Kulit udang mengandung komposisi kitin yang lebih baik dibandingkan dengan limbah udang secara keseluruhan. Perbandingan ini
dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kulit dan limbah udang windu
Komposisi
1
bb Kulit Udang
Limbah Udang
2
Protein 16,9 35,8
Lemak 0,6 9,9
Serat 23,6 16,5
Kitin 23,5 15,9
Abu 63,6 38,1
Sumber : No et al. 1989
1
penentuan berdasarkan bobot kering
2
limbah udang terdiri dari kepala, kulit dan ekor Pada limbah kulit udang, kandungan kitin cukup besar yaitu
23,5. Hal ini menyebabkan limbah kuit udang berpotensi sebagai bahan baku dalam memproduksi kitin. Selain itu, dalam limbah kulit udang juga
terdapat protein sebesar 16,9 dan mineral abu sebesar 63,6, sehingga dalam pemurnian kitin komponen tersebut perlu dihilangkan. Komponen-
komponen tersebut perlu dihilangkan untuk menghasilkan produk kitin yang bermutu tinggi sehingga molekul-molekulnya menjadi lebih halus
dan kelarutannya lebih rendah. Proses penghilangan protein deproteinasi diduga dapat menyebabkan pengurangan lemak dan logam dalam kulit
udang, karena lemak dapat berasal dari lemak yang terikat dengan protein lipoprotein, sehingga setelah protein terdegradasi maka lemak dapat
terlepas dari kulit udang Rohani, 2000.
B. KITIN
Kitin merupakan senyawa biopolimer berantai panjang dan tidak bercabang. Tiap rantai polimer terdiri dari 2000 hingga 5000 unit
monomer yang terpaut melalui ikatan β-1,4 glikosida. Unit monomer kitin
mempunyai rumus molekul C
18
H
12
O
5
dengan kadar C, H, N, O berturut- turut 47, 6, 7 dan 40 Bastaman, 1989.
Struktur kitin sama dengan selulosa, yaitu ikatan yang terjadi antara monomernya terangkai dengan glukosida pada posisi
β-1,4. Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada
atom karbon nomor dua, pada kitin digantikan dengan gugus asetamina - NHCOCH
3
, sehingga kitin dapat menjadi polimer berunit N-Asetil glukosamin. Struktur kimia kitin dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur berulang kitin Bough, 1975 Menurut Angka dan Suhartono 2000, kitin yang diperoleh dari
berbagai sumber memiliki struktur yang sama, kecuali ikatannya dengan protein dan kalsium karbonat yang merupakan dua komponen lain pada
kulit udang. Setelah protein kalsium dan kalsium karbonat dari kulit udang dihilangkan dengan pemberian garam dan basa, maka tinggallah kitin yang
berbentuk materi kaku dan berpori yang relatif tahan terhadap perlakuan kimia dan infeksi mikroba. Komposisi kulit udang berdasarkan proses
pengupasan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi bobot kering kulit udang berdasarkan proses pengupasan
Sumber Komposisi bobot kering
Protein Kitin Kalsium Karbonat
Pengupasan Tangan 27,2
57,4 15,3
Pengupasan Mekanis 22
42,3 35,7
Sumber : Angka dan Suhartono 2000 Kitin adalah penyusun kerangka luar serangga, Moluska dan
Crustacea. Diduga terdapat 37,3 ribu ton kitin per tahun yang diperoleh dari kulit kerang, kepiting dan udang, sehingga memungkinkan untuk
digunakan sebagai bahan baku industri Yang et al., 2000. Menurut Stephen 1995, kitin merupakan padatan amorf berwarna
putih, dapat terurai secara hayati biodegradable, terutama oleh bakteri penghasil enzim lisozim dan kitinase. Sifat kitin yang tidak beracun
menyebabkan kitin banyak digunakan untuk keperluan pakan ternak dan kesehatan misalnya sebagai benang bedah.
Menurut Svitil et al. 1997, kitin dibedakan karena susunan rantai Nasetil-D-glukosamin yaitu
α, , dan , derajat deasetilasi serta adanya ikatan silang seperti dengan protein dan glukan. Kitin dalam tubuh
organisme terdapat dalam tiga bentuk kristal dan dibedakan atas susunan rantai molekul yang membangun kristalnya yaitu
α-kitin rantai antiparalel, -kitin rantai paralel dan -kitin yang terdiri atas tiga rantai
Angka dan Suhartono, 2000 ; Rudal, 1969. Sebagai material pelindung Crustacea, kitin terdapat sebagai
mukopolisakarida yang berasosiasi dengan kalsium karbonat dan berikatan kovalen dengan protein Austin, 1984. Masih menurut Austin, 1984,
tidak semua protein berikatan kovalen dengan kitin. Sebagian besar protein berikatan secara fisik. Jumlah protein yang terikat secara kovalen
dengan kitin setiap jenis Crustacea tidak sama seperti dapat dilihat pada Tabel 3. Menurut Muzi 1990, perbedaan jumlah protein yang terikat
secara kovalen akan mempengaruhi mudah tidaknya proses deproteinasi. Oleh karena perbedaan antara jumlah protein total dengan jumlah protein
yang terikat secara kovalen, maka tidak ada proses deproteinasi yang optimum untuk setiap jenis Crustacea Muzi, 1990.
Tabel 3. Persentase kadar kitin dan protein pada Crustacea Austin, 1981
C. DEPROTEINASI