I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Udang merupakan komoditas handal perikanan utama Indonesia Sudibyo, 1991. Komoditas udang pada saat ini mengalami peningkatan
produksi, baik diperoleh dari usaha penangkapan di alam maupun dari hasil budidaya dengan menggunakan tambak udang. Departemen Kelautan
dan Perikanan 2003 melaporkan, luas tambak udang keseluruhan adalah 250 ha, yang terdiri dari 100 ha tambak eks inti dan 150 ha tambak eks
plasma. Ekspor udang pada tahun 2002 yaitu sebesar 130.000 ton atau
senilai 836.563.280 US, tahun 2003 yaitu sebesar 140.000 ton atau senilai 850.222203 US dan tahun 2004 sampai dengan November sebesar
130.000 ton atau senilai 810.905.190 US BPS, diolah oleh Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2003. Menurut Sudibyo
1991, sekitar 80 hingga 90 persen udang di ekspor dalam bentuk udang udang beku tanpa kepala dan kulit. Bobot kulit dan kepala ini dapat
mencapai 25 hingga 30 persen dari bobot udang utuh, sehingga dapat diperkirakan bahwa kulit dan kepala yang dihasilkan pada tahun 2004
sampai dengan November cukup besar yaitu sebanyak 40.000 ton. Limbah udang mudah sekali rusak akibat degradasi mikroba,
sehingga berpotensi besar mencemarkan lingkungan. Semakin pesatnya perkembangan produksi udang, maka dibutuhkan penanganan terhadap
limbah udang secara khusus. Pemanfaatan limbah udang selama ini adalah untuk pencampur ransum pakan ternak, bahan pencampur pembuatan
terasi, petis dan kerupuk udang. Sementara di negara maju seperti Jepang dan Jerman, limbah udang banyak digunakan sebagai bahan baku
pembuatan kitin dan kitosan Bastaman, 1989. Kitin mempunyai prospek yang cukup besar sebagai bahan baku dengan berbagai kegunaannya di
berbagai bidang. Kitin dan kitosan diketahui bernilai ekonomi tinggi dan telah dimanfaatkan untuk kosmetik, biomedis, farmasi, pertanian,
pengolahan air limbah dan bidang bioteknologi Suhartono, 1989.
Limbah udang merupakan sisa bagian tubuh yang biasanya berupa bagian kepala, kulit dan ekor Moelyanto, 1979. Komposisi utama limbah
udang adalah protein, kitin, lemak dan mineral Chen dan Chen, 1991. Bagian kulit mengandung kitin yang lebih banyak dan protein yang lebih
sedikit, sedangkan bagian kepala mengandung kitin yang lebih sedikit dan protein yang lebih banyak No et al. 1989.
Kitin adalah polimer alami yang mempunyai banyak kelebihan, seperti mempunyai sifat biokompatibilitas, biodegradabilitas dan tidak
beracun. Ornum 1992, menyatakan bahwa kitin mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut dalam air, asam
organik encer dan asam-asam organik, tetapi larut dalam larutan dimetil asetamida dan lithium klorida. Sifat daya serap kitin yang baik dapat
didayagunakan untuk menangani cemaran logam beracun dan zat pewarna tekstil yang terakumulasi dalam perairan dan dapat menyerap bahan
berprotein yang terdapat dalam air limbah industri pengolahan pangan. Kitin juga berpotensi sebagai komoditas di bidang industri, misalnya
sebagai aditif pada industri kertas, tekstil dan industri makanan. Kitin juga berpotensi sebagai bahan antibiotika dan benang operasi yang aman
Austin et al. 1981. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan
isolasi kitin, antara lain adalah jenis bahan baku dan proses ekstraksi kitin, yang meliputi deproteinasi dan demineralisasi. Untuk mendapat kitin
dengan kualitas tinggi, proses deproteinasi dan demineralisasi merupakan proses yang paling penting Knorr, 1991.
Deproteinasi umumnya dilakukan dengan menambahkan NaOH encer yang disertai dengan pemanasan secara kontinyu Hackman, 1954.
Proses ini diduga berpengaruh terhadap perubahan sifat kimiawi kitin Foster dan Hackman, 1957. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan
bahwa penurunan kadar protein dan mineral pada kitin secara kimiawi menunjukkan hasil yang kurang baik. Hasil deproteinasi dengan
mempergunakan asam kuat atau basa kuat seperti NaOH pada suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan produk karena terjadi penguraian protein
menjadi peptida dan asam amino, sehingga dapat berpengaruh terhadap perubahan sifat fisik kimiawi kitin.
Proses deproteinasi dapat juga dilakukan secara fermentasi dengan menggunakan mikroba penghasil protease, Citoreksoko dan Nasution,
1999 contohnya menggunakan bakteri Bacillus licheniformis F11. Fermentasi diharapkan dapat mengurangi dampak pencemaran dan
pemborosan energi, karena reaksinya bersifat spesifik, tidak beracun serta tidak membutuhkan energi yang tinggi. Mikroba sebagai sumber enzim
lebih menguntungkan karena pertumbuhannya cepat dan dapat tumbuh pada substrat yang relatif murah, mudah ditingkatkan hasilnya melalui
pengaturan kondisi pertumbuhan serta mampu menghasilkan enzim dengan pH optimum yang lebih tinggi Crueger dan Crueger, 1984.
B. TUJUAN