Proses Grieving Grieving 1.Definisi Grieving

28 Kübler-Ross 2009 mendefinisikan grieving sebagai reaksi yang ditunjukkan pada individu dalam mengatasi serta berhadapan dengan kedukaan dan tragedi, terutama ketika didiagnosa memiliki penyakit berat atau mengalami perubahan yang sangat besar dalam kehidupan. Pada penelitian ini, grieving didefinisikan sebagai reaksi individu atas kondisi penyakit pada diri sendiri yang memungkinkan individu merasakan perasaan-perasaan negatif seperti ketakutan, kebingungan, kemarahan hingga kesepian.

2. Proses Grieving

Proses grieving menurut McKissock dan McKissock 2012 merupakan proses yang dilalui individu berdasarkan pengalaman subjektifnya terhadap suatu kondisi kehilangan. McKissock dan McKissock 2012 menambahkan bahwa proses grieving yang dilalui individu tidak bersifat linier, melainkan bersifat acak chaotic. Fase akut berduka biasanya berlangsung 6 hingga 8 minggu dan penyelesaian respon kehilangan atau berduka secara menyeluruh memerlukan waktu satu bulan sampai tiga tahun Keliat, Helena, Farida, 2011. Proses grieving merupakan suatu proses yang unik dan berbeda pada setiap individu. Menurut Crump 2001 tidak ada yang dapat memastikan kapan individu dapat melewati semua tahapan dalam proses grieving, yang dapat dilakukan adalah memfasilitasi sehingga proses grieving yang dialami individu dapat sampai pada suatu tahap penerimaan. Proses grieving ini bersifat sangat unik dan berbeda pada diri masing-masing individu Crump, 2001. Proses grieving adalah suatu proses yang dialami individu secara subjektif terhadap pengalaman kehilangan yang ditunjukkan reaksi psikologis hingga perilaku sebagai akibat adanya perubahan kondisi dalam kehidupan individu, dalam penelitian 29 ini perubahan yang dimaksud adalah perubahan status kesehatan dari individu yang sehat menjadi individu dengan status HIV positif. Menurut Kübler-Ross 2009 bahwa terdapat lima tahapan yang akan dilalui oleh individu dalam menghadapi kondisi grieving, yakni : a. Tahap Penolakan Pada fase ini individu baik secara sadar ataupun tidak sadar akan menolak segala fakta, informasi, realita yang berhubungan dengan situasi yang sedang terjadi. Individu akan menyangkal dan menganggap bahwa hal yang terjadi bukanlah suatu kenyataan. Penyangkalan diikuti oleh reaksi fisik ataupun perilaku. Penolakan yang dialami oleh individu merupakan mekanisme pertahanan yang bersifat alami sehingga wajar terjadi. Pernyataan yang sering muncul dalam tahap ini adalah “saya tidak mungkin sakit” Kübler-Ross, 2009. Menurut Rando dalam Linton, 2015 mekanisme penolakan bersifat sementara dan biasanya digantikan oleh bertambahnya kesadaran ketika individu itu dihadapkan pada hal-hal seperti pertimbangan keuangan, permasalahan yang belum selesai, dan perasaan khawatir mengenai keluarga. Crump 2001 menambahkan bahwa hal utama yang dirasakan individu dalam tahapan ini adalah shock hingga mati rasa pada anggota tubuh. Tahap penolakan merupakan tahapan awal ketika individu berada pada kondisi kehilangan. Reaksi utama dalam tahapan ini ialah reaksi kognitif yaitu muncul rasa tidak percaya akan kondisi kehilangan yang kemudian menunjukkan reaksi fisik seperti disfungsi anggota tubuh serta reaksi dalam bentuk perilaku seperti menangis ataupun berteriak. 30 b. Tahap Kemarahan Pada fase ini individu akan mengembangkan emosi negatif seperti kemarahan, kebencian, dan berbagai emosi negatif lainnya yang dapat bermanifestasi dalam berbagai hal. Perasaan yang dirasakan dapat ditujukan bagi diri sendiri ataupun orang lain. Kemarahan merupakan substitusi dari penolakan yang sebelumnya dirasakan. Kemarahan dapat diekspresikan individu kepada lingkungan sekitar atau kepada diri sendiri. Pernyataan yang sering muncul dalam tahapan ini adalah “saya benci pada diri sendiri karena semua adalah kesalahan saya” atau “semua salah suami saya dan saya membenci dirinya” Kübler-Ross, 2009. Worthington 2007 menyatakan bahwa korban dari ketidakadilan dapat memberi respon berupa kemarahan, ketakutan, dan kebencian, serta dapat menyimpan dendam terhadap pelaku kesalahan. Sementara itu menurut Enright dan North 1998, individu yang dilukai namun menolak mengampuni unforgiving akan cenderung mengalami penderitaan ganda. Wald dan Temoshok dalam Worthington, 2007 mengemukakan bahwa individu yang memiliki kecenderungan mengampuni forgiving ketidakadilan yang dialami, maka individu dapat meniminalisir adanya gejala depresi dan stressor terkait kondisi. Ketika individu mampu mengampuni dan tidak memendam emosi negatif seperti kemarahan dan dendam dapat diasosiasikan dengan fungsi psikologis yang lebih positif dan kepuasan hidup yang lebih tinggi. Selain berpengaruh terhadap kondisi psikologis, forgiving dapat berpengaruh terhadap aspek kesehatan individu. Hal ini dikemukakan oleh 31 Toussaint, Williams, Musick, dan Everson dalam Worthington, 2007 yang menyatakan bahwa kesehatan fisik dapat terpengaruh secara negatif jika individu terus-menerus menerapkan sikap unforgiving yang meliputi ekspresi kemarahan dan terpengaruh secara positif jika individu mempraktekkan forgiveness. Tahap kemarahan merupakan tahapan individu mengembangkan emosi-emosi negatif terkait kondisi kehilangan, seperti rasa kemarahan, rasa kebencian hingga rasa kekecewaan. Emosi-emosi negatif yang dirasakan ditujukan baik kepada diri sendiri ataupun orang lain. c. Tahap Tawar-Menawar Pada fase ini, individu akan mengembangkan pikiran irasional seperti memutar waktu dan pengandaian akan suatu kondisi dengan tujuan untuk menghibur diri sendiri. Pengandaian yang dilakukan ditunjukkan kepada Tuhan atau pihak lain yang memiliki berhubungan dengan kondisi yang sedang dialami. Pernyataan yang sering kali muncul pada tahapan ini adalah “bagaimana jika saya tidak sakit?” atau “saya akan bersikap baik apabila penyakit ini hilang dari tubuh saya.” Kübler-Ross, 2009. Tahap tawar-menawar merupakan tahapan individu menanamkan kepercayaan atau keinginan yang irasional terkait kondisi kehilangan, hal ini dilakukan dengan tujuan bernegosiasi dengan pihak tertentu seperti Tuhan atas kehilangan yang terjadi. d. Tahap Depresi Pada tahapan ini individu akan masuk ke dalam masa depresi. Depresi merupakan tahapan yang penting dalam proses penyembuhan dari menghadapi 32 kesedihan. Kondisi yang kerap kali muncul yakni dalam bentuk putus asa dan kehilangan harapan. Akan tetapi, perasaan depresi yang dirasakan merupakan hal wajar yang menandakan bahwa individu memulai menerima realita. Pernyataan yang sering muncul dalam tahapan ini adalah “saya sakit dan tidak bisa bekerja lagi, saya ingin mati saja” atau “saya sakit parah, saya hanya bisa diam tidak berdaya, semua orang meningg alkan saya” Kübler-Ross, 2009. Kübler-Ross 2009 menambahkan bahwa dalam tahapan depresi, individu akan kehilangan kemampuan dalam fungsi peran seperti yang sebelumnya rutin dilaksanakan. Tingkat emosional yang muncul dalam tahapan ini menurut Nursalam dan Kurniawati 2008 yakni kesedihan, rasa tidak berdaya, tidak ada harapan, merasa bersalah, penyesalan yang dalam, kesepian, dan waktu yang panjang untuk menangis. Tahap depresi merupakan tahapan individu mulai mengalami putus asa dan kehilangan harapan atas kondisi kehilangan yang terjadi. Individu mengalami kehilangan kemampuan dalam fungsi peran, hingga merasakan berbagai perasaan negatif seperti rasa tidak berdaya, penyesalan, kehilangan harapan hingga kesedihan yang berlarut-larut. e. Tahap Penerimaan Tahapan ini bermula dengan adanya komitmen pada diri individu untuk mulai belajar menerima kondisi sebagai akibat dari kehilangan yang dialami. Pada tahapan ini, individu akan merubah pemikiran irasional yang dimiliki sebelumnya dan menggantinya dengan komitmen, disamping itu individu mulai mengembangkan strategi mekanisme yang tepat dalam menghadapi 33 kondisi kehilangan. Pernyataan yang sering muncul dalam tahapan ini adalah “saya tidak bisa terus-menerus melawan kondisi ini” Kübler-Ross, 2009. Menurut Kübler-Ross 2009 tahapan penerimaan belum tentu menghadirkan kondisi kebahagiaan. Penerimaan merupakan awal dari perjalanan individu dalam menghadapi suatu kondisi kehilangan. Bentuk penerimaan berbeda-beda pada setiap individu dalam setiap kondisi. Terdapat individu yang cenderung menilai penerimaan dengan pernyataan “tidak ada pilihan lain, saya tidak bisa terus melawan hal ini”, namun adapula individu yang menilai penerimaan sebagai sikap realistis akan kondisi yang dialami, hal ini menyebabkan individu bangkit dari kondisi keterpurukan dan mulai hidup dengan baik seperti memulai pengobatan dengan optimistik. Selain itu individu mulai menghadapi kenyataan daripada hanya sekedar menyerah pada kondisi keterpurukan atau tidak ada harapan. Kübler-Ross, 2009. Tahap penerimaan merupakan tahapan akhir dari proses grieving, pada tahapan ini individu akan menanamkan komitmen pada diri untuk menerima kondisi kehilangan yang dialami. Individu akan mengembangkan strategi mekanisme yang sesuai dari kondisi kehilangan yang dialami. Penerimaan belum tentu berakhir dengan kebahagiaan karena berdasar pada nilai penerimaan yang dimiliki oleh individu. Terdapat individu yang menilai penerimaan sebagai pilihan terakhir karena tidak terdapat pilihan lain dan adapula individu yang menilai penerimaan sebagai sikap realistis akan kondisi kehilangan daripada hanya sekedar menyerah. 34

3. Pola Grieving