PERS DAN WACANA NASIONALISME (Analisis Wacana Nasionalisme di Rubrik “Nasionalisme Di Tapal Batas” di Harian Kompas Edisi 10 21 Agustus 2009)

(1)

commit to user

i

PERS DAN WACANA NASIONALISME

(Analisis Wacana Nasionalisme di Rubrik “Nasionalisme Di Tapal Batas” di Harian Kompas Edisi 10 - 21 Agustus 2009)

Oleh:

MUHAMMAD AZIS SAFRODIN D0206073

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Program Studi Ilmu Komunikasi

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA


(2)

commit to user

ii

PERSETUJUAN

Skripsi dengan judul: Pers dan Wacana Nasionalisme

(Analisis Wacana Nasionalisme di Rubrik “Nasionalisme Di Tapal Batas” di Harian Kompas Edisi 10 - 21 Agustus 2009)

Oleh:

Nama : Muhammad Azis Safrodin NIM : D0206073

Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret

Surakarta, 25 Mei 2011

Pembimbing Utama,

Drs. Mursito BM, S.U. NIP. 19530727 198003 1 001


(3)

commit to user

iii

PENGESAHAN

Telah Diterima dan Disahkan Oleh Panitia Penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Hari : Rabu

Tanggal : 25 Mei 2011

Panitia Penguji Skripsi:

Ketua : Sri Hastjarjo, S.Sos, Ph.D. (...)

NIP. 197102171998021001

Sekretaris : Drs. Kandyawan (...) NIP. 196104131990031002

Penguji : Drs. Mursito BM, S.U. (...) NIP. 195307271980031001

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Dekan,

Prof. Pawito, Ph.D. NIP. 19540805 198503 1 002


(4)

commit to user

iv

MOTTO

“Mulai” itu kata sederhana tapi penuh makna

(penulis)

Berfikir cerdas, bekerja keras, berhati ikhlas


(5)

commit to user

v

PERSEMBAHAN

Karya ini penulis persembahkan untuk:

Allah SWT Dzat Sebaik-baik Pencipta dan Penjaga;

Ibunda, dengan segala kasih sayang dan do’anya telah membesarkanku; Bapak, yang tak henti-hentinya berikhtiar dan berdoa demi keluarga; Kakakku Nanunk yang selalu menyemangatingu di saat aku lemah;

Sahabat-sahabat terbaik dan teman-teman Komunikasi 2006 yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu.


(6)

commit to user

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat meyelesaikan tugas skripsi dengan judul PERS DAN PEMBERITAAN NASIONALISME (Analisis Wacana Nasionalisme di Rubrik “Nasionalisme Di Tapal Batas” di Harian Kompas Edisi 10 - 21 Agustus 2009) dengan baik dan lancar.

Penelitian untuk skripsi ini berawal dari sebuah pandangan bahwa keberadaan atau munculnya sebuah wacana tidak lepas dari komunikator sebagai faktor sentral atau penentu. Dalam penelitian ini sajian berita tulis di rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” dalam harian Kompas, tidak hanya akan dilihat sebagai alat untuk memahami realitas obyektif saja tetapi terdapat wacana tertentu yang diusung media tersebut. Dengan kata lain, Kompas sebagai komunikator tidak semata-mata menyajikan informasi tetapi juga mempunyai gagasan dan maksud-maksud tertentu yang dituangkan dalam pemberitaannya.

Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh sebab itu pada kesempatan kali ini penulis hendak menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Drs. Supriyadi, SN, S.U. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret (FISIP UNS) Surakarta.

2. Dra. Prahastiwi Utari, Ph.D selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi.


(7)

commit to user

vii

3. Drs. Mursito BM, S.U. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, arahan, dan masukan.

4. Drs. H. Dwi Tiyanto, S.U. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan saran dan perhatiannya.

5. Semua staf pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS, atas ilmu yang telah diberikan selama perkuliahan. Semoga semua ilmu yang telah Bapak/ Ibu berikan bermanfaat dunia akhirat dan menjadi amal jariyah.

6. Bapak Achmadi dan Ibu Abanah selaku orangtau penulis, yang tiada henti berdo’a untuk kesuksesan putra-putrinya.

7. Nurochmah Hidayati, kakak kandung penulis yang bersedia menjadi tempat berbagi suka dan duka.

8. Sahabat-sahabat terbaik penulis: Dimas Ragil Achirrudin, Ahsan Zakky, Citra Nove Perdana Siwi, Ragil Satriyo Gumilang, Vera Metty Anggriana, dan Adinda Nusantari yang telah banyak membantu kelancaran dalam pengerjaan skripsi ini.

9. Keluarga kost “Santosa”: Yestha Fajar Pahlevi, Taufan Yusuf Nugroho, Hafidz Novalsyah, Herka Yanis, Faka Yudhistira, dan Genadi Adha. 10.Teman-teman “Dadu Rangers”: Wahyu Subekti, Henricus Hans, Rohmah

Fajri Susetyo, Barlian Anung Prabandono, Aang Wahyu Ariesta Sari, Ayunda Agung I. Putri, Ria Rahajeng, Suharsiwi, Arumtyas Puspanjani, dan Nur Karima Sinta yang selalu memberikan motivasi kepada penulis.


(8)

commit to user

viii

11.Keluarga besar Komunikasi 2006, semoga sukses selalu. 12.Harian Kompas.

13.Serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas sebaga bantuannya.

Penulis menyadari akan kurang sempurnanya skripsi ini, namun penulis berharap bahwa skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi berbagai pihak.

Surakarta, Mei 2011


(9)

commit to user

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN

JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR BAGAN... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

ABSTRAK ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 8

C. TUJUAN PENELITIAN ... 8

D. MANFAAT PENELITIAN ... 9

E. TELAAH PUSTAKA 1. Komunikasi Sebagai Wacana ... 9

2. Wacana Sebagai Hasil Konstruksi Realitas ... 10

3. Pers Sebagai Komunikasi Massa ... 18

4. Media Sebagai Sarana Konstruksi Realitas ... 23


(10)

commit to user

x

6. Nasionalisme ... 37

7. Nasionalisme Soekarno dan Nasionalisme Indonesia ... 42

F. DEFINISI KONSEP 1. Nasionalisme Indonesia ... 47

2. Nasionalisme di Tapal Batas ... 47

3. Analisis Wacana ... 48

G. METODOLOGI PENELITIAN 1. Jenis Penelitian ... 48

2. Metode Penelitian ... 49

3. Obyek Penelitian ... 49

4. Sumber Data ... 49

5. Teknik Analisis Data ... 50

6. Validitas dan Triangulasi Penelitian ... 59

BAB II. GAMBARAN UMUM KOMPAS A. SEJARAH UMUM KOMPAS 1. Sejarah Singkat ... 60

2. Falsafah ... 64

B. VISI, MISI, DAN KEBIJAKAN REDAKSIONAL 1. Visi ... 65

2. Misi... 66

3. Kebijakan Redaksional ... 67

C. STRUKTUR ORGANISASI... 69


(11)

commit to user

xi

BAB III. PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS RUBRIK

“NASIONALISME DI TAPAL BATAS” DI HARIAN KOMPAS

A. ANALISIS STRUKTUR MAKRO (TEMATIK) ... 76

B. ANALISIS WACANA BERITA KOMPAS 1. Tema: Daerah Tapal Batas Indonesia yang Dituntut Mandiri, Tanpa Kehadiran Serius dari Negara ... 80

a. Analisis Struktur Makro ... 80

b. Analisis Superstruktur ... 82

c. Analisis Struktur Mikro ... 84

c.1. Semantik ... 84

c.1.1. Latar ... 85

c.1.2. Detil... 88

c.1.3. Maksud ... 90

c.2. Sintaksis ... 92

c.2.1. Bentuk Kalimat ... 93

c.2.2. Koherensi ... 95

c.2.3. Kata Ganti ... 98

c.3. Leksikon ... 99

c.4. Retoris ... 101

c.4.1. Grafis... 101

c.4.2. Metafora ... 103

2. Tema: Stigmatisasi dan Ketakutan yang Dirasakan Masyarakat di Daerah Tapal Batas Indonesia ... 104


(12)

commit to user

xii

a. Analisis Struktur Makro ... 104

b. Analisis Superstruktur ... 106

c. Analisis Struktur Mikro ... 107

c.1. Semantik ... 107

c.1.1. Latar ... 108

c.1.2. Detil... 110

c.1.3. Maksud ... 111

c.2. Sintaksis ... 112

c.2.1. Bentuk Kalimat ... 113

c.2.2. Koherensi ... 114

c.3. Leksikon ... 116

c.4. Retoris ... 118

c.4.1. Grafis... 118

c.4.2. Metafora ... 119

3. Tema: Kondisi Pendidikan, Kesehatan, dan Kesejahteraan Masyarakat di Daerah Tapal Batas Indonesia ... 119

a. Analisis Struktur Makro ... 119

b. Analisis Superstruktur ... 124

c. Analisis Struktur Mikro ... 126

c.1. Semantik ... 126

c.1.1. Latar ... 126

c.1.2. Detil... 131

c.1.3. Maksud ... 136


(13)

commit to user

xiii

c.2.1. Bentuk Kalimat ... 138

c.2.2. Kata Ganti ... 140

c.3. Leksikon ... 141

c.4. Retoris ... 143

c.4.1. Grafis... 144

c.4.2. Metafora ... 145

4. Tema: Potensi Daerah yang Masih Minim Perhatian Negara ... 146

a. Analisis Struktur Makro ... 146

b. Analisis Superstruktur ... 147

c. Analisis Struktur Mikro ... 148

c.1. Semantik ... 148

c.1.1. Latar ... 148

c.1.2. Detil... 151

c.1.3. Maksud ... 153

c.2. Sintaksis ... 153

c.2.1. Bentuk Kalimat ... 153

c.2.2. Koherensi ... 155

c.3. Leksikon ... 156

c.4. Retoris ... 156

c.4.1. Grafis... 157

5. Tema: Pembangunan Prasarana, Sarana, dan Infrasktruktur Publik Yang Masih Minim ... 158

a. Analisis Struktur Makro ... 158


(14)

commit to user

xiv

c. Analisis Struktur Mikro ... 162

c.1. Semantik ... 162

c.1.1. Latar ... 162

c.1.2. Detil... 163

c.1.3. Maksud ... 165

c.2. Sintaksis ... 166

c.2.1. Bentuk Kalimat ... 166

c.3. Leksikon ... 167

c.4. Retoris ... 169

c.4.1. Grafis... 169

c.4.2. Metafora ... 170

BAB IV. PENUTUP A. KESIMPULAN ... 171

B. SARAN ... 172

DAFTAR PUSTAKA ... 174


(15)

commit to user

xv

DAFTAR BAGAN


(16)

commit to user

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel I.1 Elemen Wacana Van Dijk ... 51

Tabel III.1 Tematik Berita Kompas ... 78

Tabel III.2 Skematik Tema Pertama ... 83

Tabel III.3 Skematik Tema Kedua ... 106

Tabel III.4 Skematik Tema Ketiga ... 124

Tabel III.5 Skematik Tema Keempat ... 147


(17)

commit to user

xvii

ABSTRAK

Muhammad Azis Safrodin, D0206073, PERS DAN WACANA

NASIONALISME (Analisis Wacana Nasionalisme di Rubrik “Nasionalisme Di Tapal Batas” di Harian Kompas Edisi 10 - 21 Agustus 2009), 175halaman.

Penelitian untuk skripsi ini berawal dari sebuah pandangan bahwa keberadaan atau munculnya sebuah wacana tidak lepas dari komunikator sebagai faktor sentral atau penentu. Munculnya rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” yang dimuat harian Kompas edisi 10 – 21 Agustus 2009 menunjukkan kecenderungan Kompas mempunyai perhatian khusus di daerah-daerah tapal batas di Indonensia. Dalam penelitian ini sajian berita yang ditulis Kompas di rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas”, tidak hanya akan dilihat sebagai alat untuk memahami realitas obyektif saja tetapi terdapat wacana tertentu yang diusung media tersebut. Dengan kata lain, Kompas sebagai komunikator tidak semata-mata menyajikan informasi tetapi juga mempunyai gagasan dan maksud-maksud tertentu yang dituangkan dalam pemberitaannya.

Dengan paradigma konstruktivisme tersebut, penulis kemudian menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dalam penelitian. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, menguji hipotesa, atau membuat prediksi, melainkan bermaksud untuk mengemukakan gambaran dan pemahaman secara lebih mendalam tentang bagaimana suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi.

Penelitian ini bertujuan untuk membedah wacana nasionalisme yang terkandung dalam rubrik berita Kompas “Nasionalisme di Tapal Batas”. Penelitian ini hanya difokuskan pada pembedahan wacana pada level teks dengan menggunakan model analisis teks Teun A. van Dijk. Dalam pandangan van Dijk, sebuah wacana terbagi atas tiga tingkatan/struktur yang masing-masing terdiri dari elemen-elemen yang saling berhubungan dan mendukung satu sama lain. Dengan beberapa penyesuaian, elemen-elemen wacana tersebut digunakan untuk membedah sajian teks berita Kompas.

Hasil analisis dalam penelitian ini mendapati adanya wacana yang digambarkan Kompas terkait nasionalisme yaitu: rasa nasionalisme di daerah-daerah perbatasan Indonesia yang kian terkikis dan terancam hilang sebagai bagian dari keutuhan bangsa Indonesia. Hal tersebut dikarenakan demokrasi dan keadailan sosial sebagai cara untuk mewujudkan dan menjaga rasa nasionalisme, minim atau bahkan belum dirasakan masyarakat perbatasan Indonesia.

Melalui wacana tersebut Kompas ingin menyampaikan pesan kritis kepada pemerintah yang memiliki posisi ideal dalam mewujudkan nasionalisme secara utuh di Indonesia, tak terkecuali di wilayah perbatasan. Kompas menyampaikan bahwa tugas negara dalam mewujudkan nasionalisme yang utuh dan menyeluruh masih berat. Hal itu ditandai dengan berbagai persoalan yang terjadi di tapal batas Indonesia dan belum ada penyelesaian yang nyata.


(18)

commit to user

xviii

ABSTRACT

Muhammad Azis Safrodin, D0206073, PRESS AND NATIONALISM DISCOURSE (Discourse Analysis Toward Nationalism in Kompas’ Rubric "Nasionalisme di Tapal Batas" From August10th to August21th 2009), 175 pages.

This research was derived from a view that the existence or the emergence of a discourse cannot be separated from the communicator as a central or decisive factor. The appearance of the rubric "Nasionalisme di Tapal Batas" in Kompas daily edition from August10 to August21 2009, shows that Kompas has a special interest in the border areas in Indonensia. In this study, the text of news produced by Kompas at "Nasionalisme di Tapal Batas", is not just a tool providing objective reality. But, in the field of communication studies, the text bought a certain discourse produced by the media. In other words, as communicator, Kompas does not merely present information but also had the idea and the specific purposes set forth in its news.

This research belongs to the qualitative research, with constructivist paradigm. According to the qualitative, this study did not seek or explain relationships, test hypotheses, or make predictions, but intended to bring a picture and a deeper understanding of how a phenomenon or a reality of the communication occurred.

This study aimed to dissect the discourse of nationalism that is contained within the rubric of "Nasionalisme di Tapal Batas". This study only focused on the surgical level of discourse on the text using discourse analysis model by Teun A. van Dijk. Accoording to van Dijk, a discourse is divided into three levels / structures. They are macrorule, superstucture, and microstructure. Each level consist of some elements which are interconnected and support each other. With some adjustmets, the elements of discourse are used to dissect the Kompas’ news text.

Researcher found that Kompas provided certain discourse related to the nationalism issues, described as follows: a sense of nationalism in Indonesia's border areas are increasingly eroded and in danger of missing as part of the whole nation of Indonesia. That is because democracy and social justice as a way to achieve and maintain a sense of nationalism, were too low or even not yet felt the Indonesian border citizen.

Through that discourse, Kompas wanted to convey a critical message to the government, who has an ideal position to prove the holistic nationalism in Indonesia, including the border region. Kompas said that the state’s duty in achieving a full and comprehensive nationalism is still heavy. It was marked with various problems occuring the border region in Indonesia and there has been no real solution yet.


(19)

commit to user

1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kemerdekaan membawa beribu makna untuk setiap insan manusia. Ada yang mengartikan merdeka berarti terbebas dari belenggu penjajah, ada yang mengartikan terbebas dari keterbelakangan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Ada juga mereka yang mengartikan merdeka sebagai tetap terjaganya kedaulatan negara di bawah gempuran arus globalisasi yang mengakibatkan kian menipisnya jiwa nasionalisme suatu bangsa.

Sudah 65 tahun Indonesia merdeka dan memiliki kedaulatan yang utuh sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam konteks kedaulatan Negara Indonesia, kedaulatan intern Negara Indonesia dapat ditunjukkan dengan bentuk dan bangunan Negara Indonesia sebagai suatu Negara Kesatuan yang berciri Nusantara, sebagaimana tertuang dalam Pasal 25A Undang-Undang Dasar 1945.1 Namun kemerdekaan dan kedaulatan RI yang telah dicapai selama lebih dari setengah abad tersebut ternyata belum ditopang rasa dan jiwa nasionalisme oleh seluruh bangsa Indonesia secara utuh.

Terlebih lagi bagi masyarakat yang mendiami daerah-daerah tapal batas negara Indonesia dengan negara-negara tetangga. Kurangnya perhatian pemerintah terkait jaminan dan fasilitas kesejahteraan mengakibatkan rasa nasionalisme mereka mengalami fluktuatif. Bagi mereka yang mendiami daerah

1

Suryo Sakti Hadiwijoyo. 2009. Batas Wilayah Negara Indonesia Dimensi, Permasalahan, dan Strategi Penanganan Sebuah Tinjauan Empiris dan Yuridis. Yogyakarta: Gaya Media. Hal 26


(20)

commit to user

2

tapal batas NKRI, seakan mereka dianaktirikan dari penguasa negeri ini.2 Seperti halnya penduduk Sebatik yang hidup di daerah perbatasan Serawak dan Sabah (Malaysia), mereka lebih menggantungkan diri dengan negara tetangga. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, mereka lebih memilih transaksi perdagangan hasil lintas batas dengan alasan kepastian pasar yang jelas dan harga jual yang lebih tinggi. Sehingga kesejahteraan hidup mereka setidaknya bisa terpenuhi.3

Rasa skeptis publik terkait suku-suku di daerah tapal batas juga masih mewarnai keutuhan negara kepulauan ini. Hal ini dialami masyarakat suku Amungme dan Komoro di Papua. Keinginan hidup tenang di kediaman mereka terusik dengan aktivitas PTFI (PT. Freeport Indonesia) yang menjadikan Gunung Ertsberg dan Grasberg – yang dari generasi ke generasi menjadi tempat tinggal, bercocok tanam, sekaligus tempat spiritual suku Amungme – sebagai lahan bengkel Tembagapura. Sehingga ketika muncul kasus terkait PTFI seperti kasus penembakan maka orang-orang suku Amungme dan Komoro selalu menjadi sasaran dan sisudutkan.4

Jika fakta-fakta tersebut dibiarkan, maka hal ini tentuanya akan mengancam keharmonisan dan kedaulatan NKRI sehingga tak jarang muncul protes dari daerah-daerah tapal batas yang berujung pada pemisahan diri dari NKRI. Terlebih lagi negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura juga gencar melakukan klaim-klaim ke beberapa daerah yang masih menjadi wilayah Indonesia. Seperti halnya yang dikhawatirkan oleh penduduk Sebatik yang sering

2

Genta Demokrasi. 22 Agustus 2010. Metro TV.

3

Kompas. Jum’at 14 Agustus 2009. Nasionalisme di Tapal Batas, Perbatsan Kaltim Menebus Malam ke Negeri Seberang. Hal 5

4

Kompas. Kamis 20 Agustus 2009. Nasionalisme di Tapal Batas, Dulu Sumber Penghidupan Kini Sumber Persoalan. Hal 15


(21)

commit to user

3

melakukan transaksi perdagangan ke wilayah Serawak dan Sabah. Hal yang menjadi kekhawatiran mereka adalah tindakan Malaysia yang melancarkan klaim di beberapa areal pertanian milik Sebatik yang masuk wilayah negara tersebut. Saat kasus Ambalat memanas, beberapa warga Desa Sungai Pancang, Kecamatan Sebatik, sempat dikejutkan dengan pemasangan patok-patok kayu dari pemerintah Malaysia di areal persawahan seluas 290 hektar.5 Jika hal ini tidak mendapat perhatian, maka tak menutup kemungkinan keutuhan NKRI kembali terancam seperti kasus Ligitan dan Sipadan.

Hal ini bukan karena para penduduk yang tidak memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme untuk senantiasa menjaga keutuhan NKRI namun lebih pada realitas yang mereka alami. Hidup di daerah perbatasan dan jauh dari kesejahteraan membuat mereka tidak bisa menutup diri daerah perhatian pemerintah negara tetangga. Sehingga pada akhirnya negara tetangga seperti Malaysia akan mudah melancarkan klaim ke beberapa wilayah perbatasan untuk diakui sebagai wilayah negaranya karena mereka sudah mendapat hati dari penduduk daerah tersebut.

Berkaitan dengan fenomena tersebut, media massa memiliki peran, tanggung jawab serta kewajiban untuk ikut menangani masalah tersebut. Merujuk Pasal 6 UU Pokok Pers No. 40 / 1999, Pers memiliki kewenangan yang sangat besar yaitu: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; menegakkan nilai-nilai demokrasi; mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan; mengembangkan pendapat umum berdasarkan

5

Kompas. Jum’at 14 Agustus 2009. Nasionalisme di Tapal Batas, Perbatasan Kaltim Menebus Malam ke Negeri Seberang. Hal 5


(22)

commit to user

4

informasi yang tepat, akurat, dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran.6

Berbatasan dengan beberapa negara serumpun seperti Malaysia, Singapura, Brunai, dan Filipinina membuat daerah-daerah tapal batas Indonesia tidak pernah sepi dari pemberitaan media; baik itu media elektronik, media cetak, ataupun media internet. Isu-isu dalam pemberitaan-pemberitaan tersebut terkait dengan konflik-konflik di daerah perbatasan, permasalahan patok perbatasan antar negara, kemiskinan serta keterbatasan sarana dan prasarana dasar sosial dan ekonomi7, masalah gradual menyangkut kehadiran dan peran negara yang masih minim, lemahnya pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana publik.8

Kompas sebagai salah satu koran nasional juga tak lepas dari pemberitaan daerah-daerah tapal batas Indonesia. Memuat berita yang menonjolkan nilai-nilai humanisme dalam tampilan tulisannya seakan sudah menjadi ciri khas dari Kompas, sehingga bisa menyentuh hati pembaca. Jakob Oetama, Pemimpin Umum Kelompok Kompas Gramedia mengatakan bahwa jiwa dari Harian Kompas adalah humanisme. Nilai-nilai humanis tersebut tersebar dalam berita, laporan, analisis, maupun opini yang ada dalam Harian Kompas.9

6

AS Haris Sumadiria. 2006. Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Hal 25

7

Suryo Sakti Hadiwijoyo. 2009. Op.Cit. Hal 106

8

Kompas. Jum’at 21 Agustus 2009. Nasionalisme Pripurna di Tapal Batas. Hal 1

9

Sindhunata dalam St. Sularto (ed.). 2001. Humanisme dan Kebebasan Pers: Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hal 3-4


(23)

commit to user

5

Sindhunata, Pemimpin Redaksi Majalah Basis Yogyakarta, menyatakan bahwa sajian berita Kompas tidak lepas dari sosok Jakob Oetama dengan tiga pokok pemikirannya yang kental akan nilai humanisme.

Pertama, membawa pencerahan. Jakob Oetama berulang kali mengatakan, selain menyebar informasi, berkomunikasi dan membantu kecerdasan bangsa, sebagai koran nasional Kompas bertugas memberikan enlighment kepada sebanyak mungkin masyarakat di seluruh Indonesia. Tercakup dalam peran pencerahan adalah pencerdasan akal budi, pergulatan suara hati, pergualatan peradaban, serta pembangunan kebudayaan. Kedua, memanfaatkan momentum sejarah untuk meraih pembebasan. Menurut Jakob Oetama, hanya dengan mempelajari sejarahlah, kita bisa mengambil keputusan-keputusan dengan tepat dan benar. Ketiga, wartawan tak boleh kering hati dan emosi. Ia mengajak wartawannya untuk menyuarakan mereka yang tak bisa bersuara.10

Tanggal 17 Agustus menjadi momentum yang memiliki nilai sejarah terbesar bagi negara Indonesia. Perjuangan dari berbagai daerah, berbagai golongan untuk mencapai sebuah kemerdekaan dan kedaulatan negara menjadi harga mati sebuah perjuangan. Dalam rangka memperingati dan memanfaatkan momentum terbesar bangsa Indonesia yaitu Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-64, 17 Agustus 2009, koran Kompas menerbitkan laporan peliputan yang mengusung wacana nasionalisme. “Nasionalisme di Tapal Batas” menjadi tema yang dipilih karena masalah nasionalisme negeri ini kian kritis. Dalam konteks di wilayah-wilayah perbatasan, kekritisan masalah ini semakin terasa.

10


(24)

commit to user

6

Dalam perspektif politik nasional dan konstelasi politik regional, masalah pun kian kompleks.11

Rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” adalah sajian peliputan Kompas di sepuluh daerah yang menjadi daerah terluar Indonesia dan berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga, dimana pemberitaan tersebut tersaji di koran ini selama 10 hari berturut-turut (mulai senin tanggal 10 - 21 Agustus 2009). Daerah-daerah tersebut ialah Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Kepulauan Siberut (Sumatra Barat), Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kamlimantan Timur, Kepulauan Miangas dan Marore (Sulawesi Utara), Maluku Utara, Perbatasan NTT-Timor Leste, Merauke (Papua Selatan), dan Perbatasan Papua-Papua Niugini.

Banyak persoalan di wilayah perbatasan Indonesia yang diberitakan Kompas. Diantaranya, stigma di daerah Sawang NAD yang hingga kini masih kental dirasakan penduduk setempat. Oleh karena itu masih sulit bagi Sawang yang di masa lalu menjadi basis pejuang GAM, untuk maju dan berkembang.12 Dalam hal pendidikan, daerah pedalaman Siberut Kepulauan Mentawai masih jauh dari layak. Belum adanya fasilitas sekolah formal membuat daerah tersebut haus akan tercukupinya kebutuhan pendidikan.13

Lemahnya pembangunan sarana dan infrastruktur publik dirasakan di sebagian besar Kepulauan Riau yang berbatasan langsung dengan Singapura. Bagi mereka yang mendiami kepulauan tersebut, kesenjangan pembangunan sangat

11

Kompas. 10 Agustus 2009. Nasionalisme di Tapal Batas, Pengantar. Hal 1

12

Kompas. 10 Agustus 2009. Nasionalisme di Tapal Batas, Menerawang Aceh dari Sawang. Hal 4

13

Kompas. 11 Agustus 2009. Nasionalisme di Tapal Batas, Satu Nusa Satu Bangsa di Pedalaman Siberut. Hal 1


(25)

commit to user

7

terasa antara daerahnya dengan negara tetangga Singapura, sehingga menimbulkan isu-isu yang kerap melemahkan sendi-sendi nasionalisme.14 Sedangkan daerah lain seperti Pulau Morotai, infrastruktur publik seperti jalan sebagai sarana perhubungan yang ada masih mengandalkan peninggalan kaum penjajah.15 Hal ini menunjukkan belum adanya pemerataan pembangunan.

Dalam hal kesejahteraan, kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan juga tidak berbeda jauh dari dunia pendidikan, dimana kesejahteraan bagi mereka menjadi barang yang mahal. Hal ini yang dialami daerah Sebatik, mereka dibiarkan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan menggantungkan negara tetangga Malaysia.16 Sama halnya yang dialami masyarakat Miangas dan Marore. Berbatasan dengan Filipina dan karakter perairan terbuka karena berada di bibir Samudra Pasifik, membuat daerah ini seakan tak terlihat di mata pemerintah. Negara seolah tak mau mengurus salah satu daerah yang memiliki nilai strategis di bidang politik tersebut, sebagai titik tolak penjaga kedaulatan RI.17

Dari pemberitaan-pemberitaan Kompas tersebut, bagaimana wacana nasionalisme yang diusung Kompas melalui pemberitaan selama 10 hari berturut-turut mulai tanggal 10 hingga 21 Agustus 2009, menarik untuk diteliti. Berita yang disajikan tidak hanya sebatas informasi yang harus diketahui publik namun juga terdapat pesan-pesan yang mendidik dan membangun. Hal ini sejalan dengan

14

Kompas. 12 Agustus 2009. Nasionalisme di Tapal Batas, Tak Indonesia Hilang di Hati… Hal 15

15

Kompas. 15 Agustus 2009. Nasionalisme di Tapal Batas, Pulau Morotai, AS Membangun Jalan RI Kasih Aspal Saja… Hal 15

16

Kompas. Jum’at 14 Agustus 2009 Nasionalisme di Tapal Batas, Perbatasan Kaltim Menebus Malam ke Negeri Seberang. Hal 5

17

Kompas. 15 Agustus 2009. Nasionalisme di Tapal Batas, Ironi di Antara Simbol dan Realitas Hal 15


(26)

commit to user

8

tujuan para pendahulu bangsa dan negara ini dimana mereka bercita-cita mewujudkan Indonesia sebagai negara bangsa yang utuh dan menyeluruh. Selain itu, berita tersebut juga bisa menjadi bahan kajian berbagai pihak dalam menyikapi semangat nasionalisme Indonesia yang mengalami pasang surut.

Teks-teks berita tersebut, dalam perspektif komunikasi erat kaitannya dengan pesan dan makna. Pesan sendiri merupakan poin sentral dalam komunikasi, sehingga menarik untuk diteliti. Tentu saja, tanpa menafikkan unsur-unsur komunikasi lainnya seperti komunikator, komunikan, atau efek. Tanpa adanya pesan, komunikasi tidak akan mungkin terjadi.18

Teks yang ada dalam berita tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis wacana. Melalui metode ini, peneliti ingin membedah wacana yang ada dalam sebuah teks. Dalam hal ini, bagaimana Kompas menggambarkan nasionalisme di Indonesia melalui pemberitaan di tapal batas.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang yang diuraikan di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana Kompas menggambarkan wacana nasionalisme melalui pemberitaan di rubrik Nasionalisme di Tapal Batas?”

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Mengetahui bagaimana Kompas menggambarkan wacana nasionalisme melalui pemberitaan di rubrik Nasionalisme di Tapal Batas.

18


(27)

commit to user

9

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Secara teoritis-akademis, penelitian ini diharapkan mempunyai signifikansi dalam membedah penggambaran wacana nasionalisme melalui pemberitaan suratkabar Kompas melalui penelitian isi media dengan menggunakan analisis wacana.

2. Secara praktis, penelitian ini dapat berfungsi bagi media dalam mengemas dan mewacanakan semangat nasionalisme yang kian kritis. Sehingga dalam fungsinya sebagai kontrol sosial, media bisa ikut andil dalam membantu pemerintah beserta masyarakat untuk menentukan kebijakan-kebijkan yang bisa menjaga dan memupuk jiwa nasionalisme bangsa.

E. TELAAH PUSTAKA

1. Komunikasi Sebagai Wacana

Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin communis yang berarti sama “sama”, communico, communicatio, communicare yang berarti “membuat sama”.19 Berbagai pakar telah membuat definisi tentang apa itu komunikasi. Salah satu definisi yang kerap dikutip adalah pengertian dari Harrold Lasswell. Laswell mengatakan bahwa komunikasi adalah jawaban dari pertanyaan Who Says What In Which Channel to Whom With What Effect? Atau Siapa mengatakan Apa Dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana?20

Dari definisi di atas, setidaknya ada beberapa unsur komunikasi yang bisa ditangkap, diantaranya komunikator, media, komunikan, konteks, proses,

19

Deddy Mulyana. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal 41

20


(28)

commit to user

10

dan dampak. Tanpa ada pesan, tidak ada peristiwa komunikasi. Komunikasi adalah proses menciptakan dan menafsirkan pesan. Tanpa ada pertukaran pesan, tidak ada makna yang diperoleh oleh para peserta komunikasi. Sedangkan makna itulah yang dikandung dalam pesan yang dipertukarkan dalam komunikasi.21

Dalam perkembangannya, para pelaku komunikasi tidak hanya menyampaikan pesan dalam sebuah proses komunikasi namun teknik pengemasan pesan (message packaging) juga menjadi hal penting agar mereka memperoleh tujuan-tujuan komunikasinya. Mereka tak lagi sekedar membuat, menampilkan dan mengirimkan pesan berdasarkan apa yang diinginkannya, tetapi merancang pesan dengan dilandasi dan dipengaruhi oleh “visi dan misi strategis”-nya. Dalam konteks ini, para pelaku komunikasi mengembangkan suatu wacana tertentu dalam menyampaikan pesan dalam suatu proses komunikasi.22

2. Wacana Sebagai Hasil Konstruksi Realitas

Wacana adalah terjemahan dari bahasa Inggris “discourse”. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa wacana merupakan kelas kata benda (nomina) yang mempunyai arti sebagai berikut: 23

a. ucapan; perkataan; tuturan;

b. keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan;

21

Ibnu Hamad. 2010. Op.Cit. Hal 7

22

Ibid. Hal 9

23


(29)

commit to user

11

c. satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan yang utuh, seperti novel, buku, atau artikel.

Jusuf Syarif Badudu memberikan batasan tentang wacana sebagai berikut: 24

a. Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu.

b. Wacana adalah kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi tinggi yang berkesinambungan, yang mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.

Secara ilmiah teoritik beberapa pakar telah mendefinisikan perdebatan tentang wacana atau discourse. Fiske mendefinisikan wacana sebagai bahasa atau sistem representasi yang dibangun secara sosial dalam suatu tertib untuk membuat dan mengedarkan seperangkat makna yang koheren tentang suatu topik penting.25 Roger Fowler mendefinisikan wacana adalah komunikasi lisan maupun tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya; kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman. Sedangkan Foucault mengatakan wacana ini: kadang kala sebagai bidang dari semua

24

Jusuf Syarif Badudu dalam Eriyanto. 2005. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS. Hal 2

25

Mursito BM. 2006. Memahami Institusi Media Sebuah Pengantar. Surakarta: Lindu Pustaka dan SPIKOM. Hal 239


(30)

commit to user

12

pernyataan (statement), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat sari sejumlah pernyataan.26

Dalam kenyataan, wujud dari bentuk wacana dapat dilihat dalam beragam karya:27

a. Text (wacana dalam bentuk tulisan/grafis) yang antara lain berupa surat, e-mail, berita, features, artikel opini, puisi, syair, cerpen, novel, komik dan sebagainya.

b. Talk (wacana dalam bentuk lisan/percakapan) yang antara lain berupa rekaman wawancara, monolog, dialog, obrolan, pidato, diskusi dan sebagainya.

c. Act (wacana dalam bentuk tindakan, gerakan) yang antara lain adalah pantomim, drama, tarian, film, defile, demonstrasi dan sebagainya.

d. Artifact (wacana dalam bentuk bangunan, tata-letak) yang antara lain dalam wujud bangunan, lanskap, puing, fashion, dan lain sebagainya.

James P. Gee membedakan wacana (discourse) menjadi dua jenis, yaitu: 28

26

Eriyanto. 2005. Op.Cit. Hal 2

27

Ibnu Hamad. 2010. Op.Cit. Hal 44-45

28


(31)

commit to user

13

a. discourse (dengan d kecil) yang melihat bagaimana bahasa

digunakan pada tempatnya (on site) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas atas dasar-dasar linguistik.

b. Discourse (dengan d besar) yang merangkaikan unsur linguistik pada discourse (dengan d kecil) bersama-sama unsur non-linguistik (non-language stuff) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas. Bentuk non-language stuff ini dapat berupa kepentingan ideologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Komponen non-language stuff itu juga yang membedakan cara beraksi, berinteraksi, berperasaan, kepercayaan, dan penilaian satu komunikator dari komunikator lain dalam mengenali atau mengakui diri sendiri dan orang lain.

Satu hal harus digarisbawahi dari teori yang disampaikan oleh James P. Gee, bahwa wacana atau Discourse (dengan d besar) adalah kepentingan dalam wacana. Setiap tindakan komunikasi pada dasarnya selalu mempunyai tujuan, terlebih komunikasi melalui media massa seperti surat kabar, majalah, televisi, radio, dan sebagainya. Karena itu, bisa dikatakan bahwa setiap tindakan komunikasi adalah suatu wacana. Dalam pandangan communication as Discourse ini, komunikasi dilakukan dalam rangka menciptakan “kenyataan lain” atau “kenyataan kedua” dalam bentuk wacana (discourse) dari “kenyataan pertama”. Cara yang ditempuh dalam pembentukan wacana


(32)

commit to user

14

(realitas kedua) itu adalah sebuah proses yang disebut konstruksi realitas (construction of reality).29

Lalu, bagaimana keterkaitan wacana dengan realitas? Mengenai hal ini, Michel Foucault memiliki pendapat bahwa realitas dipahami sebagai seperangkat konstruk yang dibentuk melalui wacana.

Realitas tidak bisa didefinisikan jika kita tidak mempunyai akses dengan pembentukan struktur diskursif tersebut. Kita mempersepsi dan bagaimana kita menafsirkan obyek dan peristiwa dalam sistem makna tergantung pada struktur diskursif; dan struktur diskursif inilah yang membuat obyek atau peristiwa terlihat nyata oleh kita. Persepsi kita tentang suatu obyek atau peristiwa dibentuk dengan dibatasi oleh praktik diskursif: dibatasi oleh pandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa yang ini benar dan yang lain tidak. Wacana tertentu membatasi pandangan khalayak, mengarahkan pada jalan pikiran tertentu dan menghayatinya sebagai sesuatu yang benar.30

Paling tidak ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana, yaitu positive-empiris, paradigma konstruksitivisme, dan paradigma kritis.31 Pandangan positive-empirisme melihat bahasa sebagai jembatan manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa

29

Ibnu Hamad. Perkembangan Analisis Wacana dalam Ilmu Komunikasi: Sebuah Telaah Ringkas, Universitas Indonesia. Hal 1

30

Michel Foucault, The Archeology of Knowledge, dalam Sara Mills, “Knowing Your Place: A Marxist Feminist Stylistic Analysis”, dalam Michael Toolan (ed.), Language, Text, and Context: Essays in Stylistic, dalam Eriyanto. 2005. Op.Cit. Hal 73

31


(33)

commit to user

15

tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Jadi, orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataanya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana lantas diukur dengan pertimbangan kebenaran/ketidakbenaran (menurut sintaksis dan semantik).32

Dalam pandangan konstruksivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. A.S. Hikam mengatakan bahwa subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan memiliki tujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara.33 Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang

32

Eriyanto. 2005. Op.Cit. Hal 4

33

Mohammad A. S. Hikam, “Bahasa dan Politik: Penghampiran Discursive Practice”, dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (ed.), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, dalam Eriyanto. 2005. Op.Cit. Hal 5


(34)

commit to user

16

subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan itu dilakukan diantaranya dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara.34

Sedangkan dalam pandangan kritis, analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme, melainkan menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu, analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat.35

Penelitian ini menggunakan pandangan atau paradigma konstruktivisme dengan pertimbangan bahwa subyek, dalam hal ini Kompas, dianggap sebagai faktor sentral yang mempunyai peran utama dalam kegiatan wacana yang disampaikan dalam terbitan surat kabarnya. Keberadaan atau

34

Eriyanto. 2005. Op.Cit. 5-6.

35


(35)

commit to user

17

munculnya wacana nasionalisme sangat ditentukan oleh Kompas sebagai subyek yang mempunyai gagasan dan maksud-maksud tertentu sesuai dengan nilai-nilai dasar (visi) yang menjadi pedomannya. Berita yang disajikan dalam rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” tidak hanya akan dilihat sebagai alat untuk memahami realitas obyektif saja dan dipisahkan dari subyek sebagai penyampai pesan.

Dalam buku Discourse Analysis, Gillian Brown dan George Yule mengatakan: “The analysis of discourse is, necessarily, the analysis of language in use”.36 Dari batasan tersebut dapat diketahui bahwa analisis wacana adalah analisis atas bahasa yang digunakan. Dengan kata lain, analisis wacana mengkaji untuk apa bahasa digunakan. Dalam paragraf yang sama kedua ahli ini menyebutkan: “That function which language serves in the expression of ‘content’ we will describe as transactional, and that function involved in expressing social relations and personal attitudes we will describe as interactional”.37 Dengan pernyataan tersebut bisa dipahami bahwa, di dalam analisisnya, Brown dan Yule memfokuskan pada dua fungsi bahasa, yaitu fungsi untuk mengungkapkan isi (transaksional) dan fungsi yan berkaitan dengan pengungkapan hubungan sosial dan sikap-sikap pribadi (interaksional).

Dengan demikian, analisis wacana, tidak hanya digunakan untuk mengungkapkan isi bahasa melainkan juga sikap-sikap atau karakter penyampai bahasa (wacana).

36

Gillian Brown dan George Yule. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press. Hal 1

37


(36)

commit to user

18

3. Pers sebagai Komunikasi Massa

Bentuk komunikasi yang dilakukan oleh manusia juga mengalami perkembangan cukup pesat. Tidak hanya melalui komunikasi antarpersonal yang hanya melibatkan orang-orang terbatas, tetapi komunikasi yang menjadi sebuah kebutuhan manusia juga dilakukan dengan melibatkan orang banyak (heterogen), atau yang lebih dikenal dengan komunikasi massa.

De Fleur dan McQuails mendefinisikan komunikasi massa sebagai: “Suatu proses melalui komunikator dengan menggunakan media untuk menyebarluaskan pesan-pesan secara luas dan terus-menerus menciptakan makna-makna serta diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan beragam dengan melalui berbagai cara”.38

Definisi lain datang dari Little John, yang menulis:

“Komunikasi massa adalah suatu proses dengan mana organisasi-organisasi media memproduksi dan mentransmisikan pesan kepada publik yang besar, melalui proses dimana pesan-pesan itu dicari, digunakan, dimengerti, dan dipengaruhi oleh audience”.39

Pusat dari studi komunikasi massa ialah media. Organisasi media mendistribusikan berbagai pesan, untuk mempengaruhi dan merefleksikan kultur masyarakat, dan mereka injeksi informasi secara stimulan keleluasaan audiens yang heterogen, membuat media menjadi alat dari salah satu kekuatan institusi kemasyarakatan.40 Media yang digunakan dalam

38

Mursito BM. 2006. Op.Cit. Hal 3

39

Ibid.

40


(37)

commit to user

19

komunikasi massa lebih dikenal dengan istilah media massa atau istilah lain disebut dengan nama pers.

Pers mengandung dua arti, dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, pers hanya menunjuk kepada media cetak berkala: surat kabar, tabloid, dan majalah. Sedangkan dalam arti luas, pers bukan hanya menunjuk pada media cetak berkala melainkan juga mencakup medai elektronik auditif dan media elektronik audiovisual berkala yakni radio, televisi, film, dan media on line internet.41

Secara yuridis formal, seperti dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Pokok Pers No. 40 / 1999, definisi Pers adalah:

“Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia”.42

Pers memiliki lima fungsi utama yang berlaku universal. Disebut universal karena kelima fungsi tersebut dapat ditemukan pada setiap negara di dunia yang menganut paham demokrasi, yakni:43

a. Informasi (to inform)

Pers memiliki fungsi untuk menyampaikan informasi secepat-cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya. Setiap informasi yang disampaikan harus memenuhi kriteria dasar: aktual, akurat, faktual,

41

AS Haris Sumadiria. 2006. Op.Cit. Hal 31

42

Mursito BM. 2006. Op.Cit. Hal 2-3

43


(38)

commit to user

20

menarik atau penting, benar, lengkap-utuh, jelas-jernih, jujur-adil, berimbang, bermanfaat, dan etis.

b. Edukasi (to educate)

Sebagai sebuah lembaga kemasyarakatan pers juga memiliki tugas mendidik. Sebagai lembaga ekonomi, pers memang dituntut berorientasi komersial untuk memperoleh keuntungan finansial. Namun orientasi dan misi komersial itu, sama sekali tidak boleh mengurangi, apalagi meniadakan fungsi dan tanggung jawab sosial pers. Pers harus mau dan memerankan dirinya sebagai guru bangsa. Wilbur Schramm dalam Men, Messages and Media (1973) mengatakan bahwa pers adalah watcher, teacher, and forum (pengamat, guru, dan forum).

c. Koreksi (to influence)

Pers adalah pilar demokrasi keempat setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam kerangka ini pers dimaksudkan untuk mengawasi atau mengontrol kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif agar kekuasan mereka tidak menjadi korup dan absolut. Negara yang menganut paham demokrasi menempatkan pers sebagai sebuah lembaga pengawas pemerintah dan masyarakat (watchdog function). Dengan fungsi kontrol sosial tersebut pers menjadi institusi sosial yang tidak pernah tidur dan juga memiliki sikap independen atau menjaga jarak yang sama terhadap semua kelompok dan organisasi yang ada.


(39)

commit to user

21 d. Rekreasi (to entertain)

Pers harus mampu memerankan dirinya sebagai wahana rekreasi yang menyenangkan sekaligus menyehatkan bagi semua lapisan masyarakat. e. Mediasi (to mediate)

Pers juga harus bisa menjadi penghubung atau faslitator. Dengan fungsi ini, pers mampu menghubungkan tempat satu dengan tempat yang lain, peristiwa satu dengan peristiwa yang lain, ataupun orang yang satu dengan orang yang lain pada saat yang sama. McLuhan dalam bukunya Understanding Media (1966) mengatakan bahwa pers adalah perpanjangan dan perluasan manusia (the extented of man). Dalam tugasnya sebagai media yang melakukan kegiatan di bidang jurnalistik, maka pers harus menggunakan prinsip-prinsip jurnalisme dalam pemberitaannya. Bill Kovach dan Tom Rosential dalam bukunya The Elements of Jurnalism menjelaskan 9 prinsip jurnalisme sebagai berikut:44

a. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran

Jurnalisme tidak sekedar mengejar kebenaran dalam arti filosofis/absolut. Melainkan kebenaran funsional yang mana dapat diterapkan secara praktis. Untuk itu, sebuah laporan berita harus adil, terpercaya, berlaku untuk saat ini, dan menjadi bahan untuk investigasi lanjutan.

b. Loyalitas pertama jurnalisme kepada warga

44

Disarikan dari buku Bill Kovach dan Tom Rosential. 2004. Elemen-Elemen Jurnalisme. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi


(40)

commit to user

22

Media harus dapat mengatakan dan menjamin kepada audiensnya bahwa liputan yang dilakukan tidak diarahkan demi kepentingan kawan dan pemasang iklan. Komitmen utama adalah untuk melayani publik.

c. Inti jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi.

Untuk melakukan verifikasi, wartawan harus menerapkan metode yang obyektif sebelum menyampaikan fakta ke dalam berita.

d. Wartawan harus memiliki kebebasan dari sumber yang diliput.

Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan jiwa dan pemikiran wartawan.

e. Menjadi pemantau yang bebas terhadap kekuasaan dan menyuarakan kaum tak bersuara.

Prinsip ini menekankan pentingnya peran penjagaan (watchdog). Pers tidak boleh menjadi corong kekuasaan. Selain itu, tugas pers adalah memperjuangkan kamu minoritas yang sering kali terabaikan.

f. Jurnalisme sebagai forum publik

Diskusi publik dapat melayani masyarakat dengan baik bila mereka mendapatkan informasi berdasarkan fakta. Bukan atas dasar prasangka atau dugaan-dugaan.

g. Menarik dan relevan

Jurnalisme harus dapat menyeimbangkan antara apa yang diinginkan publik dengan apa yang mereka tidak harapkan, tetapi sesungguhnya mereka butuhkan.


(41)

commit to user

23

h. Menjadikan berita proporsional dan komprehensif

Berita tidak boleh menghilangkan sesuatu yang penting, serta tidak menggelembungkan fakta demi sensasi.

i. Wartawan bertanggung jawab pada nurani

Wartawan harus memiliki tanggung jawab modal dalam melaporkan berita. Diantaranya menjalankan kode etik.

4. Media Sebagai Sarana Konstruksi Realitas

Satu hal penting dalam teori komunikasi sebagai wacana (communication as discourse) adalah usaha untuk memproduksi realitas dalam bentuk wacana. Usaha ini merupakan pekerjaan sentral baik dalam kegiatan komunikasi antar pribadi secara tatap muka maupun antar individu melalui media. Dalam mengkonstruksi realitas, dengan dipengaruhi oleh faktor-faktor innocencity, internality, dan externality, para pihak mendayagunakan bahasa (strategi signing), mengatur fakta (strategi framing) dan menyesuaikan waktu yang tepat untuk menyampaikan pesan (strategi priming).45

Dalam kegiatan komunikasi yang menggunakan media, praktik komunikasi mengkonstruksi realitas ini tampak semakin kentara. Hal ini dikarenakan wacana yang dihasilkan dimediasikan, baik dalam bentuk text, talk, act, maupun dalam bentuk artefact. Dalam membuat sebuah wacana itu, sudah dipastikan bahwa pembuatnya telah dengan sengaja mengatur tiga

45


(42)

commit to user

24

strategi: signing, framing, dan priming. Mereka juga pasti sudah mempertimbangkan faktor-faktor internal dan eksternal mereka dalam mengatur tiga strategi itu guna menciptakan efek tertentu di tengah khalayak (lihat gambar berikut)46

Konstruksi realitas atau konstruksi sosial tidak akan dapat dilepaskan dengan penggunaan simbol. Sistem simbol bunyi bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat arbiter (berubah-ubah) dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran disebut dengan kata atau bahasa.47 Oleh karena itu, yang dimaksud signing adalah strategi penggunaan tanda-tanda bahasa, baik bahasa verbal (dalam bentuk kata-kata) maupun nonverbal (dalam bentuk gambar, grafik, gerakan, dan sebagainya).

46

Ibnu Hamad. 2010. Op.Cit. Hal 45

47

Alex Sobur. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Hal 42

Bagan I. 1 Model Konstruksi Realitas Melalui Media

Faktor Internal

Faktor Eksternal Proses Kontruksi

Realitas oleh Konstrukor

Discourse dalam Media: (dengan strategi signing, framing, dan priming)

Efek di Tengah Khalaya


(43)

commit to user

25

Dalam pembuatan wacana, sistem tanda merupakan alat utama proses kontruksi realitas. Mengacu pada pemikiran Berger, Peter L dan Thomas Luckman, sistem tanda merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Proses konstruksi realitas dimulai ketika seorang konstruktor melakukan objektifikasi terhadap suatu kenyataan yakni melakukan persepsi terhadap suatu objek. Selanjutnya, hasil dari pemaknaan melalui proses persepsi itu diinternalisasikan ke dalam diri seorang konstruktor. Dalam tahap ini dilakukan konseptualisasi terhadap suatu objek yang dipersepsi. Langkah terakhir adalah melakukan eksternalisasi atas hasil dari proses perenungan secara internal tadi melalui pernyataan-pernyataan. Alat untuk membuat pernyataan tersebut tiada lain adalah kata-kata atau konsep atau bahasa.48

Strategi framing atau praktik pemilahan dan pemilihan yang (tidak) akan dimasukkan ke dalam wacana merupakan hal yang tak bisa dihindari dalam pembuatan wacana. Penyebabnya adalah fakta yang terkait dengan realitas sering lebih banyak dibandingkan dengan tempat dan waktu yang tersedia.49 Di dunia media massa, pemilahan dan pemilihan fakta dilandasi oleh pertimbangan waktu dan tempat. Media cetak memiliki keterbatasan kolom dan halaman; sementara pada media elektronik memiliki keterbatasan durasi dan jadwal siaran.

Sedangkan strategi priming, adalah strategi mengatur ruang atau waktu untuk pemublikasian wacana di hadapan khalayak. Dalam media massa, praktik penonjolan suatu isu terlebih dahulu dikenal dengan teori agenda

48

Berger, Peter L dan Thomas Lukman, The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociology of Knowledge, dalam Ibnu Hamad. 2010. Op.Cit. Hal 49-50

49


(44)

commit to user

26

setting. Asumsi teori ini adalah perhatian masyarakat terhadap suatu isu sangat bergantung pada kesediaan media massa memberi tempat pada isu tersebut. Semakin besar tempat yang diberikan oleh media massa semakin besar pula perhatian yang diberikan oleh khalayak.50

Adapun mengenai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi media dalam mengkonstruksi realitas adalah faktor innocently yang mencakup kekurang-mampuan dan kesalah-pahaman; faktor internality karena adanya minat dan kepentingan; dan faktor externality karena adanya sponsor dan pasar.

Meskipun dalam pembuatan berita, media mengkontruksi realitas fisik/empirik menjadi realitas media (simbolik) dengan ketiga strategi (signing, framing, priming) serta adanya faktor internal dan eksternal dalam membentuk sebuah wacana tertentu, media tetap berpegang dengan kaidah-kaidah jurnalistik yang berlaku. Sebuah berita dituntut memenuhi kaidah-kaidah 5W+1H (What, Where, When, Who, Why, dan How) dan memiliki news value (nilai berita). Secara umum, suatu kejadian dianggap mempunyai nilai berita jika mengandung satu atau beberapa unsur di bawah ini51:

a. Significance (penting), yaitu kejadian yang berkemungkinan

mempengaruhi kehidupan orang banyak, atau mempunyai akibat terhadap kehidupan pembaca. Misalnya berita kenaikan BBM yang menaikkan harga-harga kebutuhan lain.

50

Ibnu Hamad. 2010. Op.Cit. Hal 70-72

51


(45)

commit to user

27

b. Magnitude (besar), yaitu kejadian menyangkut jumlah atau

angka-angka yang besar (fantastis). Misalnya bencana yang merenggut ribuan jiwa.

c. Timeliness (waktu), yaitu kejadian menyangkut hal-hal yang baru terjadi atau baru dikemukakan.

d. Proximity (dekat), yaitu kejadian yang dekat dengan pembaca, baik secara geografis maupun emosional. Kejadian di Solo lebih menarik perhatian masyarakat Solo dari pada orang Palembang. e. Prominence (tenar), yaitu kejadian menyangkut hal-hal yang

terkenal atau populer. Misalnya berita perceraian seorang bintang film.

f. Human Interest (manusiawi), yaitu kejadian yang memberikan sentuhan perasaan bagi pembaca. Misalnya kejadian yang menyangkut orang biasa dalam situasi luar biasa, atau sebaliknya. Pada dasarnya, inti jurnalistik adalah adanya suatu fakta yang direkontruksi kembali oleh wartawan atau lembaga media yang kemudian disampaikan kepada masyarakat luas. Dalam merekontrusksi suatu fakta, wartawan bukan sekedar melakukan pekerjaan teknis melainkan pekerjaan intelektual, di mana wartawan memberikan interpretasinya atas suatu peristiwa.

Menurut Ignas Kleden, berita yang disajikan dalam koran misalnya, bukanlah reproduksi mekanis dari suatu peristiwa, melainkan hasil pergulatan


(46)

commit to user

28

dan dialektika yang intens antara peristiwa tersebut dengan persepsi dan kesadaran sang wartawan. 52

Dengan demikian, seorang wartawan tidak hanya bertugas menyampaikan berita sesuai dengan aturan jurnalistik yang presisi. Namun, mereka juga harus bergulat dengan berbagai hal yang melibatkan tanggung jawab sosial dan integritas intelektualnya.

Bagaimana menyampaikan berita itu sehingga sanggup mencerminkan keadaan sebenarnya, tetapi sekaligus mempertimbangkan manfaat dan kebaikan yang diberikan oleh pemberitaan itu terhadap masyarakat pembaca, sambil memberikan perspektif dan warna pemberitaan yang mencerminkan nilai yang dianut oleh wartawan atau koran yang dilayaninya.53

Selanjutnya, masyarakatlah yang berhak menginterpretasikan berita dan memberikan konteks tertentu atas informasi yang diterimanya.

Menurut John Fiske, ada tiga proses yang dihadapi wartawan saat menampilkan obyek, peristiwa, gagasan, kelompok, atau seseorang.54 Level pertama adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Hal ini berkaitan dengan bagaimana peristiwa itu dikonstruksi sebagai realitas oleh wartawan/media. Dalam tahap ini, realitas selalu siap ditandakan, ketika kita menganggap dan mengkonstruksi peristiwa tersebut sebagi suatu realitas. Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana relaitas itu digambarkan. Dalam tahap ini,

52

Ignas Kleden, dalam Yakob Utama. 1987. Perspektif Pers Indonesia. Jakarta: LP3ES. Hal xiv

53

Ignas Kleden, dalam Yakob Utama. 1987. Op.Cit. Hal xiv

54


(47)

commit to user

29

digunakan perangkat secara teknis seperti kata, kalimat atau proposisi, gambar, grafik, dan sebagainya. Pemakaian kata-kata, kalimat, atau proposisi tertentu, misalnya, membawa makna tertentu ketika diterima khalayak. Pada tahap terakhir, bagaimana peristiwa itu diorganisir ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial, atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat.

Saat kita melakukan representasi, menurut Fiske, tidak bisa dihindari kemungkinan menggunakan ideologi.55 Hal ini dikarenakan ideologi merupakan sistem kepercayaan yang darinya lahir nilai-nilai dasar (visi) sebagai acuan dalam memandang dan menyikapi suatu peristiwa.

Dalam setiap terbitannya, sebuah surat kabar selalu mengacu pada kebijakan institusi surat kabar. Secara khusus mengenai penyampaian pesan yang berupa berita, surat kabar selalu mengacu pada kebijakan redaksional surat kabar yang merupakan penjabaran dari visi surat kabar tersebut. Melalui kebijakan redaksional yang diterapkan, sebuah surat kabar akan berusaha mewujudkan visinya sebagai media komunikasi massa dalam masyarakat.

Visi itu juga memberikan bobot, warna, dan dimensi kepada kejadian-kejadian yang diangkat menjadi bahan berita, baik dalam proses seleksi maupun dalam proses memberikan makna dan bentuk.56

Visi surat kabar, tentu saja, menjadi visi yang dihayati bersama oleh para wartawan yang bekerja pada surat kabar tersebut. Visi atau pandangan

55

John Fiske dalam Eriyanto. 2005. Op.Cit. Hal 114

56


(48)

commit to user

30

pokok tersebut diaktualisasikan oleh para wartawan dalam pekerjaan dan karyanya, melalui pergulatannya dengan realitas serta pemikiran yang mereka olah menjadi berita. Nilai-nilai yang dianut inilah yang menjadikan sebuah surat kabar tidak dapat bersikap “bebas nilai”.

Ignas Kleden menyatakan bahwa, setiap penerbitan surat kabar hendaknya mempunyai seperangkat nilai yang menjadi referensinya, baik sebagai dasar bagi visi dan posisi yang hendak dibelanya, maupun sebagai kriteria untuk melakukan kritik terhadap diri sendiri. 57

Referensi nilai inilah yang kemudian menentukan mengapa suatu kejadian diberitakan secara massif sementara kejadian lainnya hanya diberitakan secara singkat. Dari sinilah dapat terlihat watak dan kepribadian sebuah media.

Usaha dan perjuangan wartawan untuk tetap setia kepada referensi nilainya, sambil berikhtiar untuk mempertahankan obyektivitas dan aktualitas pemberitaan, dan sekaligus harus memperhitungkan efek pemberitaannya untuk pembaca, sebetulnya adalah usaha untuk mencari perimbangan maksimal antara kesetiaan kepada hati nurani wartawan dan korannya, kepentingan fakta, dan kepentingan masyarakat pembaca.58

Hal inilah yang menjadikan tampilan dan isi surat kabar memiliki ciri khas atau karakter yang berbeda dengan surat kabar yang lain. Dengan kata lain, surat kabar secara konsisten mempunyai kepribadian yang tercermin dalam keseluruhan isi pesan, bentuk, struktur, gaya, warna, dan dimensi; dan

57

Ignas Kleden, dalam Yakob Utama. 1987. Op.Cit. Hal xiv-xv

58


(49)

commit to user

31

dengan kepribadian tersebut, surat kabar mampu membangun bersama suatu tingkat kredibilitas tertentu.59

5. Berita dan Feature

Williard C. Bleyer dalam bukunya News Writing and Editing60 memberi pengertian berita, yaitu: sesuatu yang termasa yang dipilih oleh wartawan untuk dimuat dalam surat kabar, karena hal tersebut menarik atau mempunyai makna bagi pembaca surat kabar. Sedangkan William S. Maulsby dalam Getting the News61 menjelaskan berita adalah suatu penuturan secara benar dan tidak memihak dari fakta-fakta yang mempunyai arti penting dan baru terjadi, yang dapat menarik perhatian para pembaca surat kabar yang memuat berita tersebut.

Secara singkat, berita dapat diklasifikasikan dalam 2 bentuk yaitu: hard news dan soft news. Hard news adalah berita yang padat berisi informasi fakta dari kejadian yang baru saja terjadi yang menarik perhatian sebagian besar publik dan harus segera disampaikan secepat mungkin, yang disusun berdasarkan urutan dari yang paling penting.62 Sedangkan soft news adalah berita yang lebih bertumpu pada unsur-unsur ketertarikan manusiawi.63

Salah satu produk soft news adalah feature. Daniel R. Williamson merumuskan bahwa reportase feature sebagai penulisan cerita yang kreatif, subyektif, yang dirancang untuk menyampaikan informasi dan hiburan

59

Yakob Utama. 1987. Op.Cit. Hal 18

60

AS Haris Sumadiria. 2006. Op.Cit. Hal 64

61

Ibid. Hal 64

62

Luwi Ishwara. 2007. Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hal 58

63


(50)

commit to user

32

kepada kepada pembaca. Penekanan pada kata-kata kreatif, subyektif, informasi, dan hiburan adalah untuk membedakan dengan berita yang disampaikan secara langsung pada berita lugas (hard news).64

Dalam cerita feature, penulis mengontrol fakta dengan cara seleksi, struktur, dan interpretasi, daripada fakta yang mengontrol penulis. Mengontrol fakta bukan berarti mengekpresikan opini atau bahkan memfriksikannya. Bukan pula memanipulasi fakta demi keuntungan suatu pandangan tetapi berusaha memberikan pandangan yang lebih jelas mengenai suatu realitas.

Tulisan kreatif non-fiksi sering disebut literatur yang berlandaskan fakta. Pembaca menginginkan fakta, tetapi fakta itu harus disajikan kreatif, menarik dan menghibur. Tulisan semacam ini mengisyaratkan seorang sebagai pencerita dan kemampuan riset seorang wartawan. Penulis tidak hanya menyampaikan fakta melainkan menggugah pembaca pada pengertian yang lebih dalam mengenai topik yang ditulis. Penulis membuat pembaca merasa terlibat dan merasa dekat dengan peristiwa, tindakan atau pribadi yang digambarkan penulis.65

Tergolong dalam kategori soft news, feature dibagi dalam beberapa jenis sebagai berikut:66

a. Bright

64

Daniel R. Williamson, “Feature Writing for Newspapes”, dalam Luwi Ishwara. 2007. Op.Cit. Hal 59

65

Ibid. Hal 60

66


(51)

commit to user

33

Bright juga sering disebut brite, yaitu sebuah tulisan kecil yang menyangkut human interest.

b. Sidebar

Cerita ini mendampingi atau melengkapi berita utama. c. Sketsa kepribadian atau profil

Suatu sketsa biasanya pendek dan hanya mengenai satu aspek dari kepribadian. Sedangkan profil lebih panjang dari sketsa, lebih detil, dan secara psikologis lebih dalam.

d. Profil organisasi atau proyek

Sama dengan sketsa kepribadian atau profil; hanya artikel organisasi/poyek ini mengenai grup atau perusahaan, bukan individu.

e. Berita feature (Newsfeature)

Ini adalah sebuah berita yang ditulis dengan gaya feature. f. Berita feature yang komprehensif (comprehensive newsfeature)

Tulisan ini menggambarkan arah dan perkembangan suatu isu berita. Jenis tulisan ini mendasarkan riset yang lebih baik daripada berita-berita lainnya, sebab berasal dari berbagai sumber yang luas. g. Artikel pengalaman pribadi

Ditulis oleh seorang wartawan atau wartawan yang menulis (ghost-write) untuk orang lain yang mengalami peristiwa yang unik. h. Feature layanan (servce feature)


(52)

commit to user

34 i. Wawancara

Feature wawancara khusus melukiskan suatu dialog antara seorang wartawan dengan orang lain. Terkadang ditulis dalam format tanya-jawab.

j. Untaian mutiara

Ini adalah suatu feature “kolektif”, seperti pada seri anekdot mengenai topik umum.

k. Narasi

Narasi ini bagaikan cerita pendek, namun berhubungan dengan materi yang faktual. Narasi memaparkan adegan demi adegan dengan memanfaatkan deskripsi, karakterisasi, dan plot.

Sebagai sebuah cerita, feature memiliki anatomi atau susunan rangka yang bersifat organik terdiri atas: judul, lead atau intro, perangkai, tubuh, dan penutup. Semua bagian dari kerangka feature tersebut erat dan saling berhubungan.67

Jenis-jenis lead atau intro dalam feature adalah sebagai berikut:68

a. Lead ringkasan

Lead ringkasan sama dengan lead dalam penulisan straight news dengan teknik melaporkan, menggunakan ola piramida terbalik, dan merujuk kepada rumus 5W+1H.

67

Luwi Ishwara. 2007. Op.Cit. Hal 138

68


(53)

commit to user

35 b. Lead bercerita

Jenis lead ini mengajak untuk dan sekaligus menempatkan pembaca ke dalam realitas kisah cerita.

c. Lead deskriptif

Lead ini untuk menggambarkan atau mendiskripsikan sesuatu.

d. Lead kutipan

Lead ini ditandai adanya penggunaan kutipan di dalam lead tersebut.

e. Lead pertanyaan

Lead ini berisi pertanyaan yang ditujukan kepada pembaca.

f. Lead menuding langsung

g. Lead penggoda

Lead ini bertujuan untuk menggoda keingintahuan pembaca.

h. Lead Unik

i. Lead gabungan

Lead ini terdiri dari beberapa lead yang digabung menjadi satu. j. Lead kontras

Lead ini menonjolkan suatu fakta atau tindakan berlawanan dari apa yang seharusnya dilakukan oleh subyek pelaku peristiwa sesuai dengan fungsinya.

k. Lead dialog

Lead ini menyajikan tanya jawab, dialog, atau percakapan langsung pua pelaku peristiwa atau lebih.


(54)

commit to user

36 l. Lead menjerit

Lead ini menampilkan sautu jeritan atau teriakan secara tiba-tiba dan tak terduga.

Sedangkan untuk bagian ending atau penutup, bisa dibedakan menjadi beberapa jenis sebagai berikut:69

a. Penutup ringkasan

Penutup ini bersifat ikhtisar, hanya mengikuti ujung-ujung bagian cerita yang lepas-lepas dan menunjuk kembali ke lead atau intro. b. Penutup penyengat

Penutup ini mengagetkan pembaca. Penulis hanya menggunakan tubuh cerita untuk menyiapkan pembaca pada kesimpulan yang tidak terduga.

c. Penutup klimaks

Penutup ini ditemukan pada cerita yang ditulis secara kronologis. Penulis berhenti bila penyelesaian cerita sudah jelas dan tidak menambah bagian setelah klimaks.

d. Penutup menggantung

Bagian penutup dimana penulis dengan sengaja mengakhiri cerita dengan menekankan pada sebuah pertanyaan pokok yang tidak terjawab.

69


(55)

commit to user

37 e. Penutup ajakan bertindak

Bagian penutup dimana penulis melontarkan saran, imbauan, seruan, atau ajakan kepada pembaca untuk melakukan tindakan tertentu yang relevan dan mendesak.

6. Nasionalisme

Nasionalisme berasal dari bahasa Inggris yaitu nation (bangsa/sekelompok masyarakat) dan isme (paham). Menurut Benedict Anderson, nation (bangsa) adalah komuntas politis dan dibayangkan sebagai suatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan, bangsa merupakan sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali pun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka.70

Karena kebanyakan orang dalam suatu bangsa tidak akan pernah bertemu satu dengan yang lainnya, ikatan mereka adalah konstruksi sosial sebagai penjamin komunikasi di antara mereka. Sejalan dengan itu, Kevin Coe dan Rico Neumann, mengutip Hutcheson, mengatakan identitas nasional sebagai “a constructed and public national self-image based on membership in a political community as well as history, myths, symbols, language, and cultural norms commonly held by members of a nation”. 71 Konstruksi sosial tersebut bisa dalam bentuk keanggotaan politik dalam suatu masyarakat,

70

Benedict Anderson. 2008. Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang (alih bahasa Omi Intan Naomi). Yogyakarta: INSIST Press. Hal 8

71


(56)

commit to user

38

sejarah, simbol, bahasa, dan norma-norma budaya yang umumnya dipegang oleh suatu bangsa.

Sartono Kartodirdjo berpendapat bahwa nation menunjuk suatu komunitas sebagai kesatuan kehidupan bersama yang mencakup pelbagai unsur yang berbeda dalam aspek etnik, kelas atau golongan sosial, aliran kepercayaan, kebudayaan linguistik, dan lain sebagainya, yang terintegrasikan dalam perkembangan historis sebagai kesatuan sistem politik berdasarkan solidaritas yang ditopang oleh kemauan politik bersama.72

Sedangkan menurut Aminuddin, nation yang berarti bangsa memiliki dua pengertian, yaitu: dalam pengetian antropologis – sosiologis, dan dalam pengertian politis.73 Dalam pengertian antropologis – sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadat. Persekutuan hidup tersebut bisa merupakan persekutuan hidup mayoritas dan dapat pula merupakan persekutuan hidup minoritas. Bahkan dalam satu negara, anggota dari persekutuan hidup (bangsa) tersebut bisa saja tersebar di beberapa negara. Adapun yang dimaksud dengan bangsa dalam pengertian politis adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam.

72

Sartono Kartodirdjo, “Nasionalisme, Lampau dan Kini”, dalam Dance I. Palit dkk (ed.). 1999. Dinamika Nasionalisme Indonesia. Salatiga: Yayasan Bina Darma (YBD). Hal 1

73

Aminuddin Nur dalam Badri Yatim. 1999. Sekarno, Islam, dan Nasionalisme. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Hal 57-58


(1)

commit to user

170

(saebees) dan minim perbaikan pemerintah apalagi pembangunan jalan baru.

c. 4.2. Metafora

Untuk strategi metafora, dalam tema kelima rubrik

“Nasionalisme di Tapal Batas”, Kompas menyajikan 2 korpus.

Meski diperlakukan pemerintah pusat tak ubahnya sekadar

“properti”, di luar urusan ekonomi yang terkait langsung dengan

persoalan hidup sehari-hari, rasa kebangsaan masyarakat di daerah ini tak pernah surut.

(Korpus 222: Kompas, 12 Agustus 2009) Meminjam gaya ungkap Hang Tuah ketika mengobarkan semangat “tak

Melayu hilang di Bumi” pada masa silam, masyarakat Kepulauan Riau

sekarang pun masih bisa berkata lantang: tak Indonesia hilang di hati! Tapi sampai kapan?

(Korpus 223: Kompas, 12 Agustus 2009)

Pada korpus 222, kiasan yang disajikan Kompas menjelaskan masyarakat Kepulauan Riau yang hanya sebagai penonton kebijakan pemerintah yang menetapkan beberapa wilayah di Kepulauan tersebut menjadi kawasan industri, tanpa ada pembangungan dan penyediaan infrastruktur publik yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Sedangkan pada korpus 223, kiasan yang digunakan Kompas menjelaskan bahwasanya meski perhatian yang diberikan pemerintah kepada masyarakat perbatasan masih minim terkait penyediaan dan pembanguan sarana dan infrastruktur publik, namun rasa kebangsaan masyarakat perbatasan tersebut tidak pernah luntur.


(2)

commit to user

171

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN

Munculnya rubrik “Nasionalisme di Tapal Batas” di harian Kompas edisi 10 Agustus 2009 sampai dengan 21 Agustus 2009, yang menjadi kajian dalam penelitian ini menunjukkan kecenderungan Kompas, sebagai Komunikator, mempunyai perhatian khusus terhadap permasalahan di tapal batas Indonesia. Dengan memanfaatkan momentum kemerdekaan, Kompas melontarkan wacana nasionalisme melalui pemberitaan-pemberitaan yang menyorot keadaan-keadaan di tapal batas Indonesia.

Hasil analisis dalam penelitian ini mendapati adanya wacana yang digambarkan Kompas terkait nasionalisme yaitu: rasa nasionalisme di daerah-daerah perbatasan Indonesia yang kian terkikis dan terancam hilang sebagai bagian dari keutuhan bangsa Indonesia. Hal tersebut dikarenakan demokrasi dan keadailan sosial sebagai cara untuk mewujudkan dan menjaga rasa nasionalisme, minim atau bahkan belum dirasakan masyarakat perbatasan Indonesia.

Persoalan-persolaan yang dialami wilayah perbatasan sebagai wujud belum adanya demokrasi dan keadilan sosial tersebut di antaranya: daerah tapal batas Indonesia yang dituntut mandiri tanpa kehadiran serius dari negara; stigmatisasi dan ketakutan yang dirasakan masyarakat di daerah tapal batas Indonesia; kondisi pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat di tapal batas Indonesia;


(3)

commit to user

172

potensi daerah yang masih minim perhatian negara; dan pembangunan prasarana, sarana, dan infrastruktur publik yang masih minim.

Melalui wacana tersebut Kompas ingin menyampaikan pesan kepada pemerintah yang memiliki posisi ideal dalam mewujudkan nasionalisme secara utuh di Indonesia, tak terkecuali di wilayah perbatasan. Kompas menyampaikan bahwa tugas negara dalam mewujudkan nasionalisme yang utuh dan menyeluruh masih berat, hal itu ditandai dengan berbagai persoalan yang terjadi di tapal batas Indonesia dan belum ada penyelesaian yang nyata.

Sebagai media yang lekat dengan humanisme, Kompas menyajikan pemberitaan-pemberitaan terkait kondisi pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan yang masih memprihatinkan. Kompas secara intens memunculkan berita-berita terkait persoalan tersebut. Melalui pemberitaan-pemberitaan tersebut, Kompas telah melaksanakan prinsip-prinsip jurnalisme dan fungsi pers sebagai kontrol sosial dan tanggung jawab sosial. Dengan begitu, baik pemerintah maupun masyarakat luas akan memperoleh informasi dan bahan diskusi sehingga bisa memberikan kontribusi nyata dalam menyelesaikan persoalan yang ada, dalam hal ini persoalan-persoalan di wilayah perbatasan Indonesia.

B. SARAN

Penelitian ini hanya berfokus dari penafsiran level teks pada rubrik

“Nasionalisme di Tapal Batas” di harian Kompas dengan menerapkan metode


(4)

commit to user

173

berbagai wacana terkait persoalan di wilayah perbatasan yang perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan masyarakat. Dari hasil analisis yang telah disimpulkan di atas, maka peneliti memiliki beberapa saran. Pertama, penelitian ini hanya sebatas meneliti dari level teks sehingga banyak unsur subyektifitas dari peneliti. Orang lain sangat dimungkinkan mempunyai penafsiran dan interpretasi yang berbeda dalam memhami teks ini. Oleh karena itu, bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian serupa, dapat mengembangkan penelitian ini dengan menggunakan metode Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis) yang melihat penekanan konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Kedua, adanya visi, misi, dan kebijakan lain sebagai pijakan dasar sebuah media, menjadikan media tersebut mengusung wacana tertentu terkait berita yang disajikan. Oleh karena itu hendaknya media tetap berpegang teguh pada kaidah jurnalistik sehingga pemberitaan yang disajikan berimbang dan tetap faktual. Ketiga, berbagai persoalan di tapal batas yang belum mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat luas seperti yang diberitakan oleh Kompas hendaknya menjadi pertimbangan bagi pemerintah bersama masyarakat untuk lebih memperhatikan dan ikut andil menyelesaikan persoalan-persoalan di daerah tapal batas Indonesia.


(5)

commit to user

174

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Alex Sobur. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,

Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosda

Karya.

Anderson, Benedict. 2008. Imagined Communities Komunitas-Komunitas

Terbayang (alih bahasa Omi Intan Naomi). Yogyakarta: INSIST Press.

AS Haris Sumadiria. 2006. Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature

Panduan Praktis Jurnalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama

Media.

Badri Yatim. 1999. Seokarno, Islam, dan Nasionalisme. Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Brown, Gillian dan George Yule. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.

Dance Palit dkk (ed.). 1999. Dinamika Nasionalisme Indonesia. Salatiga: Yayasan Bina Darma (YBD).

Deddy Mulyana. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Eriyanto. 2005. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS.

FX Koesworo dkk. 1994. Di Balik Kuli Tinta. Surakarta: Sebelas Maret Unibersity Press dan Yayasan Pusataka Nusantara.

Ibnu Hamad. 2010. Komunikasi Sebagai Wacana, Jakarta: LaToFi.

Kovach, Bill dan Tom Rosential. 2004. Elemen-Elemen Jurnalisme. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.

Mursito BM. 2006. Memahami Institusi Media Sebuah Pengantar. Surakarta: Lindu Pustaka dan SPIKOM.

Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS.

Septian Santana. 2005. Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


(6)

commit to user

175

Sugiyanto. 2004. Analisis Statistik Sosial. Malang: Bayumedia Publishing.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Sularto (ed.). 2001. Humanisme dan Kebebasan Pers: Menyambut 70 Tahun

Jakob Oetama. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Suryo Sakti Hadiwijoyo. 2009. Batas Wilayah Negara Indonesia Dimensi, Permasalahan, dan Strategi Penanganan Sebuah Tinjauan Empiris dan

Yuridis. Yogyakarta: Gaya Media.

Tim. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Yakob Utama. 1987. Perspektif Pers Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Jurnal

Coe, Kevin dan Rico Neumann. 2011. Finding Foreigners in American National Identity: Presidential Discourse, People, and the International Community. International Journal of Communication 5 (2011), 819–840.

Murray, John. 2011. Nationalism, Patriotism, and New Subjects of Ideological

Hegemony. Journal of Philosophy: A Cross Disciplinary Inquiry 6.14

(2011): 30+. Gale Education, Religion and Humanities Lite Package.

Skripsi:

Muhammad Syofri Kurniawan. 2006. Representasi Visi Surat Kabar Dalam Foto Jurnalistik: Studi Analisis Wacana Tentang Pendidikan sebagai Representasi Visi Surat Kabar Harian Kompas dalam Foto Bencana Alam

Pergantian Tahun 2007/2008 di Jawa Tengah. Surakarta: Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.

Laporan Magang:

Bagus Sandi Tratama, 2007. Penyusunan Berita dalam Aktivitas Jurnalisme di

Harian Umum Kompas Biro Jawa Tengah. Surakarta: Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.

Makalah:

Ibnu Hamad. Perkembangan Analisis Wacana dalam Ilmu Komunikasi: Sebuah