Faktor Pendukung Terjadinya Relokasi

3.1 Faktor Pendukung Terjadinya Relokasi

Rendahnya tingkat pendidikan dan keterbatasan keterampilan oleh kaum migran menjadikan satu-satunya pilihan untuk bekerja dan bertahan hidup adalah dengan menjadi pedagang kaki lima. Hingga saat ini, tingginya peningkatan jumlah Pedagang Kali Lima PKL di Indonesia khususnya di Kota Medan menunjukan masih rendahnya kemampuan daya serap sektor formal terhadap angkatan kerja serta masih rendahnya kemampuan daya saing masyarakat dalam mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Atas dasar itulah maka banyak masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang disektor informal. Pedagang kaki lima sebagai salah satu kelompok sektor informal diakui memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan kelompok lainnya. Keunggulan kompetitif yang dimiliki adalah kemampuannya untuk bertahan dalam kondisi ekonomi yang sulit. Namun, kegiatan pedagang kaki lima ini sangat rentan dan memperihatinkan karena keberadaannya kurang mendapat perhatian, binaan, dan perlindungan yang serius dari pemerintah. Bahkan sektor ini dianggap sebagai sumber masalah dalam kebersihan dan ketertiban. Keberadaan pedagang kaki lima di Pasar Titipapan tiap tahunnya semakin bertambah. Hal ini menyebabkan lahan yang digunakan pedagang kaki lima yang ada di pasar tersebut semakin sempit. Pada awalnya lahan hanya sekitar pinggiran Sungai Deli, yaitu milik Pekerjaan Umum PU mulai melebar ke lahan milik warga mengarah hingga ke jalan raya dan banyak pedagang yang meletakkan meja tempat barangnya di atas parit, bahkan di antara pedagang ada yang menggunakan tanah milik warga. Para pedagang tersebut apabila sudah selesai berjualan pasti meninggalkan sampah yang berserakan sehingga dapat menimbulkan kotoran di sekitar pasar dan parit. Kedaan ini berlangsung setiap hari sehingga sampah ataupun kotoran tersebut jadi menumpuk. Apabila Universitas Sumatera Utara keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, maka dapat mengakibatkan aroma yang tidak sedap dan berbau busuk serta dapat menimbulkan sumber penyakit. Keadaan ini dapat menimbulkan dampak negatif bagi kebersihan dan keindahan lingkungan, sampah-sampah yang berserakan dan tata ruang yang semberaut menyebabkan keresahan bagi warga yang tinggal di sekitar pasar tersebut. Keadaan payung-payung yang dipasang oleh para pedagang pada saat berjualan juga dapat menimbulkan pemandangan yang kurang enak. Parit-parit menjadi tersumbat oleh sampah sisa-sisa pedagang dan sering mengakibatkan banjir jika turun hujan yang tergenang hingga jalan raya. Keadaan pasar sering becek dan berlumpur. Hal ini mengakibatkan sering terjadi kemacetan lalu lintas dan jika dibiarkan terus-menerus akan mempercepat kerusakan badan jalan raya. Salah satu faktor yang paling mempengaruhi terjadinya relokasi Pasar Titipapan oleh Pemerintah Kotamadya Medan adalah pada tahun 1993. Pihak Pekerjaan Umum Kotamadya Medan melakukan pembuatan benteng tanggul Sungai Deli yang mana lahannya digunakan sebahagian besar pedagang yang ada di Pasar Titipapan. Sehingga banyak pedagang yang kehilangan lapak tempat untuk meletakkan barang dagangannya dan memilih makin turun ke arah jalan raya. Di samping itu, kondisi pasar semakin semrawut tidak beraturan dan sering mengakibatkan kemacetan. Keadaan pedagang kaki lima di Pasar Titipapan menjadi suatu dilema bagi pemerintah dalam mewujudkan Kotamadya Medan yang bersih, tertib, dan aman. Hal ini sangat berpengaruh, karena Pasar Titipapan sangat strategis dilalui oleh masyarakat dari berbagai arah atau tempat. Pemerintah berusaha dalam mengatasi masalah yang muncul ditengah-tengah masyarakat dalam era keterbukaan di mana memerlukan penanggulangan yang terpadu, yaitu menciptakan kerja sama yang baik dari berbagai pihak dengan memperhatikan Universitas Sumatera Utara aspek dan kepentingan dari berbagai pihak serta tidak melupakan nilai kebenaran dan kemanusiaan. Terkait dengan persoalan pedagang kaki lima ataupun sektor informal, relokasi Pasar Titipapan yang ada di Kelurahan Titipapan Kecamatan Medan Deli yang dilakukan oleh Pemerintah Kotamadya Medan berdasarkan atas Perda No. 31 Tahun 1993 tentang Pemakaian Tempat Berjualan. Berdasarkan hasil observasi, alasan relokasi Pasar Titipapan adalah karena pasar tersebut berada di salah satu jalur hijau yaitu di daerah batas aliran Sungai Deli yang akan dibuat tanggul dan masyarakat yang memiliki tanah di sekitar lokasi tersebut mulai keberatan karena masalah sampah dan kesemrautan pasar yang tidak teratur. Pada saat itu memang keberadaan pasar tersebut cukup mengganggu pengguna jalan raya dari arah Medan menuju ke Belawan dan tidak jarang mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Alasan yang lain adalah karena pertimbangan hukum, seperti yang diketahui bahwasanya Pasar Titipapan ini merupakan sebuah pasar tradisional yang dikelola secara sukarela oleh para pedagang. Hal ini membuat Pasar Titipapan ini termasuk sebagai sektor informal dan pedagangnya juga banyak yang tergolong sebagai Pedagang Kaki Lima PKL. Karena pasar ini merupakan sektor informal maka tidak ada surat keputusan yang mengatur tentang perizinannya. Pasar ini tidak terdaftar di Perusahaan Daerah Kota Medan dan tidak ada yang mengelolanya secara resmi. Jadi pasar ini tidak memiliki kekuatan hukum seperti izin administrasi dari Pemerintah Kotamadya Medan. Dari segi ekonomi alasannya adalah karena pemerintah juga ingin memperbaiki Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD. Kalau saja pasar tersebut masih menjadi sektor informal dan tidak terkelola dengan baik maka pemerintah tidak mendapatkan keuntungan apa- apa. Padahal APBD untuk daerah yang bersangkutan bisa memperoleh pemasukan yang banyak Universitas Sumatera Utara dari kegiatan Pasar Titipapan tersebut. Atas dasar itulah mengapa pemerintah melakukan program untuk merelokasi pedagang yang ada di Pasar Titipapan ke tempat yang sudah terkelola dengan baik dan ada di bawah naungan Perusahaan Daerah Pasar. Dengan begitu keuntungan yang diperoleh juga pasti akan memberikan sumbangan untuk APBD. Lepas daripada itu pada tahun 1997 di Kota Medan terdapat Pasar Inpres sebanyak 14 unit, pasar non inpres 23 unit, dan pasar kaki lima 30 unit. Sedangkan pusat-pusat perbelanjaan yang tergolang menengah keatas seperti Plaza, Shopping Center, dan Pasar Swalayan berjumlah 35 unit. Pasar yang ada di Kotamadya Medan pada umumnya masih teradisional, sehingga memiliki kondisi lingkungan yang tidak sehat. Oleh karena itu melalui MUPD II untuk sektor KIPMIIP, pemerintah daerah telah merehabilitasi 13 lokasi pasar dengan total luas areal 65,3 Hektar dengan kapasitas layanan konsumen sebanyak 582.000 orang 17 Pasar Titipapan merupakan salah satu pasar tradisional yang di renovasi oleh Pemerintah Kotamadya Medan pada masa itu karena dianggap penting dan belum mempunyai fasilitas yang memadai. Pemerintah memutuskan untuk memberikan lahan juga membangun segala prasarana yang dianggap perlu untuk sebuah pasar. Pemerintah melihat Pasar Titipapan merupakan pasar yang potensial dan strategis karena pada masa itu gairah kegiatan ekonomi di pasar tersebut cukup menjanjikan. Sedangkan keadaan pasar kenyataannya cukup memperihatinkan yang di mana terletak di batas daerah aliran Sungai Deli merembes ke tanah milik masyarakat dan mengarah ke pinggir jalan raya. Dengan pertimbangan Pasar ini akan terus berkembang dengan . Perbaikan prasarana pasar ini meliputi perbaikan sarana perparkiran, penyediaan jalan tembus, perbaikan saluran air hujan, penyediaan air bersih, perbaikan prasarana sampah pasar dan rehabilitasi bangunan pasar. 17 Informasi, Perdagangan, Industri, dan Jasa Kota Medan, Medan: Penerbit Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kotamadya Tingkat II,1997, hlm.55 Universitas Sumatera Utara pesat maka pemerintah melakukan pemindahan lokasi relokasi Pasar Titipapan di tempat yang baru.

3.3 Faktor Penghambat Relokasi