BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apabila ditelusuri kembali mengenai sejarah kepailitan, diketahui bahwa hukum kepailitan itu sudah ada sejak zaman Romawi tepatnya pada abad ke-19.
Kata bankrut, yang dalam bahasa Inggris disebut bankrupt berasal dari Undang- Undang yang selanjutnya disebut UU di Itali disebut dengan banca rupta. Di
Eropa, pada abad pertengahan terjadi praktek kebangkrutan, yang dalam hal ini dilakukan penghancuran bangku-bangku dari para bankir atau pedagang yang
melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para krediturnya.
1
Peraturan pada masa awal dikenalnya hukum pailit di Inggris, banyak peraturan yang mengatur mengenai larangan properti tidak dengan itikad baik
fraudulent conveyance statute atau yang sedang populer sekarang disebut dengan actio pauliana.
2
Di samping itu, dalam UU lama di Inggris tersebut juga di atur antara lain tentang hal-hal sebagai berikut:
3
1. Usaha menjangkau bagian harta debitur yang tidak diketahui to part
unknown;
1
Sunarmi, “Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia civil law system dengan Amerika Serikat common law system” jurnal, Tahun 2004, hlm. 10.
2
Ibid.
3
Ibid.
2. Usaha menjangkau debitur nakal yang mengurung diri di rumah
keeping house karena dalam hukum Inggris lama, seseorang sulit dijangkau oleh hukum jika dia berada dalam rumahnya berdasarkan
asas man’s home is his castle; 3.
Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk tinggal di tempat-tempat tertentu yang kebal hukum, tempat mana sering disebut
dengan istilah sanctuary. Mirip dengan kekebalan hukum bagi wilayah kedutaan asing dalam hukum modern;
4. Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk
menjalankan sendiri secara sukarela terhadap putusan atau hukuman tertentu, yang diajukan oleh temannya sendiri. Biasa untuk maksud ini
terlebih dahulu dilakukan rekayasa tagihan dari temannya untuk mencegah para krediturnya mengambil aset-aset tersebut.
Di Indonesia sendiri, kepailitan sudah berkembang sejak jaman penjajahan kolonial Belanda, seperti Wet Book Van Koophandel selanjutnya
disebut WVK buku ketiga yang berjudul Van de voorzieningen in geval van onvormogen van kooplieden atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang,
yang mengatur tentang kepailitan untuk pedagang, juga Reglement op de Rechtvoordering selanjutnya disebut RV Stb 1847-52 jo 1849-63, buku ketiga
bab ketujuh dengan judul Van de staat van kenneljk onvermogen atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu.
4
4
Sunarmi, Hukum Kepailitan, edisikedua, Medan: Softmedia, 2010, hlm. .
1
Dikarenakan kepailitan pada saat itu dipandang sangat sulit untuk dipelejari, rumit dan berbelit-belit maka bagi sarjana hukum Indonesia, kepailitan
kurang dikenal bahkan tidak popular dan hampir diabaikan. Hal ini dipandang karena kepailitan pada saat itu tidak menguntungkan bagi perkembangan dunia
ilmu hukum dan praktek hukum.
5
Dalam jangka waktu yang cukup panjang, pemerintah Indonesia memandang bahwa dalam dunia perekonomian, masalah utang piutang harus
diatur penyelesaiannya melalui peraturan-peraturan tertentu sebagai bentuk jaminan kepastian hukum. Pada tanggal 22 April 1998, pemerintah Indonesia
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang selanjutnya disebut Perpu yaitu Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang berlaku pada tanggal 20
Agustus 1998 dan selanjutnya dikuatkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 dan yang terakhir adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang yang hingga saat ini masih dipergunakan
6
Kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang yang selanjutnya disebut
UUK dan PKPU, adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan
Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Dalam hal ini kepailitan berfungsi sebagai emergency window, yaitu pintu keluar darurat, yang
5
Ibid.
6
Ibid, hlm. 3.
berarti bahwa kepailitan tersebut sebisa mungkin diambil sebagai jalan terakhir ketika situasi lain sudah tidak memungkinkan.
Menurut Penjelasan UUK dan PKPU, beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang
adalah: 1.
untuk menghindari perebutan harta Debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditur yang menagih piutangnya dari Debitur;
2. untuk menghindari adanya Kreditur pemegang hak jaminan
kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitur tanpa memperhatikan kepentingan Debitur atau Kreditur
lainnya; 3.
untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan salah seorang Kreditur atau Debitur sendiri.
Dengan adanya kepailitan, maka diharapkan penyelesaian utang-piutang dapat diselesaikan dengan secepat mungkin, sehingga akan mengembalikan hak-
hak dari kreditur. Utang yang timbul pada debitur pada dasarnya bukan hanya muncul dikarenakan adanya hubungan perjanjian, akan tetapi dapat timbul dari
undang-undang dan contoh yang paling jelas dalam hal ini adalah utang pajak. Utang pajak yang telah tertunggak baik itu utang pajak penghasilan, merupakan
kewajiban yang juga harus dibayarkan. Sebagaimana diketahui, Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang
pajak atas barang-barang milik penanggung pajak. Hak mendahulu adalah hak khusus yang dimiliki negara terhadap hasil lelang barang-barang milik
penanggung pajak untuk pelunasan utang kepada kreditur. Jika penanggung pajak tersebut mempunyai tunggakan berupa utang pajak, maka dengan hak mendahului
ini negara mempunyai hak atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang di muka umum. Hak mendahulu tidak mensyaratkan bahwa barang milik
penanggung pajak yang dilelang di muka umum tersebut telah dilakukan penyitaan dalam rangka penagihan pajak.
7
Jadi, dalam hal terjadi lelang barang milik penanggung pajak, maka pihak yang melakukan pelelangan wajib
mendahulukan hasil lelang tersebut untuk pelunasan utang pajak dan biaya-biaya penagihan pajak terlebih dahulu. Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan
setelah utang pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan dan biaya- biaya penagihan dilunasi.
8
1. Biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk
melelang suatu barang bergerak danatau barang tidak bergerak; Dasar hukum yang digunakan dalam hal ini sebagaimana telah dijelaskan
di atas, diatur dalam Pasal 21 ayat 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut UU
KUP, bahwa hak mendahului untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
2. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;
danatau
7
Irwan Ariwibowo, “Kreditur Preferen Dalam Pajak, Apakah Sama Dalam Versi Kepailitan?”, dalam http:www.bppk.depkeu.go.idpublikasiartikel167-artikel-pajak19557-
kreditur-preferen-dalam-pajak,-apakah-sama-dalam-versi-kepailitan. Diunduh pada tanggal 12 Desember 2014
8
Ibid
3. Biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan
penyelesaian suatu warisan. Berdasarkan ketentuan di atas maka kedudukan utang pajak merupakan
sesuatu yang istimewa, yang mana sesuatu tersebut merupakan hak yang hanya dimiliki oleh Negara. Dengan hak tersebut negara mempunyai hak mendahulu
atas barang-barang milik wajib pajakpenanggung pajak.
9
Selanjutnya di dalam Pasal 21 Ayat 1 UU KUP disebutkan mengenai posisi negara terkait utang pajak, yaitu “Menetapkan kedudukan negara sebagai
kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang di muka umum. Pembayaran kepada
kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.
10
9
Ibid.
10
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Posisi tersebut juga dipertegas didalam Pasal 21 Ayat 4 UU KUP, yakni: Dalam hal wajib pajak
dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta
wajib pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang
pajak wajib pajak tersebut. Termasuk dalam hal ini penjelasan yang ada di dalam Pasal 19 ayat 6 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa yang selanjutnya disebut UU PPSP yang menyatakan sebagai berikut: Menetapkan kedudukan Negara sebagai kreditur preferen yang
dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dijual kecuali terhadap biaya perkara yang semata-mata
disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak, biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan
barang dimaksud, atau biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. Hasil penjualan barang-barang milik
penanggung pajak terlebih dahulu untuk membayar biaya-biaya tersebut di atas dan sisanya dipergunakan untuk melunasi utang pajak.
11
Tindakan kurator yang tidak menempatkan dirjen pajak sebagai perwakilan Negara dalam hal ini dapat dilakukan pengajuan permohonan
keberatan seperti halnya yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Bojonegara yang selanjutnya disebut KPP Pratama Bandung
Bojonegara kepada Kurator PT. Metrocorp Indonusa, yaitu Saudara Drs. Bakhtiar, Msi, SPA. Lewat renvoi, KPP Pratama Bandung Bojonagara berharap
mendapatkan Rp.5.686.507.726,00 lima milyar enam ratus delapan puluh enam juta lima ratus tujuh ribu tujuh ratus dua puluh enam Rupiah dari aset-aset PT.
Metrocorp Indonusa yang pembayarannya harus didahulukan, namun dalam daftar pembagian harta pailit yang dibuat dan diumumkan oleh kurator hanya sebesar
Rp. 27.092.286,- dua puluh juta sembilan puluh dua ribu dua ratus delapan puluh enam Rupiah. Jumlah tersebut sangat jauh perbandingannya dilihat berdasarkan
jumlah yang dikeluarkan oleh pihak KPP Pratama Bandung Bojonagara dengan hasil perhitungan dari kurator PT. Metrocorp Indonusa.
12
Tindakan yang dirasa tidak adil tersebut menjadi alasan dari KPP Pratama Bandung Bojonagara melakukan keberatan hingga pada tahap kasasi.
11
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
12
Putusan Mahkamah Agung Nomor 963 KPdt.Sus2010.
Akan tetapi hingga pada tahap kasasi pun, pihak KPP Pratama Bandung Bojonagara tetap tidak mendapatkan utang pajak dari PT. Metrocorp Indonusa
sebesar Rp.5.686.507.726,00 lima milyar enam ratus delapan puluh enam juta lima ratus tujuh ribu tujuh ratus dua puluh enam Rupiah.
13
Ditolaknya keberatan yang dilakukan oleh judex factie dan judex juris tentunya sangat beralasan, dan pastinya putusan yang dibuat memiliki legal
reasoning untuk menolak keberatan KPP Pratama Bandung Bojonagara terkait jumlah pembagian harta pailit PT. Metrocorp Indonusa.
14
1. Bagaimanakah pembagian harta pailit oleh kurator dalam kepailitan wajib
pajak menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004? Berdasarkan latar belakang di atas, maka sangat menarik untuk
membahas mengenai kedudukan kantor pelayanan pajak sebagai kreditur istimewa dalam mengajukan permohonan keberatan atas pembagian harta pailit
yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak, dan juga akan ditelaah lebih lanjut mengenai aturan-aturan yang digunakan dalam prosedur keberatan tersebut.
B. Rumusan Masalah