commit to user
23 h. Menjadikan berita proporsional dan komprehensif
Berita tidak boleh menghilangkan sesuatu yang penting, serta tidak menggelembungkan fakta demi sensasi.
i. Wartawan bertanggung jawab pada nurani Wartawan harus memiliki tanggung jawab modal dalam melaporkan
berita. Diantaranya menjalankan kode etik.
4. Media Sebagai Sarana Konstruksi Realitas
Satu hal penting dalam teori komunikasi sebagai wacana communication as discourse adalah usaha untuk memproduksi realitas
dalam bentuk wacana. Usaha ini merupakan pekerjaan sentral baik dalam kegiatan komunikasi antar pribadi secara tatap muka maupun antar individu
melalui media. Dalam mengkonstruksi realitas, dengan dipengaruhi oleh faktor-faktor innocencity, internality, dan externality, para pihak
mendayagunakan bahasa strategi signing, mengatur fakta strategi framing dan menyesuaikan waktu yang tepat untuk menyampaikan pesan strategi
priming .
45
Dalam kegiatan komunikasi yang menggunakan media, praktik komunikasi mengkonstruksi realitas ini tampak semakin kentara. Hal ini
dikarenakan wacana yang dihasilkan dimediasikan, baik dalam bentuk text, talk, act,
maupun dalam bentuk artefact. Dalam membuat sebuah wacana itu, sudah dipastikan bahwa pembuatnya telah dengan sengaja mengatur tiga
45
Ibnu Hamad. 2010. Op.Cit. Hal 41
commit to user
24 strategi: signing, framing, dan priming. Mereka juga pasti sudah
mempertimbangkan faktor-faktor internal dan eksternal mereka dalam mengatur tiga strategi itu guna menciptakan efek tertentu di tengah khalayak
lihat gambar berikut
46
Konstruksi realitas atau konstruksi sosial tidak akan dapat dilepaskan dengan penggunaan simbol. Sistem simbol bunyi bermakna dan berartikulasi
dihasilkan oleh alat ucap, yang bersifat arbiter berubah-ubah dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok
manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran disebut dengan kata atau bahasa.
47
Oleh karena itu, yang dimaksud signing adalah strategi penggunaan tanda-tanda bahasa, baik bahasa verbal dalam bentuk kata-kata maupun
nonverbal dalam bentuk gambar, grafik, gerakan, dan sebagainya.
46
Ibnu Hamad. 2010. Op.Cit. Hal 45
47
Alex Sobur. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing
. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Hal 42
Bagan I. 1 Model Konstruksi Realitas Melalui Media
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Proses Kontruksi Realitas oleh
Konstrukor Discourse dalam
Media: dengan strategi signing,
framing, dan priming
Efek di Tengah
Khalaya k
commit to user
25 Dalam pembuatan wacana, sistem tanda merupakan alat utama proses
kontruksi realitas. Mengacu pada pemikiran Berger, Peter L dan Thomas Luckman, sistem tanda merupakan instrumen pokok untuk menceritakan
realitas. Proses konstruksi realitas dimulai ketika seorang konstruktor melakukan objektifikasi terhadap suatu kenyataan yakni melakukan persepsi
terhadap suatu objek. Selanjutnya, hasil dari pemaknaan melalui proses persepsi itu diinternalisasikan ke dalam diri seorang konstruktor. Dalam tahap
ini dilakukan konseptualisasi terhadap suatu objek yang dipersepsi. Langkah terakhir adalah melakukan eksternalisasi atas hasil dari proses perenungan
secara internal tadi melalui pernyataan-pernyataan. Alat untuk membuat pernyataan tersebut tiada lain adalah kata-kata atau konsep atau bahasa.
48
Strategi framing atau praktik pemilahan dan pemilihan yang tidak akan dimasukkan ke dalam wacana merupakan hal yang tak bisa dihindari
dalam pembuatan wacana. Penyebabnya adalah fakta yang terkait dengan realitas sering lebih banyak dibandingkan dengan tempat dan waktu yang
tersedia.
49
Di dunia media massa, pemilahan dan pemilihan fakta dilandasi oleh pertimbangan waktu dan tempat. Media cetak memiliki keterbatasan
kolom dan halaman; sementara pada media elektronik memiliki keterbatasan durasi dan jadwal siaran.
Sedangkan strategi priming, adalah strategi mengatur ruang atau waktu untuk pemublikasian wacana di hadapan khalayak. Dalam media massa,
praktik penonjolan suatu isu terlebih dahulu dikenal dengan teori agenda
48
Berger, Peter L dan Thomas Lukman, The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociology of Knowledge,
dalam Ibnu Hamad. 2010. Op.Cit. Hal 49-50
49
Ibid. Hal 62-63
commit to user
26 setting. Asumsi teori ini adalah perhatian masyarakat terhadap suatu isu
sangat bergantung pada kesediaan media massa memberi tempat pada isu tersebut. Semakin besar tempat yang diberikan oleh media massa semakin
besar pula perhatian yang diberikan oleh khalayak.
50
Adapun mengenai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi media dalam mengkonstruksi realitas adalah faktor innocently yang
mencakup kekurang-mampuan dan kesalah-pahaman; faktor internality karena adanya minat dan kepentingan; dan faktor externality karena adanya
sponsor dan pasar. Meskipun dalam pembuatan berita, media mengkontruksi realitas
fisikempirik menjadi realitas media simbolik dengan ketiga strategi signing, framing, priming serta adanya faktor internal dan eksternal dalam
membentuk sebuah wacana tertentu, media tetap berpegang dengan kaidah- kaidah jurnalistik yang berlaku. Sebuah berita dituntut memenuhi kaidah
5W+1H What, Where, When, Who, Why, dan How dan memiliki news value nilai berita. Secara umum, suatu kejadian dianggap mempunyai nilai berita
jika mengandung satu atau beberapa unsur di bawah ini
51
: a. Significance penting, yaitu kejadian yang berkemungkinan
mempengaruhi kehidupan orang banyak, atau mempunyai akibat
terhadap kehidupan pembaca. Misalnya berita kenaikan BBM yang menaikkan harga-harga kebutuhan lain.
50
Ibnu Hamad. 2010. Op.Cit. Hal 70-72
51
Mursito BM. 2006. Op.Cit. Hal 180-181
commit to user
27 b. Magnitude besar, yaitu kejadian menyangkut jumlah atau angka-
angka yang besar fantastis. Misalnya bencana yang merenggut ribuan jiwa.
c. Timeliness waktu, yaitu kejadian menyangkut hal-hal yang baru terjadi atau baru dikemukakan.
d. Proximity dekat, yaitu kejadian yang dekat dengan pembaca, baik secara geografis maupun emosional. Kejadian di Solo lebih
menarik perhatian masyarakat Solo dari pada orang Palembang. e. Prominence tenar, yaitu kejadian menyangkut hal-hal yang
terkenal atau populer. Misalnya berita perceraian seorang bintang film.
f. Human Interest manusiawi, yaitu kejadian yang memberikan sentuhan perasaan bagi pembaca. Misalnya kejadian yang
menyangkut orang biasa dalam situasi luar biasa, atau sebaliknya. Pada dasarnya, inti jurnalistik adalah adanya suatu fakta yang
direkontruksi kembali oleh wartawan atau lembaga media yang kemudian disampaikan kepada masyarakat luas. Dalam merekontrusksi suatu fakta,
wartawan bukan sekedar melakukan pekerjaan teknis melainkan pekerjaan intelektual, di mana wartawan memberikan interpretasinya atas suatu
peristiwa. Menurut Ignas Kleden, berita yang disajikan dalam koran misalnya,
bukanlah reproduksi mekanis dari suatu peristiwa, melainkan hasil pergulatan
commit to user
28 dan dialektika yang intens antara peristiwa tersebut dengan persepsi dan
kesadaran sang wartawan.
52
Dengan demikian, seorang wartawan tidak hanya bertugas menyampaikan berita sesuai dengan aturan jurnalistik yang presisi. Namun,
mereka juga harus bergulat dengan berbagai hal yang melibatkan tanggung jawab sosial dan integritas intelektualnya.
Bagaimana menyampaikan berita itu sehingga sanggup mencerminkan keadaan sebenarnya, tetapi sekaligus mempertimbangkan manfaat dan
kebaikan yang diberikan oleh pemberitaan itu terhadap masyarakat pembaca, sambil memberikan perspektif dan warna pemberitaan yang mencerminkan
nilai yang dianut oleh wartawan atau koran yang dilayaninya.
53
Selanjutnya, masyarakatlah yang berhak menginterpretasikan berita dan memberikan konteks tertentu atas informasi yang diterimanya.
Menurut John Fiske, ada tiga proses yang dihadapi wartawan saat menampilkan obyek, peristiwa, gagasan, kelompok, atau seseorang.
54
Level pertama adalah peristiwa yang ditandakan encode sebagai realitas. Hal ini
berkaitan dengan bagaimana peristiwa itu dikonstruksi sebagai realitas oleh wartawanmedia. Dalam tahap ini, realitas selalu siap ditandakan, ketika kita
menganggap dan mengkonstruksi peristiwa tersebut sebagi suatu realitas. Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan
berikutnya adalah bagaimana relaitas itu digambarkan. Dalam tahap ini,
52
Ignas Kleden, dalam Yakob Utama. 1987. Perspektif Pers Indonesia. Jakarta: LP3ES. Hal xiv
53
Ignas Kleden, dalam Yakob Utama. 1987. Op.Cit. Hal xiv
54
John Fiske dalam Eriyanto. 2005. Op.Cit. Hal 114
commit to user
29 digunakan perangkat secara teknis seperti kata, kalimat atau proposisi,
gambar, grafik, dan sebagainya. Pemakaian kata-kata, kalimat, atau proposisi tertentu, misalnya, membawa makna tertentu ketika diterima khalayak. Pada
tahap terakhir, bagaimana peristiwa itu diorganisir ke dalam konvensi- konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi
dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial, atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat.
Saat kita melakukan representasi, menurut Fiske, tidak bisa dihindari kemungkinan menggunakan ideologi.
55
Hal ini dikarenakan ideologi merupakan sistem kepercayaan yang darinya lahir nilai-nilai dasar visi
sebagai acuan dalam memandang dan menyikapi suatu peristiwa. Dalam setiap terbitannya, sebuah surat kabar selalu mengacu pada
kebijakan institusi surat kabar. Secara khusus mengenai penyampaian pesan yang berupa berita, surat kabar selalu mengacu pada kebijakan redaksional
surat kabar yang merupakan penjabaran dari visi surat kabar tersebut. Melalui kebijakan redaksional yang diterapkan, sebuah surat kabar akan berusaha
mewujudkan visinya sebagai media komunikasi massa dalam masyarakat. Visi itu juga memberikan bobot, warna, dan dimensi kepada kejadian-
kejadian yang diangkat menjadi bahan berita, baik dalam proses seleksi maupun dalam proses memberikan makna dan bentuk.
56
Visi surat kabar, tentu saja, menjadi visi yang dihayati bersama oleh para wartawan yang bekerja pada surat kabar tersebut. Visi atau pandangan
55
John Fiske dalam Eriyanto. 2005. Op.Cit. Hal 114
56
Yakob Utama. 1987. Op.Cit.Hal 7
commit to user
30 pokok tersebut diaktualisasikan oleh para wartawan dalam pekerjaan dan
karyanya, melalui pergulatannya dengan realitas serta pemikiran yang mereka olah menjadi berita. Nilai-nilai yang dianut inilah yang menjadikan sebuah
surat kabar tidak dapat bersikap “bebas nilai”. Ignas Kleden menyatakan bahwa, setiap penerbitan surat kabar
hendaknya mempunyai seperangkat nilai yang menjadi referensinya, baik sebagai dasar bagi visi dan posisi yang hendak dibelanya, maupun sebagai
kriteria untuk melakukan kritik terhadap diri sendiri.
57
Referensi nilai inilah yang kemudian menentukan mengapa suatu kejadian diberitakan secara massif sementara kejadian lainnya hanya
diberitakan secara singkat. Dari sinilah dapat terlihat watak dan kepribadian sebuah media.
Usaha dan perjuangan wartawan untuk tetap setia kepada referensi nilainya, sambil berikhtiar untuk mempertahankan obyektivitas dan aktualitas
pemberitaan, dan sekaligus harus memperhitungkan efek pemberitaannya untuk pembaca, sebetulnya adalah usaha untuk mencari perimbangan
maksimal antara kesetiaan kepada hati nurani wartawan dan korannya, kepentingan fakta, dan kepentingan masyarakat pembaca.
58
Hal inilah yang menjadikan tampilan dan isi surat kabar memiliki ciri khas atau karakter yang berbeda dengan surat kabar yang lain. Dengan kata
lain, surat kabar secara konsisten mempunyai kepribadian yang tercermin dalam keseluruhan isi pesan, bentuk, struktur, gaya, warna, dan dimensi; dan
57
Ignas Kleden, dalam Yakob Utama. 1987. Op.Cit. Hal xiv-xv
58
Ibid. Hal xiv-xv
commit to user
31 dengan kepribadian tersebut, surat kabar mampu membangun bersama suatu
tingkat kredibilitas tertentu.
59
5. Berita dan Feature