological well-being individu dewasa awal yang berpacaran (M=36,50)
sekilas lebih tinggi daripada individu dewasa awal yang tidak berpacaran
(M=35,78) meskipun tidak signifikan berbeda. Disisi lain, hasil uji hipotesis
beradasarkan masing-masing dimensi psychological well-being menunjukkan
bahwa pada dimensi penerimaan diri, otonomi dan pertumbuhan pribadi
membuktikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok
dewasa awal yang berpacaran dan tidak berpacaran. Pada dimensi penerimaan
diri, kelompok dewasa awal yang berpacaran memiliki sikap penerimaan diri
yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak berpacaran yang ditunjukkan dari
nilai Mean yang dimiliki kelompok usia dewasa awal yang berpacaran lebih
tinggi yaitu sebesar 31,86 dibandingkan dengan yang tidak berpacaran sebesar
30,57. Adapun pada dimensi otonomi, kelompok dewasa awal yang tidak
berpacaran memiliki sikap otonomi yang lebih tinggi dibandingkan yang
(59)
berpacaran lebih rendah yaitu sebesar 31,82 dibandingkan dengan yang tidak
berpacaran sebesar 33,05. Pada dimensi pertumbuhan pribadi, kelompok
dewasa awal yang berpacaran memiliki peluang yang lebih tinggi untuk
berkembang dibandingkan yang tidak berpacaran yang ditunjukkan dengan
nilai Mean kelompok dewasa awal yang berpacaran lebih tinggi yaitu sebesar
38,72 dibandingkan dengan yang tidak berpacaran sebesar 37,18.
Tidak ada perbedaan yang signifikan pada hasil uji hipotesis bedasarkan
total skor 6 dimensi psychological well-being. Hal tersebut disebabkan oleh
kemungkinan bahwa individu dewasa awal baik yang berpacaran maupun tidak
berpacaran tetap dapat memiliki psychological well-being yang tinggi dengan
mengembangkan potensi yang dimiliki dan menghadapi tantangan dalam
hidupnya, namun pada individu dewasa awal yang berpacaran memiliki
dukungan yang lebih dari orang yang dicintai yaitu pacar sehingga memiliki
rerata yang lebih tinggi walaupun tidak signifikan.
Disisi lain, hasil uji hipotesis berdasarkan masing-masing dimensi
psychological well-being menunjukkan hasil yang berbeda. Terdapat
perbedaan yang signifikan antara kelompok individu dewasa awal yang
berpacaran dengan tidak berpacaran pada dimensi penerimaan diri, otonomi
diri dan pertumbuhan pribadi sedangkan tidak terdapat perbedaan yang
signifikan pada dimensi relasi positif dengan orang lain, penguasaan
lingkungan dan tujuan hidup.
Perbedaan psychological well-being individu dewasa awal yang
(60)
dikarenakan individu dewasa awal yang berpacaran mampu melakukan
evaluasi dan berefleksi mengenai kehidupannya dari caranya mengatasi
permasalahan yang dialaminya dalam menjalani masa berpacaran. Hal tersebut
mengakibatkan individu yang berpacaran lebih peka dalam memahami dirinya
sendiri dan dapat menerima dirinya sendiri beserta kehidupannya dengan lebih
positif.
Pada dimensi otonomi, kelompok dewasa awal yang tidak berpacaran
memiliki otonomi yang lebih tinggi dibandingkan yang berpacaran, hal ini
dapat dikarenakan individu yang terikat hubungan dengan orang lain seperti
berpacaran tidak sepenuhnya mampu mengambil keputusan dengan mandiri
karena harus melibatkan pasangannya baik meminta pendapat, persetujuan atau
saran agar sesuai dengan harapan bersama. Hal tersebut berpengaruh terhadap
otomi diri individu dikarenakan menurut Ryff (1989), pribadi yang otonom
adalah pribadi yang mandiri dan yang dapat menentukan yang terbaik bagi
dirinya sendiri tanpa mencari persetujuan orang lain melainkan mengevaluasi
dirinya dengan standar personal.
Pada dimensi pertumbuhan pribadi, kelompok individu dewasa awal
yang berpacaran memiliki rerata yang lebih tinggi dibandingkan kelompok
yang tidak berpacaran. Menurut Ryff dan Keyes (1995), individu yang mampu
beradaptasi pada pengalaman baru memiliki pertumbuhan pribadi yang tinggi.
Dengan menjalin suatu hubungan yaitu berpacaran maka seseorang merasa
(61)
dan saling bertukar pengalaman dan bahkan mencoba pengalaman baru
bersama-sama.
Pada dimensi relasi positif dengan orang lain tidak ditemukan
perbedaan yang signifikan antara individu dewasa awal yang berpacaran dan
tidak. Hal tersebut dapat dikarenakan individu dewasa awal baik yang
berpacaran maupun tidak berpacaran tetap dapat menjalin relasi yang hangat
dengan orang lain di sekitarnya dan mampu memahami kebutuhan orang lain
berdasarkan pengalamannya dalam bersosialisasi.
Pada dimensi penguasaan lingkungan juga tidak ditemukan perbedaan
yang signifikan antara individu dewasa awal yang berpacaran dan tidak. Hal
tersebut dapat dikarenakan individu dewasa awal baik yang berpacaran
maupun tidak berpacaran dapat belajar mengenai kemampuan untuk
mengendalikan lingkungannya maupun berbagai kegiatan yang kompleks
secara efektif berdasarkan pengalaman dalam bergaul dan berorganisasi di
lingkungan sosialnya.
Pada dimensi tujuan hidup juga tidak ditemukan perbedaan yang
signifikan antara individu dewasa awal yang berpacaran dan tidak. Hal tersebut
dapat dikarenakan individu dewasa awal baik yang berpacaran maupun tidak
berpacaran memiliki kesempatan yang sama untuk mampu menentukan tujuan
dalam hidupnya. Seseorang yang tidak berpacaran pun dapat fokus dan
menentukan arah tujuan yang ingin dicapainya sendiri, dapat juga menganggap
bahwa berpacaran justru menghilangkan fokus karena terkadang harus
(62)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa:
1. Hasil uji-t berdasarkan total skor 6 dimensi psychological well-being
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan psychological well-being yang
signifikan antara individu dewasa awal kelompok yang berpacaran dan tidak
berpacaran.
2. Hasil uji-t berdasarkan masing-masing dimensi psychological well-being
juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan psychological well-being
yang signifikan antara individu dewasa awal kelompok yang berpacaran dan
tidak berpacaran pada dimensi relasi positif dengan orang lain, penguasaan
lingkungan, dan tujuan hidup sedangkan terdapat perbedaan psychological
well-being yang signifikan pada dimensi penerimaan diri, otonomi dan
pertumbuhan pribadi.
B.Saran
1. Bagi kelompok dewasa awal yang berpacaran
Pacaran pada usia dewasa awal dapat menjadi motivasi tanpa harus
mengorbankan kemampuan untuk mandiri dalam memutuskan sesuatu,
(63)
Manfaatkan kesempatan berpacaran untuk belajar dan mempersiapkan masa
depan dengan bijak.
2. Bagi kelompok dewasa awal yang tidak berpacaran
Pada usia dewasa awal dapat menjadi jalan untuk membangun hubungan
yang serius dengan saling memahami, sehingga mampu membangun
kemampuan untuk menumbuhkan diri dan berkembang menjadi pribadi
yang lebih baik. Ada baiknya bagi individu dewasa awal yang belum
berpacaran untuk mencoba berefleksi mengenai pemenuhan salah satu tugas
perkembangan yaitu mencari pasangan sebelum dapat dikatakan terlambat
(64)
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta
Azwar, S. (20011). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dwi, R. (2008). 20 Tokoh Sosiologi Modern. Yogyakarta: Arruzz Media.
Fina/Novi/Shinta-Wasis. (2015, 08 Februari). Pergaulan Remaja: Pacaran? Ortu Gimana, Ya? Diperoleh 22 Maret 2015, dari http://www.solopos.com/2015/02/08/pergaulan-remaja-pacaran-ortu-gimana-ya-575230
Gambit. (2000). Pacaran Remaja dan Perilaku Seksualnya. Buletin Embrio Edisi 10 September 2000. Yogyakarta: Pusat Studi Seksualitas (PSS) PKBI-DIY.
Hardjana, A.M. (2002). Kiat Berpacaran. Yogyakarta: Kanisius.
Hurlock, B.E. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Ikhsan, A.S.R. (2003). Agenda Cinta Remaja Islam. Yogjakarta: Diva Press.
Landis, J.T. & Landis, M.G. (1963). Building a Successful Marriage. Edisi keempat. Englewood Cliffs, New York: Prentice Hall Inc.
Magnis-Suseno, F. (2009). Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles. Yogyakarta: Kanisius.
Mappiare, Andi (1997). Psikologi Orang Dewasa. Cetakan kelima. Surabaya:
(65)
Monk. F.J. & A.M.P. Knoers (2002). Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Terjemahan. Cetakan kesebelas. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Nsa. (2011, 22 Agustus), Lama Jomblo Anda Risiko Mati Muda. Diperoleh 22
Maret 2015, dari
http://www.Lifestyle.okezone.com/read/2011/08/22/195/494839/lama-jombo-anda-risiko-mati-muda
Papalia, Diane E., Olds, Sally Wendkos., & Feldman, Ruth Duskin. (2004). Human Development Ninth Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Reardon, K.K. (1987). Where Mind Meet : Interpersonal Comunication. California: Wadsworth Publishing
Rice, P.S., de Genova, M.K. (2005). Intimate Relationship, Marriage, and Families. Edisi keenam. New York: McGraw- Hill
Ryff, C.D. (1989). Beyond Ponce de Leon and Life Satisfaction: New Directions in Quest of Successful Ageing. International Journal of Behavioral Development, 12(1), 35-55.
Ryff, C.D. (1989). Happiness Is Everything or Is It? Explorations on the Meaning of Psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 57, No.6, 1069-1081.
Ryff, C.D. (2013). Psychological Well-Being Revisited: Advances In the Science and Practice of Eudaimonia. Psychother Psychosom, 83, 10-28.
Ryff, C.D., Keyes, C.L.M. (1995). The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Journal of Personality and Sosial Psychology, Vol 69, No.4, 719-727.
Ryff, C.D., Keyes, C.L.M. & Shmotkin, D. (2002). Optimizing Well-Being: The Empirical Encounter of Two Traditions. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 82, No. 6, 100-1022.
Santrock, John W. (2002). Life Span Development Perkembangan Masa Hidup Jilid II. Terjemahan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga.
(66)
Soekanto, Soerjono. (2007). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sugiyono, 2013, Metode Penelitian Kombinasi, Bandung: Penerbit Alfabeta
Tenggara, H., Zamralita dan Suyasa, P.T.Y.S. (2008). Kepuasan Kerja dan Kesejahteraan Psikologis Karyawan. Jurnal Ilmiahhhh Psikologi Industri dan Organisasi, 10, 96-115.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1989). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Vem/Hws. (2015, 11 Juli), Mengapa Mempunyai Hubungan Percintaan Itu Penting? Diperoleh 7 Agustus 2015, dari http://www.vemale.com/relationship/love/84104-mengapa-mempunyai-hubungan-percintaan-itu-penting.html
(67)
LAMPIRAN 1
Skala Kesejahteraan Psikologis
Sebelum Uji Coba
(1)
2.
Positive Relations
Group Statistics
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Positive Relation
Berpacaran 100 37,2700 3,91798 ,39180
Tidak Berpacaran
100 36,2100 4,85402 ,48540
Independent Samples Test Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Positive Relation
Equal variances assumed 3,152 ,077 1,699 198 ,091 1,06000 ,62380 -,17014 2,29014
(2)
3.
Autonomy
Group Statistics
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Autonomy Berpacaran 100 31,8200 4,38634 ,43863
Tidak Berpacaran
100 33,0500 4,15210 ,41521
Independent Samples Test Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Autonomy Equal variances assumed ,011 ,917 -2,036 198 ,043 -1,23000 ,60399 -2,42107 -,03893
(3)
4.
Environmental Mastery
Group Statistics
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Environmental Mastery
Berpacaran 100 39,7300 4,97236 ,49724
Tidak Berpacaran 100 39,0500 5,56209 ,55621
Independent Samples Test Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Environmental Mastery
Equal variances assumed 3,164 ,077 ,911 198 ,363 ,68000 ,74606 -,79125 2,15125
(4)
5.
Purpose in Life
Group Statistics
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Purpose in Life
Berpacaran 100 39,6500 4,41845 ,44185
Tidak Berpacaran 100 38,7200 4,47006 ,44701
Independent Samples Test Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Purpose in Life
Equal variances assumed ,007 ,933 1,480 198 ,141 ,93000 ,62852 -,30946 2,16946
(5)
6.
Personal Growth
Group Statistics
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Personal Growth
Berpacaran 100 38,7200 4,40174 ,44017
Tidak Berpacaran 100 37,1200 4,44559 ,44456
Independent Samples Test Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Personal Growth
Equal variances assumed ,086 ,770 2,558 198 ,011 1,60000 ,62561 ,36629 2,83371
(6)