Syarat dan Prosedur Permohonan Pailit

BAB II PEMBAGIAN HARTA PAILIT TERKAIT PENGURUSAN YANG DILAKUKAN OLEH KURATOR

A. Syarat dan Prosedur Permohonan Pailit

1. Syarat-syarat pengajuan permohonan pailit. Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur dapat dilihat pada Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU, yang berbunyi bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri atau maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Syarat-syarat permohonan pernyataan pailit dalam Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Syarat adanya dua kreditur atau lebih concursus creditorium. Di dalam Pasal 1 Angka 2 UUK dan PKPU yang dimaksud dengan kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Kreditur itu sendiri dapat merupakan kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen. Apabila kepailitan itu dimohonkan oleh seorang Kreditur, maka ia harus dapat membuktikan bahwa selain dirinya masih 40 ada lagi kreditur lain dari debitur. Syarat adanya kreditur lain adalah untuk memenuhi prinsip concursus creditorum dalam kepailitan. 39 Jika debitur hanya memiliki satu kreditur, maka eksistensi UUK dan PKPU kehilangan rasio d’etre-nya. Bila debitur hanya memiliki satu kreditur, maka seluruh harta kekayaan Debitur otomatis menjadi jaminan atas pelunasan utang debitur tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pari passu pro rata parte, dan terhadap debitur tidak dapat dituntut pailit karena hanya mempunyai satu kreditur. Adanya persyaratan concursus creditorium adalah sebagai bentuk konsekuensi berlakunya ketentuan Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek yang selanjutnya disebut BW dimana rasio kepailitan adalah jatuhnya sita umum atas semua harta benda debitur untuk kemudian setelah dilakukan rapat verifikasi utang-piutang tidak tercapai perdamaian atau accoord, dilakukan proses likuidasi atas seluruh harta benda debitur untuk kemudian dibagi-bagikan hasil perolehannya kepada semua kreditur sesuai urutan tingkat Kreditur yang telah diatur oleh undang-undang 40 UUK dan PKPU tidak mengatur secara tegas mengenai pembuktian bahwa debitur mempunyai 2 dua kreditur atau lebih, namun oleh karena di dalam hukum kepailitan berlaku pula hukum acara perdata, maka Pasal 116 HIR berlaku dalam hal ini. Pasal 116 HIR atau Pasal 1865 BW menegaskan bahwa beban wajib bukti burden of proof dipakai oleh 39 Suliarto, Op.Cit, hlm. 8. 40 Jono, Op.Cit, hlm. 5. pemohon atau penggugat untuk membuktikan diri posita gugatannya, 41 maka sesuai dengan prinsip pembebanan wajib bukti di atas, pemohon pernyataan pailit harus dapat membuktikan bahwa debitur mempunyai dua atau lebih kreditur sebagaimana telah dipersyaratkan oleh UUK dan PKPU. 42 Ketentuan mengenai adanya syarat dua atau lebih kreditur di dalam permohonan pernyataan pailit mengharuskan kita mengetahui terlebih dahulu mengenai defenisi dari kreditur itu sendiri. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan yang selanjutnya disebut UUK Lama tidak memberikan definisi yang jelas mengenai “kreditur”. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, harus dibedakan pengertian kreditur dalam kalimat “...mempunyai dua atau lebih kreditur…”, dan “...atas permohonan seorang atau lebih krediturnya. 43 Di dalam kalimat pertama, yang dimaksud kreditur adalah sembarang kreditur, baik kreditur separatis, kreditur preferen, maupun kreditur konkuren. Sedangkan dalam kalimat kedua, kata “kreditur” disini dimaksudkan untuk kreditur konkuren. Kreditur konkuren berlaku dalam definisi kreditur pada kalimat kedua dikarenakan seorang kreditur separatis tidak mempunyai kepentingan untuk diberi hak mengajukan permohonan pernyataan pailit mengingat kreditur separatis telah terjamin sumber 41 Pasal 116 HIR dan Pasal 1865 Burgerlijk Wetboek.. 42 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 64-65. 43 Jono, Op.Cit, hlm. 8. pelunasan tagihannya, yaitu dari barang agunan yang dibebani dengan hak jaminan. 44 Pendapat Sutan Remy Sjahdeini ini diperkuat pula oleh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 07 KN1999 tanggal 4 Februari 1999 yang mengemukakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa kreditur separatis yang tidak melepaskan haknya terlebih dahulu sebagai kreditur separatis, bukanlah kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 1 UUK Lama. 45 Berdasarkan UUK dan PKPU, maka kreditur separatis dan kreditur preferen dapat tampil sebagai kreditur konkuren tanpa harus melepaskan hak-hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya, tetapi dengan catatan bahwa kreditur separatis dan kreditur preferen dapat membuktikan bahwa benda yang menjadi agunan tidak cukup untuk melunasi utangnya debitur pailit. Dengan disahkannya UUK dan PKPU, maka diperoleh pengertian “kreditur” sebagaimana terdapat di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU. Berkaitan dengan ada tidaknya pelepasan hak agunan kreditur separatis terhadap pengajuan permohonan pailit, terhadap kreditur telah diatur secara jelas di dalam Pasal 138 UUK dan PKPU. 46 44 Ibid, hlm. 9. 45 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 65. 46 Jono, Op.Cit, hlm. 10. b. Syarat harus adanya utang. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UUK, utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia, maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontingen, yang timbul karena perjanjian atau UU dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi member hak kepada kreditur untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Syarat ini diperlukan karena tanpa adanya utang, maka debitur tidak memiliki kewajiban yang harus dibayar kepada para kreditur, sehingga tidak dapat dimintakan permohonan pailit. c. Syarat cukup satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Seperti dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 UUK yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan utang yang telah jatuh tempo adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwanang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. Syarat bahwa utang harus telah jatuh tempo dan dapat ditagih menunjukan bahwa Kreditur sudah mempunyai hak untuk menuntut debitur untuk memenuhi prestasinya. “Penagihan” disini diartikan suatu pemberitahuan oleh pihak kreditur bahwa pihak kreditur ingin supaya debitur melaksanakan janjinya, yaitu dengan segera atau pada suatu waktu yang disebut dalam pemberitahuan itu. Faktor “waktu” adalah penting dalam hal perjanjian, terutama dikalangan bisnis. Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa dalam suatu perjanjian kedua belah pihak ada keinginan supaya selekas mungkin tujuan dari perjanjian terlaksana, yaitu pihak kreditur supaya lekas merasakan kenikmatan yang terletak pada pelaksanaan janji, sedang pihak debitur supaya lekas terlepas dari suatu ikatan, yang dampaknya akan sedikit menekan jiwanya. 47 Suatu utang dapat ditagih jika utang tersebut bukan utang yang timbul dari perikatan alami natuurlijke verbintensis. Perikatan yang pemenuhannya tidak dapat dituntut di muka pengadilan dan yang lazimnya disebut perikatan alami tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk mengajukan permohonan pailit. Perikatan alami adalah semisal perikatan yang oleh ketentuan perundang-undangan dinyatakan tidak dapat dituntut pemenuhannya karena perjudian atau pertaruhan Pasal 1788 KUH Perdata, maupun sesudahnya sebagai akibat telah terjadinya kadaluwarsa pasal 1967 KUH Perdata. 48 Keadaan insolvent atau keadaan dimana debitur tidak mampu membayar utang-utangnya pada para kreditur, menunjukkan bahwa debitur tidak lagi mampu untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditur dan kreditur terancam tidak dapat menerima hak berupa pembayaran utang dari debiturnya. Ketidakmampuan debitur tersebut merupakan hak yang sangat d. Debitur berada dalam keadaan insolvent, yaitu keadaan dimana debitur tidak lagi mampu membayar utang-utangnya kepada para kreditur. 47 Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan, Bandung : Mandar Maju, 1999, hlm. 15. 48 Emmy Yuhassrie ed, Undang-undang Kepailitan dan Perkembangannya, Jakarta: Pusat pengkajian Hukum 2004, hlm.20-21. penting didalam kepailitan karena dengan adanya ketidakmampuan tersebut kreditur dapat melakukan eksekusi terhadap kekayaan debitur melalui putusan pengadilan sehingga kreditur dapat menerima haknya. 2. Prosedur permohonan pailit. A Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit UUK dan PKPU telah menentukan pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, yaitu: 49 1. Debitur sendiri Debitur dapat mengajukan permohonan pailit untuk dirinya sendiri voluntary petition, yang biasanya dilakukan dengan alasan bahwa dirinya maupun kegiatan usaha yang dijalankannya tidak mampu lagi untuk melaksanakan seluruh kewajibannya, terutama dalam melakukan pembayaran utang-utangnya terhadap para krediturnya. Dalam memeriksa dan menyelesaikan permohonan pailit terhadap debitur itu sendiri voluntary petition. Ketentuan tentang voluntary petition ini dianut oleh banyak negara, meskipun terhadap suatu kekhawatiran bahwa debitur dapat beritikad buruk dengan mengajukan permohonan pailit sebagai alasan untuk menghindarkan pembayaran utang-utangnya kepada krediturnya. 49 Sunarmi, Op.Cit., hlm. 40-42. Berkaitan dengan voluntary petition ini, Retno Wulan Sutantio mengemukakan kemungkinan terjadinya masalah-masalah sebagai berikut: a. Permohonan pailit yang diajukan oleh debitur yang dilakukan dengan sengaja setelah membuat utang kanan kiri dengan maksud untuk tidak membayar, maka permohonan tersebut akan ditolak oleh Pengadilan Niaga. Perbuatan tersebut dalam bahasa Belanda disebut “knevelarij” dan diancam dengan Pasal 79 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan hukuman penjara 4 tahun. b. Permohonan pailit diajukan oleh teman baik atau keluarga debitur dengan alasan yang tidak kuat, sehingga permohonan itu tidak akan diterima atau ditolak oleh Pengadilan Niaga. Tindakan ini dilakukan dengan maksud untuk menghambat agar kreditur lain tidak mengajukan permohonan pailit terhadap debitur tersebut atau setidak-tidaknya akan menghambat kreditur lain mengajukan permohonan pailit. 2. Satu atau lebih kreditur 50 Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU dengan tegas menyatakan bahwa satu atau lebih kreditur pailit dapat mengajukan permohonan pailit. UUK dan PKPU pada penjelasan Pasal 2 ayat 1 mengenal 3 50 http:bisdan-sigalingging.blogspot.com201410jenis-jenis-kreditor-dalam hukum.html diakses tanggal 31 Maret 2015. tiga jenis kreditur yaitu kreditur konkuren, kreditur separatis dan kreditur preferen. Khusus mengenai kreditur separatis dan kreditur preferen, dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitur dan haknya untuk didahulukan. Pembagian kreditur dalam kepailitan sesuai dengan prinsip structured creditors atau prinsip structured prorata yang diartikan sebagai prinsip yang mengklasifikasikan atau mengelompokkan berbagai macam kreditur sesuai dengan kelasnya masing-masing antara lain kreditur separatis, preferen, dan konkruen. Pembagian hasil penjualan harta pailit, dilakukan berdasarkan urutan prioritas di mana kreditur yang kedudukannnya lebih tinggi mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditur lain yang kedudukannya lebih rendah, dan antara kreditur yang memiliki tingkatan yang sama memperoleh pembayaran dengan asas prorata pari passu prorata parte. Kreditur separatis adalah kreditur pemegang hak jaminan terhadap hipotek, gadai, hak tanggungan, dan jaminan fidusia. Kreditur preferen adalah kreditur yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa. Kreditur preferen terdiri dari kreditur preferen khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 1139 KUHPerdata, dan kreditur preferen umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1149 KUHPerdata. Kreditur konkuren adalah kreditur yang mempunyai hak mendapatkan pelunasan secara bersama-sama tanpa hak yang didahulukan, dihitung besarnya piutang masing-masing terhadap piutang secara keseluruhan dari seluruh harta kekayaan debitur. Kreditur konkruen merupakan kreditur yang biasa yang tidak dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hipotik, dan hak tanggungan dan pembayarannya dilakukan secara berimbang. Kreditur inilah yang umum melaksanakan prinsip pari passu prorata parte, pelunasan secara bersama-sama tanpa hak yang didahulukan, dihitung besarnya piutang masing-masing terhadap piutang secara keseluruhan dari seluruh kekayaan debitur 3. Kejaksaan 51 Undang-undang kepailitan telah memberikan kewenangan kepada kejaksaan dalam kepailitan yaitu : pertama, Pasal 2 ayat 2 UU No. 4 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000, bahwa: “kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepailitan demi kepentingan umum.” kedua, Pasal 10 ayat 1 menyatakan bahwa: “kejaksaan dapat mengajukan permohonan agar pengadilan meletakkan sita jaminan terhadap sebagianatau seluruh kekayaan debitur dalam perkara kepailitan.” ketiga, Pasal 93 ayat 1 dan Pasal 93 ayat 2 yang menentukan bahwa: “pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditur atau lebih setelah mendengarkan 51 Sunarmi, Op.Cit., hlm. 48-59. keterangan hakim pengawas dapat memerintahkan supaya debitur pailit ditahan, baik ditempatkan di rumah tahanan maupun di rumahnya sendiri, di bawah pengawasan Jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas. Perintah penahanan dilaksanakan oleh Kejaksaan yang ditunjuk oleh hakim pengawas. Penjelasan Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU menyebutkan: “Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum, dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 telah terpenuhi dan tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pailit”. Yang dimaksud “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas, misalnya: a. Debitur melarikan diri b. Debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaan c. Debitur mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat d. Debitur mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas e. Debitur tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu atau f. Dalam hal lainnya menurut Kejaksaan merupakan kepentingan umum. Penjelasan Pasal 2 menyebutkan bahwa, dalam permohonan pernyataan pailit tersebut, Kejaksaan dapat melaksanakannya atas inisiatif sendiri atau berdasarkan masukan dari masyarakat atau lembaga instansi pemerintah atau badan lain yang dibentuk oleh pemerintah seperti Komite Kebijakan Sektor Keuangan. 4. Bank Indonesia. Untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan memberikan keputusan untuk dinyatakan pailit suatu bank, haruslah terdapat keterlibatan Bank Indonesia. Sebab Bank Indonesia merupakan bank sentral yang menentukan kebijakan perbankan Indonesia, yang mempunyai kewenangan untuk memberi izin usaha. 52 a. kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan Pasal 1 angka 1 UU OJK menyatakan otoritas jasa keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. Otoritas jasa keuangan berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Pasal 6 UU OJK mengatur tugas otoritas jasa keuangan, yaitu: “otoritas jasa keuangan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: b. kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal 52 Sutan Remy Sjahdeini, “Undang-Undang Kepailitan: Dalam Perspektif Hukum, Politik dan Ekonomi” Makalah ini disajikan pada tanggal 7 Mei 1998 di Jakarta. c. kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.” Sebelum adanya OJK, tugas-tugas di atas dilaksanakan oleh Menteri Keuangan, BAPEPAM dan Lembaga Keuangan dan Bank Indonesia. 5. BAPEPAM Debitur adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh BAPEPAM. Akan tetapi setelah dikeluarkannya UU OJK, otoritas jasa keuangan menggantikan kedudukan BAPEPAM. 6. Menteri keuangan. Debitur adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh menteri keuangan. Mengacu kepada ketentuan Pasal 55 ayat 1 Jo Pasal 55 ayat 2 UU OJK hanya BAPEPAM yang mengalihkan seluruh fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan keuangan di sektor pasar modal kepada otoritas jasa keuangan, sedangkan terhadap bank indonesia dan menteri keuangan masih menjalankan tugas dan wewenang lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Oleh sebab itu dengan adanya otoritas jasa keuangan, otomatis telah mengubah prosedur permohonan pailit terbatas pada perusahaan perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian yang dahulu menjadi kewenangan BAPEPAM, kemudian kewenangan tersebut beralih ke otoritas jasa keuangan. BProsedur pemgajuan permohonan pailit Proses kepailitan dimulai dengan adanya suatu permohonan pailit terhadap debitur yang diajukan oleh satu atau lebih krediturnya ke pengadilan yang selanjutnya mengeluarkan putusan yang menyatakan debitur tersebut dalam keadaan pailit. Pengadilan yang berwenang untuk memproses, memeriksa dan mengadili perkara kepailitan adalah Pengadilan Niaga, yaitu pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Berdasarkan Pasal 306 UUK, Pengadilan Niaga yang dibentuk berdasarkan Pasal 281 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi UUK Lama dinyatakan tetap berwenang dan memutus perkara yang menjadi lingkup tugas Pengadilan Niaga. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden keppres Republik Indonesia Nomor 97 tahun 1999, Pemerintah telah membentuk Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang. Berdasarkan Pasal 6 dan 7 UUK dan PKPU, mekanisme dalam mengajukan permohonan pailit pada Pengadilan Niaga adalah sebagai berikut: 1. Surat permohonan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Pasal 6 ayat 1 UUK dan PKPU. 2. Permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitur sendiri atau oleh kreditur, dilakukan oleh seorang advokat Pasal 7 ayat 1 UUK dan PKPU. 3. Panitera mendaftar permohonan pernyataan pailit tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan Pasal 6 ayat 2 UUK dan PKPU. 4. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga paling lambat 2 dua hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan Pasal 6 ayat 4 UUK dan PKPU. 5. Dalam jangka waktu paling lambat 3 tiga hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, Pengadilan Niaga mempelajari permohonan tersebut dan menetapkan hari sidang Pasal 6 ayat 5 UUK dan PKPU. 6. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 dua puluh hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan Pasal 6 ayat 6 UUK dan PKPU. 7. Persidangan terhadap permohonan kepailitan itu dapat ditunda paling lambat 25 hari apabila ada permohonan dari debitur dan adanya alasan-alasan yang cukup mendasar. Pada sidang itulah hakim akan mendengar keterangan pemohon, termohon, saksi-saksi dan memeriksa alat-alat bukti yang relevan Pasal 6 ayat 7 UUK dan PKPU. 8. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah dipenuhi Pasal 8 ayat 4 UUK dan PKPU. 9. Putusan permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 enam puluh hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan Pasal 8 ayat 5 UUK dan PKPU. Adanya batasan jangka waktu dalam proses pemeriksaan memberikan kepastian bagi para pihak menyangkut waktu yang dibutuhkan dan estimasi biaya- biaya termasuk biaya pengacara dalam rangka permohonan kepailitan ini. Pembatasan itu juga dapat mempersempit atau memperkecil kemungkinan rusaknya aset atau dilarikan oleh debitur. C Akibat hukum pailit Putusan pailit yang ditetapkan Pengadilan Niaga kepada debitur didasarkan pada Pasal 21 UUK dan PKPU yang menyebutkan bahwa, kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Adapun akibat dijatuhkannya pailit kepada debitur adalah: 53 1. Debitur kehilangan segala haknya untuk menguasai dan mengurus atas kekayaan harta bendanya asetnya, baik menjual, menggadai, dan lain 53 Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005, hlm. 134 sebagainya, serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan; 2. Utang-utang baru tidak lagi dijamin oleh kekayaannya; 3. Untuk melindungi kepentingan kreditur, selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, kreditur dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk: a. Meletakkan sita jaminan sebagian atau seluruh kekayaan debitur; b. Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha debitur, menerima pembayaran kreditur, pengalihan atau penggunaan kekayaan debitur; c. Harus diumumkan di 2 dua surat kabar. Adapun ketentuan pasal 21 UUK dan PKPU di atas tidak berlaku terhadap: 1. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitur dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 tiga puluh hari bagi debitur dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu; 2. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas; atau 3. Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut UU. Adapun akibat-akibat yuridis dari putusan pailit terhadap harta kekayaan debitur terhadap kreditur adalah sebagai berikut antara lain: a. Putusan pailit dapat dijalankan terlebih dahulu Putusan pengadilan merupakan serta merta dan dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan pailit dan dilakukan suatu upaya hukum lanjut. Apabila putusan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya upaya hukum tersebut, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan, maka tetap sah dan mengikat bagi debitur. b. Sita umum Harta kekayaan debitur yang masuk harta pailit merupakan sitaan umum public attachement, gerechtelijk beslag beserta apa yang diperoleh selama kepailitan. Dalam Pasal 21 UUK dan PKPU dijelaskan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Sita umum terhadap harta kepailitan tidak memerlukan suatu tindakan khusus untuk melakukan sitaan tersebut. Dengan adanya sitaan umum tersebut, maka harta pailit dalam status dihentikan dari segala transaksi dan perbuatan hukum lainnya sampai harta pailit tersebut diurus oleh kurator. Dalam sitaan hukum perdata yang secara khusus dilakukan dengan suatu tindakan hukum tertentu. Dengan demikian sitaan umum terhadap harta pailit adalah terjadi demi hukum. c. Kehilangan wewenang dalam harta pailit Debitur pailit demi hukum kehilangan haknya untuk mengurus dan melakukan perbuatan kepemiikan terhadap harta kekayaan yang termasuk dalam pailit. 54 d. Perikatan setelah pailit Kehilangan hak bebasnya tersebut hanya terbatas pada harta kekayaan dan tidak terhadap status pribadinya. Debitur yang dalam status pailit, tidak hilang hak-hak keperdataannya serta hak-hak selaku warga negara seperti hak politik dan hak privat lainnya Segala perikatan debitur yang telah mendapatkan putusan pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit. Apabila dilanggar oleh yang pailit, maka perbuatan tidak mengikat kekayaannya tersebut, kecuali perikatan tersebut mendatangkan keuntungan terhadap harta pailit. Ketentuan ini sering sekali diselundupi dengan membuat perikatan yang di-antedateer ditanggali mundur ke belakang dan bahkan sering terjadi adanya kreditur fiktif untuk kepentingan si debitur pailit. 55 e. Penetapan putusan pengadilan sebelumnya Pernyataan pailit juga berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus diberhentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk juga dengan menyandera debitur. 56 54 Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.. 55 Pasal 25 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 56 Pasal 31 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan hakim pengawas harus memerintahkan pencoretannya. 57 Debitur pailit dikatakan sebagai wajib pajak juga dipertegas dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 3 UU KUP, yang menyatakan wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Badan yang dimaksud dalam hal ini adalah sekumpulan orang danatau modal yang

B. Pengurusan Harta Pailit

Dokumen yang terkait

Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika)

1 38 128

Analisis Terhadap Keabsahan Putusan Perceraian Dan Pembagian Harta Bersama Yang Dikeluarkan Oleh Hakim Dari Negara Lain (Singapura) Terhadap Warga Negara Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003), 2012

5 77 142

Analisis Yuridis Pembagian Harta Bersama Milik Orang Tua Yang Dilakukan Anak Di Kala Kedua Orang Tua Masih Hidup (Putusan MA Tanggal 27 OktobeR 2004, NO. 1187 K/PDT/2000)

2 36 152

Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan

4 71 124

Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 k/ag/1999)

0 55 136

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

KEDUDUKAN NOTARIS SEBAGAI KREDITOR DALAM KEPAILITAN (Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 651 K/Pdt.Sus-Pailit/2014)

5 59 42

ANALISIS KEWENANGAN KURATOR DALAM MELAKUKAN PEMBERESAN HARTA/BOEDEL PAILIT (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 769 K/Pdt.Sus-Pailit/2016).

6 12 13

BAB II PEMBAGIAN HARTA PAILIT TERKAIT PENGURUSAN YANG DILAKUKAN OLEH KURATOR A. Syarat dan Prosedur Permohonan Pailit - Kedudukan Kantor Pelayanan Pajak Sebagai Kreditur Istimewa Dalam Mengajukan Keberatan Atas Pembagian Harta Pailit (Study Terhadap Putus

0 0 37

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kedudukan Kantor Pelayanan Pajak Sebagai Kreditur Istimewa Dalam Mengajukan Keberatan Atas Pembagian Harta Pailit (Study Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 963 K/Pdt.Sus/2010)

0 0 39