45
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau
badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan
pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 13 sepertiga dari pidana yang dijatuhkan.
Kata „tuntutan..dijatuhkan terhadap pengurusnya‟, menunjukkan bahwa hanya pengurus yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindak
pidana kehutanan yang dilakukan korporasi. Dihubungkan dengan perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, undang-undang kehutanan
menganut sistem yaitu korporasi yang melakukan tindak pidana, tapi tanggung jawab pidana hanya dibebankan kepada pengurusnya.
B. Pengaturan Hukum
Mengenai Pencegahan
dan Pemberantasan
Perusakan Hutan Ditinjau Dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diundangkan pada 3 oktober 2009 dan dinyatakan
berlaku sejak diundangkan. Dari nama undang-undang ini terlihat ada maksud untuk lebih memberi penekanan pada perlindungan lingkungan, meskipun
sebenarnya kata pengelolaan lingkungan sudah terkandung makna pemanfaatan dan sekaligus perlindungan lingkungan.
39
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup UUPPLH adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
39
Muhammad Akib, Politik Hukum Lingkungan Dinamika dan Refleksinya Dalam Produk Hukum Otonomi Daerah, PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta, 2012, Halaman 105.
Universitas Sumatera Utara
46
terjadinya pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum. Upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewajiban bagi negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan
dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta
makhluk hidup lain.
40
Secara yuridis, UUPPLH memiliki arti penting bagi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup masa kini dan masa yang akan datang. Pertama,
merupakan dasar hukum yang memuat asas dan tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta landasan hukum bertindak untuk melindungi
dan mengelola lingkungan hidup dalam pembangunan. Kedua, sebagai payung hukum atau pedoman bagi semua peraturan perundang-undangan sektoral bidang
lingkungan hidup, terutama dalam rangka pemanfaatan sumber daya lingkungan hidup bagi pembangunan dan kesejahteraan manusia. Ketiga, UUPPLH
memperkuat hukum lingkungan sebagai suatu sistem dalam ilmu hukum, karena dalam UUPPLH terdapat berbagai pengaturan hukum bagi segala yang berkaitan
dengan lingkungan.
41
Berdasarkan UUPPLH terdapat 6 enam instrumen pencegahan kerusakan danatau pencemaran dalam rangka pelaksanaan perizinan terpadu bidang
lingkungan hidup. Instrumen tersebut, yakni rencana perlindungan dan
40
Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PT. Sofmedia : Jakarta, 2011, Halaman 1.
41
Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Sinar Grafika : Jakarta, 2012, Halaman 223-224.
Universitas Sumatera Utara
47
pengelolaan lingkungan hidup strategis RPPLS, kajian lingkungan hidup strategis KLHS, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup. Sebenarnya masih
terdapat instrumen lain, yakni kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, instrumen ekonomi lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup,
analisis risiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup dan instrumen lain sesuai dengan kebutuhan danatau perkembangan ilmu pengetahuan.
42
Di dalam UUPPLH juga diatur upaya pemberantasan dengan memberikan sanksi kepada pelaku perusakan hutan. Ketentuan pidana sebagaimana diatur
dalam UUPPLH dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup dengan memberikan ancaman sanksi pidana.
43
Ketentuan Pasal 97 UUPPLH, menyatakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan UUPPLH, merupakan kejahatan. Kejahatan disebut sebagai
“rechtsdelicten” yaitu tindakan-tindakan yang mengandung suatu “onrecht” hingga orang pada umumnya memandang bahwa pelaku-pelakunya itu memang
pantas dihukum, walaupun tindakan tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang di dalam undang-undang.
Kejahatan rechtsdelicten merupakan perbuatan yang tidak adil menurut filsafat, yaitu yang tidak tergantung dari suatu ketentuan hukum pidana, tetapi dalam
kesadaran batin manusia dirasakan bahwa perbuatan itu tidak adil, dengan kata lain kejahatan merupakan perbuatan tercela dan pembuatnya patut dipidana
dihukum menurut masyarakat tanpa memperhatikan undang-undang pidana.
42
Ibid, Halaman 236.
43
Alvi Syahrin, op.cit., Halaman 35.
Universitas Sumatera Utara
48
Terkait dengan tindak pidana lingkungan yang dinyatakan sebagai kejahatan rechtsdelicten, maka perbuatan tersebut dipandang sebagai secara
esensial bertentangan dengan tertib hukum atau perbuatan yang bertentangan dengan membahayakan kepentingan hukum. Pelanggaran hukum yang
dilakukan menyangkut pelanggaran terhadap hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta keharusan untuk melaksanakan kewajiban memelihara lingkungan
hidup, mencegah dan menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
Jika ditinjau dari perumusan tindak pidana, ketentuan Pasal 98 UUPPLH sd 115 UUPPLH, terdapat tindak pidana materiil yang menekankan pada akibat
perbuatan, dan tindak pidana formil yang menekankan pada perbuatan. Tindak pidana materiil memerlukan perlu terlebih dahulu dibuktikan
adanya akibat yang dalam hal ini terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.
Tindak pidana formal, tidak memerlukan adanya akibat, namun jika telah melanggar rumusan ketentuan pidana ketentuan peraturan perundang-undangan,
maka telah dapat dinyatakan sebagai telah terjadi tindak pidana dan karenanya pelaku dapat dijatuhi hukuman.
Tindak pidana formal, dapat digunakan untuk memperkuat sistem tindak pidana materiil jika tindak pidana materiil tersebut tidak berhasil mencapai target
bagi pelaku yang melakukan tindak pidana yang berskala ecological impact, artinya tindak pidana formal dapat digunakan bagi pelaku tindak pidana
lingkungan yang sulit ditemukan bukti-bukti kausalitasnya.
Universitas Sumatera Utara
49
Pengertian tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam 98 UUPPLH sampai Pasal 115 UUPPLH, melalui metode konstruksi hukum dapat
diperoleh pengertian bahwa inti dari tindak pidana lingkungan perbuatan yang dilarang adalah mencemarkan atau merusak lingkungan. Rumusan ini dikatakan
sebagai rumusan umum genus dan selanjutnya dijadikan dasar untuk menjelaskan perbuatan pidana lainnya yang bersifat khusus species, baik dalam
ketentuan dalam UUPPLH maupun dalam ketentuan Undang-undang lain ketentuan sektoral di luar UUPPLH yang mengatur perlindungan hukum pidana
bagi lingkungan hidup. Kata “mencemarkan” dengan “pencemaran” dan
“merusak” dengan “perusakan” adalah memiliki makna substansi yang sama, yaitu tercemarnya atau rusaknya lingkungan.
44
Pengertian perusakan lingkungan hidup dirumuskan dalam Pasal 1 angka 16 UUPPLH, sebagai berikut :
“tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, danatau hayati lingkungan hidup
sehingga melampaui kri teria baku kerusakan lingkungan hidup”
Adapun unsur-unsur perusakan lingkungan hidup sebagaimana terkandung dalam Pasal 1 angka 16 UUPPLH, yaitu :
1. Adanya tindakan 2. Menimbulkan :
a. Perubahan langsung, atau b. Tidak langsung terhadap sifat fisik danatau hayati lingkungan
3. Melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
44
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
50
Berdasarkan Pasal 21 ayat 1 UUPPLH dinyatakan bahwa untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan, ditetapkan kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup. Baku kerusakan lingkungan hidup, berdasarkan Pasal 1 angka 15 UUPPLH, yaitu ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, danatau hayati
lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.
Kriteria baku kerusakan ekosistem menurut Pasal 21 ayat 3 UUPPLH, meliputi :
a. Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa b. Kriteria baku kerusakan terumbu karang
c. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan danatau lahan d. Kriteria baku kerusakan mangrove
e. Kriteria baku kerusakan padang lamun f. Kriteria baku kerusakan gambut
g. Kriteria baku kerusakan karst, danatau h. Kriteria
baku kerusakan
ekosistem lainnya
sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Penjelasan Pasal 21 ayat 3 UUPPLH memberikan penjelasan terhadap
“kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan danatau lahan”, sebagai berikut :
“kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan danatau lahan adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang
berupa kerusakan danatau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan danatau lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha
danatau kegiatan”. Tindak pidana di bidang lingkungan hidup sudah diatur secara khusus di
dalam UUPPLH berlaku asas lex spesialis derogat legi generali yang mengesampingkan ketentuan pidana KUHP sebagai peraturan umumnya.
Universitas Sumatera Utara
51
Sebaliknya jika terjadi tindak pidana tetapi perbuatannya tidak diatur di dalam ketentuan pidana UUPPLH maka KUHP baru diberlakukan.
Ketentuan pidana lingkungan hidup diatur pada Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH. Semua tindak pidananya merupakan delik kejahatan, yaitu
delik yang perbuatannya bertentangan dengan kepentingan hukum. Sebagai delik kejahatan, perbuatan pencemaranperusakan lingkungan hidup dapat dilakukan
secara sengaja dolus maupun karena kelalaiannya culpa.
45
Memperhatikan ketentuan pidana UUPPLH tindak pidana di bidang lingkungan hidup, maka yang termasuk tindak pidana perusakan hutan adalah
tindak pidana pembakaran lahan. Hal tersebut diatur di dalam Pasal 69 ayat 1 huruf h, yaitu sebagai
berikut : “setiap orang dilarang :
Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar” Sanksi tindak pidana pembakaran lahan tercantum dalam Pasal 108
dimana pelakunya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan denda paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling sedikit Rp.
3.000.000.000,00 tiga miliar rupiah dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah.
Perbuatan pembakaran lahan merupakan kebiasaan lama dengan tujuan positif yaitu untuk bercocok tanam. Dengan pembakaran menjadikan lahan
terbuka untuk ditanami, dan abu dari pembakaran itu mempengaruhi kesuburan
45
Gatot Supramono, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Indonesia, Rineka Cipta: Jakarta, 2013, Halaman 144-145.
Universitas Sumatera Utara
52
tanah. Kebiasaan ini masih banyak dilakukan di masyarakat sampai sekarang terutama yang bertempat tinggal di luar Jawa antara lain terjadi di riau,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Setelah lahan dibakar beberapa hari kemudian lahan tersebut ditanami tumbuh-tumbuhan seperti
padi gogo, jagung, kedelai, kacang hijau. Perbuatan tersebut mempunyai akibat negatif yang merugikan masyarakat
antara lain kebakaran hutan, polusi udara kabut asap, mengganggu penerbangan, mengganggu kesehatan, dan sebagainya.
46
Tindak pidana tersebut tidak melihat ukuran luas lahan yang dibakar, meskipun yang dibakar hanya berukuran sempit, pelakunya sudah dapat dipidana.
Sebagai delik formil, pemidanaannya tidak perlu menunggu akibatnya benar- benar terjadi. Dalam praktik asal sudah ada api yang membakar lahan merupakan
peristiwa pidana.
47
Ketentuan pidana dalam UUPPLH ada yang mencantumkan pidana minimal dan hukumannya bersifat kumulatif. Hukuman yang bersifat kumulatif
dapat dilihat dari rumusan kata “dan” diantara hukuman “penjara” dan “denda”. Selain itu juga dalam hukuman pidananya ada hukuman yang bersifat hukuman
tambahan. Hukuman tambahan ini diatur dalam Pasal 119 UUPPLH. Pola pemidanaan dalam UUPPLH sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan Bab XV Ketentuan Pidana pada Pasal 97 UUPPLH sampai Pasal 120 UUPPLH, terdapat sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi tindakan
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 119 UUPPLH hanya bersifat
46
Ibid, Halaman 171.
47
Ibid
Universitas Sumatera Utara
53
komplemen atau pelengkap yakni tidak ada bedanya dengan sanksi pidana tambahan yang bersifat fakultatif. Hal tersebut dapat disimak dari adanya kata
“dapat” dalam rumusan Pasal 119 UUPPLH tersebut.
48
Ketentuan Pasal 119 UUPPLH berbunyi “ Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, terhadap
badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa :
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana b. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha danatau kegiatan
c. Perbaikan akibat tindak pidana d. Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, danatau
e. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 tiga
tahun. Sanksi tindakan merupakan sanksi dalam hukum pidana yang bersifat
antisipatif bukan reaktif, terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada filsafat determinisme dalam ragam bentuk sanksi yang dinamis dan spesifikasi, bukan
penderitaan fisik atau perampasan kemerdekaan, dengan tujuan untuk memulihkan keadaan tertentu bagi pelaku maupun korban.
Memperhatikan sanksi pidana yang ada dalam Pasal 98 UUPPLH sampai dengan Pasal 111 UUPPLH, Pasal 113 UUPPLH sampai dengan Pasal 115
UUPPLH yang mengenakan sanksi pidana penjara dan denda, serta Pasal 119 UUPPLH yang dapat memberikan hukuman tambahan kepada badan usaha, maka
hukuman bagi badan usaha yang melakukan tindak pidana dapat berupa sanksi sanksi pidana denda dan sanksi pidana tambahan atau tindakan tata tertib.
Selanjutnya, sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pengurus pemberi perintah
48
Ibid, Halaman 83.
Universitas Sumatera Utara
54
yaitu ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.
Ketentuan Pasal 116 UUPPLH yang berbunyi : 1 Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau
atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada :
a. Badan usaha, danatau b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana
tersebut, atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut
2 Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau
berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau
pemimpin dalam tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Maka dapat dikemukakan bahwa sanksi pidana berdasarkan Pasal 116 ayat
1 UUPPLH dapat dijatuhkan kepada : 1. Badan usaha
2. Badan usaha dan pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana, atau
3. Badan usaha dan pemimpin kegiatan dalam tindak pidana, atau 4. Pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana, atau
5. Pemimpin kegiatan dalam tindak pidana Sedangkan sanksi pidana berdasarkan Pasal 116 ayat 2 UUPPLH, dapat
dijatuhkan kepada : 1. Pemberi perintah, atau
2. Pemimpin dalam tindak pidana
Universitas Sumatera Utara
55
C. Pengaturan Hukum