Wacana Sebagai Hasil Konstruksi Realitas

commit to user 10 dan dampak. Tanpa ada pesan, tidak ada peristiwa komunikasi. Komunikasi adalah proses menciptakan dan menafsirkan pesan. Tanpa ada pertukaran pesan, tidak ada makna yang diperoleh oleh para peserta komunikasi. Sedangkan makna itulah yang dikandung dalam pesan yang dipertukarkan dalam komunikasi. 21 Dalam perkembangannya, para pelaku komunikasi tidak hanya menyampaikan pesan dalam sebuah proses komunikasi namun teknik pengemasan pesan message packaging juga menjadi hal penting agar mereka memperoleh tujuan-tujuan komunikasinya. Mereka tak lagi sekedar membuat, menampilkan dan mengirimkan pesan berdasarkan apa yang diinginkannya, tetapi merancang pesan dengan dilandasi dan dipengaruhi oleh “visi dan misi strategis”-nya. Dalam konteks ini, para pelaku komunikasi mengembangkan suatu wacana tertentu dalam menyampaikan pesan dalam suatu proses komunikasi. 22

2. Wacana Sebagai Hasil Konstruksi Realitas

Wacana adalah terjemahan dari bahasa Inggris “discourse”. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa wacana merupakan kelas kata benda nomina yang mempunyai arti sebagai berikut: 23 a. ucapan; perkataan; tuturan; b. keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan; 21 Ibnu Hamad. 2010. Op.Cit. Hal 7 22 Ibid. Hal 9 23 Tim. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hal 1005 commit to user 11 c. satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan yang utuh, seperti novel, buku, atau artikel. Jusuf Syarif Badudu memberikan batasan tentang wacana sebagai berikut: 24 a. Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. b. Wacana adalah kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi tinggi yang berkesinambungan, yang mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis. Secara ilmiah teoritik beberapa pakar telah mendefinisikan perdebatan tentang wacana atau discourse. Fiske mendefinisikan wacana sebagai bahasa atau sistem representasi yang dibangun secara sosial dalam suatu tertib untuk membuat dan mengedarkan seperangkat makna yang koheren tentang suatu topik penting. 25 Roger Fowler mendefinisikan wacana adalah komunikasi lisan maupun tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya; kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman. Sedangkan Foucault mengatakan wacana ini: kadang kala sebagai bidang dari semua 24 Jusuf Syarif Badudu dalam Eriyanto. 2005. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS. Hal 2 25 Mursito BM. 2006. Memahami Institusi Media Sebuah Pengantar. Surakarta: Lindu Pustaka dan SPIKOM. Hal 239 commit to user 12 pernyataan statement, kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat sari sejumlah pernyataan. 26 Dalam kenyataan, wujud dari bentuk wacana dapat dilihat dalam beragam karya: 27 a. Text wacana dalam bentuk tulisangrafis yang antara lain berupa surat, e-mail, berita, features, artikel opini, puisi, syair, cerpen, novel, komik dan sebagainya. b. Talk wacana dalam bentuk lisanpercakapan yang antara lain berupa rekaman wawancara, monolog, dialog, obrolan, pidato, diskusi dan sebagainya. c. Act wacana dalam bentuk tindakan, gerakan yang antara lain adalah pantomim, drama, tarian, film, defile, demonstrasi dan sebagainya. d. Artifact wacana dalam bentuk bangunan, tata-letak yang antara lain dalam wujud bangunan, lanskap, puing, fashion, dan lain sebagainya. James P. Gee membedakan wacana discourse menjadi dua jenis, yaitu: 28 26 Eriyanto. 2005. Op.Cit. Hal 2 27 Ibnu Hamad. 2010. Op.Cit. Hal 44-45 28 Ibid. Hal 39 commit to user 13 a. discourse dengan d kecil yang melihat bagaimana bahasa digunakan pada tempatnya on site untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas atas dasar-dasar linguistik. b. Discourse dengan d besar yang merangkaikan unsur linguistik pada discourse dengan d kecil bersama-sama unsur non-linguistik non-language stuff untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas. Bentuk non-language stuff ini dapat berupa kepentingan ideologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Komponen non- language stuff itu juga yang membedakan cara beraksi, berinteraksi, berperasaan, kepercayaan, dan penilaian satu komunikator dari komunikator lain dalam mengenali atau mengakui diri sendiri dan orang lain. Satu hal harus digarisbawahi dari teori yang disampaikan oleh James P. Gee, bahwa wacana atau Discourse dengan d besar adalah kepentingan dalam wacana. Setiap tindakan komunikasi pada dasarnya selalu mempunyai tujuan, terlebih komunikasi melalui media massa seperti surat kabar, majalah, televisi, radio, dan sebagainya. Karena itu, bisa dikatakan bahwa setiap tindakan komunikasi adalah suatu wacana. Dalam pandangan communication as Discourse ini, komunikasi dilakukan dalam rangka menciptakan “kenyataan lain” atau “kenyataan kedua” dalam bentuk wacana discourse dari “kenyataan pertama”. Cara yang ditempuh dalam pembentukan wacana commit to user 14 realitas kedua itu adalah sebuah proses yang disebut konstruksi realitas construction of reality. 29 Lalu, bagaimana keterkaitan wacana dengan realitas? Mengenai hal ini, Michel Foucault memiliki pendapat bahwa realitas dipahami sebagai seperangkat konstruk yang dibentuk melalui wacana. Realitas tidak bisa didefinisikan jika kita tidak mempunyai akses dengan pembentukan struktur diskursif tersebut. Kita mempersepsi dan bagaimana kita menafsirkan obyek dan peristiwa dalam sistem makna tergantung pada struktur diskursif; dan struktur diskursif inilah yang membuat obyek atau peristiwa terlihat nyata oleh kita. Persepsi kita tentang suatu obyek atau peristiwa dibentuk dengan dibatasi oleh praktik diskursif: dibatasi oleh pandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa yang ini benar dan yang lain tidak. Wacana tertentu membatasi pandangan khalayak, mengarahkan pada jalan pikiran tertentu dan menghayatinya sebagai sesuatu yang benar. 30 Paling tidak ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana, yaitu positive-empiris, paradigma konstruksitivisme, dan paradigma kritis. 31 Pandangan positive-empirisme melihat bahasa sebagai jembatan manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa 29 Ibnu Hamad. Perkembangan Analisis Wacana dalam Ilmu Komunikasi: Sebuah Telaah Ringkas, Universitas Indonesia. Hal 1 30 Michel Foucault, The Archeology of Knowledge, dalam Sara Mills, “Knowing Your Place: A Marxist Feminist Stylistic Analysis”, dalam Michael Toolan ed., Language, Text, and Context: Essays in Stylistic , dalam Eriyanto. 2005. Op.Cit. Hal 73 31 Ibid. Hal 4-6 commit to user 15 tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Jadi, orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataanya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana lantas diukur dengan pertimbangan kebenaranketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik. 32 Dalam pandangan konstruksivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan- hubungan sosialnya. A.S. Hikam mengatakan bahwa subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan memiliki tujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. 33 Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang 32 Eriyanto. 2005. Op.Cit. Hal 4 33 Mohammad A. S. Hikam, “Bahasa dan Politik: Penghampiran Discursive Practice”, dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim ed., Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, dalam Eriyanto. 2005. Op.Cit. Hal 5 commit to user 16 subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan itu dilakukan diantaranya dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara. 34 Sedangkan dalam pandangan kritis, analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaranketidakbenaran struktur tata bahasa atau penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme, melainkan menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu, analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. 35 Penelitian ini menggunakan pandangan atau paradigma konstruktivisme dengan pertimbangan bahwa subyek, dalam hal ini Kompas, dianggap sebagai faktor sentral yang mempunyai peran utama dalam kegiatan wacana yang disampaikan dalam terbitan surat kabarnya. Keberadaan atau 34 Eriyanto. 2005. Op.Cit. 5-6. 35 Ibid. commit to user 17 munculnya wacana nasionalisme sangat ditentukan oleh Kompas sebagai subyek yang mempunyai gagasan dan maksud-maksud tertentu sesuai dengan nilai-nilai dasar visi yang menjadi pedomannya. Berita yang disajikan dalam rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” tidak hanya akan dilihat sebagai alat untuk memahami realitas obyektif saja dan dipisahkan dari subyek sebagai penyampai pesan. Dalam buku Discourse Analysis, Gillian Brown dan George Yule mengatakan: “The analysis of discourse is, necessarily, the analysis of language in use”. 36 Dari batasan tersebut dapat diketahui bahwa analisis wacana adalah analisis atas bahasa yang digunakan. Dengan kata lain, analisis wacana mengkaji untuk apa bahasa digunakan. Dalam paragraf yang sama kedua ahli ini menyebutkan: “That function which language serves in the expression of ‘content’ we will describe as transactional, and that function involved in expressing social relations and personal attitudes we will describe as interactional”. 37 Dengan pernyataan tersebut bisa dipahami bahwa, di dalam analisisnya, Brown dan Yule memfokuskan pada dua fungsi bahasa, yaitu fungsi untuk mengungkapkan isi transaksional dan fungsi yan berkaitan dengan pengungkapan hubungan sosial dan sikap-sikap pribadi interaksional. Dengan demikian, analisis wacana, tidak hanya digunakan untuk mengungkapkan isi bahasa melainkan juga sikap-sikap atau karakter penyampai bahasa wacana. 36 Gillian Brown dan George Yule. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press. Hal 1 37 Ibid. commit to user 18

3. Pers sebagai Komunikasi Massa