1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu. Tanpa kesehatan yang prima, akan menyebabkan individu mengalami kendala dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari seperti dalam fungsi bekerja, bersekolah, olahraga, makan, dan sebagainya. Disamping itu, dengan memiliki kesehatan yang prima akan
membuat individu lebih efektif dalam menjalankan peran yang dimiliki dalam kehidupan. Kesehatan didefinisikan sebagai keadaan sempurna fisik, mental, dan
kesejahteraan sosial serta tidak semata-mata berupa ketiadaannya penyakit atau kelemahan World Health Organization [WHO], 2015.
Salah satu permasalahan kesehatan yang menjadi perbincangan di dunia adalah HIV-AIDS. Menurut Departemen Kesehatan RI [Depkes RI] 2006, Human
Immunodeficiency Virus HIV merupakan virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome AIDS. Virus HIV menyerang sel darah putih yang bernama
limfosit T helper yang memiliki reseptor CD4 dipermukaannya Depkes RI, 2006. Limfosit T helper berfungsi untuk menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai
perangsang pertumbuhan dan pembentukan antibodi tubuh. Kerusakan sel limfosit T dapat menyebabkan kerusakan sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS merupakan
kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh perkembangbiakan virus HIV dan apabila tidak mendapat penanganan akan menyebabkan munculnya infeksi
oportunistik Nettina, 2006. Infeksi oportunistik menurut Gunung, Sumantera, Sawitri, dan Wirawan 2003 merupakan penyakit yang disebabkan oleh organisme
yang biasanya tidak menimbulkan penyakit bila sistem imun tubuh dalam keadaan
2
normal. HIV memperbanyak diri dalam sel limfosit yang diinfeksinya dan merusak sel limfosit, sehingga mengakibatkan sistem imun terganggu dan daya tahan tubuh
berangsur-angsur menurun. Daya tahan tubuh yang melemah, mengakibatkan risiko timbulnya penyakit oleh karena infeksi ataupun penyakit lain akan meningkat.
Terdapat perbedaan antara HIV dan AIDS yang selama ini belum jelas dipahami oleh masyarakat. HIV merupakan virus penyebab AIDS, namun individu
yang terinfeksi HIV belum tentu akan berlanjut menjadi AIDS. AIDS berkembang pada tahapan terakhir dari fase infeksi HIV Stolley Glass, 2009. Individu yang
terinfeksi HIV disebut sebagai individu berstatus HIV positif. Individu yang berstatus HIV positif belum tentu berkembang menjadi AIDS karena dipengaruhi berbagai
faktor seperti pola hidup serta penanganan medis yang dijalani, salah satunya konsumsi obat antiretroviral ARV. Bagi individu dengan HIV positif, ARV
berfungsi untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh agar tidak masuk ke stadium AIDS, sedangkan bagi individu dengan AIDS memerlukan pengobatan ARV
untuk mencegah infeksi oportunistik dengan berbagai komplikasinya Gunung, dkk, 2003. Gunung, dkk 2003 menambahkan bahwa individu yang berstatus HIV positif
dapat tetap hidup sehat bahkan berdaya seperti manusia pada umumnya, individu berstatus HIV positif dapat tetap hidup positif, bekerja ataupun menjalankan hobi.
HIV-AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan global yang penting karena jumlah penderita dan tingkat kematian yang tinggi. Laporan temuan United
Nations Programme on HIV-AIDS [UNAIDS] 2014 menemukan bahwa pada tahun 2013 terdapat 35 juta individu berstatus HIV positif di seluruh dunia UNAIDS, 2014.
Masalah HIV-AIDS diyakini bagaikan fenomena gunung es karena laporan resmi jumlah kasus tidak mencerminkan masalah yang sebenarnya Hardisman, 2009.
3
Kasus HIV-AIDS yang terungkap hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah kasus yang terjadi, oleh karena itu tidak dapat mencerminkan masalah yang sebenarnya.
Individu yang berstatus HIV positif di seluruh dunia, sejak tahun 2001 hingga tahun 2013 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Lebih lanjut, UNAIDS
2014 menemukan bahwa angka infeksi baru HIV serta kematian akibat AIDS mengalami penurunan. Hal ini disebabkan semakin meningkatnya angka individu
dengan HIV-AIDS yang menjalani pengobatan sehingga risiko kematian dapat diminimalisir. Lebih lanjut ditunjukkan dalam Tabel 1. Data Global Statistik HIV-
AIDS Tahun 2001-2013.
Tabel 1. Data Global Statistik HIV-AIDS Tahun 2001-2013 Dalam Rata-Rata
Individu HIV Positif
Baru Terinfeksi
HIV Kematian
Akibat AIDS Individu dengan HIV-
AIDS Yang Menjalani
Pengobatan 2001
29.8 juta 3.4 juta
2.0 juta
2002 30.7 juta
3.3 juta 2.1 juta
2003 31.4 juta
3.1 juta 2.3 juta
2004 31.8 juta
3.0 juta 2.4 juta
2005 32.1 juta
2.9 juta 2.4 juta
2006 32.4 juta
2.8 juta 2.3 juta
2007 32.4 juta
2.7 juta 2.2 juta
2008 33.1 juta
2.6 juta 2.1 juta
2009 33.4 juta
2.5 juta 2.0 juta
5.2 juta
2010 33.8 juta
2.5 juta 1.9 juta
7.4 juta
2011 34.2 juta
2.4 juta 1.8 juta
9.0 juta
2012 34.6 juta
2.2 juta 1.7 juta
10.6 juta
2013 35.0 juta
2.1 juta 1.5 juta
12.9 juta
Hardisman 2009 menemukan bahwa kasus HIV-AIDS di Indonesia yang dilaporkan secara resmi relatif lebih rendah daripada kasus yang dilaporkan oleh
sejumlah negara di Asia Pasifik seperti Thailand, India, Cina, Kamboja dan Papua Nugini. Hardisman 2009 lebih lanjut mengungkapkan bahwa infeksi HIV-AIDS di
Indonesia berkembang menjadi suatu ancaman nasional dengan mengacu pada dua indikator. Pertama, sejak 10 tahun terakhir jumlah kasus HIV-AIDS memperlihatkan
kecenderungan peningkatan. Kedua, jumlah kasus HIV-AIDS yang dilaporkan tidak
Indikator Tahun
Sumber : UNAIDS, 2014
4
mencerminkan kondisi yang sesungguhnya di dalam masyarakat Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara di Asia dengan epidemi HIV-AIDS yang berkembang
paling cepat UNAIDS, 2009. Data kasus HIV-AIDS secara nasional pada tahun 2014 mulai 1 Januari hingga 30 September 2014 menemukan terjadi 22.869 kasus HIV dan
1876 kasus AIDS Kemenkes RI, 2014. Bali adalah salah satu provinsi di Indonesia yang mengalami pertumbuhan
jumlah individu dengan HIV-AIDS yang sangat cepat. Bali menduduki peringkat ke 3 sebagai provinsi dengan prevalensi kasus HIV-AIDS tercepat di Indonesia Kemenkes
RI, 2014. Hingga tahun 2014, prevalensi kasus HIV-AIDS di Bali mencapai 109.52 per 100.000 penduduk di Bali Kemenkes RI, 2014. Jumlah kasus HIV di Bali yang
dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Bali [Dinkes Pemprov Bali] 2016 menunjukkan bahwa secara kumulatif, hingga Desember 2015 kasus AIDS di
Bali mencapai 5.910 kasus, sedangkan kasus HIV mencapai 7.456 kasus. Kasus HIV- AIDS di Bali berada pada tingkat epidemik terkonsentrasi concentrated level
epidemic karena prevalensi HIV pada subpopulasi tertentu yaitu pengguna narkoba suntik, perempuan pekerja seksual langsung serta narapidana mencapai lebih dari 5
secara terus menerus serta pada ibu hamil kurang dari 1 Dinkes Pemprov Bali, 2016.
Tabel 2. Situasi Kasus HIV-AIDS Provinsi Bali Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin Kumulatif dari tahun 1987 sd Desember 2015 menunjukkan bahwa
individu dengan HIV-AIDS di Bali terpusat pada golongan usia 20 – 49 tahun Dinkes
Pemprov Bali, 2016. Menurut Hurlock 1980, masa dewasa dibagi menjadi tiga pembagian usia, yakni dewasa awal yang dimulai sejak usia 18 tahun hingga 40 tahun.
Dewasa madya dimulai pada usia 40 tahun hingga 60 tahun. Dewasa lanjut lanjut
5
usia dimulai pada umur 60 tahun hingga kematian. Hal ini menunjukkan bahwa kasus HIV-AIDS di Bali paling banyak terjadi pada kategori usia dewasa awal hingga
madya.
Tabel 2. Situasi Kasus HIV-AIDS Provinsi Bali Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin Kumulatif dari tahun 1987 sd Desember 2015
Kelompok Usia Total Kasus AIDS
Total Kasus HIV Total
Total 1
79 49
128 1.0
1-4 164
161 325
2.4
5-14 38
43 81
0.6
15-19 88
176 264
2.0
20-29 1.889
3.186 5.075
38.0
30-39 2.197
2.581 4.778
35.7
40-49 1.021
902 1.923
14.4
50-59 326
274 600
4.5
60 98
68 166
1.2
Tidak diketahui 10
16 26
0.2
Total 5.910
7.456 13.366
100.0
Sumber : Dinkes Pemprov Bali, 2016
Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara jumlah individu yang terinfeksi HIV-AIDS berdasarkan jenis kelamin. Dinkes Pemprov Bali 2016
menghimpun data situasi kasus berdasarkan rate kumulatif kasus HIV-AIDS berdasarkan faktor hubungan heteroseksual. Ditemukan bahwa hingga tahun 2015,
invidivu yang berstatus AIDS positif dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 3.114 orang, sedangkan perempuan berjumlah 1.748 orang. Individu yang berstatus HIV
positif dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 2.676 orang, sedangkan perempuan berjumlah 2.918 orang Dinkes Pemprov Bali, 2016. Spesifik pada provinsi Bali,
jumlah kasus AIDS pada jenis kelamin laki-laki lebih tinggi daripada jumlah kasus AIDS pada perempuan, sebaliknya jumlah kasus HIV pada jenis kelamin perempuan
lebih tinggi daripada jumlah kasus HIV pada laki-laki. Secara keseluruhan, laki-laki tetap menjadi jenis kelamin dengan temuan kasus
HIV-AIDS terbanyak, akan tetapi kasus HIV-AIDS pada perempuan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Secara kumulatif dari tahun 2011 hingga 2015, jumlah
6
perempuan di Bali yang baru terinfeksi HIV-AIDS terus mengalami peningkatan, yang ditunjukkan dalam Gambar 1. Situasi Kasus HIV menurut Jenis Kelamin per-Tahun
Provinsi Bali Kumulatif dari Tahun 2011 sd Desember 2015.
Gambar 1. Situasi Kasus HIV menurut Jenis Kelamin per-Tahun Provinsi Bali Kumulatif dari Tahun 2011 sd Desember 2015
United Nations Childrens Emergency Fund Indonesia [UNICEF Indonesia] 2012 yang menemukan bahwa terjadi peningkatan feminisasi dalam epidemi
fenomena HIV-AIDS di Indonesia. Hal ini didukung dengan riset yang dilakukan oleh Kemenkes RI pada tahun 2011 dalam UNICEF Indonesia, 2012 yang menemukan
bahwa proporsi perempuan untuk infeksi baru HIV di Indonesia telah mengalami peningkatan dari 34 pada tahun 2008 menjadi 44 pada tahun 2011 dan akan terus
meningkat tiap tahunnya. Perempuan lebih rentan terinfeksi HIV sebagai akibat dari
adanya peran tradisional yang dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat UNICEF Indonesia, 2012.
Kasus HIV-AIDS pada jenis kelamin perempuan dengan penggolongan usia dewasa baik dewasa awal ataupun dewasa madya akan terjadi dan meningkat setiap
tahunnya. Umumnya, perempuan usia dewasa menjalankan peran sebagai seorang ibu
805 824
876 1318
1547 466
648 610
903 1009
500 1000
1500 2000
2500 3000
2011 2012
2013 2014
2015
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2016
Perempuan Laki-laki
7
rumah tangga. Hal ini sejalan dengan riset yang dilakukan oleh Kemenkes RI pada tahun 2013 terkait Estimasi dan Proyeksi HIV-AIDS di Indonesia Tahun 2011-2016
yang menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah infeksi HIV-AIDS pada kelompok perempuan berisiko rendah, yakni ibu rumah tangga Kemenkes RI, 2013.
Hingga saat ini, belum terdapat data pasti terkait jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV-AIDS. Hal ini disebabkan rendahnya kesadaran individu dengan HIV-
AIDS untuk melakukan pendataan secara resmi dengan menggunakan kartu tanda penduduk, sehingga tidak dapat dilakukan pencatatan secara pasti perihal jumlah ibu
rumah tangga yang terinfeksi HIV-AIDS. Secara global, terdapat empat populasi dengan perilaku risiko tinggi yang
berpotensi dalam penularan HIV-AIDS yakni perempuan pekerja seksual dan pelanggannya, pengguna narkoba suntik, pelaku hubungan seksual antara sesama laki-
laki homoseksual, dan individu yang secara rutin berhubungan heteroseksual dengan banyak partner WHO, 2012. Populasi yang berisiko tinggi dalam penularan HIV-
AIDS di Indonesia, yakni pengguna narkoba suntik, perempuan pekerja seksual transgender dan perempuan serta laki-laki yang berhubungan seks sesama laki-laki
UNAIDS, 2009. Ibu rumah tangga tidak termasuk dalam populasi berisiko tinggi. Lebih lanjut
menurut Kemenkes RI 2013 menyatakan bahwa ibu rumah tangga dikatakan sebagai kelompok perempuan berisiko rendah karena terinfeksi melalui hubungan seksual
dengan pasangan suami yang telah terinfeksi sebelumnya dan ibu rumah tangga tidak secara langsung melakukan perilaku berisiko yang dapat mengakibatkan HIV-AIDS.
Risiko penularan HIV-AIDS tidak hanya terbatas pada populasi dengan perilaku risiko tinggi, tetapi lebih luas daripada itu. Infeksi HIV-AIDS tidak pandang bulu, HIV-
8
AIDS dapat menginfeksi orang dari berbagai kalangan ras, umur, profesi, gender, orientasi seksual hingga latar belakang sosial-ekonomi.
Menurut Dalimoenthe 2011 ibu rumah tangga umumnya terjangkit HIV dari suaminya yang melakukan penyimpangan sosial, baik karena sering berganti-ganti
pasangan atau karena penggunaan narkona jenis suntik. Penyebaran virus HIV tidak hanya mengancam kelompok dengan perilaku seks yang berisiko, tetapi juga
mengancam kalangan ibu rumah tangga yang suaminya telah terinfeksi HIV. Menurut dr. Nafsiah Mboi SpA, MPH, Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada masa
kabinet Indonesia Bersatu jilid II, bahwa hingga tahun 2012 terjadi peningkatan jumlah penularan HIV dari suami kepada istrinya Wardah, 2013. Makin meningkatnya
jumlah penularan disebabkan oleh lemahnya kedudukan istri dalam rumah tangga, yang menyebabkan seorang istri wajib menuruti kemauan suaminya bahkan
mengabaikan perilaku seksual yang aman. Wardah 2013 menambahkan bahwa salah satu program yang dilaksanakan oleh Kemenkes RI dalam rangka pencegahan
penularan HIV pada kelompok ibu rumah tangga adalah program pengadaan kondom bagi perempuan guna menekan laju pertumbuhan angka penularan HIV dari suami
kepada istri. Menjadi ibu rumah tangga bukanlah hal yang mudah karena individu dituntut
mampu memainkan sederet peran secara bersamaan Baghir, 2003. Peran sebagai ibu rumah tangga menyebabkan tanggung jawab secara terus-menerus dalam
memperhatikan kesehatan rumah dan tata laksana rumah tangga, mengatur segala sesuatu di dalam rumah tangga untuk meningkatkan mutu hidup Hemas dalam
Pujiwati, 1983. Sejalan dengan ide yang dikemukakan oleh Kartono 2006 bahwa terdapat sejumlah peran yang dijalankan oleh seorang ibu rumah tangga seperti
9
kegiatan yang berpusat mengurusi, mendidik, melayani, mengatur, mengurus anak, dan suami. Hal ini menjadikan keberadaan seorang ibu rumah tangga di dalam
keluarga sangat krusial. Sebagian waktu ibu rumah tangga berada di dalam rumah yang memiliki tanggung jawab yang timbul secara spontan dan tidak dapat diramalkan
Kartono, 2006. Vuuren dalam Mumtahinnah, 2011 menyatakan bahwa kegiatan sebagai ibu rumah tangga yang biasa dilakukan seperti memasak di rumah, menjahit,
berbelanja, menyetrika pakaian hingga mengurus anak. Bukan hal yang mudah bagi seorang ibu rumah tangga dalam menerima
kenyataan terinfeksi HIV terlebih lagi sosok yang menularkan adalah pasangannya sendiri. Seorang ibu rumah tangga berinisial RT yang terinfeksi HIV dari sang suami
mengisahkan pengalaman yang dimiliki, seperti yang dikutip dalam tulisan online berikut ini:
“Saya pernah menganggap diri saya tidak berguna setelah terinfeksi HIV. Saya tidak ingin orang mengalaminya. Saya mau menghapus stigma pada ODHA. Saya mau
menghapus diskriminasi. Saya mengetahui mengetahui status HIV sejak tahun 2009. Dia mendapat virus itu dari suaminya. Suami saya itu angkatan TNI-red. Dia
memang sering tugas keluar, suka jajan.” Edward, 2015
Pasca terinfeksi HIV, individu akan mengalami perubahan pada berbagai aspek kehidupannya, mulai dari segi fisik, psikologis ataupun psikososial. Menurut Lubis
2009, terdapat kecenderungan bagi individu yang menderita suatu penyakit dengan kondisi parah akan menunjukkan adanya kondisi depresi. Sejalan dengan pemikiran
yang dikemukakan oleh Sarafino dan Smith 2010, bahwa suatu penyakit yang bersifat parah dapat menimbulkan perasaan negatif seperti kecemasan, depresi, marah,
ataupun rasa tidak berdaya dan perasaan-perasaan negatif tertentu. Menurut Leserman dalam Folkman, 2011 kondisi suasana hati yang negatif dapat mempercepat
perkembangan HIV menjadi AIDS. Ketika individu mampu mengembangkan kondisi
10
psikologis secara positif maka dapat mencegah dan memperlambat perkembangan HIV menjadi AIDS Ironson Hayward, 2008.
HIV-AIDS menjadi stigma sosial karena diidentikkan sebagai penyakit seksual di kalangan masyarakat Sarikusuma, Herani, Hasanah, 2012. Individu dengan HIV
memiliki beban berat dalam kehidupannya karena adanya permasalahan yang kompleks dapat dihadapinya setiap saat. Permasalahan yang timbul tidak hanya yang
berkaitan dengan kondisi penyakit, namun juga kondisi psikososial seperti stigma sosial, diskriminasi pekerjaan, penerimaan diri, dan hubungan baik dengan pasangan,
keluarga maupun masyarakat disekitarnya. Selain itu, stigma negatif pada individu dengan HIV tak hanya mengenai diri sendiri, melainkan keluarga dan lingkungan di
sekitarnya. Guna mengetahui pandangan ibu rumah tangga berstatus HIV positif mengenai
fenomena HIV pada kelompok ibu rumah tangga, dilakukan preliminary study pada seorang perempuan bernama Lely bukan nama sebenarnya. Wawancara dilakukan
pada 7 –8 September 2015 memperoleh informasi bahwa beliau telah berstatus HIV
positif semenjak tahun 2008. Lely adalah seorang ibu rumah tangga yang tertular HIV dari sang suami yang telah meninggal dunia pada tahun 2008 akibat AIDS. Lely tidak
menduga akan terinfeksi virus HIV karena menilai bahwa sang suami bersikap sangat setia dalam ikatan pernikahan yang dijalani. Kenyataan berkata lain, ditemukan fakta
bahwa sang suami pernah berselingkuh dengan mantan kekasih yang berstatus HIV positif di masa awal pernikahan Laporan Preliminary Study, 2015.
Lely menilai bahwa sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga, menyebabkan individu tidak memiliki power dan keberanian untuk mengetahui aktivitas suami di
luar rumah. Tuntutan peran sebagai ibu rumah tangga yang memiliki beragam aktivitas
11
di rumah menjadikan seorang ibu rumah tangga kurang peka terhadap kualitas hubungan dengan pasangan karena lebih fokus mengurusi anak dan rumah. Menjadi
seorang ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif digambarkan sebagai sebuah kutukan dan akhir dari perjalanan hidupnya. Hari demi hari dilalui dengan keyakinan
bahwa kematian akan segera datang menjemput Laporan Preliminary Study, 2015. Menurut Dalimoenthe 2011 terdapat banyak kasus yang menunjukkan bahwa
ketika seorang ibu rumah tangga terinfeksi HIV-AIDS dari suaminya, individu cenderung memikul beban ganda seperti merawat suami yang sakit, merawat anak
yang juga mungkin sudah tertular, mencari nafkah, sembari juga menghadapi berbagai perlakuan yang tidak manusiawi seperti stigma ataupun diskriminasi. Dalimoenthe
2011 menambahkan bahwa terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan penularan HIV dari suami kepada seorang ibu rumah tangga. Faktor utama adalah rendahnya
bargaining power untuk menegosiasikan hubungan intim, ibu rumah tangga cenderung tidak sanggup menolak setiap keinginan seksual dari suami, serta
ketidaktahuan dan keengganan meminta informasi kepada pasangan tentang status kesehatan reproduksi yang dimiliki pasangan. Faktor berikutnya yang membuat
perempuan lebih rentan adalah stigma dan diskriminasi. Perempuan mengalami stigma ganda, yaitu sebagai perempuan makhluk kelas
dua yang cenderung disalahkan atas apa yang terjadi pada diri sendiri. Masyarakat menganggap semestinya perempuan dapat menjaga diri, suami, dan keluarganya
sehingga tidak terinfeksi HIV. Stigma kedua yakni pandangan bahwa individu dengan HIV telah melakukan perilaku tidak bermoral, sehingga harus dijauhi Dalimoenthe,
2011.
12
Pasca berstatus HIV positif, individu akan menunjukkan reaksi-reaksi terkait perubahan kondisi dalam hidup, khususnya aspek psikologis. Reaksi-reaksi psikologis
yang dihadapi individu dengan HIV positif menurut Nursalam dan Kurniati 2008 diantaranya, konflik intergritas ego yang meliputi perasaan tak berdaya dan putus asa,
konflik stress dan respons psikologis yang meliputi penyangkalan, kemarahan, kecemasan, hingga perasaan irritable.
Proses grieving pertama kali diteliti oleh Dr.
Elisabeth Kübler-Ross pada tahun
1969 Kübler-Ross, 2009. Kübler-Ross melakukan penelitian dengan melibatkan lebih dari 500 pasien yang menderita berbagai jenis penyakit. Penelitian yang
dilakukan bertujuan untuk melihat reaksi yang ditunjukkan pada individu dalam mengatasi serta berhadapan dengan kedukaan dan tragedi, terutama ketika didiagnosa
memiliki penyakit berat atau mengalami perubahan yang sangat besar dalam hidupnya. Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa terdapat lima tahapan dalam proses
grieving yakni penolakan, kemarahan, tawar menawar, depresi, dan penerimaan Kübler-Ross, 2009.
Dewasa ini proses grieving telah diterima secara luas sebagai panduan guna mengetahui respon emosional dan psikologis yang dialami individu ketika berhadapan
dengan kondisi yang mengancam nyawa atau keadaan yang mengubah kehidupan. Proses grieving memiliki karakteristik yang unik, membutuhkan waktu, dapat
difasilitasi namun tidak dapat dipaksakan dan pada umumnya proses ini mengikuti tahapan yang telah diprediksi Rotter, 2009.
Tahapan-tahapan ini tidak hanya berlaku bagi individu yang kehilangan sosok orang terdekat karena kematian tetapi dapat pula
dialami oleh individu yang mengalami peristiwa yang mengubah hidup, seperti
13
perceraian atau putusnya suatu hubungan, atau kehilangan sebuah pekerjaan Crump, 2001.
Proses grieving memiliki awal dan akhir, namun tidak terdapat aturan mutlak atau baku. Proses grieving ini bersifat sangat unik dan berbeda pada diri masing-
masing individu Crump, 2001. Proses grieving umumnya dapat dibagi dalam beberapa tahapan akan tetapi tahapan ini tidak bersifat linier, melainkan berupa sebuah
siklus Crump, 2001. Setiap individu mempunyai tahapan tersendiri dalam proses grieving, dapat urut atau melompat, dapat juga maju kemudian mundur kembali
Paputungan, 2013. Proses yang dilalui individu dari awal mengetahui status HIV positif hingga
mampu berdaya dan secara terbuka mengakui identitas diri kepada dunia, sangatnya kompleks. Perubahan yang dialami oleh ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV sangat
beragam, tidak hanya terbatas pada perubahan fisik seperti kekebalan tubuh melemah dan rentan terhadap infeksi oportunistik, namun juga perubahan psikis, seperti emosi
mudah marah, bingung, tidak percaya, takut akan kematian, dan takut akan reaksi negatif orang lain terhadap dirinya Yulianti Wahyudi, 2014. Selain itu perubahan
yang biasa dialami oleh penderita HIV adalah mendapat stigma dan diskriminasi yang menyebabkan individu terisolasi dari lingkungan Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever,
2010. Tertular HIV dapat menyebabkan timbulnya berbagai kesulitan yang berhubungan dengan harga diri, isolasi sosial, dan kurangnya kesejahteraan psikologis
Asante, 2012. Tentunya hal ini menyebabkan seorang ibu rumah tangga akan mengalami kondisi grieving yang dapat dijabarkan dalam proses grieving.
Ibu rumah tangga yang tertular HIV melalui suaminya cenderung mengalami tekanan yang lebih berat dalam menghadapi keadaannya, karena tidak melakukan
14
perilaku berisiko namun harus mengalami dampak positif HIV Riasnugrahaini, 2011. Menurut Enright dan North dalam Riasnugrahaini, 2011, offender person adalah
pihak yang dianggap bersalah sehingga bertanggungjawab atas kondisi perubahan dalam hidup, dalam penelitian ini offender person adalah sosok suami. Menurut
Worthington 2007, individu yang menjadi korban dari ketidakadilan dapat memberi respon berupa kemarahan, ketakutan, dan kebencian, serta dapat menyimpan dendam
terhadap offender person. Terdapat tiga bentuk konsekuensi negatif dari konteks perasaan tidak
memaafkan offender person pada kondisi HIV, yakni konsekuensi emosional dan psikososial, perilaku, serta biomedis Worthington, 2007. Konsekuensi emosional
dan psikososial dari perasaan tidak memaafkan secara intrapersonal meliputi self- esteem yang rendah, guilt, keputusasaan, self-blame, dan depresi. Sedangkan, secara
interpersonal perasaan tidak memaafkan akan berdampak pada kemarahan, kebencian, kurangnya empati, dan perasaan tidak dicintai. Konsekuensi terhadap perilaku secara
intrapersonal meliputi perilaku self-destructive misalnya ketergantungan terhadap obat-obatan dan alkohol, dan secara interpersonal meliputi perilaku seksual tidak
bertanggungjawab hingga perilaku berisiko menularkan HIV kepada pihak lain. Konsekuensi biomedis secara intrapersonal meliputi peningkatan stres, disfungsi
sistem kekebalan tubuh, dan peningkatan perkembangan penyakit. Sedangkan, secara interpersonal meliputi penyakit infeksi menular seksual Worthington, 2007.
Apabila individu mempertahankan kondisi grieving yang meliputi bentuk- bentuk reaksi yang negatif seperti penolakan, kemarahan, tawar-menawar, ataupun
depresi akan menyebabkan munculnya penderitaan psikologis. Menurut Germer 2009 penderitaan psikologis merupakan akumulasi emosi, reaksi, ataupun perasaan
15
negatif yang dipertahankan secara resisten yang akan berdampak secara desktruktif kepada individu.
Ketika proses grieving yang dijalani mampu mencapai penerimaan terhadap status HIV, maka individu mampu bangkit dari kondisi down yang dialami
sebelumnya. Di tahapan ini, individu mulai menanamkan komitmen dan mengubah pemikiran irasional yang dimiliki serta dikembangkan dalam tahapan-tahapan
sebelumnya. Pada tahapan penerimaan, individu akan menerima kondisi yang dimiliki sebagai sebuah realita yang harus dijalani
Kübler-Ross, 2009. Apabila individu mampu mencapai tahap penerimaan terhadap status HIV
positif, memungkinkan individu untuk mengembangkan penerimaan diri yang efektif terkait status HIV positif yang dimiliki. Salah satu karakteristik individu yang
memiliki penerimaan diri menurut Sheere dalam Cronbach, 1963 adalah adanya keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupan. Keyakinan individu
akan kemampuan diri lahir dari proses panjang yang telah dilalui, dalam hal ini yakni proses grieving.
Penerimaan diri menurut Germer 2009 merupakan kemampuan individu untuk memiliki suatu pandangan positif mengenai diri yang sebenar-benarnya.
Penerimaan diri memungkinkan individu untuk mengevaluasi sifat yang berguna dan tidak berguna yang dimiliki, serta menerima apapun aspek negatif sebagai bagian dari
kepribadian Morgado dalam Pamungkas, 2015. Indikator penting dalam penerimaan diri adalah tidak adanya sikap pasrah dan mampu menerima identitas diri secara positif
Coleridge, 1993. Terdapat perbedaan antara tahap penerimaan pada proses grieving dan
penerimaan diri. Penerimaan pada proses grieving hanya berfokus pada aspek kognitif
16
terkait kondisi HIV. Individu akan memulai menanamkan komitmen dan menghilangkan pemikiran irasional, sedangkan penerimaan diri merupakan
perwujudan dari aspek kognitif menjadi serangkaian perilaku. Sedangkan, penerimaan diri merupakan kondisi pertumbuhan dan kesejahteraan psikologis individu dengan
status HIV positif. Maciejewski, Zhang, Block, dan Prigerson 2007 menemukan bahwa terdapat
hubungan dengan sifat berbanding terbalik antara proses grieving dan penerimaan diri. Penerimaan diri tidak dapat dikembangkan apabila kondisi disbelief, yearning, anger,
dan depression dalam tahapan grieving masih dipertahankan secara kuat. Sebaliknya, penerimaan diri dapat dikembangkan apabila kondisi-kondisi dalam tahapan grieving
menurun. Ryff dalam Snyder, Lopez, Pedrotti, 2010 menyatakan bahwa penerimaan
diri merupakan karakteristik utama yang mencerminkan kondisi psikologis individu yang sehat mental dan matang. Individu yang memiliki penerimaan diri yang efektif
ditandai dengan sikap positif terhadap diri sendiri. Individu menunjukkan sikap mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam diri, baik secara positif
maupun negatif, serta memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Demikian pula sebaliknya, individu yang dengan penerimaan diri yang tidak efektif akan
memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan memiliki pengharapan untuk tidak menjadi diri sendiri
sebagaimana adanya. Individu yang mampu menerima dan menyadari kondisi diri secara positif
dalam menyadari keterbatasan pada diri, akan mengembangkan serta mempertahankan hubungan positif dengan sekitarnya sehingga mampu membentuk penguasaan
17
lingkungan. Lebih lanjut, dalam mempertahankan eksistensi diri pada konteks sosial, individu akan mengembangkan kemandirian, serta tujuan dalam hidup. Pada akhirnya
individu mampu menciptakan kondisi well-being Ryff dalam Snyder, Lopez, Pedrotti, 2010.
Ketika ibu rumah tangga terinfeksi HIV, akan menunjukkan berbagai perubahan dalam kehidupan baik dari segi fisik hingga psikososial. Stigma dan
diskriminasi terkait HIV yang sangat kuat di kalangan masyarakat, menjadikan kehidupan yang dijalani oleh ibu rumah tangga menjadi semakin pelik pasca berstatus
HIV positif. Perubahan-perubahan dalam hidup dapat dijelaskan dalam berbagai bentuk reaksi dalam proses grieving. Proses grieving yang dilalui bersifat unik dan
khas pada setiap individu namun umumnya terjadi berdasarkan tahap-tahap yang dapat diprediksi. Setelah melalui proses grieving, dimungkinkan individu mengembangkan
penerimaan diri yang efektif terkait status HIV positif pada diri. Proses grieving dan penerimaan diri merupakan aspek penting untuk diketahui
khususnya pada ibu rumah tangga dengan status HIV positif. Proses grieving dapat menunjukkan perubahan kondisi psikologis ibu rumah tangga pasca terinfeksi HIV,
yang tentunya dipengaruhi oleh aspek lain seperti aspek fisik ataupun sosial. Perubahan kondisi psikologis tersebut dapat dijelaskan secara holistik, mulai dari baru
mengetahui diagnosa HIV positif sampai dengan kondisi mampu menerima dan berdaya dengan status HIV positif. Penerimaan diri pada ibu rumah tangga dengan
status HIV positif dapat menunjukkan kualitas hidup khususnya kesejahteraan psikologis yang dimiliki, sehingga dapat menjadi bahan evaluasi, khususnya bagi diri
ibu rumah tangga dengan HIV positif.
18
Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian dilakukan untuk melihat bagaimana gambaran proses grieving dan gambaran penerimaan diri pada diri ibu rumah tangga
berstatus HIV positif, serta kaitan antar kedua aspek tersebut pada ibu rumah tangga
dengan status HIV positif yang tertular melalui suaminya. B. Fokus Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini akan difokuskan pada fenomena ibu rumah tangga berstatus HIV positif yang tertular oleh suaminya,
untuk kemudian akan dilihat bagaimana proses grieving yang dilalui dan bagaimana penerimaan diri pada diri ibu rumah tangga berstatus HIV positif.
C. Signifikansi dan Keunikan Penelitian