Faktor Pengawas Kehutanan Analisis Hukum Mengenai Penerapan Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Terhadap Pelaku Perusakan Hutan (Studi Putusan No : 21/Pid.Sus/2015/PN.Tkn)

66 mengalihkan pekerjaan atau mendapat tambahan penghasilan dari keterampilan barunya itu. Ibu-ibu rumah tangga dapat pula diberi pendidikan kewirausahaan, misalnya dengan membuat aneka makan yang bahan bakunya dari daerah itu sendiri. Melalui perbaikan pendidikan di atas, diharapkan pada masyarakat hutan akan terjadi perubahan struktur sosial yang akan mengarah kepada masyarakat yang memiliki kemampuan dan lebih bermakna dalam kehidupannya. 63 Tingkat kesadaran dan ketaatan hukum terhadap pentingnya fungsi dan peranan hutan, kiranya dapat eksis di semua strata sosial baik yang secara langsung terlibat dalam pemanfaatan hutan maupun mereka yang sekadar memahami kaidah hukum perlindungan sumber daya hutan. 64

C. Faktor Pengawas Kehutanan

Wilayah Indonesia yang sangat luas ini dan daerah hutan yang terpencil menyebabkan kurangnya pengawasan aparat kehutanan. Ditambah lagi terbatasnya sarana dan prasarana bagi aparat kehutanan dalam pelaksanaan pengawasan tersebut serta rendahnya sumber daya manusia aparat keamanan itu sendiri. 65 Dengan terjadinya tumpang tindih dalam peraturan perundang-undangan mengakibatkan terjadinya kerancuan dalam menerapkan dan menegakkan hukum dalam bidang kehutanan ini dan juga mengakibatkan tumpang tindihnya instansi 63 Wahyu Eridiana, Peningkatan Pendidikan Pada Masyarakat Sekitar Hutan di Kabupaten Bandung Suatu Alternative Untuk Menekan Terjadinya Perambahan Hutan, http:file.upi.eduDirektoriFPIPSJUR._PEND._GEOGRAFI195505051986011WAHYU_ERID IANAartikel_pengingkatan_pendidikan.pdf , diakses pada tanggal 1 april 2016 pukul 21.00 WIB 64 Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, Rineka Cipta: Jakarta, 1997, Halaman 67. 65 Alwan,Op.Cit Halaman 26. Universitas Sumatera Utara 67 yang berwenang dalam menangani masalah kehutanan. Sehingga dengan demikian akan timbul kesulitan dalam menangani kejahatan kehutanan ini. 66 . Seringkali yang menjadi dalih minimnya keberhasilan penegakan hukum kehutanan yaitu dikarenakan minimnya petugas polisi kehutanan Polhut. Padahal, Kementerian Kehutanan telah membentuk Satuan Khusus Polisi Kehutanan Reaksi Cepat SPORC pada Januari 2005 yang hingga tahun 2007, anggota SPORC 67 berjumlah 893 orang yang tersebar dalam 11 brigade. Kementerian Kehutanan juga telah memiliki 8.800 anggota Polhut dan sebanyak 1.240 orang Polhut saat ini telah menjadi Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPPNS. Namun kenyataannya, permasalahan penegakan hukum bukan semata masalah kurangnya jumlah aparat penegak hukum, akan tetapi lebih pada komitmen lembaga penegakan hukum kehutanan itu sendiri. 68 66 Ibid. 67 SPORC merupakan satuan Polhut khusus yang memiliki kompetensi lebih dibandingkan dengan kompetensi Polhut reguler. Kemampuan tersebut terkait dengan tingkat kehandalan, profesionalitas, dukungan kemampuan dan keterampilan fisik serta memiliki dedikasi dan integritas yang tinggi. Kekuatan SPORC nantinya akan berjumlah 1500 orang anggota yang akan dibentuk selama 5 tahun dimulai tahun 2005. Pembentukan SPORC ini juga akan menjawab kekurangan jumlah aparat pengamanan hutan yang saat ini berjumlah 8.800 orang yang ditempatkan di Pusat sebanyak 3.100 orang dan di Daerah berjumlah 5.700 orang. Sebanyak 1.240 anggota diantaranya telah menjadi Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS. Berdasarkan kualifikasi pendidikan Polhut yang ada terdiri dari 350 anggota berpendidikan jenjang sarjana S1, sarjana mudadiploma 28 orang, dan lebih kurang 8.420 orang berpendidikan SLTA. Pada tahun pertama ini telah ditetapkan sebanyak 300 orang anggota SPORC yang berasal dari 10 propinsi, yaitu Papua, Irjabar, Sulsel, Kaltim, kalteng, Kalbar, Jambi, Sumsel, Riau, dan Sumut. Mereka akan mengikuti Diklat selama 38 hari mulai tanggal 28 November 2005 di Secapa Polri Sukabumi. Pembukaan Diklat rencananya akan dibuka oleh Deputi Operasi Kapolri yang akan dihadiri oleh unsur pimpinan dari dephut dan Polri. Dan direncanakan akan ditutup oleh Menteri Kehutanan dan Kapolri. Melalui Diklat satuan khusus SPORC ini diharapkan para anggota akan mempunyai kemampuan yang lebih di bidang kepolisian dan kompetensi lainnya yang pada akhirnya dapat diterapkan di lapangan guna mengamankan kawasan hutan dari berbagai gangguan dan tekanan yang semakin meningkat. Lihat SATUAN POLHUT REAKSI CEPAT SPORC oleh Kepala Pusat Informasi Kehutanan, Jakarta, 25 November 2005 diakses dari http:www.dephut.go.idindex.phpnewsdetails1733 , diunduh 29 maret 2016 68 Iskandar, op.cit., Halaman 97. Universitas Sumatera Utara 68 Pasal 59 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menerangkan, pengawasan kehutanan dimaksudkan untuk mencermati, menelusuri, dan menilai pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan sekaligus merupakan umpan balik bagi perbaikan dan atau penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut. Penjelasan Pasal 59 menyatakan, Yang dimaksud dengan pengawasan kehutanan adalah pengawasan ketaatan aparat penyelenggara dan pelaksana terhadap semua ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. Pasal 65 UU Nomor 41 Tahun 1999 menerangkan ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan kehutanan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penjelasan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan, Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain : a. Tata cara dan mekanisme pengawasan b. Kelembagaan pengawasan c. Objek pengawasan d. Tindak lanjut pengawasan Seiring dengan upaya Pemerintah untuk memberantas pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu liar, sejak tahun 2003 hingga tahun 2005 Dinas Kehutanan di daerah juga melakukan penertiban terhadap para petugas di lapangan, yakni para pengawas penguji hasil hutan yang terbukti telah melanggar ketentuan dan menyalahgunakan wewenangnya. Para petugas yang terbukti Universitas Sumatera Utara 69 bersalah mendapat sanksi pemberhentian dan pencabutan kartu penguji hasil hutan. 69 Faktanya sering terjadi, pertama, tidak jarang aparat kehutanan bisa sendiri atau melalui keluarganya terlibat dalam perilaku kolusi, seperti melibatkan diri dalam bisnis kehutanan. Untuk level menengah, ada semacam pembenaran dan menganggap pemberian hadiah tertentu merupakan hal yang biasa. Kondisi ini pun sudah lazim dilakukan oleh pengusaha untuk urusan dari meja ke meja. Akibatnya, oknum aparat kehutanan terjebak dan sulit mengambil keputusan yang mendorong tercapainya penegakan hukum. Kedua, pemeriksaan fisik hutan hanya dilakukan di atas meja, bukan terjun ke lapangan. Bisa saja alasan instansi kurangnya jumlah aparat. Sementara jika terjun ke lapangan memerlukan tenaga, waktu, dan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, jika aparat kehutanan benar-benar memeriksa sesuai prosedur, kemungkinan ia dianggap menghambat kegiatan di industri dan akhirnya mereka tidak akan mendapat honor dari pengusaha. Ketiga, peredaran kayu berjalan terus dan tidak mengenal waktu. Contoh sederhana, kayu yang akan masuk ke pabrik, bisa tengah malam atau dini hari. Sementara aparat kehutanan tidak mungkin terus-menerus standby di lokasi pabrik. Ini lebih menyangkut persoalan komitmen aparat kehutanan. Keempat, permasalahan kondisi geografis dimana luasnya wilayah hutan juga menuntut adanya aparat dengan jumlah dan kualitas yang memadai, serta didukung dengan sarana dan kewenangan yang jelas. 70 69 Abdul Muis Yusuf dan Mohammad Taufik Makarao, op.cit., Halaman 236. 70 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia Dalam Era Otonomi Daerah, PT. Citra Aditya Bakti : Bandung, 2005, Halaman 194-195 Universitas Sumatera Utara 70 Hal yang sangat membingungkan pengusaha sektor kehutanan adalah siapa yang sebenarnya berwenang mengendalikan dan mengawasi kegiatan kehutanan, Polisi Kehutanan POLHUT atau Polri? Maka tidak jarang pengusaha sektor kehutanan kemudian berkolaborasi dengan oknum Polri untuk mengatur keleluasaan pengangkutan hasil hutan, daripada dengan POLHUT. 71 Dalam praktiknya sering terjadi penyalahgunaann wewenang para petugas yang menjadi ujung tombak dalam peredaran kayu bulat dengan meloloskan kayu liar ke konsumen. Akibat lolosnya kayu bulat tanpa izin ke industri menyebabkan praktik pencurian kayu dan perdagangan kayu liar terus berlangsung, bahkan semakin meningkat. Dengan dilakukannya penertiban petugas-petugas kehutanan di lapangan yang menjadi ujung tombak dalam pengawasan peredaran kayu, diharapkan dapat meminimalisasi peredaran kayu ilegal.

D. Faktor Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Perusakan Hutan

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Illegal Logging (Pembalakan Liar) Sebagai Kejahatan Kehutanan Berdasarkan Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan

7 155 148

Upaya Hukum dalam Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013

13 221 146

Penerapan Sanksi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Putusan No 2.235./Pid.B/2012/PN.Mdn.)

10 234 98

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Studi Kasus Terhadap Putusan MARI No 68 K/PID.SUS/2008 An ADELIN LIS)

2 96 219

Analisis Hukum Mengenai Penerapan Ketentuan Pajak Pada Transaksi Kartu Kredit

5 98 111

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

BAB II UPAYA PENCEGAHAN PERUSAKAN HUTAN A. Upaya-Upaya yang dapat dilakukan dalam Mencegah Perusakan Hutan - Upaya Hukum dalam Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Upaya Hukum dalam Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013

0 0 19

Penerapan Sanksi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Putusan No 2.235./Pid.B/2012/PN.Mdn.)

1 27 9

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Studi Kasus Terhadap Putusan MARI No 68 K/PID.SUS/2008 An ADELIN LIS)

0 1 14