Proses Grieving dan Penerimaan Diri pada Ibu Rumah Tangga Berstatus HIV Positif yang Tertular Melalui Suaminya.

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

ANNA YUNITA NIM. 1202205007

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR


(2)

ii SKRIPSI

PROSES GRIEVING DAN PENERIMAAN DIRI PADA IBU RUMAH TANGGA BERSTATUS HIV POSITIF YANG TERTULAR MELALUI SUAMINYA

OLEH : Anna Yunita NIM. 1202205007 Telah disetujui untuk diuji oleh :

Tanggal, 11 April 2016 Pembimbing,


(3)

iii

syarat guna memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Pada Tanggal:

Mengesahkan Program Studi Psikologi

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Dekan,

Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M. Kes

1. Made Diah Lestari, S.Psi., M.Psi., Psikolog Pembimbing

2. Drs. Supriyadi, MS. Ketua Penguji

3. Yohanes Kartika Herdiyanto, S.Psi, MA. Sekretaris Penguji

4. Luh Made Karisma Sukmayanti S., S.Psi, MA. Anggota Penguji

Tim Penilai : Tanda Tangan :


(4)

iv

For success, attitude is equally as important as ability. - Anonymous

The biggest adventure you can ever take is to live the life of your dreams. - Oprah Winfrey


(5)

v

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini kepada: Papa dan Mama tercinta Hengky Sanjaya dan Karlina

serta


(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya yang bertanda tangan dibawah ini, Anna Yunita dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh derajat kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun. Sepanjang pengetahuan saya, tidak terdapat karya yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan telah disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia derajat kesarjanaan ini dicabut.

Denpasar, 11 April 2016 Yang menyatakan,

Anna Yunita NIM. 1202205007


(7)

vii

Proses Grieving dan Penerimaan Diri pada Ibu Rumah Tangga Berstatus HIV Positif yang Tertular Melalui Suaminya

Anna Yunita

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

Abstrak

Salah satu permasalahan kesehatan yang menjadi perbincangan di dunia adalah HIV-AIDS. Hingga tahun 2013 terdapat 35 juta orang dengan HIV di seluruh dunia (UNAIDS, 2014). Populasi yang berisiko tinggi dalam penularan HIV-AIDS di Indonesia yakni, pengguna narkoba suntik, wanita pekerja seks, dan laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (UNAIDS, 2009). Memasuki tahun 2010, terjadi peningkatan jumlah infeksi HIV-AIDS pada kelompok ibu rumah tangga (Kemenkes RI, 2013). Menurut Dalimoenthe (2011) ibu rumah tangga terjangkit HIV dari suami yang melakukan penyimpangan sosial, baik karena seringnya berganti-ganti pasangan seks atau penggunaan narkoba suntik. Tertular HIV dapat menyebabkan timbulnya berbagai kesulitan yang berhubungan dengan harga diri, isolasi sosial, dan kurangnya kesejahteraan psikologis (Asante, 2012). Peters (2013) menemukan kondisi grivieng wajar terjadi pada individu dengan HIV. Maciejewski, Zhang, Block, dan Prigerson (2007) menemukan bahwa penerimaan diri dapat meningkat apabila kondisi grieving menurun. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin mengetahui proses grieving dan penerimaan diri pada ibu rumah tangga berstatus HIV positif yang tertular melalui suaminya.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, menggunakan responden sebanyak 5 orang ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif yang tertular dari suaminya. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, FGD, dan observasi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa proses grieving yang dilalui meliputi tahapan penolakan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Terdapat dua bentuk penerimaan, yakni penerimaan negatif dan penerimaan positif. Ketika ibu rumah tangga mengembangkan bentuk penerimaan secara positif, akan berlanjut menuju proses penerimaan diri yang pada akhirnya membentuk self-compassion dan self-disclosure. Kata kunci : grieving, penerimaan diri, ibu rumah tangga, HIV


(8)

viii

Grieving Process and Self-Acceptance on Housewives with Positive HIV who Infected by her Husband.

Anna Yunita

Department of Psychology, Faculty of Medicine, Udayana University

Abstract

One of the most health problem which have become an issue all over the world is HIV-AIDS. Until 2013, there were 35 million people with HIV in the world (UNAIDS, 2014). Some population who have high risk of acquiring HIV-AIDS in Indonesia are drug users, prostitutes, and homosexuals (UNAIDS, 2009). In 2010, there was increasing number of HIV-AIDS infection among housewives (Kemenkes RI, 2013). According to Dalimoenthe (2011) housewives infected HIV from her husband who engage risk behavior like free sex or injected drug abuse. Infected by HIV could inflict many difficulties related to pride, social isolation, and lack of psychological well-being. Peters (2013) found that grieving condition was normally happen among person with HIV. Maciejewski, Zhang, Block, and Prigerson (2007) found that self-acceptance will be raised if the grieving condition declined. Based on those findings, the aim of this study is to know about grieving process and self-acceptance on housewives with positive HIV who infected by her husband.

This study was using qualitative methods with phenomenology approach, having 5 housewives with positive HIV status who infected by her husband as respondents. Data collecting techniques used in this study was interview, focus group discussion, and observation. Results showed that grieving process involve denial, anger, bargaining, depression, and acceptance. There were 2 kind of acceptance, negative acceptance and positive acceptance. When the housewives develop positive acceptance, it will be continue to self-acceptance process, and also finally will form self-compassion and self-disclosure. Keyword: grieving, self-acceptance, housewives, HIV


(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkatnya lah penelitian skripsi yang berjudul Proses Grieving dan Penerimaan Diri pada Ibu Rumah Tangga Berstatus HIV Positif yang Tertular Melalui Suaminya ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak. Melalui tulisan ini, dengan segala kerendahan hati peneliti mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT (K). M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Dra. Adijanti Marheni, M.Si selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

3. Made Diah Lestari, S.Psi., M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing yang selalu sabar dan tulus membimbing saya dalam proses penyusunan skripsi ini, serta senantiasa berbagi ilmu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Drs. Supriyadi, MS., Yohanes Kartika Herdiyanto, S.Psi, MA., dan Luh Made Karisma Sukmayanti S., S.Psi, MA. selaku dosen penguji pada saat sidang skripsi yang senantiasa memberikan saran dan kritik yang membangun.

5. Tience Debora Valentina, S.Psi., M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing akademik dan juga teman konsultasi, yang senantiasa mengarahkan, membimbing, dan memberikan dukungan selama perkuliahan.

6. Kepada orangtua dan kakak tercinta, Papa, Mama, Ce Feli dan Ce Fera, yang selalu memberi dukungan baik secara moral maupun material. Tidak pernah berhenti untuk mengerti kesibukan saya dan selalu berusaha membantu.


(10)

x

7. Kepada yang terkasih, Nago Tejena, S.Psi yang selalu menemani dan menjadi partner diskusi. Senantiasa memberikan semangat dan selalu mendukung dalam proses penyusunan skripsi ini.

8. Sahabat-sahabat tercinta yang selalu menemani dikala suka dan duka, Surti, Cempaka, Ayas, Aussie, Agra, serta teman Gincu’s lainnya.

9. Kepada keluarga besar Zettrasedon (Psikologi 2012) yang selalu menjadi tempat saling membantu dan berbagi. Teman seperjuangan terbaik selama saya belajar di kampus ini.

10.Ibu-ibu keluarga besar Mutiara Bali, atas kesediaannya untuk menjadi bagian dari penelitian ini. Terima kasih karena selalu menyambut dan menerima saya dengan penuh kehangatan saat penelitian ini berlangsung.

11.Pegawai prodi Psikologi dan Udayana yang telah membantu saya dalam proses administrasi dan surat-surat serta keperluan lainnya.

12.Seluruh teman-teman baik dari lingkungan kuliah, organisasi, dan Vihara yang selalu memberikan dukungan dan menemani saya bersenang-senang ketika beristirahat dalam penyusunan skripsi ini.

Juga untuk mereka yang senantiasa mendukung serta membantu tetapi tidak dapat disebutkan satu per satu. Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu peneliti mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kebaikan peneliti di masa mendatang.

Denpasar, 11 April 2016


(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian ... 18

C. Signifikansi dan Keunikan Penelitian ... 18

D. Tujuan Penelitian ... 23

E. Manfaat Penelitian ... 24

1. Manfaat Teoretis ... 24


(12)

xii

BAB II. KAJIAN PUSTAKA ... 27

A. Grieving ... 27

1. Definisi Grieving... 27

2. Proses Grieving ... 28

3. Pola Grieving ... 34

B. Penerimaan Diri ... 35

1. Definisi Penerimaan Diri ... 35

2. Proses Penerimaan Diri ... 36

3. Faktor-Faktor yang Mendukung Penerimaan Diri ... 42

4. Dampak Penerimaan Diri ... 45

C. HIV ... 47

1. Definisi HIV ... 47

2. Gejala Infeksi HIV ... 48

3. Penularan HIV... 49

4. Epidemi HIV ... 50

5. Ibu Rumah Tangga dengan HIV ... 51

D. Perspektif Teoretis ... 55

E. Pertanyaan Penelitian ... 59

BAB III. METODE PENELITIAN ... 60

A. Tipe Penelitian ... 60

B. Unit Analisis ... 63

C. Responden dan Tempat Penelitian ... 64

D. Teknik Penggalian Data ... 65

E. Teknik Pengorganisasian Data dan Analisis Data ... 70


(13)

xiii

G. Isu Etik ... 79

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 81

A. Orientasi Kancah ... 81

B. Pelaksanaan Penelitian ... 84

1. Lokasi Pengumpulan Data ... 84

2. Karakteristik Responden ... 85

3. Proses Pengumpulan Data ... 88

a. Pengumpulan Data dengan Wawancara ... 88

b. Pengumpulan Data dengan FGD ... 89

c. Pengumpulan Data dengan Observasi ... 90

4. Pengorganisasian Data ... 91

5. Analisis Data ... 92

C. Hasil Penelitian ... 94

1. Pola 1: Temuan Umum ... 95

2. Pola 2: Pengetahuan Awal tentang HIV ... 98

3. Pola 3: Kondisi Grieving... 100

a. Proses Grieving ... 100

b. Pola Grieving ... 115

4. Pola 4: Penerimaan Diri ... 120

D. Pembahasan ... 127

1. Kondisi Grieving ... 127

a. Proses Grieving ... 128

b. Pola Grieving ... 148

2. Penerimaan Diri ... 152


(14)

xiv

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 164

A. Kesimpulan ... 164

B. Saran ... 166

DAFTAR PUSTAKA ... 172 LAMPIRAN


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Situasi Kasus HIV menurut Jenis Kelamin per-Tahun Provinsi ... 6

Bali Kumulatif dari Tahun 2011 s/d Desember 2015 Gambar 2. Bagan Perspektif Teoretis ... 58

Gambar 3. Bagan Desain Proses Penggalian Data ... 71

Gambar 4. Bagan Pola Temuan Hasil Penelitian ... 95

Gambar 5. Kondisi Grieving ... 100

Gambar 6. Proses Grieving... 100

Gambar 7. Bentuk Penolakan ... 100

Gambar 8. Bentuk Kemarahan ... 104

Gambar 9. Proses Penerimaan Diri ... 120

Gambar 10. Fase Konflik ... 147


(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data Global Statistik HIV-AIDS Tahun 2001-2013 ... 3

(Dalam Rata-Rata) Tabel 2. Situasi Kasus HIV-AIDS Provinsi Bali Menurut Golongan Umur ... 5

dan Jenis Kelamin Kumulatif dari tahun 1987 s/d Desember 2015 Tabel 3. Karakteristik Responden Penelitian... 86

Tabel 4. Jadwal Pelaksanaan Wawancara ... 89

Tabel 5. Jadwal Pelaksanaan FGD ... 89

Tabel 6. Jadwal Pelaksanaan Observasi ... 90


(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Laporan Preliminary Study

Surat izin penelitian di Yayasan Dua Hati Bali Guideline Wawancara

Guideline FGD

Inform Consent Responden AB Inform Consent Responden DC Inform Consent Responden KA Inform Consent Responden WD Inform Consent Responden YK Open Coding Responden YK Open Coding FGD 1

Fieldnote Observasi Responden YK Axial Coding Responden YK Selective Coding Responden YK Sistem Coding


(18)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu. Tanpa kesehatan yang prima, akan menyebabkan individu mengalami kendala dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari seperti dalam fungsi bekerja, bersekolah, olahraga, makan, dan sebagainya. Disamping itu, dengan memiliki kesehatan yang prima akan membuat individu lebih efektif dalam menjalankan peran yang dimiliki dalam kehidupan. Kesehatan didefinisikan sebagai keadaan sempurna fisik, mental, dan kesejahteraan sosial serta tidak semata-mata berupa ketiadaannya penyakit atau kelemahan (World Health Organization [WHO], 2015).

Salah satu permasalahan kesehatan yang menjadi perbincangan di dunia adalah HIV-AIDS. Menurut Departemen Kesehatan RI [Depkes RI] (2006), Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Virus HIV menyerang sel darah putih yang bernama limfosit T helper yang memiliki reseptor CD4 dipermukaannya (Depkes RI, 2006). Limfosit T helper berfungsi untuk menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai perangsang pertumbuhan dan pembentukan antibodi tubuh. Kerusakan sel limfosit T dapat menyebabkan kerusakan sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh perkembangbiakan virus HIV dan apabila tidak mendapat penanganan akan menyebabkan munculnya infeksi oportunistik (Nettina, 2006). Infeksi oportunistik menurut Gunung, Sumantera, Sawitri, dan Wirawan (2003) merupakan penyakit yang disebabkan oleh organisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit bila sistem imun tubuh dalam keadaan


(19)

normal. HIV memperbanyak diri dalam sel limfosit yang diinfeksinya dan merusak sel limfosit, sehingga mengakibatkan sistem imun terganggu dan daya tahan tubuh berangsur-angsur menurun. Daya tahan tubuh yang melemah, mengakibatkan risiko timbulnya penyakit oleh karena infeksi ataupun penyakit lain akan meningkat.

Terdapat perbedaan antara HIV dan AIDS yang selama ini belum jelas dipahami oleh masyarakat. HIV merupakan virus penyebab AIDS, namun individu yang terinfeksi HIV belum tentu akan berlanjut menjadi AIDS. AIDS berkembang pada tahapan terakhir dari fase infeksi HIV (Stolley & Glass, 2009). Individu yang terinfeksi HIV disebut sebagai individu berstatus HIV positif. Individu yang berstatus HIV positif belum tentu berkembang menjadi AIDS karena dipengaruhi berbagai faktor seperti pola hidup serta penanganan medis yang dijalani, salah satunya konsumsi obat antiretroviral (ARV). Bagi individu dengan HIV positif, ARV berfungsi untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh agar tidak masuk ke stadium AIDS, sedangkan bagi individu dengan AIDS memerlukan pengobatan ARV untuk mencegah infeksi oportunistik dengan berbagai komplikasinya (Gunung, dkk, 2003). Gunung, dkk (2003) menambahkan bahwa individu yang berstatus HIV positif dapat tetap hidup sehat bahkan berdaya seperti manusia pada umumnya, individu berstatus HIV positif dapat tetap hidup positif, bekerja ataupun menjalankan hobi.

HIV-AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan global yang penting karena jumlah penderita dan tingkat kematian yang tinggi. Laporan temuan United Nations Programme on HIV-AIDS [UNAIDS] (2014) menemukan bahwa pada tahun 2013 terdapat 35 juta individu berstatus HIV positif di seluruh dunia (UNAIDS, 2014). Masalah HIV-AIDS diyakini bagaikan fenomena gunung es karena laporan resmi jumlah kasus tidak mencerminkan masalah yang sebenarnya (Hardisman, 2009).


(20)

Kasus HIV-AIDS yang terungkap hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah kasus yang terjadi, oleh karena itu tidak dapat mencerminkan masalah yang sebenarnya.

Individu yang berstatus HIV positif di seluruh dunia, sejak tahun 2001 hingga tahun 2013 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Lebih lanjut, UNAIDS (2014) menemukan bahwa angka infeksi baru HIV serta kematian akibat AIDS mengalami penurunan. Hal ini disebabkan semakin meningkatnya angka individu dengan HIV-AIDS yang menjalani pengobatan sehingga risiko kematian dapat diminimalisir. Lebih lanjut ditunjukkan dalam Tabel 1. Data Global Statistik HIV-AIDS Tahun 2001-2013.

Tabel 1. Data Global Statistik HIV-AIDS Tahun 2001-2013 (Dalam Rata-Rata) Individu HIV Positif Baru Terinfeksi HIV Kematian Akibat AIDS

Individu dengan HIV-AIDS Yang Menjalani

Pengobatan 2001 29.8 juta 3.4 juta 2.0 juta

2002 30.7 juta 3.3 juta 2.1 juta 2003 31.4 juta 3.1 juta 2.3 juta 2004 31.8 juta 3.0 juta 2.4 juta 2005 32.1 juta 2.9 juta 2.4 juta 2006 32.4 juta 2.8 juta 2.3 juta 2007 32.4 juta 2.7 juta 2.2 juta 2008 33.1 juta 2.6 juta 2.1 juta

2009 33.4 juta 2.5 juta 2.0 juta 5.2 juta 2010 33.8 juta 2.5 juta 1.9 juta 7.4 juta 2011 34.2 juta 2.4 juta 1.8 juta 9.0 juta 2012 34.6 juta 2.2 juta 1.7 juta 10.6 juta 2013 35.0 juta 2.1 juta 1.5 juta 12.9 juta

Hardisman (2009) menemukan bahwa kasus HIV-AIDS di Indonesia yang dilaporkan secara resmi relatif lebih rendah daripada kasus yang dilaporkan oleh sejumlah negara di Asia Pasifik seperti Thailand, India, Cina, Kamboja dan Papua Nugini. Hardisman (2009) lebih lanjut mengungkapkan bahwa infeksi HIV-AIDS di Indonesia berkembang menjadi suatu ancaman nasional dengan mengacu pada dua indikator. Pertama, sejak 10 tahun terakhir jumlah kasus HIV-AIDS memperlihatkan kecenderungan peningkatan. Kedua, jumlah kasus HIV-AIDS yang dilaporkan tidak

Indikator Tahun


(21)

mencerminkan kondisi yang sesungguhnya di dalam masyarakat Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara di Asia dengan epidemi HIV-AIDS yang berkembang paling cepat (UNAIDS, 2009). Data kasus HIV-AIDS secara nasional pada tahun 2014 mulai 1 Januari hingga 30 September 2014 menemukan terjadi 22.869 kasus HIV dan 1876 kasus AIDS (Kemenkes RI, 2014).

Bali adalah salah satu provinsi di Indonesia yang mengalami pertumbuhan jumlah individu dengan HIV-AIDS yang sangat cepat. Bali menduduki peringkat ke 3 sebagai provinsi dengan prevalensi kasus HIV-AIDS tercepat di Indonesia (Kemenkes RI, 2014). Hingga tahun 2014, prevalensi kasus HIV-AIDS di Bali mencapai 109.52 per 100.000 penduduk di Bali (Kemenkes RI, 2014). Jumlah kasus HIV di Bali yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Bali [Dinkes Pemprov Bali] (2016) menunjukkan bahwa secara kumulatif, hingga Desember 2015 kasus AIDS di Bali mencapai 5.910 kasus, sedangkan kasus HIV mencapai 7.456 kasus. Kasus HIV-AIDS di Bali berada pada tingkat epidemik terkonsentrasi (concentrated level epidemic) karena prevalensi HIV pada subpopulasi tertentu yaitu pengguna narkoba suntik, perempuan pekerja seksual langsung serta narapidana mencapai lebih dari 5% secara terus menerus serta pada ibu hamil kurang dari 1% (Dinkes Pemprov Bali, 2016).

Tabel 2. Situasi Kasus HIV-AIDS Provinsi Bali Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin Kumulatif dari tahun 1987 s/d Desember 2015 menunjukkan bahwa individu dengan HIV-AIDS di Bali terpusat pada golongan usia 20 – 49 tahun (Dinkes Pemprov Bali, 2016). Menurut Hurlock (1980), masa dewasa dibagi menjadi tiga pembagian usia, yakni dewasa awal yang dimulai sejak usia 18 tahun hingga 40 tahun. Dewasa madya dimulai pada usia 40 tahun hingga 60 tahun. Dewasa lanjut (lanjut


(22)

usia) dimulai pada umur 60 tahun hingga kematian. Hal ini menunjukkan bahwa kasus HIV-AIDS di Bali paling banyak terjadi pada kategori usia dewasa awal hingga madya.

Tabel 2. Situasi Kasus HIV-AIDS Provinsi Bali Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin Kumulatif dari tahun 1987 s/d Desember 2015

Kelompok Usia Total Kasus AIDS Total Kasus HIV Total Total %

<1 79 49 128 1.0

1-4 164 161 325 2.4

5-14 38 43 81 0.6

15-19 88 176 264 2.0

20-29 1.889 3.186 5.075 38.0

30-39 2.197 2.581 4.778 35.7

40-49 1.021 902 1.923 14.4

50-59 326 274 600 4.5

>60 98 68 166 1.2

Tidak diketahui 10 16 26 0.2

Total 5.910 7.456 13.366 100.0

Sumber : Dinkes Pemprov Bali, 2016

Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara jumlah individu yang terinfeksi HIV-AIDS berdasarkan jenis kelamin. Dinkes Pemprov Bali (2016) menghimpun data situasi kasus berdasarkan rate kumulatif kasus HIV-AIDS berdasarkan faktor hubungan heteroseksual. Ditemukan bahwa hingga tahun 2015, invidivu yang berstatus AIDS positif dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 3.114 orang, sedangkan perempuan berjumlah 1.748 orang. Individu yang berstatus HIV positif dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 2.676 orang, sedangkan perempuan berjumlah 2.918 orang (Dinkes Pemprov Bali, 2016). Spesifik pada provinsi Bali, jumlah kasus AIDS pada jenis kelamin laki-laki lebih tinggi daripada jumlah kasus AIDS pada perempuan, sebaliknya jumlah kasus HIV pada jenis kelamin perempuan lebih tinggi daripada jumlah kasus HIV pada laki-laki.

Secara keseluruhan, laki-laki tetap menjadi jenis kelamin dengan temuan kasus HIV-AIDS terbanyak, akan tetapi kasus HIV-AIDS pada perempuan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Secara kumulatif dari tahun 2011 hingga 2015, jumlah


(23)

perempuan di Bali yang baru terinfeksi HIV-AIDS terus mengalami peningkatan, yang ditunjukkan dalam Gambar 1. Situasi Kasus HIV menurut Jenis Kelamin per-Tahun Provinsi Bali Kumulatif dari Tahun 2011 s/d Desember 2015.

Gambar 1. Situasi Kasus HIV menurut Jenis Kelamin per-Tahun Provinsi Bali Kumulatif dari Tahun 2011 s/d Desember 2015

United Nations Children's Emergency Fund Indonesia [UNICEF Indonesia] (2012) yang menemukan bahwa terjadi peningkatan feminisasi dalam epidemi fenomena HIV-AIDS di Indonesia. Hal ini didukung dengan riset yang dilakukan oleh Kemenkes RI pada tahun 2011 (dalam UNICEF Indonesia, 2012) yang menemukan bahwa proporsi perempuan untuk infeksi baru HIV di Indonesia telah mengalami peningkatan dari 34% pada tahun 2008 menjadi 44% pada tahun 2011 dan akan terus meningkat tiap tahunnya. Perempuan lebih rentan terinfeksi HIV sebagai akibat dari adanya peran tradisional yang dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat (UNICEF Indonesia, 2012).

Kasus HIV-AIDS pada jenis kelamin perempuan dengan penggolongan usia dewasa baik dewasa awal ataupun dewasa madya akan terjadi dan meningkat setiap tahunnya. Umumnya, perempuan usia dewasa menjalankan peran sebagai seorang ibu

805 824 876

1318 1547 466 648 610 903 1009 0 500 1000 1500 2000 2500 3000

2011 2012 2013 2014 2015

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2016 Perempuan Laki-laki


(24)

rumah tangga. Hal ini sejalan dengan riset yang dilakukan oleh Kemenkes RI pada tahun 2013 terkait Estimasi dan Proyeksi HIV-AIDS di Indonesia Tahun 2011-2016 yang menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah infeksi HIV-AIDS pada kelompok perempuan berisiko rendah, yakni ibu rumah tangga (Kemenkes RI, 2013). Hingga saat ini, belum terdapat data pasti terkait jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi AIDS. Hal ini disebabkan rendahnya kesadaran individu dengan HIV-AIDS untuk melakukan pendataan secara resmi dengan menggunakan kartu tanda penduduk, sehingga tidak dapat dilakukan pencatatan secara pasti perihal jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV-AIDS.

Secara global, terdapat empat populasi dengan perilaku risiko tinggi yang berpotensi dalam penularan HIV-AIDS yakni perempuan pekerja seksual dan pelanggannya, pengguna narkoba suntik, pelaku hubungan seksual antara sesama laki-laki (homoseksual), dan individu yang secara rutin berhubungan heteroseksual dengan banyak partner (WHO, 2012). Populasi yang berisiko tinggi dalam penularan HIV-AIDS di Indonesia, yakni pengguna narkoba suntik, perempuan pekerja seksual (transgender dan perempuan) serta laki-laki yang berhubungan seks sesama laki-laki (UNAIDS, 2009).

Ibu rumah tangga tidak termasuk dalam populasi berisiko tinggi. Lebih lanjut menurut Kemenkes RI (2013) menyatakan bahwa ibu rumah tangga dikatakan sebagai kelompok perempuan berisiko rendah karena terinfeksi melalui hubungan seksual dengan pasangan (suami) yang telah terinfeksi sebelumnya dan ibu rumah tangga tidak secara langsung melakukan perilaku berisiko yang dapat mengakibatkan HIV-AIDS. Risiko penularan HIV-AIDS tidak hanya terbatas pada populasi dengan perilaku risiko tinggi, tetapi lebih luas daripada itu. Infeksi AIDS tidak pandang bulu,


(25)

HIV-AIDS dapat menginfeksi orang dari berbagai kalangan ras, umur, profesi, gender, orientasi seksual hingga latar belakang sosial-ekonomi.

Menurut Dalimoenthe (2011) ibu rumah tangga umumnya terjangkit HIV dari suaminya yang melakukan penyimpangan sosial, baik karena sering berganti-ganti pasangan atau karena penggunaan narkona jenis suntik. Penyebaran virus HIV tidak hanya mengancam kelompok dengan perilaku seks yang berisiko, tetapi juga mengancam kalangan ibu rumah tangga yang suaminya telah terinfeksi HIV. Menurut dr. Nafsiah Mboi SpA, MPH, Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada masa kabinet Indonesia Bersatu jilid II, bahwa hingga tahun 2012 terjadi peningkatan jumlah penularan HIV dari suami kepada istrinya (Wardah, 2013). Makin meningkatnya jumlah penularan disebabkan oleh lemahnya kedudukan istri dalam rumah tangga, yang menyebabkan seorang istri wajib menuruti kemauan suaminya bahkan mengabaikan perilaku seksual yang aman. Wardah (2013) menambahkan bahwa salah satu program yang dilaksanakan oleh Kemenkes RI dalam rangka pencegahan penularan HIV pada kelompok ibu rumah tangga adalah program pengadaan kondom bagi perempuan guna menekan laju pertumbuhan angka penularan HIV dari suami kepada istri.

Menjadi ibu rumah tangga bukanlah hal yang mudah karena individu dituntut mampu memainkan sederet peran secara bersamaan (Baghir, 2003). Peran sebagai ibu rumah tangga menyebabkan tanggung jawab secara terus-menerus dalam memperhatikan kesehatan rumah dan tata laksana rumah tangga, mengatur segala sesuatu di dalam rumah tangga untuk meningkatkan mutu hidup (Hemas dalam Pujiwati, 1983). Sejalan dengan ide yang dikemukakan oleh Kartono (2006) bahwa terdapat sejumlah peran yang dijalankan oleh seorang ibu rumah tangga seperti


(26)

kegiatan yang berpusat mengurusi, mendidik, melayani, mengatur, mengurus anak, dan suami. Hal ini menjadikan keberadaan seorang ibu rumah tangga di dalam keluarga sangat krusial. Sebagian waktu ibu rumah tangga berada di dalam rumah yang memiliki tanggung jawab yang timbul secara spontan dan tidak dapat diramalkan (Kartono, 2006). Vuuren (dalam Mumtahinnah, 2011) menyatakan bahwa kegiatan sebagai ibu rumah tangga yang biasa dilakukan seperti memasak di rumah, menjahit, berbelanja, menyetrika pakaian hingga mengurus anak.

Bukan hal yang mudah bagi seorang ibu rumah tangga dalam menerima kenyataan terinfeksi HIV terlebih lagi sosok yang menularkan adalah pasangannya sendiri. Seorang ibu rumah tangga berinisial RT yang terinfeksi HIV dari sang suami mengisahkan pengalaman yang dimiliki, seperti yang dikutip dalam tulisan online berikut ini:

“Saya pernah menganggap diri saya tidak berguna setelah terinfeksi HIV. Saya tidak

ingin orang mengalaminya. Saya mau menghapus stigma pada ODHA. Saya mau menghapus diskriminasi. Saya mengetahui mengetahui status HIV sejak tahun 2009. Dia mendapat virus itu dari suaminya. Suami saya itu angkatan (TNI-red). Dia

memang sering tugas keluar, suka jajan.” (Edward, 2015)

Pasca terinfeksi HIV, individu akan mengalami perubahan pada berbagai aspek kehidupannya, mulai dari segi fisik, psikologis ataupun psikososial. Menurut Lubis (2009), terdapat kecenderungan bagi individu yang menderita suatu penyakit dengan kondisi parah akan menunjukkan adanya kondisi depresi. Sejalan dengan pemikiran yang dikemukakan oleh Sarafino dan Smith (2010), bahwa suatu penyakit yang bersifat parah dapat menimbulkan perasaan negatif seperti kecemasan, depresi, marah, ataupun rasa tidak berdaya dan perasaan-perasaan negatif tertentu. Menurut Leserman (dalam Folkman, 2011) kondisi suasana hati yang negatif dapat mempercepat perkembangan HIV menjadi AIDS. Ketika individu mampu mengembangkan kondisi


(27)

psikologis secara positif maka dapat mencegah dan memperlambat perkembangan HIV menjadi AIDS (Ironson & Hayward, 2008).

HIV-AIDS menjadi stigma sosial karena diidentikkan sebagai penyakit seksual di kalangan masyarakat (Sarikusuma, Herani, & Hasanah, 2012). Individu dengan HIV memiliki beban berat dalam kehidupannya karena adanya permasalahan yang kompleks dapat dihadapinya setiap saat. Permasalahan yang timbul tidak hanya yang berkaitan dengan kondisi penyakit, namun juga kondisi psikososial seperti stigma sosial, diskriminasi pekerjaan, penerimaan diri, dan hubungan baik dengan pasangan, keluarga maupun masyarakat disekitarnya. Selain itu, stigma negatif pada individu dengan HIV tak hanya mengenai diri sendiri, melainkan keluarga dan lingkungan di sekitarnya.

Guna mengetahui pandangan ibu rumah tangga berstatus HIV positif mengenai fenomena HIV pada kelompok ibu rumah tangga, dilakukan preliminary study pada seorang perempuan bernama Lely (bukan nama sebenarnya). Wawancara dilakukan pada 7–8 September 2015 memperoleh informasi bahwa beliau telah berstatus HIV positif semenjak tahun 2008. Lely adalah seorang ibu rumah tangga yang tertular HIV dari sang suami yang telah meninggal dunia pada tahun 2008 akibat AIDS. Lely tidak menduga akan terinfeksi virus HIV karena menilai bahwa sang suami bersikap sangat setia dalam ikatan pernikahan yang dijalani. Kenyataan berkata lain, ditemukan fakta bahwa sang suami pernah berselingkuh dengan mantan kekasih yang berstatus HIV positif di masa awal pernikahan (Laporan Preliminary Study, 2015).

Lely menilai bahwa sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga, menyebabkan individu tidak memiliki power dan keberanian untuk mengetahui aktivitas suami di luar rumah. Tuntutan peran sebagai ibu rumah tangga yang memiliki beragam aktivitas


(28)

di rumah menjadikan seorang ibu rumah tangga kurang peka terhadap kualitas hubungan dengan pasangan karena lebih fokus mengurusi anak dan rumah. Menjadi seorang ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif digambarkan sebagai sebuah kutukan dan akhir dari perjalanan hidupnya. Hari demi hari dilalui dengan keyakinan bahwa kematian akan segera datang menjemput (Laporan Preliminary Study, 2015).

Menurut Dalimoenthe (2011) terdapat banyak kasus yang menunjukkan bahwa ketika seorang ibu rumah tangga terinfeksi HIV-AIDS dari suaminya, individu cenderung memikul beban ganda seperti merawat suami yang sakit, merawat anak yang juga mungkin sudah tertular, mencari nafkah, sembari juga menghadapi berbagai perlakuan yang tidak manusiawi seperti stigma ataupun diskriminasi. Dalimoenthe (2011) menambahkan bahwa terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan penularan HIV dari suami kepada seorang ibu rumah tangga. Faktor utama adalah rendahnya bargaining power untuk menegosiasikan hubungan intim, ibu rumah tangga cenderung tidak sanggup menolak setiap keinginan seksual dari suami, serta ketidaktahuan dan keengganan meminta informasi kepada pasangan tentang status kesehatan reproduksi yang dimiliki pasangan. Faktor berikutnya yang membuat perempuan lebih rentan adalah stigma dan diskriminasi.

Perempuan mengalami stigma ganda, yaitu sebagai perempuan makhluk kelas dua yang cenderung disalahkan atas apa yang terjadi pada diri sendiri. Masyarakat menganggap semestinya perempuan dapat menjaga diri, suami, dan keluarganya sehingga tidak terinfeksi HIV. Stigma kedua yakni pandangan bahwa individu dengan HIV telah melakukan perilaku tidak bermoral, sehingga harus dijauhi (Dalimoenthe, 2011).


(29)

Pasca berstatus HIV positif, individu akan menunjukkan reaksi-reaksi terkait perubahan kondisi dalam hidup, khususnya aspek psikologis. Reaksi-reaksi psikologis yang dihadapi individu dengan HIV positif menurut Nursalam dan Kurniati (2008) diantaranya, konflik intergritas ego yang meliputi perasaan tak berdaya dan putus asa, konflik stress dan respons psikologis yang meliputi penyangkalan, kemarahan, kecemasan, hingga perasaan irritable.

Proses grieving pertama kali diteliti oleh Dr. Elisabeth Kübler-Ross pada tahun 1969 (Kübler-Ross, 2009). Kübler-Ross melakukan penelitian dengan melibatkan lebih dari 500 pasien yang menderita berbagai jenis penyakit. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk melihat reaksi yang ditunjukkan pada individu dalam mengatasi serta berhadapan dengan kedukaan dan tragedi, terutama ketika didiagnosa memiliki penyakit berat atau mengalami perubahan yang sangat besar dalam hidupnya. Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa terdapat lima tahapan dalam proses

grieving yakni penolakan, kemarahan, tawar menawar, depresi, dan penerimaan (Kübler-Ross, 2009).

Dewasa ini proses grieving telah diterima secara luas sebagai panduan guna mengetahui respon emosional dan psikologis yang dialami individu ketika berhadapan dengan kondisi yang mengancam nyawa atau keadaan yang mengubah kehidupan.

Proses grieving memiliki karakteristik yang unik, membutuhkan waktu, dapat difasilitasi namun tidak dapat dipaksakan dan pada umumnya proses ini mengikuti tahapan yang telah diprediksi (Rotter, 2009). Tahapan-tahapan ini tidak hanya berlaku bagi individu yang kehilangan sosok orang terdekat karena kematian tetapi dapat pula dialami oleh individu yang mengalami peristiwa yang mengubah hidup, seperti


(30)

perceraian atau putusnya suatu hubungan, atau kehilangan sebuah pekerjaan (Crump, 2001).

Proses grieving memiliki awal dan akhir, namun tidak terdapat aturan mutlak atau baku. Proses grieving ini bersifat sangat unik dan berbeda pada diri masing-masing individu (Crump, 2001). Proses grieving umumnya dapat dibagi dalam beberapa tahapan akan tetapi tahapan ini tidak bersifat linier, melainkan berupa sebuah siklus (Crump, 2001). Setiap individu mempunyai tahapan tersendiri dalam proses grieving, dapat urut atau melompat, dapat juga maju kemudian mundur kembali (Paputungan, 2013).

Proses yang dilalui individu dari awal mengetahui status HIV positif hingga mampu berdaya dan secara terbuka mengakui identitas diri kepada dunia, sangatnya kompleks. Perubahan yang dialami oleh ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV sangat beragam, tidak hanya terbatas pada perubahan fisik seperti kekebalan tubuh melemah dan rentan terhadap infeksi oportunistik, namun juga perubahan psikis, seperti emosi mudah marah, bingung, tidak percaya, takut akan kematian, dan takut akan reaksi negatif orang lain terhadap dirinya (Yulianti & Wahyudi, 2014). Selain itu perubahan yang biasa dialami oleh penderita HIV adalah mendapat stigma dan diskriminasi yang menyebabkan individu terisolasi dari lingkungan (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Tertular HIV dapat menyebabkan timbulnya berbagai kesulitan yang berhubungan dengan harga diri, isolasi sosial, dan kurangnya kesejahteraan psikologis (Asante, 2012). Tentunya hal ini menyebabkan seorang ibu rumah tangga akan mengalami kondisi grieving yang dapat dijabarkan dalam proses grieving.

Ibu rumah tangga yang tertular HIV melalui suaminya cenderung mengalami tekanan yang lebih berat dalam menghadapi keadaannya, karena tidak melakukan


(31)

perilaku berisiko namun harus mengalami dampak positif HIV (Riasnugrahaini, 2011). Menurut Enright dan North (dalam Riasnugrahaini, 2011), offender person adalah pihak yang dianggap bersalah sehingga bertanggungjawab atas kondisi perubahan dalam hidup, dalam penelitian ini offender person adalah sosok suami. Menurut Worthington (2007), individu yang menjadi korban dari ketidakadilan dapat memberi respon berupa kemarahan, ketakutan, dan kebencian, serta dapat menyimpan dendam terhadap offender person.

Terdapat tiga bentuk konsekuensi negatif dari konteks perasaan tidak memaafkan offender person pada kondisi HIV, yakni konsekuensi emosional dan psikososial, perilaku, serta biomedis (Worthington, 2007). Konsekuensi emosional dan psikososial dari perasaan tidak memaafkan secara intrapersonal meliputi self-esteem yang rendah, guilt, keputusasaan, self-blame, dan depresi. Sedangkan, secara interpersonal perasaan tidak memaafkan akan berdampak pada kemarahan, kebencian, kurangnya empati, dan perasaan tidak dicintai. Konsekuensi terhadap perilaku secara intrapersonal meliputi perilaku self-destructive (misalnya ketergantungan terhadap obat-obatan dan alkohol), dan secara interpersonal meliputi perilaku seksual tidak bertanggungjawab hingga perilaku berisiko menularkan HIV kepada pihak lain. Konsekuensi biomedis secara intrapersonal meliputi peningkatan stres, disfungsi sistem kekebalan tubuh, dan peningkatan perkembangan penyakit. Sedangkan, secara interpersonal meliputi penyakit infeksi menular seksual (Worthington, 2007).

Apabila individu mempertahankan kondisi grieving yang meliputi bentuk-bentuk reaksi yang negatif seperti penolakan, kemarahan, tawar-menawar, ataupun depresi akan menyebabkan munculnya penderitaan psikologis. Menurut Germer (2009) penderitaan psikologis merupakan akumulasi emosi, reaksi, ataupun perasaan


(32)

negatif yang dipertahankan secara resisten yang akan berdampak secara desktruktif kepada individu.

Ketika proses grieving yang dijalani mampu mencapai penerimaan terhadap status HIV, maka individu mampu bangkit dari kondisi down yang dialami sebelumnya. Di tahapan ini, individu mulai menanamkan komitmen dan mengubah pemikiran irasional yang dimiliki serta dikembangkan dalam tahapan-tahapan sebelumnya. Pada tahapan penerimaan, individu akan menerima kondisi yang dimiliki sebagai sebuah realita yang harus dijalani (Kübler-Ross, 2009).

Apabila individu mampu mencapai tahap penerimaan terhadap status HIV positif, memungkinkan individu untuk mengembangkan penerimaan diri yang efektif terkait status HIV positif yang dimiliki. Salah satu karakteristik individu yang memiliki penerimaan diri menurut Sheere (dalam Cronbach, 1963) adalah adanya keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupan. Keyakinan individu akan kemampuan diri lahir dari proses panjang yang telah dilalui, dalam hal ini yakni proses grieving.

Penerimaan diri menurut Germer (2009) merupakan kemampuan individu untuk memiliki suatu pandangan positif mengenai diri yang sebenar-benarnya. Penerimaan diri memungkinkan individu untuk mengevaluasi sifat yang berguna dan tidak berguna yang dimiliki, serta menerima apapun aspek negatif sebagai bagian dari kepribadian (Morgado dalam Pamungkas, 2015). Indikator penting dalam penerimaan diri adalah tidak adanya sikap pasrah dan mampu menerima identitas diri secara positif (Coleridge, 1993).

Terdapat perbedaan antara tahap penerimaan pada proses grieving dan penerimaan diri. Penerimaan pada proses grieving hanya berfokus pada aspek kognitif


(33)

terkait kondisi HIV. Individu akan memulai menanamkan komitmen dan menghilangkan pemikiran irasional, sedangkan penerimaan diri merupakan perwujudan dari aspek kognitif menjadi serangkaian perilaku. Sedangkan, penerimaan diri merupakan kondisi pertumbuhan dan kesejahteraan psikologis individu dengan status HIV positif.

Maciejewski, Zhang, Block, dan Prigerson (2007) menemukan bahwa terdapat hubungan dengan sifat berbanding terbalik antara proses grieving dan penerimaan diri. Penerimaan diri tidak dapat dikembangkan apabila kondisi disbelief, yearning, anger, dan depression dalam tahapan grieving masih dipertahankan secara kuat. Sebaliknya, penerimaan diri dapat dikembangkan apabila kondisi-kondisi dalam tahapan grieving menurun.

Ryff (dalam Snyder, Lopez, & Pedrotti, 2010) menyatakan bahwa penerimaan diri merupakan karakteristik utama yang mencerminkan kondisi psikologis individu yang sehat mental dan matang. Individu yang memiliki penerimaan diri yang efektif ditandai dengan sikap positif terhadap diri sendiri. Individu menunjukkan sikap mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam diri, baik secara positif maupun negatif, serta memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Demikian pula sebaliknya, individu yang dengan penerimaan diri yang tidak efektif akan memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan memiliki pengharapan untuk tidak menjadi diri sendiri sebagaimana adanya.

Individu yang mampu menerima dan menyadari kondisi diri secara positif dalam menyadari keterbatasan pada diri, akan mengembangkan serta mempertahankan hubungan positif dengan sekitarnya sehingga mampu membentuk penguasaan


(34)

lingkungan. Lebih lanjut, dalam mempertahankan eksistensi diri pada konteks sosial, individu akan mengembangkan kemandirian, serta tujuan dalam hidup. Pada akhirnya individu mampu menciptakan kondisi well-being (Ryff dalam Snyder, Lopez, & Pedrotti, 2010).

Ketika ibu rumah tangga terinfeksi HIV, akan menunjukkan berbagai perubahan dalam kehidupan baik dari segi fisik hingga psikososial. Stigma dan diskriminasi terkait HIV yang sangat kuat di kalangan masyarakat, menjadikan kehidupan yang dijalani oleh ibu rumah tangga menjadi semakin pelik pasca berstatus HIV positif. Perubahan-perubahan dalam hidup dapat dijelaskan dalam berbagai bentuk reaksi dalam proses grieving. Proses grieving yang dilalui bersifat unik dan khas pada setiap individu namun umumnya terjadi berdasarkan tahap-tahap yang dapat diprediksi. Setelah melalui proses grieving, dimungkinkan individu mengembangkan penerimaan diri yang efektif terkait status HIV positif pada diri.

Proses grieving dan penerimaan diri merupakan aspek penting untuk diketahui khususnya pada ibu rumah tangga dengan status HIV positif. Proses grieving dapat menunjukkan perubahan kondisi psikologis ibu rumah tangga pasca terinfeksi HIV, yang tentunya dipengaruhi oleh aspek lain seperti aspek fisik ataupun sosial. Perubahan kondisi psikologis tersebut dapat dijelaskan secara holistik, mulai dari baru mengetahui diagnosa HIV positif sampai dengan kondisi mampu menerima dan berdaya dengan status HIV positif. Penerimaan diri pada ibu rumah tangga dengan status HIV positif dapat menunjukkan kualitas hidup khususnya kesejahteraan psikologis yang dimiliki, sehingga dapat menjadi bahan evaluasi, khususnya bagi diri ibu rumah tangga dengan HIV positif.


(35)

Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian dilakukan untuk melihat bagaimana gambaran proses grieving dan gambaran penerimaan diri pada diri ibu rumah tangga berstatus HIV positif, serta kaitan antar kedua aspek tersebut pada ibu rumah tangga dengan status HIV positif yang tertular melalui suaminya.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini akan difokuskan pada fenomena ibu rumah tangga berstatus HIV positif yang tertular oleh suaminya, untuk kemudian akan dilihat bagaimana proses grieving yang dilalui dan bagaimana penerimaan diri pada diri ibu rumah tangga berstatus HIV positif.

C. Signifikansi dan Keunikan Penelitian

Beberapa penelitian mengenai proses grieving telah dilakukan di Indonesia baik dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif maupun kualitatif, namun penelitian yang telah ada lebih berfokus pada proses grieving yang dialami terkait kondisi anggota keluarga seperti kematian dan penyakit. Crump (2001) menyatakan bahwa kondisi grieving tidak hanya terjadi karena kondisi anggota keluarga ataupun orang terdekat, namun dapat pula disebabkan oleh kondisi ataupun perubahan pada diri sendiri. Penelitian yang membahas secara spesifik konteks proses grieving pada individu yang mengalami perubahan pada diri sendiri, masih sangat sedikit atau bahkan belum pernah ditemukan. Salah satu penelitian mengenai proses grieving dilakukan oleh Salim (2013), yang melakukan penelitian terkait proses berduka (proses grieving) akibat kematian orang yang dicintai yang dialami oleh lansia di kabupaten Ngada. Proses kedukaan yang dialami oleh responden meliputi depresi, marah, tawar-menawar, dan mengingkari. Gambaran proses depresi yang


(36)

teridentifikasi adalah putus asa, perasaan kesepian, dan kesedihan. Gambaran proses marah yang teridentifikasi adalah memproyeksikan kemarahan pada diri sendiri atau lainnya. Gambaran proses tawar-menawar yang teridentifikasi adalah mempunyai keinginan untuk merubah apa yang sudah terjadi. Gambaran proses mengingkari yang teridentifikasi adalah menolak mempercayai bahwa kehilangan terjadi secara nyata.

Penelitian yang melihat tentang grieving yang dialami individu dengan status HIV positif masih sangat terbatas. Peters (2013) melakukan sebuah penelitian dengan menggunakan metode studi literatur terhadap fenomena grieving pada individu dengan HIV. Penelitian ini menemukan bahwa individu yang hidup dengan HIV wajar mengalami proses grieving dalam bentuk yang rumit dan waktu yang panjang. Proses grieving membutuhkan dukungan sosial dari lingkungan serta dukungan spiritual yang efektif. Prinsip yang harus dikembangkan para praktisi adalah empati dan berpusat pada individu dengan HIV. Individu harus diberi kesempatan dalam bercerita tanpa penghakiman, prasangka serta diskriminasi.

Terkait topik penerimaan diri, adapun beberapa penelitian yang ditemukan adalah :

1. Evitasari (2014), mengenai proses penerimaan diri remaja tunarungu berprestasi. Hasil dari penelitian menemukan bahwa menunjukkan bahwa terdapat tiga fase penerimaan diri yang dialami oleh remaja tunarungu berprestasi, yaitu fase awal, fase konflik, dan fase menerima. Fase awal merupakan fase individu memperoleh kondisi tunarungu. Fase konflik adalah fase timbulnya permasalahan pada individu yang mulai berdamai dengan kondisi difabel individu karena kondisi tunarungu. Fase menerima adalah fase individu mulai memahami dan menerima kondisi diri secara utuh. Individu


(37)

selanjutnya mengalami perubahan ke arah yang lebih positif dan mulai melakukan penyesuaian pada lingkungan sekitar, serta mulai merencanakan masa depan hingga keberhasilan meraih salah satu impian yang dimiliki. 2. Ardilla dan Herdiana (2013), mengenai dinamika penerimaan diri pada

narapidana perempuan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa dinamika penerimaan diri pada narapidana perempuan bergantung pada faktor yang menjadi pendukung dari penerimaan diri yakni adanya pandangan diri yang positif, dukungan keluarga terdekat yang diberikan secara konsisten adanya sikap menyenangkan dari lingkungan baru, dalam hal ini adalah lingkungan di dalam lapas, serta kemampuan social skill yang baik pada narapidana perempuan membuat seorang narapidana perempuan dapat menjadikan pengalaman negatifnya menjadi pelajaran positif dalam hidupnya.

Penelitian yang mengkaji tentang penerimaan diri pada ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif yang tertular melalui suaminya masih sangat terbatas. Putri (2014) meneliti penerimaan diri pada perempuan Bali yang positif terinfeksi HIV-AIDS. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat 9 gambaran penerimaan diri pada perempuan Bali yang positif terinfeksi HIV-AIDS yaitu bersyukur, optimis, dan melakukan yang terbaik, menghargai diri sendiri, pembuktian diri, memiliki hak dan merasa sejajar dengan orang lain, tidak ingin diperlakukan berbeda, ingin membantu serta dapat berbagi dengan orang lain, introspeksi diri, mendekatkan diri dengan Tuhan. Penelitian yang dilakukan sama-sama menjadikan individu dengan jenis kelamin perempuan yang berstatus HIV positif sebagai responden penelitian, akan tetapi penelitian yang dilakukan tidak secara spesifik meneliti responden dengan latar


(38)

belakang sebagai seorang ibu rumah tangga serta faktor penularan HIV yang terjadi pada diri responden.

Terkait dengan responden ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif, beberapa penelitian yang telah dilakukan di Indonesia adalah :

1. Dalimoenthe (2011), mengenai kajian sosiologi feminis terkait fenomena peningkatan jumlah HIV-AIDS pada kalangan ibu rumah tangga. Hasil dari penelitian ini adalah kalangan ibu rumah tangga terinfeksi HIV-AIDS dari suaminya yang melakukan penyimpangan sosial, baik karena sering berganti-ganti pasangan atau karena pecandu narkoba suntik. Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah HIV-AIDS pada kalangan ibu rumah tangga yakni, faktor biologis, sosio-kultural, dan ekonomi. Faktor biologis yang menyebabkan ibu rumah tangga rentan terinfeksi HIV-AIDS karena struktur dalam vagina memiliki banyak lipatan yang membuat permukaan menjadi luas dan dinding vagina sendiri memiliki lapisan tipis yang mudah terluka. Anatomi ini memudahkan air mani yang mengandung HIV akan bertahan lebih lama dalam rongga vagina, sehingga memungkinkan terjadinya penularan. Faktor kedua yakni sosio-kultural yang disebabkan oleh budaya patriarki di Indonesia yang sangat kental sehingga kedudukan ibu rumah tangga di mata suami sangat lemah. Lebih lanjut, ibu rumah tangga tidak mampu menolak hubungan seksual dengan pasangannya. Faktor ekonomi, bahwa seorang ibu rumah tangga mengalami ketergantungan secara ekonomi kepada suami yang sekaligus menjadi tulang punggung keluarga, yang menjadikan lemahnya daya tawar yang dimiliki ibu rumah tangga terhadap suami.


(39)

2. Yulianti dan Wahyudi (2014), mengenai self compassion pada ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif di kelurahan X, kota Bandung. Hasil penelitian ini menemukan bahwa sebesar 67% dari total responden memiliki self compassion yang tinggi, sedangkan 33% dari total responden memiliki self compassion yang rendah. Tolok ukur tinggi-rendahnya self compassion dilihat berdasarkan tiga aspek, yakni : self kindness-self judgement, common humanity-isolation, dan mindfulness-over identification.

3. Riasnugrahaini (2011), mengenai forgiveness pada perempuan dengan HIV-AIDS yang terinfeksi melalui suaminya. Hasil penelitian menemukan bahwa ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV-AIDS dari suaminya telah mampu mempraktekkan forgiveness dalam kehidupannya. Forgiveness yang dimiliki cenderung dinilai dalam tiga prinsip yakni : forgiveness as lawful expectational forgiveness (memaafkan karena sesuai dengan harapan dari falsafah hidup dan agama), forgiveness as social harmony (memaafkan untuk memulihkan hubungan baik), dan expectational forgiveness (memaafkan karena offender berpikir bahwa memaafkan harus dilakukan, meskipun masih terdapat ketidaknyamanan pada diri ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV-AIDS dari suaminya).

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran proses grieving dan penerimaan diri serta hubungan dari proses grieving dan penerimaan diri pada ibu rumah tangga dengan status HIV positif. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Maciejewski, dkk. (2007) menemukan bahwa terdapat hubungan dengan sifat berbanding terbalik antara proses grieving dan penerimaan diri. Penerimaan diri dapat


(40)

meningkat apabila kondisi disbelief, yearning, anger, dan depression dalam tahapan grieving menurun.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa penelitian yang spesifik mengkaji proses grieving dan penerimaan diri pada ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif yang tertular dari suaminya belum pernah dilakukan. Penelitian yang ada lebih berfokus pada salah satu variabel baik proses grieving atau penerimaan diri saja, sehingga belum ada penelitian yang mampu melihat kedua varibel serta melihat kaitan antara keduanya. Masih sedikit penelitian yang secara spesifik membahas faktor penularan HIV-AIDS melalui hubungan heteroseksual dengan pasangan (suami atau istri), khususnya fenomena HIV pada ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya. Penelitian ini penting untuk dilakukan mengingat di Indonesia sendiri masih sedikit penelitian yang tertarik untuk meneliti ibu rumah tangga berstatus HIV positif yang tertular melalui suaminya. Berdasarkan pemaparan diatas, keaslian dari penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses grieving dan penerimaan diri pada ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif yang tertular melalui suaminya.


(41)

E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoretis

a. Memberi kontribusi dalam bidang psikologi klinis terkait gambaran proses grieving dan penerimaan diri pada ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif yang tertular melalui suaminya.

b. Memberi kontribusi pada pengetahuan psikologi kesehatan mental terkait gambaran proses grieving dan penerimaan diri pada ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif yang tertular melalui suaminya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif, penelitian ini diharapkan mampu memberi pemahaman bagi individu untuk memahami bagaimana proses grieving yang telah dilalui. Pemahaman ibu rumah tangga terkait proses grieving dan penerimaan diri dapat menjadi bahan evaluasi dalam meningkatkan kualitas kehidupan yang dijalani. Diharapkan pula dari penelitian ini mampu menggambarkan penerimaan diri yang dimiliki sehingga dapat menjadi motivasi bagi individu untuk mampu hidup dengan bahagia bahkan mampu berdaya upaya dengan baik. b. Bagi individu yang memiliki persamaan kondisi dengan responden penelitian, penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai situasi yang akan dihadapi pasca diagnosa HIV positif khususnya mengenai kondisi psikologis seperti proses grieving yang wajar dialami oleh setiap individu dengan HIV


(42)

c. Bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga seorang ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif, penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran proses grieving yang telah dialami oleh anggota keluarganya pasca mengetahui diagnosa HIV positif. Proses grieving mampu memberikan gambaran kondisi psikologis seperti konflik yang dialami dalam diri individu, kondisi emosi, dan berbagai perubahan pada diri individu baik perubahan fisik, afeksi hingga psikososial. Ketika keluarga telah mampu memahami proses grieving, maka keluarga dapat memberikan dukungan sosial serta motivasi yang tepat terkait kondisi yang dialami oleh ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif. Selain proses grieving, penting bagi keluarga untuk mengetahui penerimaan diri pada diri ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif. Pengetahuan terkait penerimaan diri yang dimiliki dapat menjadi indikator kualitas hidup ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif.

d. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi terkait proses grieving dan penerimaan diri pada diri ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif, sehingga lebih lanjut dapat bertindak dan berperilaku secara tepat kepada ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif. Disamping itu, dengan memiliki pengetahuan serta informasi yang benar, dapat meminimalisir adanya stigma dan perlakuan diskriminatif bagi ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif.

e. Bagi praktisi yang berkecimpung dalam bidang psikologi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai proses grieving dan penerimaan diri pada diri ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif,


(43)

sehingga dapat membantu pemahaman untuk psikolog atau ilmuwan psikologi dalam memberikan penanganan atau intervensi psikologis pada permasalahan sosial dan emosional yang kerap dialami pada ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif.


(44)

27 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Penelitian ini ingin mengungkap bagaimana gambaran proses grieving dan penerimaan diri pada ibu rumah tangga berstatus HIV positif yang tertular melalui suaminya. Makna dari setiap aspek yang menjadi variabel penelitian, yakni grieving, penerimaan diri dan HIV positif harus mampu dipahami secara mendalam. Dibutuhkan pemahaman yang mendalam dan komprehensif terkait ketiga aspek yakni proses grieving, penerimaan diri dan HIV positif, sehingga dapat menjadi suatu penelitian yang baik.

A. Grieving 1.Definisi Grieving

Puri dan Treasaden (2011) mendefinisikan grieving sebagai suatu reaksi psikologis dan emosional yang dapat diekspresikan secara internal maupun eksternal setelah mengalami kehilangan. Menurut J. R. White (1997) grieving merupakan pengalaman yang umum terjadi pada individu yang mengalami kehilangan, sehingga individu wajar mengalami perasaan-perasaan negatif seperti ketakutan, kebingungan, kemarahan hingga kesepian.

Kondisi kehilangan yang dialami individu memiliki beragam bentuk, Crump (2001) mendefinisikan bentuk-bentuk kehilangan yang dialami individu sehingga mengalami proses grieving diantaranya seperti kematian orang terdekat, kehilangan fungsi tubuh, menderita penyakit kronis atau terminal, hingga kehilangan privasi dan kemandirian.


(45)

Kübler-Ross (2009) mendefinisikan grieving sebagai reaksi yang ditunjukkan pada individu dalam mengatasi serta berhadapan dengan kedukaan dan tragedi, terutama ketika didiagnosa memiliki penyakit berat atau mengalami perubahan yang sangat besar dalam kehidupan.

Pada penelitian ini, grieving didefinisikan sebagai reaksi individu atas kondisi penyakit pada diri sendiri yang memungkinkan individu merasakan perasaan-perasaan negatif seperti ketakutan, kebingungan, kemarahan hingga kesepian.

2. Proses Grieving

Proses grieving menurut McKissock dan McKissock (2012) merupakan proses yang dilalui individu berdasarkan pengalaman subjektifnya terhadap suatu kondisi kehilangan. McKissock dan McKissock (2012) menambahkan bahwa proses grieving yang dilalui individu tidak bersifat linier, melainkan bersifat acak (chaotic). Fase akut berduka biasanya berlangsung 6 hingga 8 minggu dan penyelesaian respon kehilangan atau berduka secara menyeluruh memerlukan waktu satu bulan sampai tiga tahun (Keliat, Helena, & Farida, 2011). Proses grieving merupakan suatu proses yang unik dan berbeda pada setiap individu. Menurut Crump (2001) tidak ada yang dapat memastikan kapan individu dapat melewati semua tahapan dalam proses grieving, yang dapat dilakukan adalah memfasilitasi sehingga proses grieving yang dialami individu dapat sampai pada suatu tahap penerimaan. Proses grieving ini bersifat sangat unik dan berbeda pada diri masing-masing individu (Crump, 2001).

Proses grieving adalah suatu proses yang dialami individu secara subjektif terhadap pengalaman kehilangan yang ditunjukkan reaksi psikologis hingga perilaku sebagai akibat adanya perubahan kondisi dalam kehidupan individu, dalam penelitian


(46)

ini perubahan yang dimaksud adalah perubahan status kesehatan dari individu yang sehat menjadi individu dengan status HIV positif.

Menurut Kübler-Ross (2009) bahwa terdapat lima tahapan yang akan dilalui oleh individu dalam menghadapi kondisi grieving, yakni :

a. Tahap Penolakan

Pada fase ini individu baik secara sadar ataupun tidak sadar akan menolak segala fakta, informasi, realita yang berhubungan dengan situasi yang sedang terjadi. Individu akan menyangkal dan menganggap bahwa hal yang terjadi bukanlah suatu kenyataan. Penyangkalan diikuti oleh reaksi fisik ataupun perilaku. Penolakan yang dialami oleh individu merupakan mekanisme pertahanan yang bersifat alami sehingga wajar terjadi. Pernyataan yang sering muncul dalam tahap ini adalah “saya tidak mungkin sakit” (Kübler-Ross, 2009). Menurut Rando (dalam Linton, 2015) mekanisme penolakan bersifat sementara dan biasanya digantikan oleh bertambahnya kesadaran ketika individu itu dihadapkan pada hal-hal seperti pertimbangan keuangan, permasalahan yang belum selesai, dan perasaan khawatir mengenai keluarga. Crump (2001) menambahkan bahwa hal utama yang dirasakan individu dalam tahapan ini adalah shock hingga mati rasa pada anggota tubuh. Tahap penolakan merupakan tahapan awal ketika individu berada pada kondisi kehilangan. Reaksi utama dalam tahapan ini ialah reaksi kognitif yaitu muncul rasa tidak percaya akan kondisi kehilangan yang kemudian menunjukkan reaksi fisik seperti disfungsi anggota tubuh serta reaksi dalam bentuk perilaku seperti menangis ataupun berteriak.


(47)

b. Tahap Kemarahan

Pada fase ini individu akan mengembangkan emosi negatif seperti kemarahan, kebencian, dan berbagai emosi negatif lainnya yang dapat bermanifestasi dalam berbagai hal. Perasaan yang dirasakan dapat ditujukan bagi diri sendiri ataupun orang lain. Kemarahan merupakan substitusi dari penolakan yang sebelumnya dirasakan. Kemarahan dapat diekspresikan individu kepada lingkungan sekitar atau kepada diri sendiri. Pernyataan yang sering muncul dalam tahapan ini adalah “saya benci pada diri sendiri karena semua adalah kesalahan saya” atau “semua salah suami saya dan saya membenci dirinya” (Kübler-Ross, 2009).

Worthington (2007) menyatakan bahwa korban dari ketidakadilan dapat memberi respon berupa kemarahan, ketakutan, dan kebencian, serta dapat menyimpan dendam terhadap pelaku kesalahan. Sementara itu menurut Enright dan North (1998), individu yang dilukai namun menolak mengampuni (unforgiving) akan cenderung mengalami penderitaan ganda.

Wald dan Temoshok (dalam Worthington, 2007) mengemukakan bahwa individu yang memiliki kecenderungan mengampuni (forgiving) ketidakadilan yang dialami, maka individu dapat meniminalisir adanya gejala depresi dan stressor terkait kondisi. Ketika individu mampu mengampuni dan tidak memendam emosi negatif seperti kemarahan dan dendam dapat diasosiasikan dengan fungsi psikologis yang lebih positif dan kepuasan hidup yang lebih tinggi.

Selain berpengaruh terhadap kondisi psikologis, forgiving dapat berpengaruh terhadap aspek kesehatan individu. Hal ini dikemukakan oleh


(48)

Toussaint, Williams, Musick, dan Everson (dalam Worthington, 2007) yang menyatakan bahwa kesehatan fisik dapat terpengaruh secara negatif jika individu terus-menerus menerapkan sikap unforgiving yang meliputi ekspresi kemarahan dan terpengaruh secara positif jika individu mempraktekkan forgiveness.

Tahap kemarahan merupakan tahapan individu mengembangkan emosi-emosi negatif terkait kondisi kehilangan, seperti rasa kemarahan, rasa kebencian hingga rasa kekecewaan. Emosi-emosi negatif yang dirasakan ditujukan baik kepada diri sendiri ataupun orang lain.

c. Tahap Tawar-Menawar

Pada fase ini, individu akan mengembangkan pikiran irasional seperti memutar waktu dan pengandaian akan suatu kondisi dengan tujuan untuk menghibur diri sendiri. Pengandaian yang dilakukan ditunjukkan kepada Tuhan atau pihak lain yang memiliki berhubungan dengan kondisi yang sedang dialami. Pernyataan yang sering kali muncul pada tahapan ini adalah “bagaimana jika saya tidak sakit?” atau “saya akan bersikap baik apabila penyakit ini hilang dari tubuh saya.” (Kübler-Ross, 2009).

Tahap tawar-menawar merupakan tahapan individu menanamkan kepercayaan atau keinginan yang irasional terkait kondisi kehilangan, hal ini dilakukan dengan tujuan bernegosiasi dengan pihak tertentu seperti Tuhan atas kehilangan yang terjadi.

d. Tahap Depresi

Pada tahapan ini individu akan masuk ke dalam masa depresi. Depresi merupakan tahapan yang penting dalam proses penyembuhan dari menghadapi


(49)

kesedihan. Kondisi yang kerap kali muncul yakni dalam bentuk putus asa dan kehilangan harapan. Akan tetapi, perasaan depresi yang dirasakan merupakan hal wajar yang menandakan bahwa individu memulai menerima realita. Pernyataan yang sering muncul dalam tahapan ini adalah “saya sakit dan tidak bisa bekerja lagi, saya ingin mati saja” atau “saya sakit parah, saya hanya bisa diam tidak berdaya, semua orang meninggalkan saya” (Kübler-Ross, 2009). Kübler-Ross (2009) menambahkan bahwa dalam tahapan depresi, individu akan kehilangan kemampuan dalam fungsi peran seperti yang sebelumnya rutin dilaksanakan. Tingkat emosional yang muncul dalam tahapan ini menurut Nursalam dan Kurniawati (2008) yakni kesedihan, rasa tidak berdaya, tidak ada harapan, merasa bersalah, penyesalan yang dalam, kesepian, dan waktu yang panjang untuk menangis.

Tahap depresi merupakan tahapan individu mulai mengalami putus asa dan kehilangan harapan atas kondisi kehilangan yang terjadi. Individu mengalami kehilangan kemampuan dalam fungsi peran, hingga merasakan berbagai perasaan negatif seperti rasa tidak berdaya, penyesalan, kehilangan harapan hingga kesedihan yang berlarut-larut.

e. Tahap Penerimaan

Tahapan ini bermula dengan adanya komitmen pada diri individu untuk mulai belajar menerima kondisi sebagai akibat dari kehilangan yang dialami. Pada tahapan ini, individu akan merubah pemikiran irasional yang dimiliki sebelumnya dan menggantinya dengan komitmen, disamping itu individu mulai mengembangkan strategi mekanisme yang tepat dalam menghadapi


(50)

kondisi kehilangan. Pernyataan yang sering muncul dalam tahapan ini adalah “saya tidak bisa terus-menerus melawan kondisi ini” (Kübler-Ross, 2009).

Menurut Kübler-Ross (2009) tahapan penerimaan belum tentu menghadirkan kondisi kebahagiaan. Penerimaan merupakan awal dari perjalanan individu dalam menghadapi suatu kondisi kehilangan. Bentuk penerimaan berbeda-beda pada setiap individu dalam setiap kondisi. Terdapat individu yang cenderung menilai penerimaan dengan pernyataan “tidak ada pilihan lain, saya tidak bisa terus melawan hal ini”, namun adapula individu yang menilai penerimaan sebagai sikap realistis akan kondisi yang dialami, hal ini menyebabkan individu bangkit dari kondisi keterpurukan dan mulai hidup dengan baik seperti memulai pengobatan dengan optimistik. Selain itu individu mulai menghadapi kenyataan daripada hanya sekedar menyerah pada kondisi keterpurukan atau tidak ada harapan. (Kübler-Ross, 2009).

Tahap penerimaan merupakan tahapan akhir dari proses grieving, pada tahapan ini individu akan menanamkan komitmen pada diri untuk menerima kondisi kehilangan yang dialami. Individu akan mengembangkan strategi mekanisme yang sesuai dari kondisi kehilangan yang dialami. Penerimaan belum tentu berakhir dengan kebahagiaan karena berdasar pada nilai penerimaan yang dimiliki oleh individu. Terdapat individu yang menilai penerimaan sebagai pilihan terakhir karena tidak terdapat pilihan lain dan adapula individu yang menilai penerimaan sebagai sikap realistis akan kondisi kehilangan daripada hanya sekedar menyerah.


(51)

3. Pola Grieving

Martin dan Doka (2000) menemukan bahwa terdapat dua pola grieving yang

dapat diterapkan oleh individu yang tidak terpisah satu sama lain, melainkan membentuk sebuah kontinum, yakni :

a. Pola intuitif

Individu yang mengalami grieving dengan pola intuitif cenderung mengungkapkan respon dan pengalaman dalam bentuk afeksi yang sangat kuat. Individu akan cenderung mengekspresikan emosi ini dengan bersedih hati, berteriak, menangis atau menampilkan emosi dengan cara lainnya. Pada pola ini, aspek kognitif dan perilaku tetap ada, akan tetapi dalam porsi yang sangat terbatas, berbeda halnya dengan aspek afektif yang sangat menonjol. Diperlukan dukungan kelompok dan konseling yang efektif bagi individu yang menghadapi grieving dengan pola intuitif (Martin & Doka, 2000).

Pola intuitif merupakan kecenderungan individu mengekspresikan kondisi grieving melalui ungkapan-ungkapan perasaan seperti menangis dan meminimalisir adanya kegiatan fisik serta interaksi dengan lingkungan. b. Pola Instrumental

Individu yang menghadapi kondisi grieving dengan menerapkan pola instrumental akan mengungkapkan pengalaman dan beradaptasi dengan kesedihan melalui cara yang lebih aktif dan berdasar pemikiran yang logis. Pada pola ini individu akan memfokuskan diri pada aspek kognitif dan perilaku serta meminimalisir aspek afektif. Individu yang menerapkan pola instrumental cenderung mengisi waktu luang dengan melakukan suatu aktivitas dengan tujuan tertentu dan mengembangkan pemikiran-pemikiran


(52)

rasional dari kondisi grieving yang selama ini tidak dimiliki. Lebih lanjut individu akan membentuk suatu rutinitas dan komitmen yang efektif berdasarkan kondisi kehilangan yang dialami (Martin & Doka, 2000).

Pola instrumental merupakan kecenderungan individu

mengekspresikan kondisi grieving melalui aktivitas fisik dan interaksi dengan lingkungan, serta ekspresi perasaan menjadi lebih terkontrol.

Individu yang menghadapi kondisi grieving cenderung menggunakan pola tertentu, yakni dalam bentuk pola intuitif yang menekankan pada aspek afektif melalui tangisan atau pola instrumental yang menekankan pada aspek perilaku dan kognitif.

B. Penerimaan Diri

1. Definisi Penerimaan Diri

Germer (2009) mendefinisikan penerimaan diri sebagai kemampuan individu untuk dapat memiliki suatu pandangan positif mengenai siapa diri yang sebenar-benarnya, kemampuan tidak dapat muncul dengan sendirinya dan harus dikembangkan oleh individu.

Hurlock (1973) mendefinisikan penerimaan diri sebagai persepsi individu mengenai sejauh mana individu mampu menyadari karakteristik kepribadian yang dimiliki dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik kepribadian. Definisi penerimaan diri menurut Rubin (1974) adalah suatu sikap yang merefleksikan perasaan senang sehubungan dengan kenyataan diri sendiri. Penerimaan diri dapat diartikan sebagai suatu sikap penerimaan terhadap gambaran mengenai kenyataan diri yang mampu mendukung perwujudan diri secara utuh. Coleridge (1993) mengatakan penerimaan diri bukanlah sikap pasrah, tetapi menerima identitas diri secara positif.


(53)

Individu yang sehat secara psikologis dan yang dapat digolongkan sebagai individu yang menerima diri adalah individu yang bersikap terbuka terhadap setiap pengalaman serta mampu menerima setiap kritikan dan masukan dari orang lain. Seperti dikemukakan oleh Jourand (dalam Hurlock, 1973) terdapat dua hal penting dalam penerimaan diri individu, yaitu kemampuan individu menjalankan peran dan mendapatkan kepuasan dari peran yang dimiliki serta berperan sesuai norma yang berlaku.

Penerimaan diri merupakan kondisi individu yang mampu memandang diri secara positif serta ketiadaan sikap pasrah yang berkaitan dengan kondisi yang dialami. Individu yang memiliki penerimaan diri juga tidak menyesali kehidupan masa lalu yang merupakan penyebab dari kondisi yang dihadapi saat ini. Ketika individu mampu mencapai penerimaan diri yang efektif, maka melahirkan suatu kondisi kesejahteraan psikologis.

2. Proses Penerimaan Diri

Proses seorang individu untuk dapat menerima diri tidak dapat muncul begitu saja, melainkan terjadi melalui serangkaian proses yang terjadi secara bertahap. Menurut Germer (2009), proses penerimaan diri terjadi dalam lima tahap, antara lain:

a. Tahap Keengganan

Pertama-tama, reaksi naluriah seorang individu jika dihadapkan dengan perasaan tidak menyenangkan (uncomfortable feeling) adalah menghindar, contohnya individu memalingkan pandangan saat melihat adanya pemandangan yang tidak menyenangkan. Bentuk keengganan dapat ditunjukkan dengan sejumlah cara seperti melakukan pertahanan, perlawanan, atau perenungan (Germer, 2009). Reaksi ini merupakan bentuk mekanisme


(54)

pertahanan, yang mana individu berusaha menghindari kecemasan dan implikasi yang timbul dari kondisi penyakit (Livneh dan Antonak, dalam Evitasari, 2014). Menurut Taylor (2009) individu akan mengembangkan keengganan ataupun penolakan walaupun telah memiliki kesadaran terkait realitas yang dialami. Taylor (2009) menambahkan bahwa penyangkalan merupakan bentuk pertahanan diri yang primitif dan biasanya tidak pernah berhasil, karena hanya berfungsi sesaat dan menimbulkan kecemasan.

Contoh dari tahap keengganan adalah ketika individu kehilangan benda berharga, pada kesempatan lain individu tidak mau melihat barang seperti miliknya yang telah hilang. Pada akhirnya individu berpikir bahwa kehilangan benda adalah hal wajar dan individu harus mencari benda yang hilang.

Tahap keengganan merupakan kondisi mengelak terhadap konsekuensi negatif setelah individu menanamkan komitmen untuk menerima diri sebagaimana adanya. Pengelakan terjadi hanya sementara dan dapat berubah sesuai kondisi masing-masing individu.

b. Tahap Keingintahuan

Setelah melewati masa keengganan, individu akan mengalami adanya rasa keingintahuan terhadap permasalahan dan situasi yang dihadapi sehingga menimbulkan keinginan mempelajari lebih lanjut mengenai permasalahan yang dihadapi walaupun dapat membuat individu merasa cemas (Germer, 2009). Menurut Bastaman (1996), dalam upaya individu untuk mengembangkan penerimaan diri, hal utama yang harus dimiliki adalah pemahaman individu terhadap kondisi diri sendiri. Bastaman (1996) menambahkan bahwa pemahaman diri merupakan peningkatan kesadaran atas


(55)

kondisi diri saat ini dan adanya keinginan yang kuat untuk melakukan perubahan ke arah kondisi yang lebih baik, yang didahului dengan adanya keinginan untuk mengetahui kondisi diri. Keingintahuan yang dimiliki terkait pada aspek yang merupakan kekurangan dan kelebihan pada diri individu berdasarkan kondisi yang dialami.

Contoh dari tahap keingintahuan adalah ketika individu kehilangan benda berharga, individu akan mencari benda yang hilang ke tempat-tempat yang disinggahi sebelumnya, individu dapat pula bertanya kepada orang-orang di sekitarnya mengenai keberadaan benda yang dimiliki.

Tahap keingintahuan merupakan kondisi individu mengalami dan mengembangkan keingintahuan sebagai akibat dari kondisi perubahan dengan tujuan untuk mengembangkan pemahaman akan diri, serta dalam tahap keingintahuan individu melakukan sejumlah cara tertentu guna mengakomodir rasa keingintahuan tersebut.

c. Tahap Toleransi

Pada tahap ketiga ini, individu akan menahan perasaan tidak menyenangkan yang dirasakan sambil berharap hal perasaan negatif akan hilang dengan sendirinya (Germer, 2009). Allport (dalam Hjelle & Zeigler, 1992) menemukan bahwa individu yang mau menerima diri secara utuh adalah individu yang memiliki sikap toleransi terhadap hal negatif yang mungkin terjadi sebagai dampak dari kondisi yang dihadapi. Allport (dalam Hjelle & Zeigler, 1992) menambahkan bahwa dengan adanya sikap toleransi menyebabkan individu lebih lanjut mampu mengatur kondisi diri secara aktif sehingga dapat dengan mudah beradaptasi.


(56)

Contoh dari tahap toleransi ini adalah ketika individu kehilangan benda berharga, individu menganggap bahwa hal wajar merasakan kesedihan dan kekecewaan. Perasaan negatif dinilai tidak permanen dan akan hilang dengan berjalannya waktu.

Tahap toleransi merupakan kondisi individu menahan perasaan tidak menyenangkan sebagai dampak dari perubahan yang membutuhkan adanya sikap toleransi.

d. Tahap Pembiaran

Setelah melalui proses bertahan akan perasaan tidak menyenangkan telah selesai, individu akan mulai membiarkan perasaan negatif datang dan pergi begitu saja. Individu secara terbuka membiarkan perasaan itu mengalir dengan sendirinya (Germer, 2009). Pada tahap ini individu telah mencapai stabilitas dalam bereaksi dalam setiap kondisi perubahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1973) bahwa salah satu hal yang memengaruhi penerimaan diri adalah stabilitas individu dalam memandang kondisi kehidupan secara objektif.

Contoh dari tahapan pembiaran ini adalah ketika individu kehilangan benda berharga dan melihat teman yang memiliki benda serupa. Individu wajar merasakan kesedihan, akan tetapi tidak membiarkan perasaan negatif berlarut-larut bahkan memengaruhi hubungan individu dengan teman yang memiliki benda serupa.

Tahap pembiaran merupakan kondisi individu yang mampu bertahan secara konsisten dan stabil saat berhadapan dengan perasaan tidak menyenangkan sebagai dampak dari perubahan.


(1)

Hal ini sejalan dengan pendapat dr. Nafsiah Mboi SpA, MPH Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada masa kabinet Indonesia Bersatu II, bahwa hingga tahun 2012 terjadi peningkatan jumlah penularan HIV dari suami kepada istrinya (Wardah, 2013). Sadli (2010) menambahkan bahwa di kalangan masyarakat beredar mitos dan

stereotype bahwa seorang ibu rumah tangga adalah perempuan baik-baik. Perempuan

baik-baik tidak mungkin terkena HIV-AIDS, sehingga kelompok ibu rumah tangga tidak dijadikan sasaran kampanye atau edukasi mengenai HIV-AIDS.

Menurut Dalimoenthe (2011), seorang ibu rumah tangga dapat menjadi kelompok rentan dari penularan HIV-AIDS karena suami yang melakukan penyimpangan sosial, baik karena sering berganti-ganti pasangan atau karena pecandu narkoba. Disamping itu, seorang ibu rumah tangga tidak memiliki pengetahuan dan kesadaran yang memadai terkait HIV-AIDS. Terdapat tiga faktor utama yang memengaruhi ibu rumah tangga menjadi sangat rentan terhadap penularan (Dalimoenthe, 2011). Pertama adalah faktor biologis dari struktur dalam vagina yang terdapat banyak lipatan membuat permukaannya menjadi luas dan dinding vagina sendiri memiliki lapisan tipis yang mudah terluka. Faktor kedua adalah faktor sosial-kultural yang memposisikan perempuan sukar menolak hubungan seksual dengan pasangannya karena perempuan tidak memiliki kekuasaan untuk menyarankan penggunaan kondom dalam hubungan seksual. Ketiga adalah faktor ekonomi bahwa perempuan umumnya sangat bergantung secara ekonomi kepada laki-laki. Ini menyebabkan perempuan tidak memiliki posisi tawar menolak hubungan seksual dengan pasangannya.

Ibu rumah tangga secara umum telah memiliki permasalahan sendiri terkait peran di rumah seperti yang dikemukakan oleh Frieze (1978). Ketika ibu rumah tangga


(2)

terinfeksi HIV, akan menambah pelik permasalahan yang dihadapi oleh ibu rumah tangga. Menurut Nursalam dan Kurniati (2008), terdapat empat bentuk perubahan pada individu dengan HIV yang dapat menghadirkan permasalahan di kemudian hari, yakni perubahan respon biologis (imunitas), respon adaptif psikologis, respon adaptif spiritual, dan respon adaptif sosial. Perubahan-perubahan sebagai dampak HIV mengakibatkan kehidupan yang dijalani oleh ibu rumah tangga berstatus HIV positif menjadi semakin kompleks dan rentan terhadap konflik.

D. Perspektif Teoretis

Perspektif teoretis dalam penelitian ini dilatarbelakangi oleh peningkatan jumlah infeksi HIV pada ibu rumah tangga, padahal kelompok ibu rumah tangga bukanlah kelompok berisiko tinggi terhadap penularan HIV-AIDS. Ibu rumah tangga tertular HIV melalui suaminya yang terlebih dahulu terinfeksi HIV melalui perilaku berisiko. Seorang ibu rumah tangga memiliki peran krusial dalam rumah tangga serta menjalankan serangkaian peran dalam waktu bersamaan yang dihadapkan pada sejumlah permasalahan seperti tidak terorganisasinya waktu dan aktivitas hingga isolasi sosial (Frieze, 1978).

Kondisi HIV positif tentunya akan berdampak pada diri ibu rumah tangga baik secara fisik, psikis ataupun psikososial. Permasalahan menjadi lebih pelik karena ibu rumah tangga karena tertular HIV melalui suami yang tentunya diharapkan mampu memberi perhatian, kasih sayang, nafkah serta perlindungan. Menurut Dalimoenthe (2011) ibu rumah tangga dengan status HIV positif akan mengalami stigma ganda, yaitu sebagai perempuan makhluk kelas dua yang cenderung disalahkan atas apa yang terjadi terhadap dirinya sendiri. Masyarakat menganggap semestinya perempuan dapat menjaga diri, suami dan keluarganya sehingga tidak terinfeksi HIV. Stigma kedua


(3)

yakni pandangan bahwa individu dengan HIV telah melakukan perilaku tidak bermoral sehingga harus dijauhi. Tentunya kondisi demikian akan berpengaruh dalam kehidupan ibu rumah tangga dengan status HIV positif.

Peters (2013) melakukan sebuah penelitian dengan menggunakan metode studi literatur terhadap fenomena grieving pada individu dengan HIV. Penelitian ini

menemukan bahwa individu yang hidup dengan HIV-AIDS wajar mengalami proses

grieving dalam bentuk yang rumit dan waktu yang panjang. Grieving merupakan

reaksi yang normal pada individu yang mengalami kehilangan fungsi kesehatan (Stewart & Shields dalam Levenson, 2011).

Maciejewski, dkk. (2007) menemukan bahwa penerimaan dapat meningkat apabila kondisi disbelief, yearning, anger dan depression dalam tahapan grieving

menurun. Terdapat hubungan antara grief dan penerimaan diri dengan sifat hubungan

adalah berbanding terbalik. Ketika ibu rumah tangga dengan status HIV positif mampu mencapai dan melewati tahap penerimaan dalam proses grieving, lebih lanjut

mampu menghadirkan kondisi penerimaan diri. Penerimaan diri dipengaruhi oleh bentuk penerimaan terhadap kondisi HIV itu sendiri.

Berdasarkan fenomena yang terjadi di lapangan, seorang ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif yang tertular oleh suaminya wajar mengalami proses

grieving. Proses grieving bersifat sangat unik dan berbeda pada setiap individu

sekalipun memiliki kemiripan kondisi. Tentunya tidak mudah bagi ibu rumah tangga untuk menerima status HIV positif pada dirinya. Sering kali ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif akan menghadapi kesulitan. Kesulitan yang dihadapi dapat bersumber dari dalam diri ataupun dari luar.


(4)

Beberapa kasus di lapangan menemukan ibu rumah tangga mampu bangkit dari keterpurukan pasca menjadi berstatus HIV positif. Ibu rumah tangga dengan status HIV positif dapat memiliki penerimaan diri yang baik dan pada akhirnya mampu menunjukkan rasa cinta pada kondisi diri (Yulianti & Wahyudi, 2014). Ibu rumah tangga yang mampu menunjukkan penerimaan diri yang baik dapat menjadi teladan bagi individu dengan latar belakang kondisi yang sama, akan tetapi beberapa kasus di lapangan menunjukkan terdapat ibu rumah tangga dengan status HIV positif yang terperangkap dalam keterpurukan dan kesedihan. Pada akhirnya kondisi demikian akan berpengaruh secara negatif terhadap kondisi fisik serta psikologis individu.

Tidak ada yang dapat memastikan kapan individu dapat melewati semua tahapan dalam proses grieving. Manfaat yang dapat diambil dari mengetahui gambaran

proses grieving yang dilalui oleh ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif yang

tertular dari suaminya, adalah dapat memberikan bantuan dan memfasilitasi proses

grieving yang dialami individu khususnya bagi keluarga, teman dan lingkungan sekitar

individu berada. Selain itu bagi ibu rumah tangga dengan status HIV positif dapat, dengan mengetahui proses grieving dan penerimaan diri dapat dijadikan sebagai bahan


(5)

Gambar 2. Bagan Perspektif Teoretis Fenomena

HIV-AIDS

Kelompok berisiko : wanita pekerja seksual, homoseksual & pengguna narkoba suntik

Diluar kelompok berisiko :

Ibu Rumah Tangga

Perubahan dalam hidup

Proses grieving

Fisik Psikis Stigma Diskriminasi Penolakan Kemarahan Tawar-menawar Depresi Penerimaan

Penerimaan diri Keengganan

Keingintahuan

Toleransi

Pembiaran

Persahabatan Faktor penularan : hubungan seksual dengan suami yang telah terinfeksi

Keterangan:

: Latar belakang yang menjadi fokus penelitian

: Latar belakang yang tidak menjadi fokus penelitian

: Fokus penelitian

: Menghasilkan

: Terdiri dari


(6)

E. Pertanyaan Penelitian

Adapun pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah bagaimana proses grieving dan penerimaan diri pada ibu rumah tangga berstatus HIV