Proses pengampunan pada wanita dengan HIV/AIDS yang terinfeksi melalui suaminya.

(1)

vii

PROSES PENGAMPUNAN PADA WANITA DENGAN HIV/AIDS YANG TERINFEKSI MELALUI SUAMINYA

Tiffany Chandra ABSTRAK

Studi kasus ini bertujuan untuk memahami proses pengampunan yang dilakukan oleh wanita dengan HIV/AIDS terhadap suaminya yang menjadi sumber infeksi HIV. Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini dilakukan dengan menggunakan prosedur wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap dua orang wanita yang terinfeksi HIV dari suami. Data yang terkumpul kemudian diolah dengan menggunakan metode Analisis Isi Kualitatif (AIK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengampunan wanita dengan HIV/AIDS terhadap suaminya secara umum sesuai dengan Enright Psychological Process Model of Forgiveness, kecuali pada beberapa bagian. Wanita dengan HIV/AIDS mengenali kesalahan suaminya dan konsekuensi dari kesalahan tersebut, tanpa mampu melakukan konfrontasi kemarahan. Mereka juga memutuskan untuk mengampuni, tetapi tidak terlepas dari konteks agama dan moral dalam pengambilan keputusan tersebut. Selain itu, mereka mengampuni karena suami sakit atau sudah meninggal, bukan karena adanya empati atau belas kasihan sebagai hasil dari perubahan pandangan terhadap suami yang bersalah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dukungan atau sebaliknya, diskriminasi, dari lingkungan sosial mempengaruhi wanita dengan HIV/AIDS dalam mengambil keputusan dan bersikap selama proses pengampunan pada suami yang menjadi sumber infeksi.


(2)

viii

PROCESS OF FORGIVENESS IN WOMEN WITH HIV/AIDS WHO INFECTED BY THEIR HUSBANDS

Tiffany Chandra ABSTRACT

This qualitative research aimed to describe how women with HIV/AIDS forgive their husbands as the source of HIV infection. A case study was conducted to fulfill that goal. Researcher used in-depth interview procedure to collect data from two women with HIV/AIDS who infected by their husbands. Qualitative content analysis was applied to analyze the data. Result show that the process of forgiving in women with HIV/AIDS is in accordance with almost all the phases in Enright Psychological Process Model of Forgiveness. Women with HIV/AIDS realize their husbands’ mistake and its negative consequences without showing confrontation of anger. They also make the decision to forgive, but hardly separate themselves from the context of religion and morality in the decision making. Women with HIV/AIDS also forgive because their husbands are sick or died. So, the decision to forgive is not related to the reframing of who the wrongdoer is, and built the empathy and compassion toward their husbands as the offenders. The findings also show that supports or discriminations from the social do influence the women with HIV/AIDS in decision making and their attitudes during the process of forgiving their husbands as the offender.


(3)

PROSES PENGAMPUNAN PADA WANITA DENGAN

HIV/AIDS YANG TERINFEKSI MELALUI SUAMINYA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: Tiffany Chandra NIM : 129114007

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2017


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN MOTTO

saiki zamane zaman edan,

yen ora edan ora keduman.

nanging sak bejo-bejone wong edan,

isih luwih bejo wong kang eling lan waspada

-Jangka Jayabaya, dipopulerkan R. Ng. Rangga

Warsita-WORDS,

in my humble opinion,

are the most INEXHAUSTIBLE source

of MAGIC we have.

-Albus

Dumbledore-Learning is a treasure that will follow

its owner everywhere

-Ancient Chinese

Proverb-IN ALL LABOR THERE IS PROFIT

BUT IDLE CHATTER LEADS ONLY TO POVERTY

-PROVERBS 14 :


(7)

23-v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Seluruh jerih payah ini kupersembahkan untuk:

Sang Pokok Anggur

yang menghidupi ranting-rantingnya dengan cinta tak tersangkalkan.

Papa dan Mama

yang menabung peluh dan airmata agar masa depanku bahagia.

Edina Maya Chandra

yang menyimpan kunciku menuju ruangan-ruangan rahasia.

Felix Mikhael Jalung Wirangga Jakti

yang meminjamkan pundak untuk berpijak, hingga jemariku menyentuh angkasa

Guru-gurukudi manapun kalian berada.

Universitas Sanata Dharma, tempat aku dimanusiakan sebagai manusia muda.

Kanca Pait,Anak-Anak Romo, dan semua yang mewarnaiku dengan cinta.


(8)

(9)

vii

PROSES PENGAMPUNAN PADA WANITA DENGAN HIV/AIDS YANG TERINFEKSI MELALUI SUAMINYA

Tiffany Chandra

ABSTRAK

Studi kasus ini bertujuan untuk memahami proses pengampunan yang dilakukan oleh wanita dengan HIV/AIDS terhadap suaminya yang menjadi sumber infeksi HIV. Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini dilakukan dengan menggunakan prosedur wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap dua orang wanita yang terinfeksi HIV dari suami. Data yang terkumpul kemudian diolah dengan menggunakan metode Analisis Isi Kualitatif (AIK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengampunan wanita dengan HIV/AIDS terhadap suaminya secara umum sesuai dengan Enright Psychological Process Model of Forgiveness, kecuali pada beberapa bagian. Wanita dengan HIV/AIDS mengenali kesalahan suaminya dan konsekuensi dari kesalahan tersebut, tanpa mampu melakukan konfrontasi kemarahan. Mereka juga memutuskan untuk mengampuni, tetapi tidak terlepas dari konteks agama dan moral dalam pengambilan keputusan tersebut. Selain itu, mereka mengampuni karena suami sakit atau sudah meninggal, bukan karena adanya empati atau belas kasihan sebagai hasil dari perubahan pandangan terhadap suami yang bersalah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dukungan atau sebaliknya, diskriminasi, dari lingkungan sosial mempengaruhi wanita dengan HIV/AIDS dalam mengambil keputusan dan bersikap selama proses pengampunan pada suami yang menjadi sumber infeksi.


(10)

viii

PROCESS OF FORGIVENESS IN WOMEN WITH HIV/AIDS WHO INFECTED BY THEIR HUSBANDS

Tiffany Chandra ABSTRACT

This qualitative research aimed to describe how women with HIV/AIDS forgive their husbands as the source of HIV infection. A case study was conducted to fulfill that goal. Researcher used in-depth interview procedure to collect data from two women with HIV/AIDS who infected by their husbands. Qualitative content analysis was applied to analyze the data. Result show that the process of forgiving in women with HIV/AIDS is in accordance with almost all the phases in Enright Psychological Process Model of Forgiveness. Women with HIV/AIDS realize their husbands’ mistake and its negative consequences without showing confrontation of anger. They also make the decision to forgive, but hardly separate themselves from the context of religion and morality in the decision making. Women with HIV/AIDS also forgive because their husbands are sick or died. So, the decision to forgive is not related to the reframing of who the wrongdoer is, and built the empathy and compassion toward their husbands as the offenders. The findings also show that supports or discriminations from the social do influence the women with HIV/AIDS in decision making and their attitudes during the process of forgiving their husbands as the offender.


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Terpujilah Kristus sebab karena kasih-Nya yang tak terbantahkan, penulis dimampukan untuk menyelesaikan karya ini. Namun, sebagai manusia yang bersahabat karib dengan kelemahan dan kesalahan, penulis sangat terbuka terhadap berbagai kritikan dan masukan yang dapat membantu penulis dalam karya-karya selanjutnya. Dalam kesempatan ini, penulis juga hendak menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang menyempurnakan penulis dengan doa dan cinta, terutama:

1. Jehovah Jireh, penyedia dan penyelenggara hidupku.

2. Mama dan Papa yang dalam rapalan doa-doanya terselip namaku. 3. Pungpung dan seluruh keluarga besar yang senantiasa menguatkanku.

4. Dr. Tjipto Susana, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Skripsi, yang memungkinkan karya ini terwujud, melalui pengorbanan waktu dan kesabaran mendidik yang tak jemu-jemu.

5. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi USD. 6. P. Eddy Suhartanto, M.Si. selaku Kepala Prodi Fakultas Psikologi USD. 7. Drs. Hadrianus Wahyudi, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik. 8. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. 9. Mbak D dan Mbak T, dua wanita tangguh yang memberiku lebih dari sekedar

data penelitian dan menularkan semangat hidup padaku.

10. Mas Rangga, sahabat dan teman hidup, yang senantiasa ada dalam senja dan badaiku. Sampai bertemu di Bundesrepublik Deutschland!


(13)

xi

11. Sahabat-sahabatku: Indro, Jessi, Ommo, Pelinski, Ce Agnes, Flo, Paul, Roy, Titus, Dhesa, dan Cius.

12. Teman seperjuangan di Yogya: geng “Marijajan”.

13. Semua jiwa-jiwa baik yang mengingatku dalam doa dan harapan.

Yogyakarta, 19 Desember 2016 Penulis,


(14)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 16

1. Manfaat Teoritis ... 16


(15)

xiii

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 19

A. Korban Pengalaman Traumatik...19

B. HIV dan AIDS...20

1. HIV... 20

2. AIDS ... 21

3. Prinsip Penularan HIV ... 22

C. Orang dengan HIV/AIDS...23

1. ODHA...23

2. Sikap ODHA ... 23

D. Pengampunan ... 25

1. Definisi Pengampunan...25

2. Proses Pengampunan...29

3. Jenis-Jenis Pengampunan...36

4. Pengampunan dan Wanita dengan HIV/AIDS... 41

E. Kerangka Konseptual ... 44

BAB III. METODE PENELITIAN ... 45

A. Jenis dan Desain Penelitian... 45

1. Jenis Penelitian...45

2. Desain Penelitian... 46

B. Fokus Penelitian ... 46

C. Informan ... 47

D. Peran Peneliti ... 48


(16)

xiv

2. Kaitan antara Peneliti, Informan, dan Lokasi Penelitian ... 49

3. Isu-isu Terkait Etika ... 49

E. Prosedur Pengumpulan dan Perekaman Data ... 50

1. Prosedur Pengumpulan Data...50

2. Prosedur Perekaman Data ... 51

F. Metode Analisis Data ... 51

G. Kredibilitas... 52

1. Validitas...52

2. Reliabilitas ... 55

3. Generalisabilitas... 56

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 57

A. Persiapan Peneltian ... 57

B. Pelaksanaan Peneltian ... 59

C. Profil Informan... 61

1. Latar Belakang Informan I ... 62

2. Latar Belakang Informan II... 66

D. Hasil Penelitian ... 68

1. Relasi Informan dengan Suami Sebelum Informan Terkena HIV .... 69

2. Relasi Informan dengan Suami Saat Terkena HIV ... 71

3. Dinamika Informan Pasca Suami Meninggal ... 79

4. Dinamika Informan Terkait Dukungan dari Lingkungan ... 82

5. Proses Informan Mengampuni Suami... 87


(17)

xv

E. Pembahasan... 92

1. FaseUncovering... 92

2. FaseDecision... 97

3. FaseWork... 100

4. FaseDeepening... 104

F. Poin Pembelajaran(Learning Points)... 109

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 111

A. Kesimpulan ... 111

B. Keterbatasan Penelitian ... 113

C. Saran... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 118


(18)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Ringkasan Kegiatan Pengambilan Data Penelitian ... 61 Tabel 2. Data Demografis Informan ... 62


(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.Informed Consent... 124

Lampiran 2. Lembar Persetujuan ... 127

Lampiran 3. Protokol Wawancara... 128

Lampiran 4. Tabel AIK I Informan I...132

Lampiran 5. Tabel AIK I Informan II ... 209

Lampiran 6. Tabel AIK II Informan I...285


(20)

(21)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pada tahun 1981, dunia pertama kali menambahkan infeksi HIV ke dalam daftar kondisi kesehatan yang dikenal manusia, setelah ditemukan warga Amerika Serikat dengan status HIV positif. Sekitar dua dekade kemudian, para ilmuwan menemukan bahwa HIV berkaitan dengan SIVcpz, virus yang menyerang sistem imun pada monyet dan kera, di Republik Demokratis Kongo, Afrika. Dari tempat tersebutlah HIV diyakini berasal, sebelum akhirnya menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia (“Origin of HIV & AIDS”, 2015).

Sejak permulaan epidemik hingga saat ini, tercatat hampir 78 juta orang terinfeksi HIV dan 39 juta orang meninggal dunia karenanya (“Global Health Observatory (GHO) data: HIV/AIDS”, 2016). HIV/AIDS sendiri menempati urutan ke-6 dalam daftar “Sepuluh Penyebab Terkemuka Kematian Manusia di Dunia” pada tahun 2012 menurut WHO. Pada tahun tersebut, HIV/AIDS menjadi penyebab pada 1,5 juta kasus kematian di dunia, atau setara dengan 2,7% dari seluruh kasus kematian di dunia (“The top ten causes of death”, 2014). Tahun berikutnya, 2013, 1,5 juta orang dari seluruh dunia meninggal karena HIV/AIDS dan sekitar 35 juta orang hidup dengan HIV/AIDS pada akhir tahun 2013 (“Global Health Observatory (GHO) data: HIV/AIDS”, 2016).


(22)

Sementara itu, di Indonesia sendiri, terjadi peningkatan jumlah kasus HIV sejak pertama kali ditemukan, yakni pada tahun 1987 di Provinsi Bali, hingga terakhir kali dilakukan pendataan pada September 2014. Pada tahun 1987 hingga 2005, ditemukan sekitar 859 kasus HIV di Indonesia. Sementara itu, pada September 2014, tercatat sebanyak 22.869 kasus (Kementrian Kesehatan RI, 2014).

Berbeda dengan kasus HIV, kasus AIDS di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan yang lamban dari tahun ke tahun selama periode 1987 hingga September 2014. Bahkan, sejak tahun 2012, kasus AIDS di Indonesia mulai menurun. Kasus AIDS hingga tahun 2005 tercatat sebanyak 5.184, sementara pada September 2014 tercatat sebanyak 1.876 kasus. Meskipun mengalami penurunan, tetapi angka tersebut menunjukkan bahwa Indonesia belum bebas AIDS (Kementrian Kesehatan RI, 2014).

Berdasarkan faktor risiko, pola penularan HIV di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2014 tidak mengalami perubahan. Infeksi HIV dominan terjadi pada heteroseksual, diikuti kelompok “lain-lain”, pengguna napza suntik, dan diikuti oleh kelompok “Lelaki berhubungan Seks dengan Lelaki” (LSL). Sementara itu, berdasarkan faktor risiko, kasus AIDS di Indonesia dari tahun 1987 hingga September 2014 dominan terjadi pada kelompok heteroseksual (61,5%), “tidak diketahui” (17,1%), pengguna napza suntik (15,2%), dan homoseksual (2,4%). Menurut jenis pekerjaan, penderita AIDS di Indonesia paling banyak berasal dari


(23)

kelompok ibu rumah tangga, diikuti wiraswasta, dan diikuti oleh tenaga non profesional (karyawan) (Kementrian Kesehatan RI, 2014).

Sejak tahun 1981 saat istilah HIV pertama kali dikenal, hingga saat ini di mana HIV dan AIDS telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk 386 kabupaten/kota di Indonesia, belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan seseorang dari infeksi HIV. Obat yang berhasil ditemukan sejauh ini hanya dapat memperpanjang hidup dan/atau meningkatkan mutu hidup orang dengan HIV/AIDS (ODHA) (Green, 2013). Oleh karena itu, berbagai terapi penunjang, yakni terapi tradisional tanpa obat-obatan kimiawi, dilakukan untuk meningkatkan mutu hidup ODHA. Terapi penunjang ini dapat berupa penggunaan ramuan tradisional, penggunaan suplemen, olahraga, pijat refleksi, hingga terapi psikologis, spiritual, dan emosional (Murni, Green, Djauzi, Setiyanto & Okta, 2009).

Para peneliti kemudian menemukan bahwa praktik pengampunan dapat menjadi salah satu bentuk terapi penunjang bagi ODHA, karena menghilangkan afek-afek negatif dalam diri ODHA. Keberadaan afek-afek negatif tersebut disinyalir dapat menurunkan kadar CD4, sel darah putih yang dipakai HIV untuk mereplikasikan diri sebelum kemudian dibunuh oleh virus tersebut. Dengan demikian, apabila jumlah CD4 rendah, sistem kekebalan tubuh ODHA akan lemah (Riasnugrahani & Wijayanti, 2011). Penelitian lainnya juga menemukan bahwa pengampunan kepada orang lain dapat menjadi sebuah strategi coping dalam menghadapi tekanan untuk meningkatkan kualitas hidup, khususnya pada ODHA yang


(24)

memiliki kelekatan insecure. Sementara itu, pengampunan terhadap diri sendiri akan meningkatkan persepsi tentang kesehatan pada ODHA yang memiliki kecemasan dalam kelekatan (Martin, Vosvick & Riggs, 2012).

Temoshok dan Wald (2005) dalam penelitian mereka berhipotesis bahwa konsekuensi emosional dan psikososial dari mengampuni dan perasaan diampuni, atau sebaliknya tidak mengampuni dan perasaan tidak diampuni, memiliki konsekuensi psikososial (behavioral) dan psikoneuroimunologis (biomedis) bagi orang-orang yang terinfeksi HIV. Mengampuni orang lain diyakini terasosiasi dengan harga diri dan penghargaan diri, juga banyak dampak positif kesehatan, serta berlawanan dengan perasaan bersalah, kebencian terhadap diri sendiri, dan perilaku menyalahkan diri sendiri (Glaser, Rabin, Chesney, Cohen & Natelson, 1999; Moulton, Sweet, Temoshok, 1987 dalam Temoshok & Wald, 2005). Lebih jauh lagi, Temoshok dan Wald (2005) menjelaskan bahwa harga diri yang rendah terasosiasi dengan cara-cara maladaptif untuk berdamai dengan stres, misalnya penggunaan obat-obatan terlarang yang merupakan kontributor infeksi HIV dan penyakit menular seksual lainnya, juga penyakit yang disebabkan oleh penggunaan obat-obatan terlarang, secara khusus jenis obat yang menggunakan jarum suntik sebagai media.

Temoshok dan Wald (2005) mengemukakan pula bahwa ketika seorang ODHA mampu mengampuni secara interpersonal dan mampu melepaskan perasaan-perasaan yang tidak produktif terhadap orang lain, ODHA tersebut akan mampu mencari dan menerima dukungan sosial


(25)

dengan lebih mudah dan efektif. Dukungan sosial terbukti menjadi faktor kunci dalam mempertahankan kesehatan yang baik dan relevan bagi ODHA, terutama yang biasanya merasa ditolak. Sementara itu, ketidakpercayaan dan rasa tidak mengampuni sistem medis, serta kenyataan bahwa belum ada obat yang dapat menyembuhkan AIDS menyebabkan ODHA tidak patuh dalam meminum obat. Padahal, obat-obatan tersebut harus dikonsumsi ODHA secara teratur dengan keakuratan waktu konsumsi di atas 95%, untuk mencegah perkembangan jenis virus yang kebal obat. Keadaan tidak mengampuni juga menciptakan komunikasi yang buruk antara ODHA dengan penyedia layanan kesehatan, yang dapat berujung pada rasa putusasa dan hilang harapan. Padahal, rasa memiliki harapan adalah salah satu kunci dalam proses biomedis yang dapat menuntun pada keberhasilan tritmen dan pemulihan.

Secara biomedis, kemampuan untuk mengampuni dan melupakan akan memunculkan keadaan yang mampu mengembalikan sistem psikologis yang hyperaroused pada keadaan homeostatis. Keadaan relaksasi psikologis dan homeostatis otonomik ini merupakan sebuah pola psikologis yang terkait dengan long term survival pada ODHA. Namun, “pengampunan bertopeng” yang menutupi perasaan belum mengampuni dan berperilaku seolah-olah telah mengampuni, tidak akan mengatasi peristiwa atau dilema pengampunan, dan malah akan menghasilkan gairah (arousal) otonomik dan mengaktifkan imunitas yang tidak tepat (Temoshok, 2003a dalam Temoshok dan Wald, 2005).


(26)

Pengampunan adalah perilaku yang mencerminkan belas kasihan berlimpah kepada orang yang telah berperilaku tidak pantas (Holter, Magnuson & Enright, 2008). Holter dkk. (2008) mengatakan, mudah untuk mengatakan bahwa “semua orang pantas mendapatkan belas kasihan”. Namun, dibutuhkan pengorbanan yang tidak kecil untuk mewujudkannya. Pengampunan bukan hal yang mudah untuk dilakukan karena menyangkut proses yang panjang, kompleks, bahkan seringkali menyakitkan (Walton, 2005). Pembahasan mengenai pengampunan itu sendiri sulit terlepas dari topik mengenai luka/sakit (hurt) dan kebencian (resentment) (Walton, 2005). Oleh DiBlasion & Proctor (1993 dalam Walton, 2005), hurt didefinisikan sebagai rasa sakit yang diderita karena kesalahan orang lain, sementararesentment digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap pelaku kesalahan karena telah menyebabkan luka.

Hurt dapat terjadi pada siapa saja, misalnya korban kekerasan emosional dalam rumah tangga (Reed & Enright, 2006), korban incest (Walton, 2005), dan lain sebagainya. Pengalaman akan rasa sakit (hurt) tersebut dapat menyebabkan seorang individu mengalami posttraumatic stress disorder (PTSD). Hal ini diperkuat oleh gagasan yang disampaikan oleh American Psychiatric Association (1994 dalam Bonin, Norton, Asmundson, Dicurzio & Pidlubney, 2000) bahwa PTSD mungkin muncul mengikuti peristiwa ketika seorang individu yakin bahwa dirinya dapat saja terluka atau terbunuh secara serius, ataupun ketika menyaksikan orang lain terluka secara serius atau bahkan terbunuh.


(27)

Bentuk trauma itu sendiri dapat bermacam-macam, misalnya: kematian orang yang dicintai, pengasingan atau pengabaian secara fisik dan emosional, menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga atau komunitas, mengalami kecelakaan atau bencana alam yang serius, serta trauma yang terasosiasi dengan perang dan pertempuran, dan lainnya. Pengalaman-pengalaman tersebut berpotensi menghasilkan reaksi PTSD bagi sebagian besar korban. Kendati demikian, belum banyak penelitian empiris yang memeriksa keterkaitan spesifik antara pengampunan dan kesembuhan dari trauma, termasuk hubungan PTSD dan tidak memaafkan. Berdasarkan penjabaran mengenai macam-macam trauma di atas, dapat dilihat bahwa ada beberapa trauma yang disebabkan oleh perilaku orang lain dan ada yang tidak. Dalam trauma yang disebabkan oleh orang lain, beberapa kasus membutuhkan proses pengampunan yang berbeda dari biasanya, misalnya kasus kekerasan seksual pada masa kanak-kanak.

Pengampunan dalam konteks kekerasan seksual pada masa kanak-kanak berbeda dengan mengampuni kesalahan lainnya karena beberapa alasan. Pertama, pelaku kesalahan dalam kekerasan seksual pada masa kanak-kanak seringkali merupakan individu yang seharusnya bertanggungjawab atas keselamatan dan kesejahteraan korban dan secara ekstrim memiliki keintiman emosional dengan korban, sehingga sulit mengampuni pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diperkeruh oleh adanya pelanggaran keamanan. Kedua, mengampuni kasus kekerasan seksual tersebut merupakan proses yang kompleks dan dinamis, sulit untuk


(28)

dimulai dan membutuhkan waktu yang signifikan. Terakhir, perubahan prososial motivasional terhadap pelaku kesalahan mungkin tidak dapat dijalani dan/atau tidak dianjurkan, berkaitan dengan potensi terulangnya kekerasan setelah rekonsiliasi. Kendati demikian, penelitian-penelitian selanjutnya menemukan bahwa pengampunan dapat terjadi tanpa rekonsiliasi, dan korban dapat mencapai transformasi emosi, kognitif, dan perilaku terhadap pelaku kesalahan tanpa perlu adanya kedekatan fisik ataupun kembali berelasi dengan pelaku kesalahan (Noll, 2005).

Meskipun belum banyak studi empiris yang berfokus pada pengalaman traumatik, termasuk pengampunan pada kasus kekerasan seksual, beberapa penelitian ternayata mampu menunjukkan efek positif pengampunan terhadap para korban pengalaman traumatik. Freedman & Enright (1996 dalam Noll, 2005) menemukan bahwa intervensi pengampunan menurunkan kecemasan dan depresi, serta meningkatkan pengampunan dan harapan pada korban incest dalam penelitian yang mereka lakukan. Sementara itu, penelitian lainnya menemukan bahwa intervensi pengampunan efektif bagi beberapa korban kekerasan seksual dan sebagian besar aspek pengampunan memberikan keuntungan pada proses penyembuhan para korban (Noll, 2003; Noll & McCullough, 2004 dalam Noll. 2005).

Minimnya penelitian mengenai pengampunan pada korban dengan pengalaman traumatik, serta efek positif praktik pengampunan terhadap para korban, membangkitkan ketertarikan peneliti untuk meneliti tentang


(29)

pengampunan pada wanita yang terinfeksi HIV dari suaminya. Para wanita dengan HIV/AIDS tersebut juga merupakan korban pengalaman traumatik dan harus menanggung hurt berupa beban secara fisik, psikologis, dan sosial akibat perbuatan suami. Pada kasus wanita dengan HIV/AIDS yang terinfeksi dari suami, sekalipun tidak terjadi rekonsiliasi atau bahkan korban putus hubungan dengan pelaku kesalahan, korban tetap akan menanggung hurt akibat pengalaman traumatiknya, misalnya: kesehatan fisik yang buruk karena adanya HIV dalam tubuh, dan lain sebagainya.

Ketertarikan untuk meneliti tersebut diperkuat oleh temuan bahwa ODHA seringkali merasa tidak mampu untuk mengampuni anggota keluarganya atas keadaan yang menyebabkan mereka memperoleh infeksi HIV, terutama pada wanita dengan HIV/AIDS. Wanita dengan HIV/AIDS cenderung menyalahkan keluarga dan tradisi sosial atas kerentanan mereka. Misalnya, seorang informan mengaku bahwa dirinya tidak mampu mengampuni kedua orangtuanya yang telah membuatnya menikahi pria dengan kebiasaan buruk, hingga dirinya terinfeksi HIV/AIDS. Informan tersebut juga mengatakan bahwa seharusnya orangtuanya mendidik dan membantunya menjadi mandiri (Temoshok & Chandra, 2000).

Penelitian lainnya yang dilakukan di Thailand menemukan bahwa ODHA biasanya mengalami kehidupan tidak harmonis yang disebabkan infeksi HIV dan juga tritmen yang terkait dengan HIV. Keadaan yang ideal, yaitu keharmonisan, dapat diperoleh, salah satu caranya, dengan terapi energik (energetic therapy). Keharmonisan yang dimaksud adalah


(30)

suatu keadaan yang muncul saat seseorang menemukan diri mereka yang sesungguhnya (real self), yang dapat meningkatkan keharmonisan di dalam pikiran, tubuh, dan jiwa, serta meningkatkan derajat kesehatan. Perolehan keharmonisan tersebut telah terbukti memunculkan perasaan puas atau berhasil, konsep diri yang positif, serta lingkungan yang lebih menyenangkan. Pada intinya, keharmonisan yang hendak dicapai adalah keadaan seimbang antara diri seseorang dengan alam semesta.

Adapun pengalaman-pengalaman ketidakharmonisan yang dialami oleh ODHA biasanya berupa: stres karena menjadi orang yang terinfeksi HIV; perasaan tidak menentu, merasa putus asa, berpikiran untuk mati; rasa bersalah dan tidak mengampuni; dan merasa tidak berdaya (Keawpimon, Songwathana & Chuaprapaisilp, 2010). Sementara itu, penelitian lainnya juga menemukan bahwa pria yang terinfeksi HIV sebagai konsekuensi dari perilaku berisiko yang mereka lakukan, cenderung bergumul dengan isu pengampunan terhadap diri sendiri (Temoshok & Chandra, 2000).

Pengampunan terutama sulit dilakukan oleh ODHA yang terinfeksi melalui pasangan. Sebuah studi kasus oleh Riasnugrahani dan Wijayanti (2011) memunjukkan bahwa wanita yang terinfeksi HIV/AIDS melalui suami cenderung merasa tidak adil akan keadaan tersebut dan tidak mengampuni. Penelitian lainnya menemukan bahwa wanita yang terinfeksi HIV/AIDS melalui pasangan merasa marah, bahkan cenderung tidak lagi menghormati pasangan dan memperlakukannya dengan buruk


(31)

(Keawpimon, Songwathana & Chuaprapaisilp, 2010). Perilaku tidak mengampuni tersebut terkait dengan beban-beban sosial dan psikologis yang ditanggung ODHA ketika statusnya terungkap (Hidayah, 2014).

Temoshok dan Chandra (2000) juga menemukan bahwa wanita di India yang terinfeksi HIV melalui pasangannya cenderung tidak mengampuni situasi yang membuat mereka rentan terhadap infeksi, serta merasa tidak berdaya untuk mengubah situasi yang mereka alami. Para wanita tersebut kemudian berusaha menerima infeksi HIV mereka sebagai takdir untuk berekonsiliasi dengan perasaan tidak mengampuni tersebut. Sementara itu, wanita yang berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK), cenderung tidak mampu mengampuni pria yang membuat mereka terinfeksi, sebagai bentuk dari amarah, serta terbukti tetap tidak berhasil mengampuni setelah diberi intervensi berupa pendekatan rohani/agama. Para wanita yang berprofesi sebagai PSK tersebut juga tidak dapat mengampuni orang lain dan masyarakat yang mengisolasi mereka dan meminta mereka bertanggungjawab atas penyebaran infeksi HIV.

Penelitian-penelitian terdahulu memberikan gambaran mengenai berbagai konsekuensi dari perilaku mengampuni dan tidak mengampuni pada ODHA (Martin, Vosvick & Riggs, 2012; Riasnugrahani & Wijayanti, 2011; Temoshok & Wald, 2005). Hasil dari penelitian-penelitian tersebut secara umum menunjukkan bahwa pengampunan pada akhirnya akan mampu meningkatkan status kesehatan ODHA. Sebaliknya perilaku tidak mengampuni, baik terhadap diri, orang lain, bahkan sistem pengobatan,


(32)

menyebabkan kesehatan ODHA semakin memburuk. Beberapa penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa pada umumnya sulit bagi ODHA untuk melakukan pengampunan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, termasuk keluarganya sendiri (Hidayah, 2014; Temoshok & Chandra, 2000). Kesulitan untuk mengampuni tersebut biasanya terjadi pada wanita dengan HIV/AIDS (Temoshok & Chandra, 2000), terutama yang terinfeksi melalui pasangannya (Keawpimon, Songwathana, Chuaprapaisilp, 2010; Riasnugrahani & Wijayanti, 2011; Temoshok & Chandra, 2000).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Riasnugrahani dan Wijayanti (2011) berusaha mengungkap kaitan pengampunan dengan tingkat kesehatan pada wanita dengan HIV/AIDS yang terinfeksi melalui suaminya. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha memetakan proses pengampunan yang dilalui oleh kedua subjeknya. Peneliti mencocokkan hasil wawancara mengenai proses pengampunan yang dilalui subjek dengan teori mengenai 20 unit dari proses pengampunan, yang dirangkum ke dalam empat fase, yakni: uncovering, decision, work, dan deepening (Enright, et. al., 1998 dalam Riasnugrahani & Wijayanti, 2011).

Penelitian tersebut secara umum menjelaskan keadaan-keadaan yang dialami oleh kedua subjek dalam setiap fase, tetapi tidak secara rinci membandingkan keadaan-keadaan yang dialami para subjek dengan tahap-tahap dalam fase pengampunan Enright. Hal ini dilakukan karena penelitian tersebut memang berfokus dalam melihat perbedaan kondisi


(33)

kesehatan subjek sebelum dan sesudah memasuki rangkaian proses pengampunan.

Dengan mempertimbangkan penelitian-penelitian terdahulu, maka penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi proses yang dilalui oleh wanita dengan HIV/AIDS dalam mengampuni pasangan yang menjadi sumber penularan HIV. Adapun wanita dengan HIV/AIDS yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah wanita yang telah menikah dan terinfeksi HIV dari suaminya. Latar belakang suami terinfeksi dapat berupa faktor risiko apa saja, misalnya: hubungan seksual, penggunaan jarum suntik secara bergantian, dan lain sebagainya.

Dalam penelitian ini, proses yang dilalui informan, dari awal hingga mencapai tahap mengampuni, dicermati sampai tingkatan unit. Dengan demikian, penelitian ini akan mampu mengungkap variabel psikologis yang muncul saat seseorang menjalani proses mengampuni. Selain itu, hal tersebut juga dapat mengungkap aspek-aspek kognitif, behavioral, dan afektif dari proses pengampunan (Enright & Coyle, 1996).

Terkait dengan penggunaan teori proses pengampunan Enright, yang dikenal sebagai Enright Psychological Process Model of Forgiveness, peneliti berusaha untuk memperhatikan berbagai kritik yang muncul mengenai teori tersebut. Terhadap kritik yang disampaikan oleh Lamb (2002) bahwa tahapan pengampunan tersebut tidak selalu dialami oleh orang yang mengampuni, Freedman, Enright & Knutson (2005) menjelaskan bahwa tahapan tersebut bukanlah sesuatu yang kaku. Bahkan,


(34)

terkadang mereka mengganti beberapa unit guna menyesuaikan dengan pengalaman aktual orang yang diteliti. Selain itu, mereka juga tetap berkeyakinan bahwa pengampunan paling baik ditawarkan tanpa paksaan pada waktu orang yang mengampuni sudah siap, terlepas bagaimana perilaku dari pelaku kesalahan. Pernyataan tersebut merupakan tanggapan atas kritik Lamb (2002) yang mengatakan bahwa seharusnya orang yang mengampuni dan orang yang diampuni saling bergantung, misalnya dengan cara pelaku kesalahan menunjukkan penyesalannya. Menurut Freedman, Enright & Knutson (2005), tidak selalu ada kesempatan bagi relasi antara orang yang mengampuni dan diampuni untuk terjadi.

Murphy (2002, dalam Lamb 2002) juga mengkritik bahwa pelepasan perasaan negatif dan perasaan ingin membalas dendam, yang merupakan salah satu unit dalam tahapan pengampunan Enright, terdengar seperti melepaskan harga diri, pertahanan diri, serta kepatuhan pada tatanan moral. Sebagai respon atas kritikan tersebut, Freedman, Enright & Knutson (2005) mengutip diskusi Holmgren (2002, dalam Freedman, Enright & Knutson, 2005) bahwa tahap pertama menunju pengampunan adalah orang yang terluka perlu memulihkan harga dirinya dan menyadari bahwa luka yang diterimanya salah, serta bahwa dirinya adalah orang yang berharga dan pantas untuk diperlakukan dengan baik, juga bahwa kesalahan yang terjadi bukan kekeliruannya. Selain itu, Freedman, Enright & Knutson (2005) juga menegaskan bahwa mereka tidak pernah menyatakan pengampunan sebagai cara tunggal untuk sembuh setelah


(35)

terluka secara mendalam, tetapi pengampunan adalah salah satu cara untuk pulih dan secara efektif mengurangi kemarahan dan sakit hati, sebagai tanggapan atas kritik bahwa kemungkinan ada pendekatan atau tritmen lainnya yang lebih efektif daripada praktik pengampunan (Lamb, 2002).

Sementara itu, berkaitan dengan lokasi penelitian yang berada di Indonesia, sebuah penelitian menemukan bahwa sensitivitas terhadap situasi dan kerelaan untuk mengampuni, dalam kaitannya dengan forgivingness-sebuah disposisi keseluruhan untuk mengampuni, cenderung lebih tinggi pada orang Indonesia yang dikenal memiliki budaya kolektivitas daripada orang Prancis yang diketahui lebih individualistik. Sementara itu, kebencian yang berkepanjangan memiliki tingkatan yang lebih rendah pada orang Indonesia dibandingkan orang Perancis.

Penemuan tersebut berkaitan dengan pandangan kolektivitis yang cenderung menekankan norma kolektif, relasi, serta kesejahteraan bersama, sehingga pengampunan dipahami sebagai konstruk interpersonal yang harus dilakukan karena merupakan suatu tugas sosial. Sementara itu, dalam budaya individualistik, diri dipandang berdikari dan yang ditekankan adalah tanggungjawab serta kesejahteraan pribadi, sehingga pengampunan dipahami sebagai sebuah konstruk intrapersonal (Suwartono, Prawasti & Mullet, 2006).

Selain itu, Sandage & Williamson (2005) menemukan bahwa studi terkait efek dari konteks dan kultur dalam hubungannya dengan pengampunan masih sangat minim dilakukan dengan sampel non-Barat


(36)

(non-western sample). Oleh karena itu, hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa penemuan-penemuan baru mengenai sistem-sistem nilai yang ada di Indonesia dalam kaitannya dengan pengampunan, sehingga pada akhirnya dapat melihat pula unit-unit dalam tahapan pengampunan Enright yang sesuai dan tidak sesuai dengan pengalaman mengampuni pada wanita dengan HIV/AIDS di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimana proses pengampunan yang dilakukan oleh wanita dengan HIV/AIDS terhadap suaminya yang menjadi sumber infeksi HIV?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pengampunan yang dilakukan oleh wanita dengan HIV/AIDS terhadap suaminya yang menjadi sumber infeksi HIV.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil dari penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai proses mengampuni pada wanita yang terinfeksi HIV/AIDS melalui suaminya, hal-hal yang terkait dengan proses pengampunan tersebut, serta pentingnya pengampunan tersebut dilakukan.


(37)

b. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pengampunan yang terjadi dalam konteks kultur Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi panutan bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) untuk mampu melakukan pengampunan, baik terhadap diri sendiri, orang lain, situasi yang mereka alami, maupun sistem kesehatan, guna meningkatkan status kesehatan mereka.

b. Hasil penelitian juga diharapkan dapat menjadi panduan bagi praktisi psikologi dalam melakukan pendampingan terhadap ODHA guna memberikan dukungan psikologis untuk mencegah terjadinya kesalahan bersikap, misalnya merencanakan untuk bunuh diri.

c. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan wawasan baru kepada para praktisi kesehatan guna mendukung mereka dalam memberikan edukasi terkait isu HIV dan AIDS bagi masyarakat luas dan ODHA sendiri.

d. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan wawasan baru bagi keluarga ODHA guna mendorong mereka untuk mendukung ODHA agar mampu bangkit dari keterpurukan dan memberdayakan diri tanpa kecemasan.


(38)

e. Terakhir, penemuan dalam penelitian ini diharapkan pula dapat mendorong masyarakat luas untuk mencari informasi yang benar terkait HIV dan AIDS agar terhindar dari perilaku diskriminasi serta menumbuhkan kesadaran tentang bahaya penularan HIV.


(39)

19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KORBAN PENGALAMAN TRAUMATIK

Korban merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut individu yang menjadi target dari perilaku kekerasan, diskriminatif, melecehkan, ataupun menyerang dari orang lain. Selain itu, istilah korban juga merujuk pada orang yang mengalami kecelakaan ataupun bencana alam (American Psychological Association, 2015). Para korban tersebut biasanya akan mengalami emosi negatif berupa kecemasan, terluka, kesedihan, kemarahan, dan kebencian dalam tingkatan yang berbeda-beda, juga membangun pola kognisi negatif serta menunjukkan kecenderungan perilaku negatif (Rusbult, Hannon, Stocker & Finkel, 2005). Reaksi yang muncul pada korban setelah mengalami peristiwa traumatik, kekerasan, bencana alam, dan lain sebagainya (Noll, 2005) dapat bervariasi tergantung pada, salah satunya, sifat dari pengalaman traumatik yang terjadi (Rusbult, Hannon, Stocker & Finkel, 2005).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa korban akan mengalami kecemasan, penghindaran, kebencian, serta hasrat untuk membalas dendam yang lebih kuat atas peristiwa traumatik, terutama yang merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain, yang merupakan pelanggaran berat, pelanggaran yang berdampak pada devaluasi relasi, ataupun pelanggaran yang dirasakan sebagai sesuatu yang disengaja dan


(40)

dapat dikendalikan (Rusbult, Hannon, Stocker & Finkel, 2005). Pada trauma-trauma yang terjadi karena perilaku orang lain, korban biasanya akan merasakan hurt, yakni rasa sakit yang diderita karena kesalahan orang lain (Walton, 2005).

Terkait dengan pengalaman traumatik tersebut, peneliti menemukan bahwa praktik pengampunan berpotensi memunculkan efek positif pada korban pengalaman traumatik. Kendati demikian, hasil penelitian menunjukkan pula bahwa dalam trauma akibat perbuatan orang lain, terdapat kasus-kasus yang membutuhkan proses pengampunan yang berbeda karena kondisi-kondisi tertentu (Noll, 2005). Salah satu bentuk trauma yang muncul akibat kesalahan orang lain adalah kasus wanita dengan HIV/AIDS yang terinfeksi dari suaminya. Dalam kasus tersebut, sekalipun rekonsiliasi antara pelaku kesalahan dan korban tidak terjadi, atau bahkan terjadi putus hubungan, korban tetap harus menanggung berbagai konsekuensi buruk akibat pelanggaran yang terjadi, misalnya penurunan kesehatan fisik karena virus akan tetap berada di dalam tubuh dan tidak dapat disembuhkan.

B. HIV DAN AIDS 1. HIV

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah jenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. HIV bekerja dengan cara masuk ke dalam tubuh manusia dan mereplikasi diri di


(41)

dalam CD4. Setelah itu, HIV akan meninggalkan CD4 dalam keadaan rusak. Padahal, CD4 merupakan sel darah putih yang berfungsi untuk mengatur sistem kekebalan tubuh manusia. Oleh karena itu, ketika sel-sel CD4 hancur, maka sistem kekebalan tubuh kehilangan kemampuan untuk melindungi tubuh manusia dari serangan berbagai penyakit (Murni dkk., 2009).

2. AIDS

Sementara itu, AIDS (Acquires Immune Deficiency Syndrome) adalah kumpulan dari penyakit-penyakit yang muncul setelah HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia (Murni dkk., 2009). Seseorang yang baru terinfeksi HIV biasanya tidak menunjukkan gejala penyakit (AIDS). Orang tersebut akan tampak sehat meski telah terdapat HIV di dalam tubuhnya, yang dapat ditularkan pada orang lain. Masa tanpa gejala tersebut dapat berlangsung selama lima hingga sepuluh tahun, atau bahkan lebih (Green, 2014).

Seseorang akan dinyatakan memasuki fase AIDS ketika jumlah HIV semakin banyak di dalam tubuhnya dan sistem kekebalan tubuhnya semakin melemah. Setelah orang tersebut memasuki fase AIDS, biasanya akan tampak beberapa gejala, yakni: berat badan menurun drastis, diare berkelanjutan, batuk terus-menerus, serta terjadi pembengkakan pada leher dan/atau ketiak (Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Istimewa


(42)

Yogyakarta, t.t.). Biasanya, orang dengan AIDS akan mengalami penurunan kadar CD4, dari yang biasanya berkisar antara 500 hingga 1.500 pada orang sehat. Keadaan kekebalan tubuh orang dengan AIDS yang lemah ini tidak jarang menyebabkan beberapa jenis penyakit menjadi lebih berat daripada biasanya (Murni dkk., 2009).

3. Prinsip Penularan HIV

Pada dasarnya, di dalam tubuh orang yang terinfeksi, HIV dapat ditemukan di dalam darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu. Oleh karena itu, HIV hanya dapat menular melalui kondisi tertentu, yang biasanya dikenal dengan istilah “perilaku berisiko”. Beberapa kondisi tersebut antara lain:

a. Hubungan seksual yang memungkinkan darah, air mani, atau cairan vagina dari orang yang dengan HIV masuk ke aliran darah orang yang terinfeksi. Biasanya kondisi ini terjadi pada hubungan seksual tanpa kondom melalui vagina, dubur, ataupun mulut. Dengan demikian, hubungan seksual antara suami dan istri juga berisiko menularkan HIV.

b. Penggunaan jarum suntik secara bergantian dengan orang lain yang terinfeksi HIV.


(43)

d. Penularan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada bayi dalam kandungan, saat melahirkan, dan saat menyusui tanpa perantara (Murni dkk., 2009).

C. ORANG DENGAN HIV/AIDS 1. ODHA

Siapapun bisa terinfeksi HIV apabila memiliki riwayat melakukan perilaku berisiko. Perilaku yang berisiko merupakan perbuatan yang meningkatkan kemungkinan terinfeksi, misalnya berhubungan seksual tanpa menggunakan kondom, berhubungan seksual dengan orang yang status HIV-nya tidak diketahui, menggunakan jarum suntik secara bergantian, dan lain sebagainya (Serba-serbi HIV & AIDS, t.t.). Orang dengan HIV positif akan terlihat sehat dan merasa sehat, sehingga orang tersebut tidak akan tahu bahwa dirinya telah terinfeksi HIV apabila belum melakukan tes HIV (Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta, t.t.).

2. Sikap ODHA

Orang dengan AIDS biasanya mengalami banyak permasalahan fisik yang dapat menyebabkan mereka merasa malu ataupun mengalami penghinaan dari masyarakat. Berbagai permasalahan fisik yang dapat dialami oleh orang dengan AIDS misalnya: diare yang terus menerus dan tidak dapat diprediksi,


(44)

inkontinensia (tidak dapat menahan keluarnya kotoran), menjadi sangat lemas hingga tidak dapat berjalan tanpa bantuan, menjadi pikun dan pelupa. Selain itu, ODHA juga biasanya mengalami masalah badan bau dan kotor karena adanya penurunan kemampuan fisik yang menyulitkan mereka untuk merawat tubuh mereka.

ODHA juga kerap mendapatkan stigma negatif dari masyarakat karena infeksi HIV tidak dapat diterima di kebanyakan negara. Bahkan, wanita yang terinfeksi HIV/AIDS biasanya dilabeli sebagai wanita yang berzinah. Stigamatisasi semacam ini sangat merusak kepribadian seseorang, dari yang semula merupakan manusia yang utuh, hingga akhirnya menjadi seorang manusia yang terstigmatisasi. ODHA yang terstigma akan kehilangan status sosialnya dan mendapatkan label-label tertentu.

Stigma dan diskriminasi terkait dengan HIV dan AIDS dapat berupa isolasi, penolakan, mempersalahkan, atau devaluasi yang tampak jelas ketika seorang ODHA diperlakukan tidak sama dan tidak adil. Stigma dan diskriminasi tersebut dapat secara negatif mempengaruhi ODHA dan menyebabkan mereka menunda atau menolak tritmen, ataupun menyembunyikan penyakit mereka dari orang lain. Padahal, perilaku merahasiakan dan menyangkal status kesehatan terkait HIV/AIDS dapat mengarah pada berlanjutnya perilaku seksual yang berisiko. Selain itu, ketakutan


(45)

akan diskriminasi dan stigma juga mempengaruhi sikap ODHA dalam mengakses tritmen dan layanan kesehatan, termasuk dalam hal kesediaan untuk melakukan tes HIV, serta menjadi halangan bagi ODHA dalam mencari pertolongan (Saki, Kermanshahi, Mohammadi & Mohraz, 2015).

Keadaan yang dialami oleh ODHA, baik berupa kondisi fisik yang menurun ataupun adanya diskriminasi dan stigmatisasi dari masyarakat, dapat menyebabkan ODHA mengalami kesulitan dalam hal mengampuni. ODHA biasanya sulit untuk mengampuni anggota keluarga dan tradisi sosial, terkait keadaan yang menyebabkan mereka terinfeksi HIV. Misalnya, wanita dengan HIV/AIDS cenderung menyalahkan orangtua yang membuat dirinya menikah dengan pria yang memiliki kebiasaan buruk, hingga dirinya terinfeksi HIV (Temoshok & Chandra, 2000).

D. PENGAMPUNAN

1. Definisi Pengampunan

Pengampunan adalah salah satu cara untuk memperbaiki hati. Saat hati yang terluka berhasil disembuhkan, maka akan tersedia ruang bagi orang-orang yang telah menyakiti hati tersebut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pengampunan adalah sebuah perilaku yang mencerminkan belas kasihan yang berlimpah


(46)

kepada orang yang telah berperilaku tidak pantas (Holter, Magnuson, & Enright, 2008).

Mudah untuk mengatakan bahwa, “semua orang pantas untuk mendapatkan belas kasihan”. Namun, dibutuhkan pengorbanan yang tidak kecil untuk mewujudkannya. Pengorbanan itulah yang sebenarnya tengah dilakukan oleh orang-orang yang mengampuni, yakni berjuang untuk melihat kepantasan yang inheren bagi orang yang telah berlaku tidak adil, serta pada waktu yang bersamaan melihat diri sendiri juga memiliki kepantasan yang serupa. Maka, dengan mengampuni dan diampuni, orang akan memahami bahwa dirinya dan orang lain sama pantas dan sama berharganya (Holter dkk., 2008).

Pengampunan dimaknai sebagai sebuah rangkaian perubahan prososial motivasional yang muncul pada seseorang setelah orang lain melakukan kesalahan pada orang tersebut. Oleh karena itu, ketika seseorang mengampuni, ia menjadi kurang termotivasi untuk menyakiti orang yang bersalah kepadanya ataupun merusak hubungannya dengan pelaku kesalahan, dan secara stimultan menjadi lebih termotivasi untuk bertindak dalam cara-cara yang akan menguntungkan pelaku kesalahan ataupun hubungannya dengan pelaku kesalahan (McCullough, 2001).

Sementara itu, menurut APA Dictionary of Psychology, pengampunan adalah perbuatan sengaja menyisihkan perasaan


(47)

kebencian terhadap seseorang yang telah melakukan sebuah kesalahan, berlaku tidak adil atau menyakiti, ataupun mencelakai orang lain dengan cara tertentu. Pengampunan tidak serupa dengan rekonsiliasi atau menerima alasan orang lain, dan juga bukan berarti serta merta menerima apa yang terjadi dan berhenti menjadi marah. Sebaliknya, pengampunan melibatkan sebuah transformasi yang sukarela dalam hal perasaan, sikap, dan perilaku seseorang terhadap individu yang telah bersalah, sehingga orang tersebut tidak lagi didominasi oleh kebencian dan dapat mengekspresikan belas kasih, kemurahan hati, atau hal-hal serupa lainnya terhadap individu yang bersalah (American Psychological Association, 2015).

Pengampunan juga didefinisikan sebagai transformasi dari negatif menjadi positif dalam tiga hal, yakni kognisi, afeksi, dan perilaku. Proses pengampunan diekspresikan sebagai sebuah gerakan dari kemarahan dan kepahitan menjadi belas kasihan dan kebajikan. Terlepas dari apapun definisi pengampunan, pilihan untuk mengampuni adalah pilihan yang sangat personal. Pengampunan interpersonal adalah sebuah respon belas kasihan yang personal kepada seseorang yang telah sangat menyakiti kita, maka harus dipilih secara bebas dan tanpa paksaan (Holter dkk., 2008).


(48)

Oleh karena pengampunan adalah sebuah kehendak bebas, maka tidak perlu tergantung dari permintaan maaf ataupun gestur pertobatan dari pelaku kesalahan. Hal ini sama halnya dengan mengatakan bahwa kesehatan dan kesejahteraan personal kita tidak tergantung pada persetujuan ataupun keterlibatan dari seseorang yang telah menyakiti kita. Kesadaran akan hal ini akan sangat memberdayakan dan memerdekakan kita (Holter dkk., 2008).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengampunan adalah sebuah sikap yang dipilih secara sukarela berdasarkan kehendak bebas untuk menghilangkan perasaan-perasaan negatif, misalnya rasa kebencian, terhadap orang lain yang telah berbuat salah, mencelakai, menyakiti, ataupun melakukan hal-hal yang tidak adil lainnya kepada kita. Mengampuni tidak berarti bahwa kita menerima dengan sukarela perbuatan orang lain yang menyakitkan terhadap kita dan tidak menghargai hak kita untuk marah ataupun bereaksi negatif terhadap orang tersebut. Namun, mengampuni akan memerdekakan diri kita sendiri dari berbagai kepahitan dan sakit hati serta mengubahnya menjadi belas kasih yang sekaligus dapat menyehatkan kita secara fisik dan psikis. Orang yang mengampuni akan mengalami perubahan secara kognitif, afektif, dan perilaku sehingga dirinya tidak berkeinginan untuk membalas perbuatan pelaku kesalahan dengan cara menyakiti orang tersebut.


(49)

2. Proses Pengampunan

Enright (2008, dalam Holter dkk., 2008) menemukan empat fase dalam proses pengampunan yang dinamakan sebagai Enright Psychological Process Model of Forgiveness. Keempat fase tersebut merupakan fase-fase kognitif, perilaku, dan afektif dalam mengampuni orang lain (Enright & Coyle, 1996). Fase-fase tersebut diharapkan dapat menjadi suatu bentuk panduan bagi orang-orang yang sedang berusaha untuk mengampuni ataupun memperoleh pengampunan, dalam menjalani proses fundamental, manusiawi, dan psikologis dari pengampunan (Sutton, t.t.). Berikut merupakan keempat fase pengampunan tersebut:

a. FaseUncovering

Pada fase ini, orang yang hendak mengampuni mulai mengenali pelanggaran yang dilakukan orang lain atas dirinya. Selain itu, orang yang hendak mengampuni juga harus mengenali apakah pelanggaran tersebut sungguh merugikan dirinya atau tidak. Berikutnya, orang tersebut juga mulai mengenali bagaimana pelanggaran tersebut telah mengganggu kehidupannya.

Fase uncovering terjadi ketika orang yang hendak mengampuni mulai mengidentifikasi cedera psikologis yang dialaminya. Orang yang hendak mengampuni tersebut kemudian akan mulai menyadari kemarahan, rasa malu, dan


(50)

pikiran menyimpang yang mungkin mengikuti cedera psikologis yang dimilikinya. Pada fase uncovering ini, orang yang hendak mengampuni terkadang perlu diberikan penguatan dengan cara membantunya menyadari hubungan antara tidak mengampuni dan berbagai kesulitan fisik ataupun psikologis yang mungkin dialami sebagai hasil dari kemarahan yang disupresi atau direpresi. Sutton (t.t.) mengatakan bahwa, pada intinya, dalam fase uncovering

sesungguhnya terjadi proses penentuan yang seobjektif mungkin mengenai “siapa melakukan apa kepada siapa”.

Adapun unit-unit dalam faseuncoveringini adalah: 1) Pemeriksaan pertahanan-pertahanan psikologis dan

isu-isu yang terkait.

2) Konfrontasi kemarahan; dalam rangka melepaskan dan bukan memendam kemarahan.

3) Pengakuan terhadap rasa malu, ketika pantas untuk dilakukan.

4) Kesadaran akan cathexis (konsentrasi energi mental pada seseorang, suatu ide, atau objek tertentu, terutama pada tingkatan yang tidak sehat).

5) Kesadaran akan cognitive rehearsal pada pelanggaran yang terjadi.


(51)

6) Insight bahwa orang yang tersakiti mungkin akan membandingkan dirinya dengan pihak yang menyakiti.

7) Penyadaran bahwa seseorang dapat secara permanen dan secara merugikan diubah oleh luka yang diderita.

8) Insight mengenai pandangan “just world” yang mungkin untuk berubah.

b. FaseDecision

Pada fase decision ini, orang yang hendak mengampuni akan berusaha untuk semakin memahami, hingga akhirnya memiliki pemahaman yang akurat mengenai karakteristik pengampunan dan mulai membuat keputusan untuk melakukan pengampunan. Keputusan untuk mengampuni tersebut harus merupakan suatu kehendak bebas, bukan semata-mata karena tuntutan agama, moral, dan lain sebagainya. Biasanya, keputusan untuk mengampuni akan muncul pada saat seseorang berada pada keadaan “sick and tired of being sick and tired” dan menyadari bahwa pengampunan adalah sebuah pilihan. Orang tersebut kemudian akan secara sadar membuat sebuah keputusan untuk mulai mengampuni, sekalipun masih bersifat tentatif.


(52)

Adapun unit-unit dalam fasedecisionini adalah: 1) Terjadi perubahan dalam hati/konversi/munculnya

wawasan baru bahwa stratergi resolusi yang lama tidak lagi berfungsi dengan baik.

2) Kesediaan untuk mempertimbangkan pengampunan sebagai sebuah opsi.

3) Munculnya komitmen untuk mengampuni pelaku kesalahan.

c. FaseWork

Sementara itu, pada fase work, orang yang hendak mengampuni mulai memiliki pemahaman kognitif mengenai pelaku kesalahan. Orang tersebut akan mulai melihat pelaku kesalahan dengan perspektif baru yang dapat menghasilkan perubahan positif yang mempengaruhi pelaku kesalahan, diri orang yang mengampuni, dan juga relasi antara kedua orang tersebut.

Fase ini biasanya akan dimulai dengan orang yang hendak mengampuni berpikir dengan cara yang berbeda hingga cara yang positif mengenai pelaku kesalahan, dan mulai menumbuhkan empati serta belas kasih terhadap pelaku kesalahan. Selain itu, orang yang hendak mengampuni biasanya juga dengan berani dan secara asertif mau menanggung rasa sakit yang disebabkan oleh


(53)

pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku kesalahan. Kesediaan untuk menanggung rasa sakit tersebut akan memunculkan kedermawanan terhadap pelaku kesalahan, hingga akhirnya orang yang hendak mengampuni tersebut mampu memberikan imbalan moral berupa pengampunan kepada pelaku kesalahan.

Adapun unit-unit dalam faseworkini adalah:

1) Menyusun ulang kerangka mengenai pelaku kesalahan dengan melihatnya dalam konteks tertentu, melalui cara pengambilan peran.

2) Munculnya empati dan belas kasihan terhadap pelaku kesalahan.

3) Penerimaan dan penanggunggan rasa sakit.

4) Pemberian imbalan moral kepada pelaku kesalahan. d. FaseDeepening

Pada fase ini, orang yang telah mengampuni akan terbebas dari kungkungan rasa tidak mengampuni, kepahitan, kebencian, dan kemarahan, sebagai hasil dari kemampuan untuk menemukan makna dalam penderitaan yang dirasakannya. Proses menanggung rasa sakit dan merasakan penderitaan tersebut biasanya akan membuat orang yang telah mengampuni semakin dekat dengan orang-orang lain, semakin berkurangnya afek-afek negatif,


(54)

serta mampu memperbaharui tujuan hidup, bahkan terkadang menyadari adanya kebutuhan untuk memohon pengampunan dari orang lain pula. Kebutuhan akan pengampunan tersebut terutama muncul ketika orang yang telah mengampuni tersebut juga pernah melakukan kesalahan terhadap orang lain di masa lalu yang belum diampuni. Fase terakhir ini memungkinkan orang yang telah mengampuni tersebut untuk memiliki regulasi emosi yang lebih sehat dan penyadaran bahwa dirinya lebih dari seorang korban.

Adapun unit-unit dalam fasedeepeningini adalah:

1) Penemuan makna bagi diri sendiri dan orang lain dalam kesengsaraan dan dalam proses pengampunan.

2) Penyadaran bahwa diri sendiri juga memerlukan pengampunan dari orang lain di masa lampau.

3) Insight bahwa diri sendiri tidak sendirian, tetapi berada di dunia yang universal dan penuh dukungan dari orang lain.

4) Penyadaran bahwa diri sendiri dapat saja memiliki tujuan baru dalam hidup sebagai hasil dari luka yang dialami.


(55)

5) Kesadaran tentang penurunan afek/emosi negatif, dan mungkin peningkatan afek/emosi positif, jika mulai muncul, terhadap pelaku kesalahan; kesadaran internal, dan pelepasan emosional (Enright & Coyle, 1996; Enright, Knutson, Holter, Knutson & Twomey, 2008; Sutton, t.t.).

Dengan demikian, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa di dalam model pengampunan yang dikembangkan oleh Enright, seorang individu yang mengampuni secara kognitif akan menyadari penentu-penentu situasional yang menyebabkan pelaku kesalahan melakukan kesalahannya. Orang yang mengampuni kemudian akan secara afektif merasakan simpati atau penuh kasih terhadap pelaku kesalahan. Setelah itu, secara perilakuan, orang yang mengampuni akan mendiskusikan solusi-solusi yang memungkinkan atas permasalahan-permasalahan yang terjadi atau bahkan membantu pelaku kesalahan. Respon-respon pengampunan tersebut mencerminkan sebuah perubahan motivasional pokok yang berlawanan dengan kecenderungan alamiah seseorang untuk menarik diri dan/atau membalas pelanggaran yang dilakukan pelaku kesalahan (McCullough et al., 1997, 1998; Rusbult et al., 1991 dalam Zechmeister & Romero, 2002).


(56)

Melalui fase uncovering, orang yang mengampuni mengalami baik rasa sakit maupun kenyataan akan luka yang dialami, serta bagaimana hal tersebut mempengaruhi dirinya. Sementara itu, pada fase decision, orang yang mengampuni akan mengeksplorasi ide mengenai pengampunan dan hal-hal yang terkait dengan proses pengampunan, sebelum benar-benar melakukan pengampunan. Pada fase work, orang yang mengampuni melihat pelaku kesalahan dengan pandangan yang baru atau melihat pelaku kesalahan dalam suatu konteks tertentu guna memahami bagaimana cedera tersebut dapat terjadi. Pada fase terakhir, yakni deepening, orang yang mengampuni menyadari bahwa dengan memberikan hadiah berupa pengampunan pada pelaku kesalahan, dirinya telah mengalami pemulihan (Freedman, Enright & Knutson, 2005).

3. Jenis-Jenis Pengampunan

Secara umum, pengampunan dapat dilihat dalam dua proses yang saling berhubungan tetapi sesungguhnya terpisah. Kedua proses tersebut adalah decisional forgiveness dan emotional forgiveness. Decisional forgiveness adalah sebuah intensi perilaku untuk meminimalisir perilaku negatif terhadap pelaku kesalahan. Dalam proses pengampunan ini, seseorang mungkin menunjukkan sikap bahwa dirinya sudah mengampuni dengan menunjukkan sikap-sikap yang baik kepada pelaku kesalahan, tetapi


(57)

sesungguhnya ia belum mengampuni secara emosional (misalnya marah, merasa sakit, mengalami kepahitan hati). Sementara itu,

emotional forgiveness adalah pengalaman internal terkait dengan penggantian emosi negatif dengan emosi positif (misalnya empati, cinta, belas kasih) (Exline, Worthington, Hill & McCullough, 2003 dalam Hook dkk., 2012).

Pengampunan juga terbagi ke dalam dua dimensi yang berbeda, yakni dimensi intrapsikis yang mencakup keadaan emosional, serta dimensi interpersonal yang mencakup hubungan yang sedang berlangsung yang memungkinkan pengampunan terjadi atau gagal terjadi di dalamnya. Pengampunan dalam bentuk intrapsikis adalah sikap emosional berdasarkan penilaian kognitif dan interpretasi, yang dimaknai sebagai berhenti merasa marah dan sakit hati terhadap pelaku kesalahan. Dalam dimensi ini, pelaku kesalahan tidak tahu apakah dirinya sudah diampuni atau belum diampuni karena hanya terjadi dalam pikiran korban. Sementara itu, dimensi yang kedua memposisikan pengampunan sebagai tindakan sosial yang terjadi antarpribadi, sehingga merupakan langkah pengembalian relasi pada keadaan semula, di mana korban tidak lagi berusaha membalas dendam ataupun meminta suatu perbaikan, serta pelaku kesalahan tidak lagi perlu merasa bersalah ataupun mengubah perilakunya bagi korban. (Baumeister dkk., 1998).


(58)

Kedua dimensi pengampunan tersebut dapat dipahami secara ortogonal karena dalam hal prinsip keduanya independen, sehingga dalam hal situasi sosial yang aktual dapat mengandung salah satu, keduanya, atau tidak sama sekali. Hal tersebut kemudian menciptakan sebuah matriks kemungkinan. Matriks tersebut terdiri dari kombinasi dimensi pertama dan kedua yang membentuk empat jenis pengampunan yang berbeda, yaknihollow forgiveness, total forgiveness, silent forgiveness, atau no forgiveness(Baumeister dkk., 1998).

Hollow forgiveness sebagai sebuah bentuk pengampunan yang diberikan secara lisan, tetapi tidak dialami secara psikologis. Jenis pengampunan ini merupakan kombinasi dari adanya tindakan interpersonal dari dimensi kedua, tanpa adanya status intrapsikis dari dimensi pertama. Dalam pengampunan jenis ini, korban menyatakan pengampunan, tetapi tidak merasakan atau mengalami pengampunan tersebut di dalam dirinya. Dengan demikian, korban akan tetap merasakan sakit hati dan sebagainya (Baumeister dkk., 1998).

Mengekspresikan pengampunan mungkin merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembuatan komitmen untuk mengampuni (Baumeister dkk., 1998). Pembentukan komitmen untuk mengampuni tersebut menandakan permulaan dari proses intrapsikis pengampunan, tetapi mungkin hanya pada


(59)

permulaannya saja (Enright & The Human Development Study Group, 1991; Al-Mabuk, Enright, & Cardis, 1995 dalam Baumeister dkk., 1998). Ketika seseorang membuat komitmen untuk mengampuni, orang tersebut akan menyatakannya kepada pelaku kesalahan, terutama apabila pelaku kesalahan adalah pasangan dalam hubungan yang sangat dekat, seseorang yang sangat sering ditemui, dan orang yang mungkin juga merasa cemas jika tidak mendapatkan pengampunan (Baumeister dkk., 1998).

Sementara itu, silent forgiveness adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan di mana pengampunan intrapsikis dari dimensi pertama telah dilakukan, tetapi tidak diungkapkan (dimensi kedua). Jika ditinjau dari teori dendam, jenis pengampunan ini membuat korban menikmati keuntungan dari pengampunan, yakni terbebas dari afek negatif, dan sebagainya, sekaligus menghindari kerugiannya, yakni kehilangan konsesi atau ganti rugi dari pelaku kesalahan, dan sebagainya. Jenis pengampunan yang semacam ini terkadang diperlukan dalam situasi tertentu, misalnya dalam rumah tangga yang penuh kekerasan, untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah (Baumeister dkk., 1998).

Kombinasi yang ketiga adalah total forgiveness, di mana terjadi pengampunan baik dalam dimensi yang pertama maupun kedua. Jenis pengampunan ini memungkinkan korban untuk


(60)

terbebas dari afek negatif, serta memungkinkan pelaku kesalahan untuk terbebas dari perasaan bersalah. Pengampunan jenis ini sangat berpotensi untuk mengembalikan hubungan yang terganggu ke dalam keadaan semula. Di sisi lain, kombinasi dari tidak adanya pengampunan baik dalam dimensi pertama maupun dimensi kedua akan membentuk jenis pengampunan terakhir, yaknino forgiveness

yang dikenal dengan sebutan “dendam total” (total grudge). Jenis

no forgivenessadalah bentuk yang sangat tidak diharapkan, karena berbagai penelitian telah menunjukkan keuntungan dari pengampunan dan kerugian dari tidak mengampuni (Baumeister dkk., 1998).

Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa dari segi proses, pengampunan terbagi menjadi decisional forgiveness dimana orang yang mengampuni meminimalisir perilaku negatif terhadap pelaku kesalahan sekalipun belum mengampuni secara emosional, sertaemotional forgivenessdimana terjadi pergantian emosi negatif menjadi emosi positif. Selain itu, pengampunan juga terbagi menjadi dimensi intrapsikis yang merupakan sikap emosional berdasarkan penilaian kognitif dan interpretasi, serta dimensi interpersonal yang memungkinkan pengembalian relasi pada keadaan semula. Dimensi intrapsikis dan interpersonal kemudian membentuk suatu matriks yang terdiri dari


(61)

hollow forgiveness, total forgiveness, silent forgiveness, serta no forgiveness.

Hollow forgiveness adalah jenis pengampunan yang dinyatakan, tetapi tidak dialami secara psikologis oleh orang yang mengampuni. Sementara itu, total forgiveness adalah pengampunan yang terjadi baik dalam dimensi intrapsikis maupun interpersonal sehingga tidak hanya dinyatakan, tetapi sungguh-sungguh dirasakan oleh orang yang mengampuni. Di sisi lain,

silent forgivenessadalah jenis pengampunan yang dirasakan secara psikologis oleh orang yang mengampuni, tetapi tidak diungkapkan kepada pelaku kesalahan. Terakhir, no forgiveness merupakan perpaduan dari tidak adanya pengampunan baik dalam dimensi intrapsikis maupun interpersonal.

4. Pengampunan dan Wanita dengan HIV/AIDS

Praktik pengampunan merupakan salah satu bentuk terapi penunjang yang dapat menghilangkan afek-afek negatif dalam diri ODHA. Melalui praktik pengampunan, kadar CD4 dalam tubuh ODHA dapat dipertahankan sehingga sistem kekebalan tubuhnya dapat tetap baik (Riasnugrahani & Wijayanti, 2011). Pengampunan yang dilakukan oleh ODHA juga terasosiasi dengan harga diri dan penghargaan diri, berbagai dampak positif bagi kesehatan, serta berlawanan dengan perasaan bersalah dan kebencian serta menyalahkan diri sendiri. Hal ini menjadi sangat penting karena


(62)

harga diri yang tinggi dapat menghindarkan ODHA dari cara-cara maladaptif untuk berdamai dengan stress. Adapun cara-cara maladaptif yang dimaksud misalnya penggunaan obat-obatan terlarang yang merupakan salah satu kontributor dari infeksi HIV dan penyakit menular seksual lainnya, yang disebabkan oleh penggunaan obat-obatan terlarang, khususnya jenis yang menggunakan jarum suntik sebagai media (Temoshok & Wald, 2005).

Meskipun praktik pengampunan sangat penting bagi ODHA, pengampunan ternyata sulit dilakukan, terutama oleh wanita dengan HIV/AIDS yang terinfeksi melalui suaminya (Riasnugrahani & Wijayanti, 2011). Lebih dari 90% wanita dengan HIV/AIDS di negara berkembang terinfeksi HIV melalui transmisi heteroseksual, atau dengan kata lain, melalui hubungan seksual dengan suami atau pasangan reguler mereka. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kerentanan wanita untuk terinfeksi HIV merupakan suatu akibat langsung dari perilaku pasangannya, misalnya hubungan biseksual, penggunaan obat-obatan yang melalui pembuluh darah, atau memiliki lebih dari satu pasangan seksual (WHO, 1999 dalam Dawar & Anand, 2009). Seorang wanita, terutama dalam budaya patriarki, biasanya akan merasa bahwa dirinyalah yang dipersalahkan serta harus menanggung stigma dan diskriminasi, sekalipun dirinya tidak bertanggungjawab


(63)

secara langsung atas infeksi yang didapatkannya (Dawar & Anand, 2009).

Adanya beban sosial, psikologis, dan fisik yang menimpa para wanita yang terinfeksi HIV melalui suaminya, membuat mereka memunculkan beberapa sikap yang khas (Hidayah, 2014). Para wanita tersebut biasanya merasa tidak adil akan keadaan yang menimpa dirinya, merasa marah terhadap pasangannya, bahkan cenderung tidak lagi menghormati pasangannya dan memperlakukan pasangannya dengan buruk (Keawpimon, Songwathana & Chuaprapaisilp, 2010; Riasnugrahani & Wijayanti, 2011).

Meskipun sulit, pengampunan pada wanita dengan HIV/AIDS yang terinfeksi dari suami adalah hal yang penting untuk dilakukan. Pengampunan pada wanita dengan HIV/AIDS tersebut dapat mengarahkan pada terjadinya fungsi psikologis yang lebih positif serta peningkatan kepuasan hidup. Saat wanita dengan HIV/AIDS tersebut mengampuni suaminya yang merupakan sumber penularan HIV, para wanita tersebut akan mengalami lebih sedikit simptom depresi dan stressor. Adapun stressor yang dialami akan berada pada titik rendah (Riasnugrahani & Wijayanti, 2011).


(64)

E. KERANGKA KONSEPTUAL

Perilaku mengampuni sangat penting untuk dilakukan oleh ODHA. Hal ini terkait dengan manfaatnya bagi kesehatan dan kesejahteraan fisik serta psikologis ODHA, yang diyakini dapat meningkatkan mutu hidup ODHA. Selain itu, perilaku tidak mengampuni pada ODHA diketahui dapat memunculkan dampak-dampak negatif.

Namun, ternyata tidak mudah bagi ODHA untuk melakukan pengampunan, terutama pada wanita dengan HIV/AIDS yang terinfeksi HIV. Padahal, infeksi HIV serta kasus AIDS berdasarkan faktor resiko di Indonesia dominan terjadi pada kelompok heteroseksual. Sementara itu, penderita AIDS di Indonesia berdasarkan jenis pekerjaan dominan terjadi pada kelompok ibu rumah tangga.

Oleh karena itu, penelitian ini hendak mengeksplorasi pengampunan pada wanita dengan HIV/AIDS yang terinfeksi melalui suaminya dengan berpedoman pada tahapan pengampunan menurut Enright (2008, dalam Holter dkk., 2008). Adapun tahapan pengampunan tersebut terdiri dari empat fase, yaitu: fase uncovering, fase decision, fase

work, dan fase deepening. Dalam setiap fase tersebut, terdapat pula unit-unit yang menggambarkan pengalaman-pengalaman orang yang sedang berada dalam proses pengampunan.


(65)

45

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS DAN DESAIN PENELITIAN 1. Jenis Penelitian

Pendekatan yang hendak digunakan di dalam penelitian mengenai proses pengampunan yang dilakukan oleh wanita dengan HIV/AIDS terhadap suami yang menjadi sumber infeksi HIV ini adalah jenis penelitian kualitatif. Jenis penelitian kualitatif digunakan karena dalam penelitian ini, yang hendak dieksplorasi dan dipahami adalah proses yang dilalui oleh wanita dengan HIV/AIDS dalam mengampuni suaminya yang menjadi sumber infeksi HIV tersebut (Creswell, 2009/2012). Oleh karena itu, penelitian ini akan dilakukan dengan memperhatikan ciri-ciri pokok penelitian kualitatif.

Penelitian ini akan dilakukan di lingkungan alamiah informan, di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, tempat informan berdomisili. Selain itu, peneliti akan berperan sebagai instrumen kunci dalam penelitian ini dengan cara turun sendiri ke lapangan untuk mengumpulkan data yang berasal dari berbagai sumber, dengan tetap berpedoman pada protokol-protokol yang telah dibuat. Adapun data-data yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti, akan dimaknai menurut kacamata informan dan tidak


(66)

dipengaruhi oleh pandangan peneliti sendiri maupun pemaknaan dari peneliti-peneliti terdahulu. Dalam proses penelitian tersebut, peneliti berpedoman pada suatu lensa teoritis (Creswell, 2009).

2. Desain Penelitian

Strategi inkuiri yang hendak digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian studi kasus. Desain penelitian studi kasus dipilih karena penelitian ini hendak mengeksplorasi secara mendalam proses pengampunan yang dilalui oleh informan tertentu, yakni wanita dengan HIV/AIDS yang terinfeksi melalui suaminya. Hal ini sesuai dengan faedah dari desain penelitian studi kasus yakni menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu (Stake, 1995 dalam Creswell, 2012).

B. FOKUS PENELITIAN

Penelitian ini hendak berfokus pada masalah pokok yang telah ditetapkan di BAB I, yakni eksplorasi mengenai proses pengampunan yang dilakukan oleh wanita dengan HIV & AIDS terhadap suaminya yang menjadi sumber infeksi HIV. Dengan demikian, bidang inkuiri dalam penelitian ini menjadi jelas dan peneliti hanya perlu menentukan informan yang sesuai dengan kriteria, serta mengumpulkan data yang berkaitan dengan tahap-tahap pengampunan yang dilakukan oleh informan terhadap suaminya. Data-data di luar hal tersebut, sekalipun menarik, tidak akan


(67)

dijamah oleh peneliti kecuali berkaitan dan mendukung data mengenai proses pengampunan informan terhadap suaminya tersebut. Pengumpulan data yang sesuai dengan fokus penelitian tersebut dilakukan untuk menjamin terjadinya pemenuhan kriteria inklusi-eksklusi dalam penelitian ini (Moleong, 2008).

C. INFORMAN

Informan dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan beberapa kriteria yang sesuai dengan kebutuhan (Herdiansyah, 2014). Berdasarkan masalah dan tujuan penelitian ini, maka ditentukanlah kriteria informan yang hendak digunakan, yakni:

1. Wanita dengan HIV/AIDS

Penelitian ini berfokus pada orang dengan HIV/AIDS yang berjenis kelamin wanita.

2. Sudah menikah dan terinfeksi HIV dari suami.

Sumber infeksi HIV pada informan adalah suami sehingga informan merupakan wanita yang sudah menikah dan terinfeksi HIV melalui suami.

3. Telah atau dalam proses mengampuni suami yang menjadi sumber infeksi HIV

Penelitian ini hendak mengeksplorasi proses yang dilalui informan dalam mengampuni suami yang menjadi sumber infeksi HIV


(68)

sehingga partispan harus berada dalam proses pengampunan atau sudah mengampuni suaminya.

Adapun informan yang akan digunakan dalam penelitian ini berjumlah 2 orang. Jumlah informan ini dipilih karena calon informan yang memenuhi seluruh kriteria cukup sulit ditemukan, serta isu yang dibahas cukup sensitif terkait dengan masih maraknya isu diskriminasi terhadap ODHA di masyarakat. Selain itu, penentuan jumlah informan yang terbatas juga terkait dengan penggunaan desain studi kasus dalam penelitian ini.

D. PERAN PENELITI

Selama berlangsungnya penelitian mengenai proses pengampunan pada wanita dengan HIV/AIDS terhadap suami yang menjadi sumber penularan HIV ini, peneliti akan banyak terlibat dalam pengalaman yang berkelanjutan dan terus-menerus dengan informan dalam rangka pengambilan data. Keterlibatan tersebut berpotensi untuk memunculkan serangkaian isu strategis, etis, serta personal dalam proses penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti berusaha untuk mengidentifikasi bias-bias, nilai-nilai, serta latar belakang pribadinya sendiri (personal issues) secara reflektif, agar tidak terlalu berpengaruh pada hasil penelitian kelak (Supratiknya, 2015). Berikut merupakan peran peneliti dalam penelitian mengenai proses pengampunan wanita dengan HIV/AIDS terhadap suami yang menjadi sumber infeksi HIV tersebut (Creswell, 2009):


(69)

1. Latar Belakang Peneliti

Peneliti saat ini merupakan mahasiswa S1 Jurusan Psikologi di Universitas Sanata Dharma, Daerah Istimewa Yogyakarta. Peneliti juga menjabat sebagai Duta HIV/AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta periode tahun 2015-2016. Oleh karena itu, peneliti mempunyai beberapa koneksi komunitas yang anggotanya dapat menjadi calon informan dalam penelitian ini.

2. Kaitan antara Peneliti, Informan, dan Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta karena calon informan berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, peneliti sendiri juga berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan demikian, penentuan lokasi penelitian ini diharapkan akan memudahkan proses pengumpulan data yang akan dilakukan.

3. Isu-isu Terkait Etika

Dalam penelitian ini, peneliti akan bekerja mengumpulkan data dari dan mengenai orang-orang. Oleh sebab itu, peneliti perlu melakukan antisipasi terhadap isu-isu terkait etika yang mungkin muncul selama proses penelitian. Hal ini terutama dilakukan terhadap kelompok informan yang memiliki kebutuhan khusus, misalnya informan yang secara mental tidak kompeten, korban-korban dari suatu peristiwa, informan dengan gangguan neurologis, wanita hamil, tahanan di penjara, dan ODHA. Dengan demikian,


(70)

peneliti akan mampu melindungi informan dan membangun sebuah kepercayaan dengan mereka. (Creswell, 2009).

Adapun dalam penelitian ini, hal utama yang harus dilindungi adalah identitas dan status informan. Hal ini berkaitan dengan isu diskrimanasi dari masyrakat terhadap ODHA yang mungkin terjadi. Selain iu, dalam proses pengumpulan data, peneliti juga harus memperhatikan kemungkinan munculnya rasa tidak nyaman dari informan ketika harus bercerita mengenai peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan terkait pengalaman yang diteliti.

Oleh karena itu, peneliti berupaya untuk mencegah terjadinya pelanggaran terkait isu-isu etika dalam penelitian ini dengan cara menggunakan perizinan resmi dalam melakukan penelitian serta membuat informed consent yang disetujui oleh informan. Adapun surat izin yang digunakan oleh peneliti diterbitkan oleh Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Daerah Istimewa Yogyakarta pada 8 Maret 2016 dengan nomor surat 36d/D/KP/Psi/USD/III/2016.

E. PROSEDUR PENGUMPULAN DAN PEREKAMAN DATA 1. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan prosedur pengumpulan data jenis wawancara mendalam (in-depth


(1)

1904.

1115.

1975.

berbeda.

Suaminya menerima informan II dengan alasan cinta dan semua orang pasti mati, asal hanya suami yang tahu status.

Suami tidak memperlakukan informan II berbeda, juga tidak membedakan anak informan II dan anak kandungnya.

Suami mengingatkan untuk minum obat dan jangan kecapean agar tidak gampang sakit.

Sikap keluarga pasca informan terkena

HIV. 135. Suami dan anak mengingatkan

minum obat.

Perilaku anak dan suami kedua pasca informan

terkena HIV.

Sikap anak pasca informan terkena

HIV. 1030.

156. 166

Sejak itu, anak selalu mengingatkan minum obat.

Anak mengambilkan obat dan menyebutnya sebagai vitamin saat ramai.

Anak yang mengambilkan obat dan minum menjadi penyemangat bagi

Perilaku anak pasca informan terkena HIV.

145. Anak mengerti kondisi penyakit informan II.


(2)

alkohol dan narkoba, tidak seperti Almarhum.

pasca informan terkena HIV.

pasca terkena HIV. keluarga pasca terkena HIV. 672.

1203.

546.

Mencoba keluar setelah setahun, bertemu V+ dan KDS.

Didatangi teman-teman KDS pada awal tahu status, diberi motivasi dan diajak ke pertemuan hingga bertemu V+.

Semakin ke sini, melihat ODHA lain bisa hidup lama dan sehat.

Pengalaman terkait penemuan komunitas

pendukung. Relasi dengan

komunitas pendukung. 1349. Awalnya berpikir akan segera

meninggal, tetapi termotivasi setelah bertemu V+ dan KDS untuk melihat anak dewasa dan sukses.

Reaksi kognitif terkait komunitas pendukung.

239. 258.

353.

Almarhum tiba-tiba drop dan divonis HIV.

Almarhum terdiagnosa HIV saat sudah tidak bisa bangun, sebelumnya terdiagnosa sakit lambung dan tipus karena keterbatasan medis.

Almarhum sakit dan divonis HIV pada 2009.

Kronologi suami pertama terdiagnosa HIV.

Pengalaman suami pertama terdiagnosa

HIV.

219. Almarhum sakit saat anak berusia 4 tahun. Di rumah sakit di Jogja, Almarhum diketahui positif HIV.

Sumber informasi status suami pertama. 316. Tidak tahu kapan Almarhum

terinfeksi HIV, tetapi menduga

Informasi tentang sumber HIV suami.


(3)

sebelum menikah, akibat memakai narkoba bersama.

Informasi status suami pertama.

Dinamika informan saat awal mengetahui

status suami pertama sebagai sumber penularan HIV. 882. Percaya status Almarhum karena

ikut proses VCT dan Almarhum seorang pecandu.

Penerimaan terhadap informasi status suami

pertama.

Sikap terhadap informasi status

suami pertama. 231.

1535. 370.

915. 922.

Tidak yakin kapan Almarhum mengetahui status HIV.

Almarhum mengaku pernah tes dan negatif.

Menduga Almarhum terkena HIV sebelum ke Gunung Kidul karena Almarhum hanya di rumah dan ke ladang saja

Berpikir mengapa dulu menikah dengan Almarhum.

Berpikir mungkin sudah jalan Allah dan cobaan yang harus dijalani.

Pikiran saat suami pertama terkena HIV.

Sikap saat suami pertama terkena HIV. 432.

932. 952. 554. 915.

Tidak melakukan apa-apa walau takut, hanya di rumah sakit menunggu suami.

Tidak punya uang sehingga bekerja selama seminggu di rumah makan. Berhenti bekerja saat suami dirujuk ke rumah sakit S.

Tes HIV karena rujukan dari rumah sakit.

Sedih dan kecewa mengetahui status Almarhum.

Perilaku saat suami pertama terkena HIV.


(4)

1545.

positif HIV dan dikucilkan masyarakat.

Hendak marah saat Almarhum sakit, tetapi tidak bisa karena terlanjur tertular. Informan II juga merasa jengkel, tetapi kemudian pasrah.

pertama terkena HIV.

1005. 1013.

Almarhum tidak membentak saat sakit karena tidak berdaya.

Almarhum banyak diam pasca HIV.

Perilaku suami pertama saat mengetahui status

HIV-nya.

Sikap suami pertama saat mengetahui status

HIV-nya.

Upaya suami pertama saat terkena HIV.

Upaya suami pertama sebagai orang yang

bersalah. 781.

805.

Almarhum minta maaf.

Almarhum tidak beraksi terkait status informan II karena sakit.

Perilaku suami pertama saat mengetahui status

HIV informan.

Sikap suami pertama saat mengetahui status

HIV informan.

Upaya suami pertama terkait status HIV

informan. 1013. Informan II menduga Almarhum

menyesal karena banyak diam pasca HIV.

Perasaan suami pertama saat mengetahui status

HIV informan. 2238.

2262. 2289.

Membatin bahwa seseorang akan menerima balasan yang lebih saat ada yang mencelakakan, kemudian bersikap biasa saja pada orang tersebut.

Berharap orang yang menyakitinya mendapat musibah, dan hal tersebut terjadi.

Berdoa agar orang yang menyakitinya celaka karena merasa tidak nyaman dan tidak sanggup

Perilaku informan terhadap orang yang

bersalah padanya.

Sikap informan terhadap orang yang

bersalah padanya.

Pengalaman informan terkait

pengampunan.

Dinamika informan dalam hal pengampunan.


(5)

untuk marah.

2271. Kaget harapannya menjadi kenyataan. Menurutnya, hal itu terjadi karena ia tidak mampu

mengungkapkan kemarahannya. Perasaan saat orang yang bersalah celaka.

Sikap saat orang yang bersalah

celaka.

1311.

2000.

Awal terkena HIV seperti musibah, tetapi sekarang menjadi anugerah karena bisa bekerja, naik pesawat, punya banyak ilmu, dan berpola hidup sehat.

Lega karena tetap sehat, bisa menikah lagi, dan meringakan beban serta bermanfaat bagi ODHA lain dengan memberi motivasi dan menjadi contoh, juga mendirikan KDS. Informan II melakukan semua dengan hati tanpa menuntut imbalan karena pernah merasa terpuruk saat tidak ada yang menyemangati.

Perasaan terhadap pengalaman.

Sikap terhadap pengalaman.

Makna pengalaman yang dialami.

Makna pengampunan yang dilakukan.

1311. 2000.

bisa bekerja, naik pesawat, punya banyak ilmu, dan berpola hidup sehat.

bisa menikah lagi, dan meringakan beban serta bermanfaat bagi ODHA

Reaksi kognitif terhadap pengalaman.


(6)

lain dengan memberi motivasi dan menjadi contoh, juga mendirikan KDS.

1757. Memaafkan Almarhum karena sudah meninggal dan anak sering mengajak ziarah, sehingga menerima pengalaman sebagai nasib dan takdir.

Alasan mengampuni suami pertama.

Faktor pendorong dalam mengampuni. 1433. Berharap Almarhum diampuni dan

mendapat tempat terbaik di sisi Allah.

Harapan terhadap suami. pertama.

Harapan setelah mengampuni. 1444.

2303.

Berharap kehidupannya semakin baik dan berencana untuk program punya anak bebas HIV.

Berharap ke depannya bisa lebih baik dan bermanfaat lagi bagi banyak orang, tetap sehat sehingga bisa melihat anak tumbuh dewasa, serta keluarganya semakin harmonis dan punya anak lagi dengan status negatif.

Harapan terhadap kehidupan.